Si BAYANGAN IBLIS JILID 02

 


penyelidikan akan kemungkinan itu. Kepala pengawal Thai-kam
tak mungkin dapat bicara karena kepala pengawal Thai-kam itu
menganggap kedudukannya terlalu tinggi untuk dapat dihubungi
oleh seorang panglima pasukan keamanan seperti dia!
Tiba-tiba Liong-li menepuk pahanya sendiri dan terkejutlah Cian
Ciang-kun yang sedang melamun. Dia mengangkat muka
memandang dan melihat betapa wajah yang cantik itu kemerahan
dan matanya bersinar-sinar.
"Dapat, Ciang-kun!" seru wanita itu dan ia tersenyum lebar
sehingga deretan gigi yang putih seperti mutiara nampak berkilau.
"Eh, apa maksudmu, Li-hiap?"
"Kita harus bekerja sama. Engkau dari luar dan aku dari dalam!"
"Maksudmu, engkau akan menyelundup ke dalam istana?" tanya
panglima yang cerdik itu.
Liong-li mengangguk. "Hanya itulah jalannya. Engkau menyelidiki
dari luar, mengamati gerak-gerik semua pejabat tinggi termasuk
mereka yang memimpin keamanan di lingkungan istana. Aku
sendiri harus dapat menyusup ke dalam istana, dan hal ini tentu
saja baru mungkin terjadi kalau engkau membantuku. Dapat saja
aku diselundupkan ke istana, atau akan lebih mudah bagiku untuk
menyelidik kalau aku dapat menjadi penghuni istana sebagai
dayang atau pelayan......"
71 "Ah, tidak mungkin seorang seperti engkau ini menjadi pelayan di
sana, Li-hiap!" kata Cian Ciang-kun.
Kedua pipi itu menjadi semakin merah. "Kauanggap aku......
terlalu tua dan buruk rupa......?"
"Siapa berkata begitu, Li-hiap" Sama sekali sebaliknya malah!
Engkau terlalu cantik jelita dan......"
"Kalau terlalu baik untuk menjadi pelayan, dapat dimasukkan
sebagai dayang...... tentu saja kalau aku tidak dianggap terlalu
tua untuk itu." "Terlalu tua sih tidak, terlalu dewasa mungkin karena para dayang
itu memang biasanya masih remaja, akan tetapi yang jelas
terlalu...... cantik jelita......"
"Ihh, kita bicara serius, jangan engkau merayu, Ciang-kun!" kata
Liong-li dan wajah perwira itu menjadi merah.
"Maaf, bukan maksudku untuk memuji kosong, Li-hiap, melainkan
akupun bicara sesungguhnya. Kalau engkau berada di dalam
istana bagian puteri, engkau sepantasnya menjadi puteri atau
selir Sribaginda. Maaf, bukan maksudku menghina......"
"Sudahlah, terserah kepadamu, asal aku dapat diselundupkan ke
dalam istana, untuk beberapa hari saja sehingga aku
mendapatkan peluang untuk melakukan penyelidikan dan
pengamatan, apa lagi di waktu malam. Kalau memang komplotan
itu bergerak dari dalam istana, tentu aku akan dapat memergoki
mereka. Kalau engkau tidak merayu dan berkata sebenarnya, aku
72 dapat melakukan sedikit penyamaran agar pantas menjadi
seorang dayang. Coba kautunggu sebentar, Ciang-kun!"
Ia bertepuk tangan dan muncullah seorang gadis berpakaian
coklat. Ia muncul cepat dan berdiri di depan Liong-li dengan sikap
hormat dan siap melakukan segala perintah.
"Ambil perlengkapan penyamaran ke sini. Cepat!"
Tak lama kemudian, gadis baju coklat itu kembali membawa peti
hitam yang terukir indah. Baru petinya itu saja sudah merupakan
sebuah benda antik yang mahal harganya, pikir Cian Ciang-kun
yang sudah duduk sambil mengamati dengan hati tertarik.
Liong-li, tanpa bicara membuka tutup peti setelah si baju coklat
meninggalkan ruangan itu dan iapun mengambil botol-botol dan
alat-alat seperti alat kecantikan. Hanya sebentar ia bercermin
sambil menata wajahnya dan sepuluh menit kemudian, Cian
Ciang-kun sudah berhadapan dengan seorang wanita yang sama
sekali berbeda dengan wajah Liong-li! Memang masih manis,
akan tetapi tidak secantik dan seanggun tadi! Wajah seorang
gadis dusun yang manis dan tidak terlalu menyolok.
"Bagaimana, Ciang-kun" Bukankah sudah pantas kalau aku
mengaku sebagai seorang gadis dusun dan cocok untuk menjadi
seorang pelayan atau seorang dayang di istana?"
Cian Ciang-kun bengong. Bahkan suara wanita ini berubah sama
sekali! Tidak halus merdu lembut seperti tadi, melainkan suara
sederhana yang hanya pantas menjadi suara seorang gadis
73 pedusunan yang kurang pendidikan dan biasa hidup sederhana.
Akhirnya dia tertawa bergelak saking kagum dan girangnya.
"Ha-ha-ha, engkau seorang wanita hebat, Li-hiap! Tadi aku masih
ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau engkau akan dikenal sebagai
Hek-liong-li setelah berada di dalam istana dan keselamatanmu
terancam. Akan tetapi dengan penyamaran yang sempurna,
kuyakin takkan ada seorangpun yang tahu bahwa engkau adalah
Hek-liong-li. "Baiklah, mari kita ke kota raja dan di sana aku akan
menghubungi rekan-rekanku dan mendengar kalau-kalau istana
membutuhkan pembantu puteri baru sehingga engkau dapat
diselundupkan ke dalam. Engkau tahu, biasanya, kalau istana
membutuhkan dayang atau pembantu baru, kesempatan itu
dipergunakan oleh para Thai-kam untuk menerima uang sogokan.
Siapa yang paling berani mengeluarkan uang sogokan, maka
dialah yang akan diterima."
"Bagus! Tentang uang sogokan, jangan khawatir. Berapa saja
mereka minta akan kubayar!" kata Liong-li gembira.
Merekapun berangkat pada hari itu juga, tentu saja tidak
mengendarai kereta rampasan tadi karena hal itu tentu akan
diketahui pihak lawan. Mereka menggunakan kereta lain dan
dengan menyamar, tak seorangpun menyangka bahwa wanita
nenek tua yang bersama Cian Ciang-kun memasuki kota raja itu
adalah Hek-liong-li yang amat terkenal!
"Y" 74 Sebelum kita mengikuti perjalanan Liong-li dan cara bagaimana ia
akan menyelundup masuk ke dalam istana, sebaiknya kita
mengenali lebih dahulu keadaan Kaisar Kao Cung dengan
istananya yang megah. Pada waktu itu (sekitar tahun 669), Kaisar Kao Cung adalah
seorang pria berusia kurang lebih empatpuluh sembilan tahun.
Seorang pria yang sebetulnya bertubuh tinggi tegap dan kuat.
Akan tetapi sungguh sayang, karena dia terlalu mengumbar nafsu
berahinya, terlalu membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan
dan rayuan para wanita cantik yang memenuhi haremnya, maka
dalam usia empatpuluh sembilan tahun saja dia sudah nampak
tua dan loyo. Kaisar Kao Cung sesungguhnya baik budi dan
ramah, memiliki kebijaksanaan.
Namun sayang, karena terlalu membiarkan diri tenggelam dalam
kesenangan, dia menjadi lemah dan malas. Dia tidak
bersemangat lagi untuk mengurus tugas-tugasnya sebagai
seorang pemimpin negara. Siang malam dia hanya bersenangsenang bersama para selirnya dan para dayang, dan dia dapat
dibilang menyerahkan segala kekuasaannya dan membiarkan
permaisurinya yang mengurus semua tugasnya! Dan memang
harus diakui bahwa permaisurinya adalah seorang wanita yang
bukan main cerdasnya, seorang wanita yang selain memiliki
kecantikan luar biasa, juga memiliki otak yang tajam dan hati
yang keras, ambisius dan penuh semangat!
Bahkan dapat dibilang permaisuri inilah yang pada delapan tahun
yang lalu, membakar semangat suaminya yang menjadi kaisar itu
75 untuk mengerahkan bala tentara sekuatnya dan menyerang
Korea. Sejak puluhan tahun yang lain, ketika Kerajaan Tang belum
berdiri, yaitu Kerajaan Sui masih berkuasa di China, kaisar-kaisar
telah berusaha menundukkan Korea. Bahkan ayah dari Kaisar
Kao Cung sendiri, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal
sebagai pendekar bangsa dan pendiri Kerajaan Tang, selalu
gagal dalam usahanya menalukkan Korea.
Akan tetapi, berkat siasat dan semangat permaisuri Kao Cung,
maka Kaisar Kao Cung akhirnya berhasil menundukkan dan
menalukkan Korea yang telah dibantu oleh Bangsa Jepang.
Semenjak itulah, Kaisar Kao Cung yakin akan kemampuan
permaisurinya dan dia pun menyerahkan hampir segala urusan
pemerintahan ke tangan permaisurinya itu.
Permaisuri yang sekarang telah berusia empatpuluh tahun lebih
itu makin lama semakin berkuasa dan berpengaruh sehingga
hampir semua pejabat tinggi tunduk di bawah kekuasaannya.
Baik mereka yang setuju atau yang tidak setuju harus mengakui
bahwa banyak kemajuan dicapai setelah permaisuri ini
memegang kendali pemerintahan. Tentu saja sebagai pelaku di
belakang layar karena segala hal masih harus disetujui dan
ditandatangani oleh Kaisar Kao Cung. Semua orang di istana
tahu belaka bahwa kaisar itu menandatangani apa saja yang
disodorkan permaisurinya kepadanya!
Memang, permaisuri dari Kaisar Kao Cung ini adalah seorang
wanita yang hebat luar biasa. Sepak terjangnya amat menonjol
76 dan tidak mengherankan kalau kemudian namanya diabadikan
dalam sejarah, walaupun di dalam sejarah, keburukannya lebih
banyak ditonjolkan dari pada kebaikannya. Hal inipun mudah
dimaklumi kalau diingat bahwa penyusun sejarah adalah mereka
yang tidak suka kepadanya!
Seorang penyusun sejarah haruslah seorang seniman sejati!
Seorang seniman sejati takkan sudi diperalat oleh golongan
manapun, karena seorang seniman sejati adalah seorang
manusia utuh lahir batin yang hanya mengabdi kepada
kebenaran, kepada kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi penilaian
karena menganggap bahwa apa yang ada selalu indah, tidak baik
ataupun buruk, tidak ada perhitungan rugi untung bagi dirinya
yang bebas! Riwayat permaisuri ini memang menarik sekali sejak
pemunculannya yang pertama di istana kaisar. Agar mengenal
latar belakangnya, sebaiknya kalau kita mengikuti pengalamannya. Ketika masih seorang gadis remaja, permaisuri itu bernama Bu
Houw yang kemudian disebut juga Bu Cek Thian. Panggilan
akrabnya adalah Bi Houw (Houw yang cantik). Ketika usianya
masih remaja, kurang lebih tigabelas tahun, ia diangkut dari
dusun dan dipilih menjadi seorang dayang di istana. Ketika itu,
yang menjadi kaisar adalah ayah dari Kaisar Kao Cung yang
sekarang, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal, yang dulu
bernama Li Si Bin! 77 Karena hidup di dalam istana yang megah, serba bersih, dan
setiap hari tubuhnya terpelihara baik-baik, juga karena ia
diharuskan mempelajari segala seni yang patut dimiliki semua
wanita cantik dalam istana, Bi Houw tumbuh menjadi seorang
gadis remaja yang cantik jelita dan pandai membawa diri. Ketika
usianya mencapai, enambelas tahun, tidak ada seorang pun
dayang di istana yang mampu menyaingi kecantikannya.
Bagaikan setangkai bunga, ia mulai mekar dengan indahnya,
semerbak mengharum dan membuat setiap yang disentuhnya
menjadi cerah dan hidup. Bahkan para puteri dan selir kaisar
merasa kagum dan iri melihat kesegaran gadis remaja dari dusun
yang kini pandai membawa diri ini.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Houw sudah melakukan
tugasnya, membersihkan sebuah kamar mandi yang biasa
dipergunakan oleh permaisuri. Tentu saja sepagi itu ia bekerja
membersihkan kamar mandi pribadi permaisuri bukanlah suatu
hal yang kebetulan saja. Ia telah memperhitungkan dan
memperhatikan kebiasaan Kaisar Thai Cung. Setiap kaisar ini
tidur di kamar permaisuri, sudah pasti pada pagi hari seperti itu,
Sang Kaisar akan masuk kamar mandi.
Kebiasaan ini sudah diperhatikan benar-benar oleh Bi Houw, dan
pada pagi hari itu, ketika seperti tidak ditengaja ia telah berada di
kamar mandi, ia nampak bersih, segar dan cerah, cantik jelita dan
putih kemerahan bagaikan setangkai kuncup mawar yang sedang
mekar! Gadis berusia enambelas tahun!
78 Ketika kaisar memasuki kamar mandi, Bi Houw cepat berlutut dan
tidak berani mengangkat muka. Setelah kaisar selesai dengan
keperluannya di kamar mandi untuk membuang air kecil dan
hendak keluar, dengan terampil sekali Bi Houw berlutut di
depannya, dengan muka menunduk sehingga tidak nampak,
memegangi dengan kedua tangannya yang mungil sebuah
tempayan air yang terisi air hangat yang harum karena dicampur
air mawar, menjulurkan kedua tangannya agar Sang Kaisar
dengan mudah dapat mencuci tangannya.
Kaisar menunduk dan mencuci tangan. Ketika dia melihat
sepasang tangan yang berkulit putih kemerahan, jari-jari tangan
yang meruncing dengan kuku yang bersih mengkilap terawat
baik, kemudian menunduk pula melihat rambut yang panjang
hitam dan halus, yang mengeluarkan keharuman semerbak,
melihat kulit leher yang nampak semakin putih mulus kemerahan
di antara juntaian rambut, kaisar tertarik dan berkata lembut.
"Dayang, coba kau angkat mukamu, kami hendak melihatnya."
Bi Houw yang sudah memperhitungkan ini, dan sudah berulang
kali ia bergaya di depan cermin, dengan tenang dan lembut
mengangkat mukanya, muka yang amat cantik manis bagaikan
setangkai bunga baru mekar, dahinya yang halus bagaikan lilin
diraut itu dihiasi anak rambut yang lembut sekali melingkarlingkar, sepasang mata yang redup itu setengah terpejam penuh
rasa takut dan malu, dihias bulu mata yang panjang lentik,
dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang seperti dilukis.
79 Hidung itu mancung kecil dan lucu, dan mulut amat
menggairahkan, dengan sepasang bibir tipis merah membasah
tanpa gincu, dihias lekuk pipi di kanan kiri yang timbul tenggelam,
dagu kecil runcing berlekuk, dan lekuk lengkung dada yang
sedang meranum itu membayang di balik baju tipis.
Semua ini merupakan bintik-bintik api yang menggetarkan
kehangatan dan di pagi hari yang dingin itu, gairah berahi mulai
membara di dalam hati Kaisar Thai Cung. Gairah berahi yang
datang tiba-tiba, mendatangkan kekuatan besar yang
mendorongnya untuk segera menjulurkan kedua lengannya,
memondong gadis remaja itu, mendekap menciuminya, membelai
dan membawanya ke atas bangku marmer di dalam kamar mandi
itu. Tanpa banyak cakap lagi, tidak seperti biasanya kalau sang
kaisar memerawani seorang dayang yang beruntung menerima




anugerah dipilih oleh kaisar, Bi Houw digauli oleh Kaisar Thai
Cung di dalam kamar mandi, tanpa upacara lagi!
Bi Houw menyambut pria tua itu dengan menggunakan sepenuh
kecerdikan dan kepandaiannya yang sudah dipelajarinya terlebih
dahulu. Demikian pandainya gadis ini sehingga semua usahanya
itu tidak nampak, dan Kaisar Thai Cung pada pagi hari itu
memetik kesenangan dan kenikmatan yang jarang dia temukan.
Setelah kaisar meninggalkannya, Bi Houw melamun dengan hati
penuh bahagia. Semua rencananya berjalan dengan baik! Kaisar
telah menjatuhkan pilihannya kepadanya bahkan telah
menganugerahinya dengan hubungan badan itu!
80 Pada waktu atau jaman itu, kedudukan seorang kaisar amatlah
tingginya. Kaisar dianggap sebagai dewa atau bahkan Putera
Tuhan yang dijelmakan di dunia untuk memimpin manusia. Oleh
karena itu, seorang gadis yang dipilih kaisar seolah-olah
mendapatkan keyakinan bahwa bintangnya akan menjadi terang.
Bi Houw membayangkan betapa ia tentu akan diangkat menjadi
seorang di antara selir-selir utama yang jumlahnya tujuhpuluh dua
orang, menggantikan seorang selir yang sudah dianggap
membosankan dan akan diturunkan pangkatnya oleh kaisar.
Dari selir, ia akan berusaha agar ia dapat terus menanjak naik
sehingga akhirnya akan dapat menduduki pangkat permaisuri
Pertama atau Kedua. Ada dua orang permaisuri, yaitu permaisusi
Istana Timur dan permaisuri Istana Barat. Ia harus berusaha
mengangkat dirinya sampai menjadi seorang di antara yang dua
ini! Akan tetapi malang bagi gadis remaja itu, harapannya hampa dan
penantiannya sia-sia belaka. Kaisar Thai Cung, pendiri Kerajaan
Tang itu, terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan, sibuk
dengan perkembangan dan kemajuan kerajaannya.
Peristiwa yang terjadi di kamar mandi pada pagi hari itu baginya
lewat begitu saja dan segera hal itu terlupa olehnya setelah
terjadi. Lewat bagaikan angin lalu, karena bagi kaisar yaag
mempunyai banyak urusan, yang dianggapnya lebih besar dan
lebih penting, maka peristiwa dengan Bi Houw itu kecil dan tidak
ada artinya sama sekali. Apakah artinya seorang gadis remaja
kecil, seorang dayang bagi seorang kaisar"
81 Kekecewaan adalah bagian orang yang mengharapkan. Harapan
mempunyai buah ganda, yaitu kepuasan dan kekecewaan. Kalau
terpenuhi apa yang diharapkan, datanglah kepuasan. Sebaliknya,
kalau tidak terpenuhi, datanglah kekecewaan.
Bi Houw yang ambisius dan penuh harapan muluk itu, tentu saja
tenggelam ke dalam lautan kekecewaan karena ia sama sekali
tidak diperdulikan oleh Kaisar Thai Cung. Bahkan kaisar itu
agaknya sudah lupa akan peristiwa yang terjadi di pagi hari dalam
kamar mandi permaisuri itu.
Betapapun ia memancing dengan kerling dan senyum kalau
kebetulan ia bertemu dengan kaisar, Kaisar Thai Cung sama
sekali tidak nampak bahwa dia teringat atau mengenalnya!
Di dalam kamarnya, Bi Houw hanya dapat menangis karena sesal
dan kecewa. Apa lagi ia sudah terlanjur pamer kepada para
dayang lain bahwa ia telah mendapat "anugerah" dari kaisar di
pagi hari itu! Ia telah membisikkan kepada para dayang lainnya
bahwa sebentar lagi ia akan naik derajatnya dan menjadi seorang
di antara Selir Terhormat! Dan kenyataannya sungguh amat
pahit, tidak semanis yang dibayangkan dan diharapkannya.
Akan tetapi, gadis remaja ini tidak menjadi putus asa. Maklum
bahwa ia tidak dapat mengharapkan kenaikan derajat dari kaisar,
iapun segera membuang harapan hampa itu dan matanya mulai
mengerling ke arah yang lain lagi.
Pangeran Mahkota! Pangeran itu masih seorang pemuda,
tampan, gagah dan tentu saja jauh lebih menarik sebagai pria
dibandingkan ayahnya, Sang Kaisar. Pangeran Mahkota itulah
82 merupakan orang kedua sesudah kaisar yang paling tinggi
kedudukannya di seluruh negeri.
Mulailah Bi Houw mengatur diri, mengatur lagak dan melaburi diri
dengan daya pikat yang menarik, dan iapun menggunakan segala
daya kecerdikannya untuk menyelidiki dan mempelajari
kebiasaan Pangeran Mahkota.
Pangeran Mahkota yang kemudian menjadi Kaisar Kao Cung itu
adalah seorang pemuda yang tampan dan suka pelesir. Sejak
kecil dia memang dimanja dan berkecimpung di dalam
kesenangan dan kemewahan. Apa saja yang dikehendakinya
tentu terpenuhi! Sungguh amat merugikan perkembangan jiwa seseorang kalau di
waktu kecil dia dimanjakan oleh keadaan. Justeru kepahitan
keadaan hidup, seperti jamu merupakan gemblengan yang
mematangkan batin. Sebaliknya, kesenangan yang berlimpahan
bahkan membius batin dan menumpulkan akal karena jarang
dipergunakan untuk mengatasi kesulitan hidup.
Tempat tinggal Pangeran Mahkota merupakan bagian kompleks
istana keluarga Kaisar di bagian kiri, bersambung dengan istana
induk melalui sebuah jembatan dan taman indah. Di jembatan
inipun, seperti juga di jalan masuk ke istana induk dari manapun
juga, siang malam dijaga oleh pengawal thai-kam (laki-laki kebiri)
demi keselamatan kaisar. Dengan mempergunakan suapan berupa barang-barang
berharga, Bi Houw berhasil menarik kepercayaan seorang
pengawal Thai-kam sehingga ia dapat dengan leluasa
83 menggunakan jembatan itu dan diperbolehkan keluar masuk
taman yang merupakan perbatasan antara istana induk dan
istana Pangeran Mahkota. Pada hal, sebagai dayang atau
pelayan keluarga kaisar yang bertugas di istana induk, ia tidak
dibenarkan untuk melewati jembatan ini dan masuk ke daerah
tempat tinggal Pangeran Mahkota.
Bi Houw juga menyelidiki kebiasaan Pangeran Mahkota dan
mendengar bahwa satu di antara kebiasaan Pangeran Mahkota
adalah duduk termenung di dalam taman mawar yang berdekatan
dengan jembatan dan taman penghubung itu. Pangeran Mahkota
itu, setelah bosan dan lelah bersenang-senang dengan gadisgadis cantik bahkan bermain-main dengan wanita-wanita pelacur
di luar istana, kadang-kadang suka menyendiri di dalam taman
mawar, termenung dan menikmati hawa segar sejuk dan suasana
hening. Dalam keadaan seperti itu, dia selalu menyendiri, tidak mau
ditemani pengawal atau dayang. Setelah dayang membawakan
minuman dan makanan, biasanya anggur manis dan makanan
kecil, dayang lalu diperintahkannya untuk pergi meninggalkannya
seorang diri. Dalam keadaan menyendiri itu, Pangeran Mahkota
merasa aman tenteram dan kadang-kadang keadaan menyendiri
itu dia pergunakan untuk membaca kitab, baik kitab
kesusasteraan, catatan sejarah maupun kitab tentang
ketatanegaraan yang amat penting baginya.
Pada suatu senja yang indah. Angin semilir lembut
mendatangkan hawa yang sejuk segar. Matahari menjelang
terbenam, cahayanya sudah lembut lunak dan di langit bagian
84 timur nampak awan terbakar dengan sinar merah dengan latar
belakang kebiruan dan di sana-sini nampak awan berpita perak
berkilauan. Pangeran Mahkota memasuki taman mawar sambil membawa
kitab yang sudah dibukanya dan dibacanya sambil melangkah
perlahan-lahan, menuju ke tengah taman di mana terdapat kolam
ikan emas dan bangku yang menjadi tempat yang amat
disukainya untuk duduk menyendiri. Memang nyaman sekali
duduk di bangku yang halus itu, di dekat kolam di mana ikan-ikan
emas merah, kuning dan putih berenang, dengan gaya indah,
dikelilingi bunga-bunga mawar yang sedang mekar semerbak
mengharum, dengan kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya,
pohon-pohon di sana-sini yang mulai disibuki oleh suara burung
yang pulang sarang. Putera Mahkota yang berusia tigapuluhan tahun itu memang
tampan dan pada senja itu dia mengenakan pakaian sutera
kuning yang longgar dan indah. Ketika dia melangkah lambat
menuju ke tengah taman, tiba-tiba dia menurunkan kitabnya dan
berhenti melangkah. Dia mendengar suara yang lain dari pada
biasanya. Biasanya, suara yang terdengar di taman itu kalau dia
memasukinya hanyalah suara teriakan burung-burung yang
beterbangan pulang sarang, sesampainya di pohon mereka ini
membuat gaduh dengan suara cecowetan sibuk sekali. Akan
tetapi sekali ini, di antara suara burung-burung, dia mendengar
suara manusia. Suara wanita yang sedang membaca sajak
dengan nyanyian sederhana namun merdu bukan main, agaknya
85 terdengar aneh dan merdu sekali di taman yang sunyi itu.
"......amboi burung murai warna bulumu memang suaramu memang merdu gemilang,
nan indah malang, cemerlang, namun sayang...... percuma engkau merindukan burung Raja di antara segala bagimu dia terlampau agung......."
Hong, burung, Di taman yang indah itu, dalam suasana yang sunyi dari senja
yang mengambang, suara itu terdengar aneh dan merdu sekali.
Hati Pangeran Mahkota itu sudah tertarik sekali, dan jantungnya
berdebar penuh keinginan tahu siapa gerangan wanita yang
dapat bernyanyi semerdu itu di dalam taman mawar pribadinya.
Suara itu datang dari arah kiri, maka diapun tidak jadi menuju ke
kolam ikan, melainkan ke pondok ungu yang berada di sebelah
kiri taman. Pondok ungu ini adalah pondok kecil di mana dia suka menghibur
diri di waktu musim panas, ditemani beberapa orang dayang atau
selirnya. Biarpun dia belum memiliki isteri, namun Pangeran
Mahkota ini sudah memiliki beberapa orang selir.
Akhirnya Pangeran Mahkota menemukan wanita yang tadi
membaca sajak dengan suara nyanyian sederhana namun merdu
itu. Ia seorang gadis berpakaian dayang. Seorang di antara para
dayang ayahnya! Akan tetapi, sungguh seorang gadis remaja
86 yang bukan main! Hati pangeran itu memang sudah tertarik oleh
suara tadi. Kini melihat orangnya, dia terpesona!
Dan memang Bi Houw sudah memperhitungkannya dengan
masak-masak, berdasarkan penyelidikannya. Ia mendengar
betapa sang pangeran itu seringkali menyatakan rasa muak
terhadap para wanita yang mengelilinginya, yang berlomba untuk
menarik perhatiannya dengan dandanan yang mewah, dengan
riasan muka yang seperti boneka digambar!
Karena itu, dalam kesempatan yang sudah termasuk rencana
siasatnya ini, Bi Houw mengenakan pakaian yang sederhana,
pakaian dayang yang tidak mewah namun bersih dan rapi.
Nampak jelas betapa ia segar dan cerah, karena baru saja ia
mandi air dingin yang dicampur air mawar dan seluruh tubuhnya
digosoknya keras-keras sehingga baik muka dan tangannya
nampak masih kemerahan seperti kulit seorang bayi yang montok
dan mungil. Ketika pangeran menghampiri tempat itu, ia pura-pura tidak tahu
dan sedang mengejar kupu-kupu dengan gerakan yang lincah,
jenaka dan penuh kelembutan wanita, berjalan berjingkat dengan
lenggang lenggok lemah gemulai ia menghampiri seekor kupukupu yang hinggap di setangkai bunga.
Melihat ini, Pangeran Mahkota berhenti melangkah, memandang
sambil menggagumi gerak pinggul gadis remaja itu ketika
berindap menghampiri kupu-kupu itu. Ditangkapnya kupu-kupu itu
dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu gadis itu duduk di atas
87 bangku, membelakangi Pangeran Mahkota dan terdengar
suaranya lirih manja, namun terdengar jelas oleh sang Pangeran.
"Kupu-kupu yang tampan, engkau memang seksi sekali,
bersenang-senang dari bunga ke bunga lain, tanpa
memperdulikan aku bunga yang kesepian menanggung rindu,
haus akan jamahan dan belaianmu. Aih, kupu-kupu, sakit hatiku,
ingin rasanya aku merobek sayapmu agar engkau tidak mampu
terbang lagi hinggap di bunga-bunga yang lain. Akan tetapi aku
tidak tega, kupu-kupu, aku tidak tega, karena aku terlalu
mencintaimu! Aih, kupu-kupu, engkau pangeran yang agung
sedangkan aku...... aku hanya dayang......"
Gadis itu bangkit, melepaskan kupu-kupu itu terbang kegirangan,
lalu ia membalik dan...... pada saat itu ia melihat Pangeran
Mahkota berdiri di depannya.
"Oohhhhh.......!" Ia mengeluh ketakutan dan cepat ia menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki sang pangeran, memberi hormat
sampai dahinya menyentuh tanah.
"Ampun, pangeran...... ampunkan hamba, karena hamba tidak
tahu bahwa paduka berada di sini........" kata Bi Houw dengan
suara gemetar namun terdengar amat merdu.
"Murai yang mungil. jangan takut, aku tidak marah kepadamu.
Bangkitlah!" "Hamba...... hamba tidak berani......" Bi Houw berkata dengan
gemetar. 88 Pangeran Mahkota tersenyum, lalu menjulurkan tangan
kanannya, memegang lengan Bi Houw dan menariknya bangkit
berdiri. Gadis itu berdiri, tinggi badannya hanya sampai ke
pundak pangeran itu dan ia menundukkan mukanya sampai
dagunya menekan leher. Dengan lembut sang pangeran menggunakan ibu jari dan telunjuk
kanannya, memegang ujung dagu gadis itu dan menarik dagu itu
ke atas agar dia dapat menatap wajah itu. Dan jantungnya
berdenyut keras saking girangnya. Sebuah wajah yang amat
cantik manis, jelita dan segar! Sejenak dia mengamati wajah yang
amat menggairahkan itu biarpun Bi Houw memejamkan kedua


matanya. "Manis, bukalah matamu, aku ingin melihatnya," bisik sang
pangeran dan ketika Bi Houw membuka kedua matanya,
pangeran itu seperti melihat sepasang bintang yang
mempesonakan! Dari sepasang mata itu memancar cahaya yang
demikian lembut, demikian dalam dan demikian menantang,
mengandung janji sejuta kemesraan dan kehangatan dan
Pangeran Mahkota itupun jatuhlah!
"Engkau cantik jelita...... siapakah namamu?"
"Hamba...... hamba Bi Houw......"
"Bagaimana engkau bisa berada di sini, pada hal engkau seorang
dayang dari induk istana, bukan?"
"Ampunkan hamba, hamba...... amat terpesona oleh keindahan
mawar di sini, ketika penjaga lengah, hamba menyelinap
89 masuk...... Hamba lupa diri ketika berada di sini, Mohon ampun,
Pangeran......" "Bi Houw, engkau tadi mengumpamakan kupu-kupu, pangeran.
Siapakah yang kau maksudkan" Dan engkau mengumpamakan
dirimu murai kecil, dan siapa pula burung Hong itu" Hayo jawab
sejujurnya, baru aku mau mempertimbangkan apakah
kelancanganmu ini patut diampuni atau tidak," kata Pangeran
Mahkota sambil tersenyum menggoda.
Bi Houw pura-pura ketakutan. "Ampunkan hamba...... ampunkan
kelancangan hamba...... burung Hong itu...... dia adalah
pangeran...... dan pangeran itu...... ah, pangeran itu......"
"Hayo katakan, siapa pangeran itu"! Kalau tidak berterus terang,
akan kupanggil pengawal agar engkau dihukum cambuk!"
Pangeran Mahkota mengancam sambil tersenyum.
Bi Houw tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki
pangeran itu. "Ampunkan hamba, pangeran. Pangeran......
pangeran itu...... ah, beliau adalah...... paduka......! Ampunkan
hamba......" Pangeran Mahkota tertawa bergelak, senang sekali hatinya.
"Aku" Jadi akukah yang membuat engkau rindu" Ha-ha-ha, nah,
aku sudah berada di sini, hendak kulihat sampai di mana
kebenaran pengakuanmu bahwa engkau rindu dan cinta
kepadaku!" Dia membungkuk, mengangkat tubuh yang mungil itu,
memondongnya dan membawa Bi Houw memasuki pondok ungu!
90 Bi Houw dengan amat cerdiknya dapat berlagak seperti seorang
gadis remaja yang masih hijau, canggung, namun penuh dengan
cinta kasih, penuh kemesraan, kehangatan dan kepasrahan.
Namun, di balik itu, biarpun secara halus, ia menyambut
pernyataan cinta pangeran itu dengan gairah yang panas
menggebu, yang membuat Pangeran Mahkota itu merasa bahwa
selama hidupnya baru sekali itulah dia bertemu dengan seorang
gadis perawan yang membuat dia merasa seorang jantan sejati!
Dan pada senja hari itupun hati Pangeran Mahkota telah jatuh
cinta! Dia bukan sekedar iseng, melainkan benar-benar terpikat
dan melekat, jatuh cinta secara mendalam kepada Bi Houw atau
Bu Houw. Dan semenjak pertemuan yang pertama kali itu,
mereka berdua dengan hati-hati seringkali mengadakan
pertemuan di taman itu dan menumpahkan perasaan cinta kasih
masing-masing dengan penuh kemesraan!
Demikian pandainya Bi Houw membawa diri sehingga Sang
Pangeran Mahkota merasa yakin bahwa gadis remaja jelita itu
benar-benar mencintanya dengan segenap jiwa raganya, bukan
seperti wanita lain yang hanya mengharapkan agar terangkat
derajatnya kalau dapat berhubungan dengan dia. Dianggapnya
bahwa Bi Houw sebagai seorang wanita, mencinta dia sebagai
seorang pria! Dan diapun jatuh benar-benar, dan mengambil keputusan untuk
menjadikan Bi Houw sebagai isterinya, bahkan permaisurinya
kelak! 91 Ketika Kaisar Tang Thai Cung meninggal dunia dalam tahun 649,
maka diangkatlah Pangeran Mahkota sebagai kaisar baru, dan
berjuluk Kaisar Tang Kao Cung.
Dan kini terjadilah hal yang amat berbahaya bagi Bi Houw atau
Bu Houw. Memang benar bahwa Kaisar Tang Kao Cung yang
baru memenuhi janjinya, yaitu dia hendak mengangkat Bu Houw
menjadi Permaisuri. Akan tetapi, para pejabat tinggi di istana
memperingatkan Kaisar Tang Kao Cung bahwa menurut catatan
dalam istana, Bu Houw adalah seorang dayang yang pernah
digauli oleh mendiang Kaisar Tang Thai Cung! Tentu saja catatan
istana ini ada karena kesalahan Bu Houw sendiri yang
memamerkan "kehormatan" atau anugerah yang diterimanya dari
Kaisar Tang Thai Cung dahulu ketika ia digauli di dalam kamar
mandi Permaisuri di suatu pagi.
Menurut peraturan istana, dayang yang sudah digauli kaisar itu,
setelah kaisar meninggal dunia, haruslah melanjutkan
kehidupannya sebagai seorang nikouw (pendeta wanita) dalam
wihara Buddha selama hidupnya! Pada waktu itu, Agama Buddha
sedang berkembang dengan pesat dan diakui oleh pemerintah
sehingga memiliki pengaruh yang besar. Sebagai seorang isteri,
walaupun hanya berkedudukan dayang namun sudah digauli
kaisar, maka Bu Houw harus pula berkabung dengan cara hidup
dalam biara itu sebagai seorang pendeta yang setiap hari hanya
berdoa dan tidak boleh berhubungan dengan orang lain apa lagi
dengan pria! Akan tetapi, Kaisar Tang Kao Cung sudah terlalu mencinta Bu
Houw sehingga diam-diam kaisar ini memerintahkan agar Bu
92 Houw dilindungi dan diperlakukan dengan hormat dan baik.
Bahkan ia dibebaskan dari keharusan menggunduli kepalanya.
Setelah tiga tahun lewat, yaitu waktu yang dianggap sebagai
masa berkabung telah habis, secara diam-diam Bu Houw
dipindahkan dari dalam wihara ke dalam istana induk dan
bertentangan dengan nasihat para menteri, Kaisar Tang Kao
Cung memaksakan kehendaknyan untuk menikah dengan Bu
Houw dan mengangkatnya sebagai Permaisuri!
Nafsu yang menguasai diri manusia ibarat api. Makin diberi
umpan, makin diberi jalan, bukan menjadi kenyang dan puas
bahkan menjadi semakin murka! Makin diberi semakin kelaparan
dan kehausan! Ketika masih menjadi seorang dayang, Bu Houw bercita-cita
untuk diangkat menjadi selir, kemudian cita-citanya meningkat
untuk menjadi permaisuri. Biarpun harapannya terhadap
mendiang Kaisar Tang Thai Cung gagal, namun ia berhasil baik
dalam memikat Pangeran Mahkota sehingga ia berhasil
menundukkan pangeran itu dan setelah pangeran itu menjadi
Kaisar Tang Kao Cung, iapun terpenuhi cita-citanya dan diangkat
menjadi Permaisuri. Apakah ini merupakan tujuan terakhir dari
ambisinya" Sudah puaskah nafsu keinginannya"
Jauh dari pada puas! Nafsu takkan pernah mengenal puas, tak
pernah mengenal titik tujuan terakhir selama si manusianya
masih hidup! Bagaikan api, takkan padam selama bahan yang
dibakarnya masih ada. 93 Setelah diangkat menjadi Permaisuri, Bu Houw hanya merasa
puas sementara saja, untuk kemudian nafsunya kembali berkobar
untuk mencapai kekuasaan yang tertinggi! Dan agaknya
ambisinya inipun mendatangkan harapan karena Kaisar Tang
Kao Cung agaknya benar-benar tak berdaya menghadapi
permaisurinya ini. Kaisar Tang Kao Cung menjadi jinak dan lunak, tunduk dan taat
kepada permaisurinya! Kaisar ini tanpa merasa dijadikan
semacam boneka hidup oleh permaisurinya.
Mulailah Bu Houw mencampuri urusan kenegaraan, bahkan ia
kini dikenal sebagai Bu Cek Thian, Permaisuri Agung yang
berkuasa penuh sesudah Kaisar! Para menteri merasa khawatir
sekali, namun tak seorangpun mampu mengingatkan kaisar, dan
kekuasaan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.
Setelah memperoleh kekuasaan besar dan Kaisar selalu menuruti
semua kehendaknya, bahkan mulai mematuhi nasihat-nasihatnya
mengenai bidang pemerintahan, Bu Cek Thian tetap saja tidak
merasa puas. Ada satu hal yang membuat ia merasa hidupnya
tidak lengkap, bahkan merana! Suaminya, Sang Kaisar yang
terlampau memanjakan nafsu berahi ketika masih muda, kini
menjadi seorang suami yang lemah dan sama sekali tidak dapat
menandingi dan memuaskan gairah berahinya yang menggebu
dan berkobar. Hal ini membuat Bu Cek Thian yang sudah tercapai apa yang
diharapkannya itu merasa sengsara! Mulailah ia membentuk
pasukan pengawal yang terdiri dari para pria kebiri dan juga
94 wanita-wanita perkasa dari orang-orang yang dapat dipercayanya, dan yang sudah bersumpah setia kepadanya.
Dengan demikian, maka selain keamanannya selalu terjamin
karena selalu ada sekelompok pengawal yang menjaganya, juga
melalui para pengawal yang dipercaya ini, ia dapat apa saja
secara rahasia karena kelompok pengawal ini menjaga agar
rahasianya tidak sampai diketahui orang lain.
Setelah ia melihat kesetiaan dan kecerdikan seorang di antara
para dayangnya yang bernama Siangkoan Wang-ji, ia menarik
wanita ini sebagai dayang pribadi. Kepada Siangkoan Wang-ji
inilah ia menumpahkan semua perasaan dan kekecewaannya,
dan atas nasehat dayang setia ini pula Bu Cek Thian mulai
melakukan penyelewengan untuk memuaskan gairah berahinya
yang bernyala-nyala. yang tak terpuaskan oleh Kaisar Tang Kao
Cung, suaminya yang dianggapnya kurang jantan dan loyo.
Melalui Siangkoan Wang-ji sebagai perantara, secara bergiliran,
dengan perlindungan kelompok pengawal pribadi, mulailah
diselundupkan dua orang perwira istana, kakak beradik yang
bernama Thio Jiang Tiong dan Thio I Ci. Mereka adalah dua
orang perwira muda yang tampan dan gagah.
Tentu saja dua orang kakak beradik ini merasa seperti kejatuhan
rembulan. Mereka tidak berani membuka rahasia dan diam-diam
menikmati "anugerah" dari Sang permaisuri itu. Mereka
mendapatkan seorang wanita yang matang dan cantik jelita, yang
menyambut mereka secara bergiliran dengan gairah yang panas,
mereka mendapatkan pula hadiah-hadiah yang berharga dan
tentu saja mereka merasa terhormat.
95 Di samping itu, mereka juga tentu takut sekali kalau sampai
rahasia itu ketahuan oleh Kaisar. Maka, tanpa diperintah lagi,
untuk mempertahankan kenikmatan dan keuntungsan itu, juga
untuk menyelamatkan diri, mereka itu menutup mulut dan tidak
pernah membocorkan rahasia itu.
Demikianlah riwayat singkat dari Permaisuri Bu Cek Thian yang
pada waktu, biarpun tidak secara terbuka dan sah, merupakan
orang yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan.
Bukan hanya untuk urusan pemerintahan, juga di dalam istana,
ialah yang memegang kuasa penuh. Hanya kadang-kadang saja
Kaisar Tang Kao Cung memperlihatkan sikap yang
sesungguhnya, sikap seorang kaisar dan seorang suami, namun
pada akhirnya, dialah yang kalah pengaruh dan tunduk kepada
kemauan Sang Permaisuri. Diri permaisuri itu diliputi penuh rahasia. Para pejabat tinggi yang
setia kepada kaisar, mencemaskan keadaan itu, apa lagi setelah
akhir-akhir ini timbul pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap
beberapa orang pejabat tinggi dan pengeran, para menteri yang
setia menjadi semakin gelisah. Akan tetapi, para pejabat tinggi
yang "terpakai" oleh Bu Cek Thian, yang dipilih menjadi orangorang yang dipercaya oleh Sang Permaisuri, tentu saja tidak
merasa cemas, bahkan diam-diam mereka merasa girang sekali
karena kepercayaan Sang Permaisuri kepada mereka membuat
derajat dan kekuasaan mereka terangkat naik.
Demikian besar kekuasaan Bu Cek Thian atas diri kaisar
sehingga namanya terkenal di dalam sejarah. Apa lagi setelah ia
96 melahirkan seorang putera, kekuasaannya menjadi semakin
besar dan Kaisar semakin tunduk kepadanya.
Hanya Bu Cek Thian atau Bu Houw atau dahulu disebut Bi Houw
yang tahu, siapakah sebenarnya ayah kandung Pangeran Tiong
Cung itu! Tentu saja bagi kaisar sendiri dan umum, menganggap
hahwa pangeran itu adalah putera kandung Kaisar Tang Kao
Cung! Akan tetapi, sebelum melahirkan pangeran itu, diam-diam
Bu Cek Thian yang sudah merasa tidak puas dengan suaminya,
telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang pria yang
diselundupkan secara rahasia dari luar istana bagian puteri.
Bahkan seorang di antara mereka itu, termasuk seorang tukang
taman muda she Ma yang kemudian tewas secara aneh karena
suatu penyakit perut yang mendadak.
Dan melihat betapa hidung pangeran Tiong Cung yang besar itu
serupa benar dengan bentuk hidung mendiang penjaga taman
Ma, diam-diam Bu Cek Thian sendiri menduga bahwa mungkin
tukang taman itulah ayah kandung puteranya yang sebenarnya.
Kalau tadinya masih ada menteri yang suka memperingatkan
kaisar terhadap Bu Cek Thian, setelah wanita itu melahirkan
putera yang menjadi pangeran mahkota, tentu saja tidak ada lagi
yang berani mencela wanita itu di depan kaisar atau siapapun
juga. Kekuasaan Bu Cek Thian sebagai lbu Suri amatlah
besarnya, dan sekali Ibu Suri ini menudingkan telunjuknya, siapa
saja, tidak perduli betapapun besar kedudukannya, akan
ditangkap, dihukum buang ataupun dihukum mati!
97 Ketika terjadi pembunuhan-pembunuban rahasia yang menggelisahkan Kaisar, Bu Cek Thian juga menjadi gelisah dan
permaisuri ini yang mengusulkan kepada kaisar untuk mengutus
Cian Ciang-kun, yaitu Cian Hui yang terkenal sebagai seorang
detektip ulung dan pandai itu, untuk malakukan penyelidikan dan
membongkar rahasia pembunuhan yang menggelisahkan itu.
Semua pejabat pemerintah, terutama sekali yang berkedudukan
tinggi, menduga-duga siapakah pembunuh misterius itu, dan
siapa pula yang berdiri di belakangnya. Memang sukar untuk
menduga dan keadaannya membingungkan sekali.
Kalau yang terbunuh itu hanya orang-orang yang dekat dengan
kaisar misalnya, tentu akan timbul dugaan bahwa pembunuh
misterius dan pengaturnya tentulah orang yang tidak suka kepada
kaisar dan orang yang ingin memereteli kekuasaan kaisar dengan


menyingkirkan mereka yang membantu kaisar dan yang setia
kepada kaisar. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak pula
pejabat tinggi yang terkenal anti dengan kebijaksanaan kaisar,
yang bahkan condong membela dan mendukung kebijaksanaan
Ibu Suri atau Permaisuri, juga terbunuh!
"Y" "Ih, kenapa rumahmu sesunyi ini, Cian Ciang-kun" Engkau
seorang pejabat yang penting dan berpengaruh di kota raja, akan
tetapi rumahmu yang besar ini amat sunyi. Aku hanya melihat
beberapa orang pelayan saja di luar tadi dan di dalamnya begini
sunyi dan lengang!" kata "nenek" tua itu yang bukan lain adalah
Liong-li yang menyamar sebagai seorang nenek tua ketika
98 memasuki kota raja bersama Cian Hui. Ucapan itu keluar dari
mulutnya ketika ia bersama tuan rumah itu sudah memasuki
rumah gedung milik Cian Hui, dan mereka tiba di ruangan dalam,
duduk berdua saja menghadapi sebuah meja marmer bundar.
Cian Ciang-kun menarik napas panjang, pria berusia empatpuluh
tahun itu merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan
itu. Ucapan yang amat tepat karena betapa seringnya dia
merasakan kesunyian yang mencekam itu apa bila dia berada di
dalam rumahnya. Begitu terasa kehilangan besar itu, kehilangan
isteri dan anaknya, membuat dia merasa kesepian dan tidak
berarti. Hanya kalau dia berada di luar rumahnya, sedang
melakukan tugas, dia bebas dari rasa kesepian itu.
Memang hati dan akal pikiran ini selalu membutuhkan sesuatu
untuk ditempel atau diikat. Kalau ada sesuatu yang dimiliki,
barulah diri merasa ada artinya! Makin penting yang dimilikinya
itu, makin berharga, akan semakin besar pula arti diri. Baik yang
dimiliki itu berupa kedudukan, nama besar, harta benda,
kepercayaan, atau orang-orang yang dicinta, apa saja yang
mendatangkan kesenangan, maka hidup seakan-akan baru ada
artinya karena membutuhkan dan dibutuhkan!
Inilah sebabnya, ikatan inilah yang mendatangkan rasa kecewa,
sakit dan duka kalau kita ditinggalkan sesuatu yang kita miliki dan
kita senangi itu, entah itu nama besar, kepopuleran, harta benda,
orang yang disenangi, atau apa saja. Si-aku baru berarti dan
"hidup" apa bila ada yang ditempeli atau diikatnya. Makin banyak
ikatan, akan semakin hidup dan berarti rasanya! Kita lupa bahwa
semua yang kita anggap, sebagai milik itu hanyalah aku-akuan
99 saja, hanya sementara saja seolah-olah hanya dipinjamkan dan
sekali waktu pasti akan berpisah dari kita."
"Aihh, habis mau bagaimana lagi, Li-hiap" Aku adalah seorang
duda, kehilangan anak isteri. Dan untuk keperluanku seorang diri
saja, cukup dengan bantuan dua orang pelayan pria dan seorang
pelayan wanita yang kau lihat tadi," kata Cian Hui.
Liong-li tersenyum dan karena ia tersenyum wajar, bukan senyum
buatan sebagai pelengkap penyamaran, maka "nenek" itu kini
nampak manis sekali! "Cian Ciang-kun, engkau seorang yang pandai dan cerdik,
mengapa bicaramu seperti seorang kakek-kakek yang lemah dan
putus asa saja" Engkau masih muda, engkau jantan dan gagah
menarik, memiliki kedudukan yang baik, tidak kekurangan harta
benda, juga berilmu, pandai ilmu silat dan juga menjadi seorang
penyelidik yang terkenal. Kalau engkau kehendaki. banyaklah
gadis cantik jelita yang ingin dan suka sekali menjadi isterimu.
Engkau tinggal pilih saja dan kalau engkau mempunyai seorang
isteri lagi, besar harapan engkau mempunyai keturunan dan
membangun sebuah keluarga baru di dalam rumahmu ini."
"Ah, cukuplah, Li-hiap. Apa yang kau ucapkan itu sudah
diucapkan pula oleh banyak sahabatku. Dan akupun pernah
mencoba untuk memilih-milih seorang wanita sebagai pengganti
isteriku. Namun sampai sekarang belum juga berhasil! Kalau
bukan ada sesuatu pada dirinya yang tidak kusenangi, atau ada
suatu sikapnya yang tidak cocok denganku, tentu ia seorang yang
100 kuanggap terlalu muda bagiku. Ahhh, semua usahaku sia-sia dan
aku menjadi putus asa. Biarlah, aku tinggal menduda saja.
"Dan bagaimana dengan dirimu, Li-hiap" Jangan engkau hanya
menasihati aku saja. Lihat dirimu! Engkau seorang yang cantik
jelita, berilmu tinggi, kaya raya. Namun engkau tinggal
membujang, tidak berumah tangga, tidak bersuami. Pada hal
mencari seorang wanita seperti engkau ini di dunia hanya dapat
dihitung dengan jari tangan saja! Kalau ada seorang wanita yang
sepersepuluhmu saja baiknya, tentu aku sudah menikah lagi!"
"Ih, ngawur! Engkau terlalu memujiku dan merendahkan dirimu
sendiri, Ciang-kun. Terus terang saja, akupun amat kagum dan
suka padamu. Seperti engkau inilah seorang di antara para pria
yang kuanggap hebat untuk dijadikan suami."
SEPASANG mata perwira itu terbelalak.
"Be.... benarkah itu, li-hiap" Benarkah kata-katamu itu" Aduh,
kalau saja engkau suka dan mau, ah, kalau saja engkau dapat
hidup di rumahku ini sebagai teman hidupku selamanya, sebagai
isteriku, akan sempurnalah hidup ini!"
"Huh, melantur kau, Ciang-kun! Aku tidak mau terikat menjadi
isteri siapapun, kalau menjadi teman baik sekali mungkin......
akan tetapi sudahlah, kelak saja kita bicara tentang urusan
pribadi. Kita menghadapi tugas penting yang harus kita
selesaikan. Nah, sekarang engkau harus mencarikan jalan bagiku
agar aku dapat menyelundup ke dalam istana sebagai seorang
gadis dusun yang menjadi seorang dayang, pelayan atau apa
saja, Ciang-kun." 101 Cian Hui menarik napas panjang. Hatinya dipenuhi harapan
muluk! Kalau saja wanita ini dapat menjadi isterinya! Liong-li
telah, berterus terang mengatakan bahwa ia kagum dan suka
kepadanya, dan suka pula menjadi teman baiknya. Seorang
wanita yang bukan main! Hebat!
"Baiklah, li-hiap. Aku akan menghubungi sahabatku yang boleh
dipercaya dan yang bertugas di dalam istana agar engkau dapat
diselundupkan di sana. Hal itu mungkin akan makan waktu duatiga hari dan sementara itu, harap engkau suka tinggal dulu di
sini. Selama aku pergi, anggaplah ini rumahmu sendiri, li-hiap.
Tiga orang pelayanku akan kupesan agar mereka mentaati
semua perintahmu." "Tidak perlu sungkan, Ciang-kun. Asal aku mendapatkan sebuah
kamar di sini sudahlah cukup dan tiga orang pelayanmu bahkan
jangan mendatangi kamarku kalau tidak kupanggil. Kalau aku
membutuhkan sesuatu, aku akan memanggil seorang di antara
mereka. Akupun tidak bisa tinggal diam saja. Selagi engkau
mencari hubungan dengan orang dalam istana itu, akupun akan
menggunakan waktu dua-tiga hari ini untuk melakukan
penyelidikan, terutama di waktu malam, dengan jalan meronda.
Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengan Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis)!" Cian Hui mengangguk-angguk. "Baiklah, Li-hiap, akan tetapi
harap engkau berhati-hati karena menurut berita yang kuperoleh,
Si Bayangan Iblis itu lihai bukan main dan dapat bergerak seperti
iblis saking cepatnya."
102 Malam hari itu, setelah cuaca gelap sesosok bayangan hitam
berkelebat di atas wuwungan rumah gedung tempat tinggal Cian
Ciang-kun. Tiga orang pelayan perwira itu sama sekali tidak
melihat bayangan itu, tidak tahu bahwa bayangan itu adalah
bayangan "nenek" yang menjadi tamu tuan mereka.
Memang Liong-li tidak ingin ada orang melihatnya ketika ia mulai
melakukan penyelidikan di kota raja. Ia mengenakan pakaian
serba hitam dan sengaja menutup mukanya dengan saputangan
hitam, hanya nampak sepasang matanya saja yang jeli
mencorong tajam. Rambutnya juga ditutup kain hitam, bahkan
pedang pusaka Hek-liong-kiam yang biasanya tidak pernah
berpisah darinya, pada saat itupun tidak dibawanya dan
disembunyikan di suatu tempat yang aman.
Hal ini menunjukkan bahwa Liong-li tidak ingin ada orang
mengetahui bahwa si topeng hitam itu adalah Hek-liong-li! Hal ini
penting sekali. Ia akan menyelundup ke dalam istana dan biarpun
ia menyelundup sambil menyamar, akan tetapi siapa tahu pihak
lawan bermata tajam dan lihai. Pendeknya, jangan sampai lawan
mengetahui bahwa yang kini sedang bergerak di kota raja
membantu Cian Ciang-kun adalah Hek-liong-li. Bergerak secara
rahasia begini ia akan dapat merasa lebih leluasa.
Setelah berhasil keluar dari rumah besar itu, tubuhnya berkelebat
dengan cepatnya menembus kegelapan malam dan kalau tidak
kebetulan ada orang lain yang berada di dekatnya, tentu tidak
akan nampak jelas bayangan hitam yang berkelebatan itu. Dan
mungkin saja ia yang akan dikira tokoh yang biasa diberi sebutan
Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) karena memang gerakannya itu
103 seperti beterbangan saja saking cepatnya. Dan iapun tidak
melalui jalan yang ramai, melainkan menyelinap dan menyusup di
balik pohon dan rumah, kadang-kadang kalau terpaksa melalui
bagian yang ramai ia melompat ke atas wuwungan rumah dan
berloncatan dari genteng rumah yang satu ke rumah yang lain.
Demikianlah, semalam itu Liong-li melakukan perondaan. Ia
melihat betapa banyaknya orang yang berkeliaran secara
rahasia, maka iapun kagum melihat cara Cian Ciang-kun bekerja.
Tidak salah lagi, orang-orang yang berkeliaran dan berjaga-jaga
di segala tempat itu, tentulah anak buah yang disebar oleh Cian
Ciang-kun! Ia telah mendekati pula tembok pagar istana yang dijaga ketat.
Alangkah kuatnya penjagaan di sana dan seekor burungpun
kalau terbang lewat akan ketahuan penjaga, apa lagi seorang
manusia. Agaknya, tidak akan mungkin kalau ia harus memasuki
kompleks istana di balik pagar itu tanpa diketahui penjaga. Ia
hanya mengelilingi kompleks istana itu dari luar pagar tembok.
Hal inipun harus ia lakukan dengan hati-hati sekali karena di luar
pagar tembokpun penjagaan amat ketatnya.
Tidak ada terjadi sesuatu yang menarik malam itu. Kecuali
memergoki beberapa orang yang mencurigakan dan ketika ia
bayangi ternyata mereka itu hanyalah maling-maling biasa yang
mencari korban di malam itu, dan yang ia biarkan saja karena
tidak ada hubungannya dengan tugasnya, ia tidak melihat
sesuatu yang dapat dihubungkan dengan Kwi-eng-cu. Dengan
hati agak kecewa dan penasaran, menjelang pagi Liong-li kembali
ke rumah Cian Ciang-kun dan memasuki kamarnya tanpa
104 diketahui tiga orang pelayan. Iapun tidak tahu apakah Cian Hui
sudah berada di dalam kamarnya.
Pada siang harinya Liong-li keluar dari dalam kamarnya. Ia telah
mandi dan makan sarapan pagi yang ia minta dari seorang
pelayan wanita. Mendengar suaranya, Cian Ciang-kun segera
datang menemuinya. Perwira itupun kelihatan lelah seperti orang
yang kurang tidur. Begitu bertemu, Cian Hui mempersilakan
Liong-li duduk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam
setelah pelayan menghidangkan minuman dan mengundurkan
diri tanpa diperintah. "Bagaimana hasil penyelidikanmu semalam, li-hiap?"
Liong-li mengangkat muka, sepasang mata yang tajam di balik
penyamaran wajah nenek keriput itu menatap wajah Cian Hui
penuh selidik. "Engkau tahu bahwa aku semalam meninggalkan
kamarku, Ciang-kun?"
Cian Hui tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Sebelum
engkau pergi, aku telah lebih dahulu meninggalkan rumah, dan
tiga orang pelayanku sama sekali tidak melihat engkau pergi.
Akan tetapi, ada seorang di antara orang-orangku yang bertugas
jaga dan meronda malam tadi, melihat berkelebatnya bayangan
hitam. Dia melapor kepadaku dan akupun menduga bahwa
bayangan itu tentu engkau."
"Kenapa aku" Bukankah mungkin bayangan itu adalah Si
Bayangan Iblis?" 105 "Sudah kuceritakan kepadamu, li-hiap, bahwa Si Bayangan Iblis
itu merupakan bayangan yang menakutkan tinggi besar dan juga
di kepalanya ada dua tanduk! Akan tetapi, pembantuku yang
melapor tadi mengatakan hahwa bayangan hitam itu hanya
berkelebat cepat, akan tetapi jelas kepalanya tidak bertanduk dan
juga tubuhnya ramping. Karena engkau kemarin sudah
memberitahu kepadaku bahwa malam ini engkau hendak
melakukan penyelidikan, maka tentu saja mudah bagiku untuk
mengambil kesimpulan bahwa engkaulah bayangan itu. Tidak
benarkah dugaanku, li-hiap?"
Liong-li mengangguk. "Aku melihat orang-orangmu itu, Cian
Ciang-kun. Suatu usaha penjagaan yang cukup ketat dan baik.
Akan tetapi aku melihat betapa di sekeliling tembok istana tidak
terdapat orangmu yang berjaga melakukan pengamatan, Ciangkun."
Cian Hui menarik napas panjang dengan wajah kesal. "Tadinya
memang ada kutaruh orang-orang di sekeliling istana, li-hiap.
Akan tetapi hanya satu malam saja karena pada kesokan harinya
aku ditegur oleh panglima pasukan keamanan yang bertugas
untuk menjaga bagian luar istana. Pengamatan orang-orangku itu
membuatnya tersinggung, seolah-olah aku tidak percaya kepada
pasukan yang dipimpinnya. Terpaksa aku menghentikan
penjagaan di sekeliling istana, li-hiap."
"Hemm, sungguh sulit sekali kalau keadaannya seperti itu.
Biarpun tidak mungkin orang keluar masuk melompati pagar
tembok istana tanpa diketahui penjaga, namun sangat besar
kemungkinannya di beberapa tempat terdapat pintu rahasia dari
106 mana orang dapat keluar masuk. Dan kalau benar terdapat pintu
rahasia, maka seorang yang memiliki gerakan cepat dapat keluar
masuk tanpa diketahui penjaga yang berjaga di atas tembok
pagar itu. "Semalam aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Akan tetapi malam ini aku akan melakukan penyelidikan lagi. Dan
bagaimana dengan hasil yang kaudapatkan, Ciang-kun?"
"Sudah kuhubungi dan sahabatku itu sedang mengusahakan agar
engkau dapat diselundupkan masuk sebagai seorang dayang
baru, li-hiap. Dia harus lebih dulu menghubungi kepala Thai-kam
dan beberapa orang pejabat yang berwenang mengurus hal itu.
Paling cepat lusa baru engkau akan dapat memasuki istana."
"Bagus, kalau begitu masih ada dua malam lagi untuk melakukan
perondaan. Siapa tahu akan menemukan sesuatu. Sekarang aku
minta agar engkau suka memperkenalkan nama dan keadaan
orang-orang penting di dalam istana, juga aku ingin mengetahui
orang-orang di luar istana yang sekiranya terancam bahaya
pembunuhan Kwi-eng-cu, yaitu orang-orang yang dekat dengan
kaisar. Siapa tahu, sewaktu aku meronda, orang-orang ini
didatangi pembunuh."
Dengan senang hati Cian Ciang-kun memperkenalkan nama para
pejabat tinggi di dalam istana, dari Kaisar, Permaisuri, Putera


Mahkota yang masih kecil, kepala Thai-kam yang ada beberapa
orang komandan-komandan pasukan pengawal luar dan dalam
istana, dan sebagainya lagi.
107 Juga Cian Ciang-kun memceritakan kepada Liong-li tentang
kekuasaan Permaisuri atas diri Kaisar, betapa Permaisuri itu yang
sekarang memegang kendali pemerintahan, walaupun yang
menandatangi semua keputusan masih kaisar. Juga perwira ini
dengan hati-hati menceritakan desas-desus yang didengarnya
tentang penyelewengan-penyelewengan gelap yang dilakukan
permaisuri. Liong-li mendengarkan semua itu dengan tenang dan tidak
merasa heran. Sudah lama ia mengetahui akan kehidupan para
wanita di dalam istana seorang kaisar yang memiliki puluhan,
bahkan sampai ratusan orang wanita yang melayaninya. Tidak
mengherankan kalau seorang permaisuri sampai melakukan
penyelewengan gelap. Suaminya, sang kaisar melakukan
penyelewengan secara berterang, bukan dengan hanya seorang
dua orang wanita, bahkan dengan puluhan atau ratusan orang!
Betapapun juga, desas-desus itu dapat pula dicatat sebagai
sesuatu yang penting karena siapa tahu, hal itu ada pula
hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan misterius itu.
Ia mencatat pula para pangeran dan puteri kaisar yang tinggal di
dalam istana, wajah mereka, usia mereka, nama mereka. Ia harus
menghafal semua itu karena ternyata jumlah nama yang harus
dikenal dan dihafalnya, terdapat puluhan orang! Sudah dapat ia
bayangkan, betapa akan sukarnya menyelidiki orang sebanyak itu
di dalam kompleks istana yang terjaga ketat. Akan tetapi ia tidak
merasa khawatir. Ia tidak akan mencari, melainkan akan
memaksa dan memancing Si Bayangan Iblis untuk keluar dari
tempat persembunyiannya dan memperkenalkan diri kepadanya!
108 Seperti malam pertama, pada malam kedua Liong-li melakukan
perondaan, dan sekali ini tempat-tempat yang ia kunjungi sudah
tertentu, yaitu tempat tinggal para pejabat tinggi yang oleh Cian
Ciang-kun dianggap mungkin sekali didatangi Si Bayangan Iblis.
Akan tetapi, malam itupun sunyi saja, dan agaknya Si Bayangan
Iblis menghentikan pembunuhan-pembunuhan misterius itu untuk
sementara. Apakah si Bayangan Iblis sudah tahu bahwa ada
seorang wanita sakti sedang berkeliaran melacak jejaknya"
Namun, Hek-liong-li bukan seorang yang mudah putus asa. Pada
malam ketiga, kembali ia melakukan perondaan. Tengah malam
telah tiba ketika bayangannya berkelebat di dekat rumah gedung
tempat tinggal Ciok Tai-jin, seorang pembantu Menteri bagian
Pemungutan Pajak, seorang pejabat tinggi yang menurut
keterangan Cian Ciang-kun, amatlah setia dan jujur, dan karena
adanya Ciok Tai-jin inilah maka rakyat tidak dikenakan pajak
semena-mena, juga yang berpenghasilan besar tidak mampu
mengelak dari kewajiban membayar pajak. Mereka yang bekerja
di bawah Ciok Tai-jin, tidak ada yang berani menyelewengkan
uang pajak, atau menerima suapan dari pedagang besar agar
pajaknya diperkecil, atau menekan rakyat yang tak berdaya
dengan gertakan-gertakan mengandalkan kedudukan dan
kekuasaan mereka. Penyelewengan para pejabat dapat dilaksanakan dengan lancar
dan baik, segala bentuk penyelewengan atau korupsi dapat
dibasmi kalau dimulai dari atas! Kalau Sang Kaisar jujur dan
bersih, tidak korupsi, sudah pasti Kaisar mampu dan berani untuk
bertindak tegas dan keras terhadap para Menteri yang berani
melakukan korupsi. Kalau Menterinya sudah tidak korupsi, tentu
109 dia akan berani melakukan tindakan tegas terhadap para pejabat
tinggi kepala daerah yang membantunya. Dan demikian
seterusnya, kalau atasannya bersih, dia berani bertindak
terhadap bawahannya sehinggga sampai di kalangan yang paling
bawah tidak akan berani melakukan penyelewengan karena
atasannya yang bersih selalu bersikap tegas.
Sebaliknya, biar ditindak dengan keras bagaimanapun juga
terhadap seorang pejabat, kalau dia melihat atasannya juga
menyeleweng, tentu akan sukar membuat dia jera atau sadar.
Juga atasan yang menyeleweng tidak akan berani menegur
bawahannya yang menyeleweng. Bagaikan seorang bapak dalam
sebuah keluarga, dialah yang harus lebih dulu membersihkan diri
baru dia akan dapat menegur anak-anaknya kalau mereka itu
menyeleweng dan tegurannya itu akan ditaati.
Kalau si ayah penjudi, betapa mungkin dia melarang anakanaknya agar tidak berjudi" Dia baru dapat melarang, menegur,
bahkan menghukum anak-anaknya yang berjudi kalau dia sendiri
tidak berjudi. Bukankah demikian kenyataannya" Sekali lagi,
pemberantasan korupsi baru akan berhasil dengan gemilang
kalau pembersihan dilakukan dari atas, terus menekan ke bawah!
Demikian pula halnya dengan Ciok Tai-jin, Pembantu Menteri
Pajak itu. Dia seorang pejabat tinggi yang bersih dan jujur lagi
setia. Bahkan saking jujurnya, namanya terkenal sebagai seorang
di antara pejabat teladan atasannya sendiri, Sang Menteri Pajak
akhirnya juga terseret ke arah yang baik karena atasan ini
merasa malu hati terhadap pembantu atau wakilnya!
110 Dan Ciok Tai-jin ini merupakan seorang di antara mereka yang
disebut oleh Cian Hui, yaitu mereka yang mungkin sekali menjadi
incaran Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis karena dia adalah
seorang yang setia kepada Kaisar dan penentang segala bentuk
penyelewengan sehingga dia amat dihormat dan dipercaya oleh
kaisar. Liong-li sudah merasa kesal karena malam ini adalah malam
terakhir kalau besok pagi ia dapat diselundupkan ke istana, dan ia
belum pernah melihat sesuatu yang mencurigakan. Akan siasialah ia membuang waktu, tenaga dan berkorban tidak tidur
selama tiga malam selama ini"
Ia bersembunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di kebun
belakang rumah besar itu setelah tadi ia melakukan pemeriksaan
di seluruh permukaan atap rumah itu tanpa berjumpa dengan
sesuatu yang mencurigakan. Ia juga melihat beberapa orang
petugas jaga di gardu jaga pekarangan depan, dan melihat pula
beberapa bayangan orang kadang-kadang lewat di jalan depan
rumah. Ia menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah
anak buah Cian Ciang-kun. Akan tetapi apa artinya semua
penjaga dan juga anak buah Cian Ciang-kun itu kalau benar ada
seorang pembunuh yang berilmu tinggi datang" Takkan ada yang
dapat melihatnya kalau pembunuh itu mempergunakan ilmunya.
Buktinya, ia sendiri dapat memasuki kebun, bahkan melakukan
penyelidikan ke atas atap tanpa ada yang mengetahuinya.
Andaikata ia si pembunuh misterius itu, alangkah akan mudahnya
menyelinap masuk dan mencari Ciok Tai-jin untuk dibunuhnya!
111 Tubuhnya juga mulai merasa lelah, karena terbawa kesalnya hati
tidak mendapatkan hasil apapun dalam penyelidikannya. Selagi ia
ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan
dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak
dan seluruh syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar
tegang dan iapun siap siaga.
Ada bayangan berkelebat dan bayangan ini jelas bukan
bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu
berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu
menyelinap di sebelah dalam kebun, bersembunyi di balik batang
pohon! Agaknya setelah meloncati pagar tembok, bayangan itu
cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar
tembok itu aman. Liong-li tidak berani bergerak sedikitpun agar orang itu tidak
curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat sekali seperti seekor
burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok.
Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan
saja dan ia tidak tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah
bayangan itu memiliki tanduk ataukah tidak!
Tak lama kemudian, ia melihat lagi bayangan itu berkelebat, kini
sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok Tai-jin. Liong-li
terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut
Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan
itu telah menyusup dan telah dekat dengan rumah, dan kini
bayangan itu berdiri dekat sinar lampu gantung di sudut rumah
sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan jantungnya
112 berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari
kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!
"Kwi-eng-cu (Bayangan iblis)......!" serunya dalam hati dan Liong-li
cepat menyusup dan mendekat. Pada saat bayangan itu
melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li juga
melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun
mengerahkan seluruh tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti
seekor naga hitam menerjang awan.
Kini si Bayangan Iblis yang terkejut nampaknya ketika tiba-tiba
ada bayangan lain berkelebat dan seorang berpakaian serba
hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di
depannya! Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi
akan tetapi tidak begitu besar, dan "tanduk" itu sesungguhnya
bukan tanduk, melainkan kedok yang bagian atas kepalanya
meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat dari jauh atau
hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk.
Akan tetapi, Liong-li tidak sempat mengamati dengan jelas,
bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba saja, tanpa
mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!
"Hemmm......!" Liong-li melempar tubuh ke samping sambil
berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu menghindarkan
diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi,
pikirnya. Si Bayangan Iblis sendiri agaknya juga terkejut dan heran.
Memang jarang sekali dia bertemu orang yang mampu
113 menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak
mau bekerja setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh
dan tewas, maka dia selalu mempergunakan jurus pilihan dan
mengerahkan seluruh tenaganya.
Namun, sekali ini dia kecelik karena orang berkedok hitam ini
mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari samping, lawannya
membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk
tendangan yang mengarah lambungnya!
"Wuuuuttt......!"
Tendangan Liong-li luput! Hal inipun memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan lawan
yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan
yang dahsyat dan amat diandalkan, namun lawannya mampu
mengelak dengan mudah! "Huhh!" Suara ini keluar dari balik kedok lawannya, suara yang
seperti mengejek atau mendengus, keluar dari hidung, kemudian
orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin
kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap
gerakan tangannya mengandung tenaga yang amat dahsyat dan
kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan.
Di samping itu, gerakan silatnya juga aneh sehingga ia tidak
mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga lawan, ketika
lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke
arah kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula
sambil miringkan tubuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.
"Dessss......!!" Hebat bukan main akibat pertemuan dua buah
lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti) yang sudah
114 mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus
mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto)
sampai lima kali baru kakinya turun ke atas genteng dengan
ringan. Adapun lawannya terdorong mundur dan kakinya terjeblos
ke dalam genteng yang jebol!
Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih kuat, akan
tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena orang itu sudah
meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang
amat hebat di atas wuwungan rumah itu.
Melihat betapa lawan sangat marah dan bersemangat melakukan
penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia mainkan langkahlangkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua
kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat
menyelinap di antara kedua tangan dan kaki lawan yang
menyambar-nyambar dengan ganasnya!
Keributan di atas genteng ini, apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si
Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam genteng, tentu saja
terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan mereka
itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian
Ciang-kun yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan
dan tiga orang sudah meloncat naik ke atas genteng dengan
senjata di tangan. Sejak melihat sinar-sinar obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan
tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah ketika melihat tiga
orang berloncatan naik ke atas genteng. Tiba-tiba tangan kanan
kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil
115 mengebutkan ujung lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar
hitam kecil menyambar. Ia terhindar dari sambaran benda-benda yang merupakan senjata
rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang berlompatan naik
berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting. Liong-li
meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat
jauh dari atas wuwungan itu.
Terjadi kejar-mengejar di atas wuwungan, akan tetapi si
Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di antara
pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia
masih sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar
tembok, maka diapun cepat lari mengejar dan melompati pagar
tembok, tidak perduli kepada para penjaga keamanan yang
melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor di
tangan kiri dan golok di tangan kanan.
Sayang malam itu gelap sehingga ketika dia tiba di luar pagar
tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan jejak. Akan tetapi, ia
melihat sesosok bayangan lari di depan.
"Hemm, hendak lari ke mana kau?"' teriaknya dan iapun mengejar
sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini ia berhasil menyusul
bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan
menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!
"Hemm......!" Liong-li mengelak dengan mudah saja dan iapun
membalas dengan tendangan kakinya. Lawannya menarik
pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu


menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang.
116 Liong-li tersenyum mengejek, menarik kakinya dan kini tangan
kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan
kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke
samping! Gerakannya cepat sekali dan lawannya mengeluarkan
seruan kaget lalu melompat be belakang.
"Hemmmm......!" Liong-li berseru juga dengan heran lalu kakinya
menyambar dahsyat. Orang itu mengelak lagi, akan tetapi
pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li sehingga
dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!
"Ehhh?" Liong-li merasa semakin heran.
Orang berkedok dan berpakaian hitam ini serupa benar dengan
yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan tetapi ia
merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang
pertama tadi jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang
berpedang ini, walaupun yang kedua inipun merupakan lawan
tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa agaknya
ada dua orang Kwi-eng-cu!
"Hemm, hendak lari ke mana kau?" teriaknya dan iapun
melakukan pengejaran. Kota raja sudah sunyi sekali karena malam sudah amat larut,
sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok saja yang
masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu
mabok, tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak
mengambil pusing. 117 Aku harus tahu di mana sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi,
orang itu tidak lari ke arah istana seperti yang disangkanya,
bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah selatan
menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari
situ. Biar dia lari dari pintu gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciangkun, pada waktu itu, pintu-pintu gerbang kotaraja di jaga ketat,
maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ, tentu akan ketahuan
dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu gerbang.
Akan tetapi, ia menahan seruan kagetnya ketika melihat orang
yang dikejarnya itu terus saja berlari menghampiri pintu gerbang,
dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu, tubuhnya meloncat ke
atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah
perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak
menegur! Tentu saja Liong-li tidak memperdulikan keadaan itu dan terus
mengejar dengan melompat ke atas pintu gerbang pula, melalui
bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang dikejarnya.
Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena
melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang
dikejarnya itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung
banyak bintang kini bermunculan di langit yang telah ditanggalkan
awan sehingga biarpun remang-remang cuaca tidaklah terlalu
gelap. Ketika ia tiba di dekat pohon, tiba-tiba ada angin menyambar dari
kanan. Ia mengelak dan membalas serangan orang itu. Kiranya si
118 Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya.
Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini
diangkat tinggi dan dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa
menggerakkan kakinya, dengan tendangan berantai, Liong-li
"memasuki" dada yang terbuka itu.
"Desss!" Perut orang itu bertemu dengan tumitnya dan orang
itupun terjengkang. Dia bergulingan dan menggerakkan tangan
kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk
menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga
orang itu memperoleh kesempatan untuk lari lagi.
"Jangan lari kau!" bentak Liong-li akan tetapi lawan telah
menghilang di balik batang pohon di depan.
Ketika ia mengejar, tiba-tiba ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak
mungkin orang yang lari tadi, pikirnya heran, apa lagi ketika
serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi, walaupun
bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.
Demikian cepat dan dahsyatnya serangan ini sehingga Liong-li
terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang. Untung ia masih
sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga
biarpun terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan
bertubi-tubi itu. Kemudian, di dalam keremangan cuaca, ia melihat sebatang
ranting pohon di bawah pohon di mana mereka berkelahi. Ketika
pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan
keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting
119 itu. Sambil meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah
pergelangan tangan yang memegang pedang.
"Auhh!" Orang itu tidak menyangka sama sekali akan kelihaian
Liong-li dalam menggunakan senjata yang hanya berupa
sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main
memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah
mewarisi ilmu silat tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo
yang merupakan tokoh sakti yang terkenal dengan ilmu
tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu
memainkan tongkat ini! Namun orang itu ternyata lihai juga. Biar pun pergelangan tangan
kanannya tertotok ujung ranting, sehingga pedangnya terlepas,
namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan iapun
memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah
mundur menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat
itu, lawannya melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri
memasuki sebuah hutan kecil.
Liong-li adalah seorang wanita yang selain sakti, juga cerdik
bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam hutan yang
gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan
oleh tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua
mengenakan pakaian dan kedok yang sama, dan ketiganya lihai
dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.
Ia tidak mau masuk perangkap lawan. Selain itu, iapun tidak mau
menanti sampai hari menjadi terang karena ia sendiripun
melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka,
120 iapun cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu
gerbang. Ia harus menyelidiki para penjaga pintu gerbang, kenapa mereka
itu sama sekali tidak menegur dan tidak menghalangi ketika ia
berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja melalui
pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si
Bayangan Iblis" Setelah Liong-li memasuki gardu penjagaan dan melihat belasan
orang perajurit penjaga pintu gerbang itu, barulah ia tahu
mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang
tanpa terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua
dalam keadaan pingsan tertotok!
Makin yakinlah hatinya bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan hanya
satu orang saja! Yang bertempur dengannya tadi saja ia taksir
tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi melihat
bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia
tidak menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciangkun untuk menyelidiki dan menanyai mereka. Iapun terus saja
memasuki kota dan menuju ke rumah Cian Ciang-kun.
Akan tetapi ketika ia melewati rumah itu, perasaannya yang peka
itu memberi isyarat kepadanya dan kecerdikannya pun bekerja.
Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian Ciang-kun!
Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia
tadi mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali
lawan membayanginya sejak di luar kota tadi!
121 Kalau benar demikian, tentu mereka akan mengetahui bahwa ia
tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan terbongkarlah
rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat
menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas
menentang pembunuh misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu.
Tanpa ragu dan tanpa menengok sedikitpun ke arah rumah Cian
Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja bergerak
menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk
menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu.
Pada masa itu, agama Buddha sedang berkembang dengan
baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil yang berada
di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada
pula tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ
penuh dengan hwesio yang beribadat dan saleh.
Selama tiga hari ini, Liong-li sudah berkeliling kota dalam
penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil ini. Sudah
dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak
ada yang mencurigakan di kuil itu.
Penyelidikannya membuat ia tahu akan keadaan kuil itu, maka
tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam ruangan depan
kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta
sudah beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada
lilin bernyala dan asap sisa hio masih memenuhi ruangan.
Ketika memasuki ruangan itu, Liong-li diam-diam melepas
pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang gelap
dan cepat sekali ia merobah penyamarannya. Lima menit
122 kemudian, ketika ia keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi
seorang nenek keriputan yang membawa buntalan dan berjalan
agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu yang
ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam.
Iapun mencampurkan diri dengan para tamu perempuan yang
masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur malang
melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang
sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia
menanti sambil berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian ia mendengar gerakan kaki di luar ruangan,
lalu sebuah kepala muncul di balik jendela. Sepasang mata yang
tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang
usianya kurang lebih empatpuluh tahun, bermuka persegi dan
bermata tajam sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala
dan iapun tahu bahwa orang itu sedang melakukan penyelidikan
dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka iapun
mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.
Tak lama kemudian, kepala itupun menghilang. Akan tetapi ia
masih belum mau bergerak. Ia harus berhati-hati. Mungkin lawan
yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh kuil karena
ia memang tadi menghilang ke dalam kuil.
Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, kembali kepala itu
muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh perempuan
yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu
orang yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak,
bahkan ia mengeluarkan suara mendengkur lirih! Hatinya
123 tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri sendiri akan
ketelitiannya. Terdengar kepala di jendela itu menghela napas, agaknya
kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya. Setelah
mengamati semua orang selama hampir seperempat jam
lamanya, akhirnya kepala itupun menghilang dan Liong-li
mendengar langkah kaki meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa
orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki, buktinya
langkahnya berat dan acuh.
Setelah terdengar ayam berkokok dan beberapa orang di antara
para tamu wanita itu, ada yang terbangun. Liong-li juga bangun
dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur,
membereskan rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit
meninggalkan ruangan itu. Sikap dan penampilannya demikian
wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.
Siapa yang akan mencurigai seorang nenek tua yang mungkin
mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga memintakan
obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu" Dengan terbongkokbongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek
keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka
tunduk berputar-putar dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak
dibayangi orang, baru ia melewati gedung Cian Ciang-kun dan
memasuki pekarangan. Tiga orang pelayan itu memandang heran. Mereka tahu bahwa
majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan tetapi setahu
mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah
124 meninggalkan kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah
datang dari luar" Untung bahwa Cian Ciang-kun yang sejak pagi
menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.
"Aih, bibi, sepagi ini engkau sudah berjalan-jalan?" tegurnya dan
diapun segera membimbing "bibinya" yang dari dusun itu dan
diajaknya masuk. Tiga orang pelayan itu menggeleng-geleng kepala setelah
majikan mereka menggandeng nenek itu masuk. Mereka tahu
bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan
tetapi belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai
seorang bibi dari dusun yang sudah tua dan yang agaknya amat
dihormati dan disayang oleh majikan mereka. Akan tetapi, tentu
saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian mereka.
"Wah, engkau sungguh membuat aku menjadi gelisah bukan
main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam sehingga
engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi
sebagai seorang nenek?" Cian Ciang-kun yang cerdik segera
dapat menduga bahwa tentu pendekar wanita itu telah
menemukan sesuatu. Liong-li lalu menceritakan apa yang telah dialaminya semalam,
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian Ciang-kun.
Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang
selatan yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan
dan seorang pelayan pria muncul di ambang pintu.
"Cepat kau pergi keluar dan undang Teng Ciang-kun ke sini.
Cepat!" 125 Pelayan itu berlari keluar dan tak lama kemudian dia sudah
kembali bersama seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun
yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng
Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciangkun dan tinggalnya pun di bangunan kecil sebelah depan rumah
Cian Ciang-kun yang menjadi atasannya.
Teng Ciang-kun memberi hormat tanpa memperdulikan nenek tua
yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas yang setia dan
amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan
atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan
pribadi atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya
seorang nenek di situ, hal yang sebenarnya tidak wajar dan tidak
seperti biasa. 


"Teng Gun, cepat engkau pergi ke pintu, gerbang selatan dan
selidiki kepada semua perajurit yang bertugas jaga semalam, apa
yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa
saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai
kepentingan dengan dia. Sekarang juga!"
Teng Gun atau Teng Ciang-kun memberi hormat lalu pergi.
Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia berkuda agar
dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat.
Sambil menanti kembalinya Teng Ciang-kun,
melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.
Cian Hui "Jelaslah sekarang bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu
orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan aku sedikitnya ada
tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal dari
126 tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka
itu semua amat lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di
atas genteng rumah Ciok Tai-jin. Terlambat sedikit saja, Si
Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil membunuh
Ciok Tai-jin." "Hemm, belum tentu, Li-hiap. Ketahuilah bahwa di dalam rumah
wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan yang amat lihai,
seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan
itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan
itulah maka akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat
rumah Ciok Tai-jin, seperti di rumah para pejabat tinggi lain yang
kuanggap mungkin akan diserang oleh Kwi-eng-cu."
"Hemm, bagus kalau begitu. Dia seorang pengawal pribadi
pembesar itu?" tanya Liong-li tertarik.
"Bukan pengawal, melainkan masih anggauta keluarga. Ia adalah
keponakan wanita isteri pembesar itu."
"Hemm, seorang wanita?"
"Ia, seorang wanita yang masih muda dan cantik, sebaya dengan
engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu tidak akan
menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang
gemblengan dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal
sekali. Aku sendiri belum pernah melihat kehebatan ilmu silatnya,
namun dari kawan-kawan, aku dapat mengukur bahwa tingkat
kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku."
127 "Wahh.......!" Liong-li berseru kagum. "Tentu hebat sekali wanita
itu, dan kalau usianya sebaya denganku, tentu ia telah
bersuami......." "Memang pernah bersuami, akan tetapi kini ia menjadi janda
tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di antara korbankorban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis. "
"Ahhh......!" Liong-li termenung.
"Memang kasihan sekali wanita muda itu. Akan tetapi sudahlah,
memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya saja yang
menjadi korban." Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki dua ekor kuda dan tak
lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan seorang
komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat,
sinar matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan
Cian Hui, dia segera memberi hormat sambil menekuk lutut
kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan,
"Mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar peristiwa itu tidak
dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami tujuhbelas
orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang
bergerak demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah
kehilangan kesadaran dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Baru
pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari tidur saja.
Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami
saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan
mimpi dan kami ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena
kami takut dituduln lengah."
128 "Hemm, coba ceritakan dengan sejelasnya, apa yang telah
terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian patut
dilaporkan ataukah tidak," kata Cian Hui dengan suara tegas.
Komandan jaga itu menceritakan betapa semalam, ketika
sebagian anak buahnya berjaga dan meronda dan sebagian lagi
mengaso di gardu, tiba-tiba mereka yang berada di luar gardu
berjatuhan tanpa mengeluarkan suara. Ketika para penjaga
lainnya keluar, mereka disambut oleh bayangan yang
berkelebatan dan merekapun roboh satu demi satu.
"Saya sendiri ketika itu sedang berada di belakang, Mendengar
suara berisik di depan, saya segera berlari keluar dan sempat
melihat anak buah saya terakhir roboh dan berkelebatnya
bayangan......." "Seperti apa bayangan itu?" tanya Cian Hui.
Wajah komandan jaga itu semakin pucat dan dengan gelisah dia
mengerling ke arah Liong-li, Hatinya diliputi keraguan melihat
adanya seorang nenek yang tidak dikenalnya di situ, ikut
mendengarkan percakapan yang memalukan itu.
"Hayo katakan. Ini bibiku sendiri, tidak perlu kau sungkan!" kata
pula Cian Hui. "Seperti apa bayangan itu?"
"Dia...... dia tinggi besar, bertanduk..... Si Bayangan Iblis....."
suaranya gemetar. "Lalu apa yang kaulakukan?"
129 "Saya mencabut pedang dan menyerang keluar, mengejar Si
Bayangan Iblis dengan nekat. Akan tetapi, tiba-tiba saja pedang
saya terlepas dan mata saya menjadi gelap. Tahu-tahu pagi tadi
saya siuman seperti yang lain, seperti baru bangun tidur saja."
Liong-li yang ikut mendengarkan dapat memaklumi peristiwa itu.
Si Bayangan Iblis memang lihai bukan main dan memiliki
keringanan tubuh dan kegesitan yang luar biasa.
Para penjaga itu adalah perajurit-perajurit biasa, bukan pasukan
khusus, maka tentu saja dengan mudah dapat dirobohkan Si
Bayangan Iblis tanpa mereka mampu mengenalnya. Kalau
pasukan khusus yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan tentu
akan lain lagi halnya, setidaknya para perajurit pasukan khusus
tentu akan dapat melakukan perlawanan dan lebih banyak
kemungkinan mereka akan dapat mengenal bayangan itu.
Agaknya Cian Hui juga berpendapat demikian, maka setelah dia
melirik ke arah Liong-li yang nampak tidak tertarik, dia lalu
berkata, "Sudahlah, engkau boleh pergi. Aku tidak akan
melaporkan ke atasan, akan tetapi mulai sekarang, kalau terjadi
hal-hal mencurigakan di pintu gerbang, engkau harus cepat
melaporkannya kepadaku atau menyampaikan kepada pembantuku Teng Gun."
Komandan jaga itu nampak girang mendengar ini. Bagaikan
seekor ayam makan padi, kepalanya mengangguk-angguk dan
diapun berpamit lalu pergi dari situ dengan hati lega.
"Bagaimana pendapatmu, Li-hiap?" setelah mereka hanya berdua
saja, Cian Hui bertanya. 130 Liong-li mengerutkan alisnya. "Jelas bahwa Si Bayangan Iblis
bukan hanya satu orang saja dan pembunuhan-pembunuhan
misterius itu tentulah didalangi orang pandai yang mempunyai
banyak anak buah! Dan mengingat bahwa mereka itu mampu
bergerak leluasa dam menghilang penuh rahasia, aku semakin
condong menduga bahwa mereka tentu bersembunyi di dalam
istana, atau setidaknya, pemimpinnya berada di dalam istana.
Bagaimana Ciang-kun, tentang rencana kita agar aku dapat
diseludupkan ke istana?"
"Beres, Li-hiap! Sore hari ini juga engkau dapat dibawa ke istana.
Sudah kuhubungi para pejabat di istana yang kukenal baik. Aku
menceritakan bahwa engkau keponakanku dari dusun yang ingin
sekali menjadi dayang, dan akhirnya kepala Thai-kam (laki-laki
kebiri) yang mengepalai para dayang, yaitu Bong Thai-kam, dapat
menerimamu. Ketika dia menanyakan namamu, aku mengatakan
bahwa engkan she Kim bernama Siauw Hwa, akan tetapi sejak
kecil biasa disebut Akim."
"Bagus sekali nama itu, Ciang-kun!" Liong-li memuji.
"Ah, aku hanya ingat bahwa namamu memakai huruf Kim (emas),
maka kupergunakan nama itu yang juga bisa dipakai sebagai
nama keturunan. Sudah kupersiapkan perlengkapan yang harus
kaubawa sebagai seorang gadis dusun, dan sebaiknya kalau
engkau menyamar sebagai gadis dusun yang tidak terlalu cantik
akan tetapi juga jangan terlalu buruk."
131 "Kenapa begitu, ciang-kun?" Liong-li menatap wajah perwira itu
sambil tersenyum. "Bagaimana kalau aku membiarkan wajahku
yang aseli?" "Wah, jangan! Berbahaya kalau begitu. Baru sehari saja di sana
tentu para pangeran akan saling memperebutkanmu, engkau
pantas menjadi seorang puteri!"
"Ih, engkau memuji atau merayu, ciang-kun?"
"Boleh kauanggap kedua-duanya. Akan tetapi aku bicara serius.
Di istana penuh dengan pangeran-pangeran mata keranjang, dan
aku mendengar di sana penuh dengan hubungan-hubungan
gelap dan kotor karena para pangeran itu tidak malu atau segan
untuk mengganggu selir dan dayang ayah mereka."
"Hemmm......" Liong-li mengangguk-ngangguk. Hal inipun tidak
aneh baginya karena sudah banyak mendengar akan kehidupan
kotor di balik gemerlapnya kedudukan tinggi dan penuh
kehormatan itu. "Oleh karena itulah maka amat berbahaya kalau engkau kelihatan
terlalu cantik di istana, Li-hiap. Bukan saja niatmu melakukan
penyelidikan akan menemui banyak rintangan, juga dirimu sendiri
menjadi pusat perhatian dan akan datang gangguan yang akan
menyulitkan keadaan dirimu. Sebaliknya, kalau penyamaranmu
itu kelihatan terlalu jelek, juga akan mencurigakan, karena
bagaimana mungkin seorang gadis yang buruk rupa dapat
diterima sebagai dayang?"
132 "Tidak terlalu cantik akan tetapi tidak terlalu buruk, hemmm,
memang sukar sekali, akan tetapi aku tahu apa yang
kaumaksudkan, Ciang-kun. Jangan khawatir, aku tidak akan
nampak terlalu buruk, akan tetapi setiap orang pria di istana kalau
bertemu dengan aku, sudah pasti tidak akan tertarik."
"Harap engkau jangan khawatir, Li-hiap. Aku yang telah
menerima bantuanmu, tentu tidak akan membiarkan engkau
begitu saja. Syukur kalau penyelidikanmu berhasil dan rahasia
pembunuhan itu dapat dipecahkan. Andaikata engkau menemui
kesulitan di istana dan tidak ada jalan keluar lagi, akulah yang
akan menghadap kaisar sendiri, dan aku yang akan bertanggung
jawab, akan kuceritakan semua kepada kaisar sebab
kehadiranmu di istana dan aku yakin, mengingat akan jasajasaku, kaisar akan suka memenuhi permohonanku untuk
mengampuni dan membebaskanmu."
Terharu juga hati Liong-li mendengar janji ini. Ia tahu bahwa
ucapan itu bukan sekedar janji kosong. Orang segagah Cian Hui
ini tentu tidak akan mundur dari tanggung jawab. Akan tetapi ia
tidak menghendaki tugas ini gagal seperti itu.
"Kalau aku menemui kesulitan, tidak perlu engkau menghadap
kaisar, Cian Ciang-kun, akan tetapi sampaikan saja suratku ini
kepada rekanku." "Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)?" Cian Ciang-kun segera
menduga. Liong-li tidak merasa heran. Memang dunia kang-ouw sudah
mengetahui belaka bahwa Hek-liong-li dan Pek-liong-eng adalah
133 dua sekawan yang tak terpisahkan, apa lagi kalau menghadapi
lawan tangguh dan bahaya besar.
"Benar, apakah engkau sudah tahu di mana harus mencari dan
menemuinya, Ciang-kun?"
Cian Ciang-kun mengangguk. Sebagai seorang penyelidik
terkenal di kota raja, tentu saja dia sudah menyelidiki di mana
alamat pendekar luar biasa yang menjadi rekan dari Hek-liong-li
itu. "Dusun Pat-kwa-bun dekat Telaga See-Ouw di Hang-kouw?"
Liong-li mengangguk kagum. Orang ini memang pantas menjadi
seorang penyelidik besar yang terkenal di kota raja. Ia
menyerahkan sesampul surat yang sudah ia persiapkan kepada
perwira itu. "Hanya kalau engkau mendengar bahwa aku menghadapi
kesulitan dan terancam bahaya saja kau serahkan surat ini
kepadanya. Kalau tidak, harap jangan engkau mengganggu
ketenteramannya, Cian Ciang-kun!"
Siang hari itu, Liong-li beristirahat dan tidur untuk memulihkan
kembali tenaganya dan menghilangkan lelahnya. Ia menghadapi
pekerjaan besar dan berbahaya dan ia harus memiliki tubuh yang
sehat dan pikiran yang jernih kalau masuk ke dalam istana sore
nanti. "Y" 134 Dusun Kim-tang merupakan dusun terakhir di sepanjang jalan
panjang menuju ke Telaga See-ouw dan karena semua
pelancong yang menuju ke Telaga See-ouw yang indah itu harus
melewati dusun ini, maka dusun menjadi ramai dan penghuninya
semakin banyak. Mereka membuka kedai-kedai minuman dan
makanan, bahkan ada pula yang membuka rumah penginapan
sederhana. Kalau ada pelancong kemalaman di tengah
perjalanan, tentu mereka akan merasa senang sekali
mendapatkan rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah
makan di dalam dusun ini.
Karena dusun itu seringkali dikunjungi pelancong-pelancong dari
kota yang hendak pesiar ke Telaga See-ouw, maka para
penghuni dusun itu sudah biasa melihat orang-orang kota yang
berpakaian mewah, melihat pria-pria tampan, dan wanita-wanita
cantik. Itulah sebabnya, ketika seorang wanita yang amat menarik
memasuki sebuah rumah makan di dusun itu pada suatu sore,
tidak ada yang merasa heran, walaupun hampir setiap orang pria
yang melihat wanita ini, otomatis mengangkat muka dan
sepasang mata mereka mengeluarkan sinar penuh kagum.
Seorang wanita yang cantik manis dengan tubuh yang penuh
lekuk lengkung yang matang menggairahkan! Seorang wanita
yang membuat setiap orang pria yang berpapasan dengannya tak
dapat menahan diri untuk tidak menoleh dan memandang sekali
lagi penuh kagum. Wanita itu memasuki rumah makan dengan langkah perlahan dan
lenggang yang gontai, tanda bahwa ia lelah. Namun lenggang
135 


yang seenaknya itu bahkan membuat pinggulnya menari-nari
dengan indahnya, tidak dibuat-buat, dan pinggang yang ramping
itu seperti batang pohon yang-liu tertiup angin ribut sehingga
meliuk-liuk ke kanan kiri dengan lenturnya!
Usianya sekitar duapuluh enam tahun. Wajahnya manis dan
jelita, terutama sekali yang indah dan penuh daya tarik adalah
mata dan mulutnya. Mata itu demikian jeli dan kocak, dengan kerling-kerling yang
amat tajam. Mata yang sipit namun lebar itu agaknya dapat
melihat ke semua arah tanpa menggerakkan leher. Bulu matanya
yang lebat melindungi mata itu sehingga ke mana arah lirikannya
tidak begitu menyidik. Dan mulutnya! Melihat mulut itu saja, bagi seorang pria yang
panas, sudah merupakan suatu penglihatan yang menantang dan
mendebarkan, seolah-olah mulut itu menantang untuk dicinta dan
dicium. Sepasang bibir yang penuh dan lembut, dengan garis
bibir melengkung seperti gendewa dipentang, kulit bibir tipis dan
kemerahan selalu nampak kebasah-basahan, segar seperti buah
masak dan lekuk-lekuk tipis membayang di kanan kiri mulut.
Deretan gigi putih kadang-kadang mengintai dari balik belahan
bibir kalau ia bicara. Bukan main!
Akan tetapi, ada sesuatu pada wanita itu yang membuat para pria
yang memandang kagum, tidak berani sembarangan
memperlihatkan kekaguman mereka secara kurang ajar atau
tidak sopan. Wanita itu mengenakan pakaian serba hijau yang
136 ketat, yang membuat keindahan bentuk tubuhnya nampak nyata,
dengan lekuk lengkung sempurna di tempat-tempat tertentu.
Dan di punggungnya, selain tergendong sebuah buntalan pakaian
dari kain kuning, juga nampak gagang sepasang pedang yang
disatukan! Dan sikap tenang itu, di samping sepasang
pedangnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang
bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga tidak boleh dibuat
sembarangan. Seorang wanita kang-ouw!
Dugaan itu tidak keliru. Wanita ini bukan lain adalah wanita yang
pernah dibicarakan oleh Cian Hui kepada Hek-liong-li. Ia adalah
Cu Sui In, keponakan dari isteri CiokTai-jin di kota raja. Cu Sui In
memang benar murid Kun-lun-pai, yang boleh dibilang sudah
menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari Kun-lun-pai.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa wanita ini sejak
berusia lima tahun, telah digembleng oleh seorang di antara
pimpinan Kun-lun-pai. Sampai berusia duapuluh tahun, selama
limabelas tahun ia belajar ilmu-ilmu yang tinggi dan ditambah pula
dengan bakatnya, maka setelah dewasa iapun menjadi seorang
pendekar wanita Kun-lun-pai.
Selain lihai ilmu silat tangan kosongnya, dan pandai memainkan
delapanbelas macam senjata, Sui In memiliki keistimewaan
dalam ilmu pedang pasangan dan iapun menerima hadiah
sepasang pedang yang amat baik dari para pimpinan Kun-lun-pai
ketika ia meninggalkan perguruan Kun-lun-pai yang terkenal itu.
Setelah meninggalkan perguruan, iapun diajak oleh bibinya ke
kota raja. Bibinya menjadi isteri Pembantu Menteri Pajak, Ciok
137 Tai-jin, dan tentu saja sebagai seorang gadis yang amat cantik,
sebentar saja pinangan datang bagaikan hujan. Akhirnya,
mengingat usianya yang sudah duapuluh tahun, dan dalam
keadaan yatim piatu, dia tidak menolak ketika bibinya dan
pamannya memilihkan jodoh untuknya.
Jodohnya itu seorang terpelajar yang sudah lulus ujian negara
dan telah diangkat menjadi seorang pejabat yang memiliki masa
depan yang amat baik. Dia seorang pemuda she Cia dan tentu
saja pilihan seorang pejabat tinggi yang jujur seperti Ciok Tai-jin,
pemuda Cia inipun seorang pejabat yang jujur dan aetia. Dan
memang benar pilihan Ciok Tai-jin, dalam waktu lima tahun saja,
kedudukan, suami Sui In meningkat tinggi karena dia dipercaya
oleh kaisar dan merupakan seorang pejabat yang amat baik.
Karena suaminya seorang yang lembut dan baik, maka setelah
menjadi isteri Cia, Sui In mencintai suaminya dengan sepenuh
hatinya. Hanya sayang, setelah menikah selama lima tahun,
mereka tidak dikurniai putera. Dan hal inilah agaknya yang
menciptakan kerenggangan, dalam hubungan suami isteri itu.
Cia Tai-jin, yang masih muda itu, baru berusia tigapuluhan tahun,
mula-mula mengambil seorang selir dengan alasan agar
mendapatkan keturunan. Akan tetapi dari seorang, lalu
bertambah sampai belasan orang!
Sui In merasa terpukul dan tersiksa batinnya mulailah terdapat
kerenggangan dalam hubungan di antara mereka. Sui In kecewa.
Kecewa karena tidak mempunyai anak, kemudian kecewa karena
ia kehilangan suaminya pula, kehilangan cintanya yang membuat
138 hatinya merasa hambar dan akhirnya iapun tidak lagi mempunyai
gairah cinta kepada suaminya kecuali hanya sebagai seorang
wanita yang harus bersikap manis kepada seorang pria yang
telah menjadi suaminya. Hubungan di antara mereka hanya
tinggal hubungan kewajiban belaka, tanpa kasih sayang lagi.
Kemudian, terjadilah malapetaka itu! Suaminya terbunuh, menjadi
korban dari Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis yang sedang
mengamuk dan melakukan serangkaian pembunuhan di kota
raja! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Sui In yang
mendapatkan dirinya menjadi seorang janda tanpa anak!
Kalau saja suaminya tidak mempunyai banyak selir, kalau
hubungan di antara mereka masih seperti dahulu, belum tentu
suaminya akan terbunuh penjahat! Ia tentu akan mampu
melindungi suaminya. Akan tetapi suaminya mati terbunuh ketika
tidur bersama seorang di antara selir-selirnya, terbunuh bersama
selirnya pula. Dan iapun tidak dapat berbuat sesuatu!
Memang ada juga perasaan marah dan ia sudah berusaha untuk
mencari pembunuh suaminya. Namun, seperti juga usaha semua
orang yang bertugas mencari pembunuh itu, usahanya gagal dan
ia tidak pernah mampu menemukan Si Bayangan Iblis walaupun
pernah ia menggagalkan usaha Si Bayangan Iblis untuk
membunuh pamannya, yaitu Ciok Tai-jin!
Ketika itu, iapun hanya melihat berkelebatnya bayangan yang
menyeramkan itu. Ia mengejar, namun tidak berhasil

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis