Si BAYANGAN IBLIS JILID 03

 


menemukannya. Dan sejak itu, setelah tahu bahwa pamannya
139 juga terancam, Sui In selalu berjaga-jaga dan ia mendapatkan
sebuah kamar berdampingan dengan kamar paman dan bibinya.
Rasa kecewa, duka dan marah membuat Sui In tidak enak makan
tidak nyenyak tidur. Kalau saja ia mempunyai anak, maka
ditinggal mati suaminya ini tentu tidak begitu hebat. Kini ia hidup
menjanda, baru berusia duapuluh enam tahun, namun tidak
mungkin menikah lagi! Pada jaman itu, bagi seorang janda, apa lagi janda seorang
pejabat tinggi, tentu saja merupakan hal yang memalukan dan
merendahkan kalau ia menikah lagi! Setiap orang janda dipaksa
oleh lingkungan dan keadaan dan kesusilaan untuk tinggal
menjanda selama hidup! Dan ia baru berusia duapuluh enam tahun, cantik manis dan
bagaikan setangkai bunga sedang semerbak harum, sedang
mekar-mekarnya membuat para kumbang mabok kepayang. Ia
merasa seperti seekor burung dalam sangkar emas yang sempit.
Ia ingin terbang, ingin bebas di udara. Akan tetapi, pamannya
perlu dijaga dan dilindungi keselamatannya! Pamannya orang
yang amat baik hati dan ia telah berhutang banyak budi kepada
pamannya. Dan memang Ciok Tai-jin seorang yang bijaksana. Pembesar ini
cukup waspada dan dia tahu benar betapa keponakan isterinya
yang kini menjadi janda setiap hari termenung dan tenggelam
dalam duka, maka pada suatu malam, dia dan isterinya mengajak
janda muda ini bicara dari hati ke hati.
140 "Sui In," kata Ciok Tai-jin. "Sudah beberapa bulan sejak suamimu
meninggal dunia, engkau pindah ke rumah kami dan engkau
menjaga keselamatanku, terutama di waktu malam. Akan tetapi
kami melihat engkau tenggelam dalam duka dan engkau jelas
kelihatan tidak betah tinggal di sini. Engkau jarang makan dan
setiap malam menjaga keamanan, hanya tidur sebentar di waktu
siang. "Sui In, katakanlah, apa yang kaukehendaki! Jangan sampai kami
orang-orang tua yang menjadi penghalang kebahagiaanmu, kami
tahu betapa nasibmu gelap dipenuhi duka, dan kami tidak ingin
menambah beban penderitaan batin yang kaupikul dengan
memaksamu bertugas seperti ini."
Ditanya demikian, Sui In menangis. Bibinya merangkulnya dan
setelah dapat mengatur pernapasannya yang penuh duka, Sui In
lalu memberi homat kepada paman dan bibinya.
"Sebetulnya, sudah lama saya ingin bicara, akan tetapi saya takut
kalau dianggap sebagai orang yang kejam dan tidak mengenal
budi. Paman terancam penjahat, bagaimana mungkin saya
meninggalkan paman" Ah, saya tidak tahu lagi apa yang harus
saya katakan atau saya perbuat. Kalau saja saya dapat
mengetahui siapa si laknat Kwi-eng-cu itu! Tentu akan saya
tantang untuk mengadu nyawa!"
"Sui In, katakan saja apa sebenarnya yang kaukehendaki.
Mengenai diriku dan keselamatanku, tidak perlu kaupikirkan
benar. Kalau perlu, aku dapat minta bantuan panglima untuk
141 mengirim beberapa orang jagoan agar menjadi pengawal
pribadiku. Katakanlah, apa sebenarnya yang kauinginkan?"
"Paman, saya ingin mencari pembunuh suamiku itu sampai
dapat, agar saya dapat membalas kematian suamiku!" kata Sui In
penuh semangat. "Bukankah selama ini engkau sudah berusaha mencarinya"
Bahkan bukan hanya engkau yang mencarinya. Pemerintah juga
mencari dan aku mendengar bahwa Cian Ciang-kun sendiri yang
turun tangan untuk mencari dan membongkar rahasia Si
Bayangan Iblis." "Akan tetapi sampai kini tidak ada hasilnya, paman. Si Bayangan
Ib1is itu terlalu lihai dan agaknya saya harus mencari bantuan."
"Bantuan siapa, Sui In?"
"Saya mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai,
paman, dan dia kini kabarnya bertapa di bukit sunyi dekat Telaga
See-ouw. Saya ingin mencari dia dan minta bantuannya. Dengan
bantuannya, tentu saya akan dapat menemukan Si Bayangan
Iblis yang mengacau di kota raja itu."
Ciok Tai-jin mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya.
"Hemm, pikiran yang bagus, Sui In. Kenapa engkau tidak
mencarinya?" "Itulah paman, yang menjadi pemikiranku. Aku tahu bahwa
paman juga terancam Si Bayangan Iblis, maka saya tidak berani
142 meninggalkan paman. Saya harus selalu melindungi paman dari
serangannya." "Engkau benar sekali, Sui In keponakanku yang baik, kalau bukan
engkau yang melindungi keselamatan pamanmu, habis siapa lagi
yang dapat kami percaya?" kata bibinya yang merasa khawatir
sekali akan keselamatan suaminya.
"Ah, engkau ini hanya mementingkan diri sendiri saja!" tegur Ciok
Tai-jin kepada isterinya, lalu memandang keponakannya.
"Sui In, mengenai diriku, jangan khawatir. Aku akan mengundang
beberapa orang jagoan untuk melindungiku. Kalau kaupikir,
dengau bantuan susiokmu itu engkau akan dapat menangkap Si
Bayangan Iblis, pergilah mencarinya. Apakah engkau
memerlukan pasukan untuk menemanimu?"
Bukan main girang dan lega rasa hati Sui In. "Tidak perlu, paman.
Saya dapat pergi sendiri saja. Kalau sudah bertemu susiok, saya
akan mengajaknya ke sini, paman. Dia memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi, lebih tinggi dari saya, maka dengan bantuannya,
tentu kami akan dapat meringkus Si Bayangan Iblis dan kematian
suami saya dapat terbalas."
Demikianlah, dengan bekal pakaian, uang dan membawa
sepasang pedangnya Sui In meninggalkan rumah gedung
pamannya dan melakukan perjalanan ke See-ouw. Ia tidak tahu
bahwa beberapa hari setelah ia pergi, rumah gedung Pamannya
diserbu Si Bayangan Iblis dan seperti telah kita ketahui, serbuan
itu gagal berkat kehadiran Liong-li. Andakata tidak ada Liong-li,
walaupun di situ terdapat beberapa orang jagoan pengawal yang
143 diundang Ciok Tai-jin sebagai pengganti Sui In, tentu
keselamatan Wakil Menteri Pajak itu terancam bahaya maut.
Sui In yang melakukan perjalanan, pada suatu sore tiba di dusun
Kim-tang dan karena sehari itu ia melakukan perjalanan cukup
jauh tanpa berhenti, bahkan tidak makan siang, perutnya terasa
lapar dan iapun memasuki sebuah rumah makan di dusun yang
ramai itu. Biarpun ia tahu betapa banyak pasang mata pria
melemparkan pandangan kagum kepadanya, Sui In yang sudah
terbiasa akan hal itu, tidak perduli lalu menghampiri meja kosong
yang ditunjukkan seorang pelayan yang menyambutnya.
"Toanio hendak memesan apakah" Makanan" Minuman?" tanya
pelayan muda itu dan pandang matanya yang menatap wajah
tamu itupun penuh dengan kekaguman.
"Aku lapar dan ingin makan. Beri nasi putih dan masakan apakah
yang paling lezat dan terkenal di rumah makan ini?" Sui In sehari
tidak makan dan ia ingin makan enak.
Pelayan itu segara menjawab tanpa dipikir lagi karena pertanyaan
seperti itu seringkali dia dengar dari para pelancong yang datang
dari kota. "Masakan kami yang paling lezat dan terkenal adalah Ikan Lee
dimasak jahe, nona. Ikan Lee dari Telaga See-ouw aseli, gemuk
dan semua tulangnya dibersihkan. Juga masakan kami Udang
Saus tomat amat sedap. Sup ayam jamur kami juga enak."
"Cukup sudah. Beri aku masakan tiga macam itu, nasi putih dan
air teh." 144 "Arak, toanio (nyonya)?"
"Tidak, atau...... kalau ada anggur merah yang tidak begitu keras
boleh juga beri sebotol kecil saja."
Pelayan itu mundur dan Sui In termenung. Ketika ia menjadi
pengantin baru, pernah suaminya mengajaknya pesiar ke Telaga
See-ouw. Rumah makan ini belum ada, akan tetapi suaminya
juga menyuruh beli masakan-masakan yang lezat dan mereka
makan di perahu. Pedih rasa hati Sui In. Betapa lamanya sudah peristiwa yang
mesra itu lewat, hanya tinggal kenangan. Jauh sebelum suaminya
meninggal dunia, kemesraan itu sudah lenyap tak berbekas lagi.
Tidak, ia tidak menyalahkan suaminya, hanya menyalahkan nasib
dirinya. Andaikata ia dikurniai putera, tentu suaminya tidak mau
menengok wanita lain dan kemesraan itu dapat dipertahankan.
Sudah, ia tidak mau lagi mengenangkan semua itu. Dan baru
setelah suaminya tewas, ia menemukan dirinya sendiri. Ketika
menikah dengan suaminya itu, tidak ada rasa cinta dalam
batinnya. Itu masalahnya cintanya adalah cinta yang ia paksakan,
untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri.
Dan suaminya memang seorang yang bijaksana. Banyak sudah
budi diterimanya dari suaminya, bahkan kini sebagian besar harta
peninggalan suaminya diberikan kepadanya. Ia menjadi seorang
janda yang muda dan kaya.
Hartanya itu ia titipkan kepada pamannya, Pembantu Menteri
Pajak. Dan pihak mertuanya juga mau membebaskannya, tidak
145 mengikatnya, karena memang ia tidak mempunyai anak dari
keluarga Cia. Mereka itu amat baik kepadanya. Ia berhutang budi
kepada keluarga Cia. Karena itu, ia baru mencari pembunuh
suaminya dan membalas dendam itu!
Tak lama kemudian, lamunannya membuyar ketika pelayan
datang membawakan masakan yang dipesannya. Masih
mengepul panas tiga macam masakan itu dihidangkan di
depannya, berikut nasi putih, air teh dan sebotol anggur merah.
Hidungnya kembang kempis. Masakan itu mengepulkan uap yang
sedap, juga anggur merah itu ketika dibuka tutupnya,
menghamburkan bau yang harum dan lezat. Perutnya segera
berkeruyuk menghadapi tantangan itu.
Sui In makan seorang diri. Pelayan tadi tidak membual. Masakan
ikan Lee dengan jahe itu sedap bukan main. Daging ikannya
lunak dan sama sekali tidak ada tulangnya. Gurih bukan main,
dan cocok dimakan dengan bumbu penyedap kecap manis. Nasi
putihnya juga hangat dan harum.
Ketika ia mencoba masakan lain, ia girang dan kagum. Udang
saus tomat itupun enak. Udangnya sebesar jari kaki, dagingnya
putih kemerahan dan terasa manis, dan tidak berbau amis. Juga
ikan Lee itu tidak berbau amis. Pandai memang tukang
masaknya. Dan sup ayam dengan jamur itupun sedap dan segar.
Kuahnya enak sekali. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, biarpun sedang
tenggelam dalam kenikmatan dan kelezatan makan, tetap saja
Sui In tidak pernah lengah dan baik telinganya, maupun kerling
146 matanya, tidak pernah melepaskan perhatian terhadap keadaan
di sekelilingnya. Oleh karena itu, iapun tahu ketika ada tiga orang
tamu baru saja masuk dan duduk di meja sudut kiri dalam, hanya
terpisah lima meja saja dari tempat duduknya.
Dengan kerling mata ke kiri, ia melihat bahwa tiga orang itu
adalah laki-laki yang berusia antara empatpuluh sampai
limapuluh tahun, ketiganya berpakaian mewah namun masih jelas
dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia
persilatan. Yang seorang, paling tua berusia limapuluhan tahun,
bertubuh jangkung dan rambutnya sudah putih semua walaupun
mukanya masih nampak muda. Senyumnya anggun dan sikapnya
berwibawa, sinar matanya tajam dan memerintah. Di
punggungnya nampak gagang sebatang pedang.
Dua orang kawannya bersikap sebagai orang bawahan, usia
mereka kurang lebih empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun.
Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan mukanya
dipenuhi tawa, cerah dan lucu, akan tetapi matanya menyinarkan
kekejaman. Orang kedua pendek kurus condong ke arah cebol,
akan tetapi mukanya bengis. Dua orang inipun membawa pedang
yang tergantung di punggung.
"Heii, pelayan! Bawa arak seguci besar! Cepaaatt!!" terdengar si
gendut berteriak. Pe- layan berlari-lari mendatangi dan pria
jangkung itu dengan suara lembut namun tegas dan galak,
memesan masakan. Sui In tidak mau memperhatikan lagi karena si gendut itu terangterangan memandangnya dengan sikap kurang ajar. Apalagi
147 pada saat itu, perhatiannya tertarik oleh seorang tamu baru yang
memasuki ruangan itu. Seorang pria yang bukan main! Pria itu
usianya kurang lebih duapuluh tujuh tahun.
Tubuhnya sedang saja, namun tegak dan gagah. Wajahnya
tampan dan jantan, wajah yang agaknya sudah digembleng
kekerasan hidup. Namun pakaiannya yang terbuat dari sutera
putih-putih itu berpotongan pakaian seorang pelajar atau
sasterawan. Pakaian itulah yang membayangkan kelembutan
seorang siu-cai (sarjana), namun lekuk di dagunya
membayangkan kejantanan yang kuat.
Biarpun hanya memandang sepintas lalu, diam-diam Sui In
kagum. Rasa kewanitaannya tersentuh. Seorang pria yang jantan
dan penuh daya tarik, pikirnya. Akan tetapi perasaan itupun
hanya lewat saja, karena ia bukanlah seorang wanita yang
mudah terguncang ketampanan seorang pria. Akan tetapi ia
masih sempat melihat betapa pria itupun ketika duduk di
mejanya, hanya terpisah dua meja dari tempatnya, menatap
kepadanya dan diam-diam ia terkejut. Tatapan mata itu sungguh
luar biasa. Sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, akan tetapi
karena mulutnya tersenyum, maka wajah itu nampak lembut.
Orang muda itu tentu seorang sarjana yang lembut dan pintar,
pikir Sui In, akan tetapi tentu saja lemah. Seperti mendiang
suaminya. Akan tetapi suaminya memang lemah sekali, bahkan
lembut seperti wanita. 148 Pria di depannya ini jantan, walaupun hanya seorang sasterawan
atau seorang terpelajar. Tidak membawa senjata, juga tidak
nampak bayangan kekerasan. Bahkan pakaiannya yang serba
putih, itu nampak bersih sekali. Sungguh jauh bedanya dengan
tiga orang pria yang pertama itu, penuh kekerasan.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa dari meja di sudut kanan.
Di sana sejak tadi memang ada empat orang laki-laki muda
sedang makan minum dan kini agaknya mereka sudah mabokmabokan.
Sui In tadipun sudah melihat mereka. Empat orang pemuda dari
kota, mungkin putera-putera orang kaya atau orang berpangkat.
Usia mereka antara duapuluh sampai duapuluh empat tahun dan
lagak mereka menjemukan. Jelas bahwa mereka adalah orangorang muda yang royal, tidak pandai cari uang akan tetapi pandai
menghamburkannya. 


Tadi pun mereka memandang ke arah Sui In dengan sinar mata
mengandung kekurangajaran, akan tetapi Sui In tidak
memperdulikan mereka, bahkan selanjutnya tidak pernah melirik
ke arah meja mereka karena ia tahu bahwa pemuda-pemuda
hidung belang seperti itu, sekali dilirik tentu akan menjadi
semakin berani dan semakin kurang ajar. Ia tentu saja tidak takut
kepada mereka, akan tetapi iapun tidak ingin memancing
keributan. "Ha-ha-ha, setiap orang dapat saja membawa pedang, untuk
perhiasan!" 149 "Ha-ha, atau mungkin juga untuk lagak saja, untuk menakutnakuti!"
Empat orang pemuda itu tertawa-tawa lagi. Seorang di antara
mereka, yang kepalanya besar, terang-terangan kini memandang
kepada Sui In dan bicaranya kini lebih berani. "Ia makan minum
seorang diri saja, sayang seorang secantik itu. Biar kuajaknya ia
makan minum bersama kita."
"Huh, kau takkan berani! Ia tentu sudah bersuami," kata seorang
temannya yang kurus. "Apa" Aku tidak berani mengajak seorang wanita" Hemm, biar ia
gadis atau isteri orang, kalau Ji-kongcu (tuan muda Ji) yang
mengajaknya, pasti ia mau! Ha-ha-ha, kalian lihat saja!"
Si kepala besar ini bangkit berdiri ditertawai oleh si kurus yang
berpakaian mewah. Dua orang kawan lain yang berpakaian
seperti orang-orang ahli silat hanya tersenyum-senyum saja.
Agaknya mereka ini hanya pengikut dan memang mereka adalah
tukang- tukang pukul pemuda she Ji itu.
Pada saat itu, Sui In sudah selesai makan dan ia merasa lega
bahwa gangguan itu datang setelah ia selesai makan, karena
kalau tidak tentu akan mengganggu selera makannya. Ia merasa
kenyang dan puas. Ikan Lee itu memang lezat sekali, dan jahe itu
membuat perutnya terasa hangat, apa lagi ditambah anggur
merah. Ia tahu bahwa gangguan datang karena percakapan yang terangterangan dan tidak lirih itu jelas ditujukan kepadanya. Di rumah
150 makan itu, hanya ia seoranglah wanita yang makan sendirian.
Ada pula beberapa orang wanita akan tetapi mereka makan
dengan keluarga mereka dan kebetulan wanita yang masih muda
hanya ia seorang. Siapa lagi kalau bukan ia yang mereka
maksudkan" Iapun tidak merasa heran ketika pemuda berpakaian mewah
yang kepalanya besar itu dengan jalan terhuyung karena
setengah mabok, menghampiri mejanya. Ia pura-pura tidak tahu,
bersikap tenang saja sambil menghirup teh panas yang harum
dari mangkok teh yang kecil. Akan tetapi karena kebetulan
duduknya menghadap ke arah meja di mana duduk pemuda
berpakaian putih, untuk pertama kalinya sejak ia melihat pemuda
ini masuk, ia memandang dan pada saat itu, si pemuda
berpakaian putih juga sedang memandang ke arah mejanya.
Alis yang tebal hitam dari pemuda berpakaian putih itu sedikit
berkerut ketika dia melihat si kepala besar mendekati meja Sui In
sambil cengar cengir. Akan tetapi, hanya sebentar saja pandang
mata mereka saling bertemu karena keduanya segera
mengalihkan pandang mata.
Sui In harus memperhatikan pemuda mewah yang kini sudah
bediri dekat mejanya, bahkan kedua tangannya diletakkan di tepi
mejanya, dengan jari-jari direntangkan seolah-olah hendak
memamerkan cincin yang. memenuhi semua jari kedua
tangannya, kecuali, ibu jarinya!
"APA engkau hendak menjual cincin" Tidak, aku tidak butuh
cincin!" 151 Karena kata-kata ini diucapkan dengan cukup lantang dan Sui In
memandang ke arah kedua tangan yang berada di tepi mejanya,
si kepala besar itu terkejut dan mukanya ber?ubah merah sekali,
apa lagi karena terdengar suara ketawa temannya yang kurus,
bahkan ada pula suara ketawa dari meja lain, entah siapa.
"Heh-heh, Ji-toako, engkau disangka penjual cincin di pasar, haha!"
Pemuda she Ji itu merasa malu, akan tetapi dia mengira bahwa
wanita cantik di depannya itu tidak sengaja menghinanya, apa
lagi kini dia sudah berada dekat sekali dengan wanita itu, dan
ternyata wanita itu jauh lebih cantik dari pada ketika dilihatnya
dari jauh tadi. Juga ketika bicara, bibir yang menggairahkan itu
bergerak?-gerak manis sekali. Maka, biarpun merasa malu,
pemuda berkepala besar itu tidak dapat marah kepada seorang
wanita secantik itu. "Toanio, aku bukan penjual cincin. Semua ini bukan barang
dagangan, melainkan milikku pribadi. Ketahuilah, aku pemuda
keluarga Ji, merupakan seorang pemuda yang paling kaya raya,
paling royal dan tidak ada duanya di kota Tung-cu.
"Aku tidak mengenalmu. Pergilah dan biarkan aku sendiri," Sui In
berkata. Pemuda itu masih menyeringai. "Heh-heh, moi-moi (adik) yang
manis, harap jangan menjual mahal seperti itu. Marilah, aku
sendiri yang mengundangmu untuk duduk makan minum dengan
kami semeja. Ataukah aku yang menemanimu di sini" Hei,
152 pelayan, cepat hidangkan arak baru dan semua masakan lezat
yang ada di rumah makanmu ini!"
Dia lalu duduk begitu saja dan berkata kepada Sui In. "Moi-moi,
kalau perlu, rumah makan ini bisa kubeli untukmu, heh-heh!"
Sui In mengerutkan alisnya. Orang ini semakin kurang ajar,
pikirnya, tidak lagi menghargainya dengan sebutan Toanio
(nyonya), melainkan berani menyebut moi-moi yang manis,
seolah-olah ia telah menjadi kekasihnya saja! Akan tetapi, karena
tidak ingin ribut-ribut, ia masih menahan kesabarannya.
"Hemm, sekali lagi kukatakan. Aku tidak mempunyai urusan
denganmu, aku tidak suka nenerima undanganmu, tidak suka
makan minum bersamamu dan tidak suka engkau makan minum
di mejaku ini. Pergilah dan jangan aku kehilangan kesabaranku!"
Kalimat terakhir sudah bernada keras, dan tanpa disengaja Sui In
melihat pula pemuda yang berpakaian serba putih itu tersenyum
sedikit. Juga tiga orang setengah tua yang duduk di sudut
belakang kini memandang ke arah mejanya dengan penuh
perhatian. Gemaslah rasa hati Sui In. Ulah pemuda kepala besar ini tentu
saja telah menarik perhatian orang, dan ia menduga bahwa tentu
mereka semua yang berada di rumah makan itu telah
memperhatikan dirinya. Sudah kepalang tanggung sekarang,
tidak perlu lagi ia menjaga jangan sampai ada keributan. Akan
tetapi ia tetap menuangkan lagi semangkok kecil air teh harum
yang masih panas mengepul itu dan meniupinya perlahan untuk
mendinginkannya sebelum diminumnya sedikit demi sedikit.
153 Si kepala besar itu sungguh tak tahu diri. Dia adalah seorang
pemuda kaya raya, dan putera pejabat yang sejak kecilnya telah
di manja orang tuanya dan para hamba sahayanya, sejak kecil
apapun yang dikehendakinya terlaksana.
Oleh karena itu, setelah dewasa, diapun menjadi berandalan dan
ingin dimanjakan siapapun juga. Dia tidak mengenal takut karena
selalu bergelimang kekayaan dan kekuasaan yang membuat
semua orang takut kepadanya. Mendengar ucapan Sui In, dia
mengerutkan alisnya. "Apa" Engkau berani menolak ajakanku" Nona manis, jangan
sombong engkau! Kalau perlu, aku mampu membeli dirimu, aku
mampu membeli seratus orang perempuan seperti engkau......"
Sui In marah sekali mendengar ucapan itu dan sebelum kalimat
terakhir itu habis diucapkan, ia sudah membentak, "Pergilah!"
Tangan yang memegang mangkok kecil berisi air teh panas itu
bergerak dan air dari dalam mangkok menyiram ke arah muka
pemuda kepala besar. "Ouhhhhh......!"
Bagi orang yang pernah disiram mukanya dengan air panas baru
akan tahu betapa nyerinya ketika air teh yang masih panas itu
mengenai mata, hidung dan mulut pemuda kepala besar itu.
Selagi dia bangkit dan mengeluarkan teriakan kesakitan, tiba-tiba
kaki Sui In di bawah kolong meja bergerak, menendang.
"Desss......!" Perut itu tertendang dan si pemuda berkepala besar
terlempar jauh! Bahkan, tubuhnya melewati meja kosong dan
154 meluncur ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian serba
putih yang makan minum seorang diri pula.
Melihat betapa hidangan di atas mejanya terancam hancur
berantakan, tiba-tiba tubuh pemuda berpakaian putih itu sudah
meloncat bangun dan dengan sigapnya dia menjulurkan kedua
tangan, menyambar tubuh yang melayang itu dan sekali dia
melontarkan, tubuh pemuda kepala besar itu berbelok arah
melayang ke arah mejanya sendiri.
"Brakkkkk......!" Meja itupun runtuh dan semua masakan tumpah
dan berantakan ketika meja itu tertimpa tubuh si kepala besar.
"Aduhh...... auhhh, aduhhhh.......!" Si kepala besar mengaduhaduh, juga si kurus yang menjadi temannya mengaduh dan
menyumpah-nyumpah karena muka dan pakaiannya juga
berlepotan kuah masakan. Akan tetapi dua orang teman mereka
yang lain sudah dapat berloncatan menghindar dengan gerakan
cepat sehingga tidak sampai ikut tertimpa atau tersiram kuah
masakan! Tiga orang setengah tua yang sejak tadi melihat, kini saling
pandang. Akan tetapi Sui In sudah duduk kembali menuangkan
air teh dalam mangkoknya, minum air teh panas seperti tidak
terjadi sesuatu. Juga pemuda berpakaian putih tadi nampak
masih duduk sambil makan minum, seolah-olah tidak pernah
terjadi sesuatu! Pada hal, menyambar tubuh yang melayang lalu
melontarkan kembali ke arah yang lain membutuhkan kecekatan
tangan dan juga tenaga besar.
155 Apa yang diperlihatkan oleh pemuda berpakaian putih itu
sesungguhnya bukan apa-apa baginya. Seperti permainan kanakkanak saja karena dia tentu saja dapat melakukan hal-hal yang
jauh lebih sukar dari pada sekedar melemparkan tubuh si kepala
besar tadi. Pemuda itu, walau nampaknya lemah seperti seorang
terpelajar, seorang kongcu (tuan muda), atau seorang siu-cai
(sarjana), sebetulnya adalah seorang yang memiliki nama besar
dan kalaupun wajahnya jarang muncul di dunia persilatan dan
orang tidak mengenalnya, namun namanya sudah terkenal di
empat penjuru. Hampir semua orang di dunia persilatan pernah mendengar
namanya yang besar, yaitu nama julukannya. Dia dijuluki orang
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si
Naga Putih) saja karena ke manapun dia pergi, dia selalu
berpakaian putih, dan sepak terjangnya seperti seekor naga sakti!
Si Naga Putih atau Pendekar Naga Putih ini bernama Tan Cin
Hay, berusia duapuluh tujuh tahun. Wajahnya yang tampan sama
sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pria yang
gemblengan, lebih pantas kalau dia menjadi seorang terpelajar.
Sikap dan gerak geriknya jnga lembut, tubuhnya sedang saja dan
otot-otot yang kuat itu tersembunyi di balik pakaian sehingga tidak
nampak dari luar. Pakaiannya yang serba putih amat bersih.
Satu-satunya yang membayangkan bahwa dia seorang pria
jantan yang kadang berwatak keras adalah dagunya yang
berlekuk, dan matanya yang kadang mencorong. Biarpun
namanya terkenal sekali di dunia persilatan, namun kalau tidak
perlu, jarang dia keluar ke dunia kang-ouw. Dia hidup menyendiri
156 di dusun Pat-kwa-bun tak jauh dari Telaga See-ouw, di dalam
sebuah rumah gedung yang megah dan indah. Dari rumahnya ini
saja dapat diketahui bahwa pendekar yang hidup menyendiri itu
adalah seorang yang kaya raya.
Dan memang benar demikian. Bersama Hek-liong-li Lie Kim Cu,
Pek-liong-eng Tan Cin Hay pernah mendapatkan harta karun
yang amat besar, tak ternilai besarnya. Mereka membagi dua dan
dengan bagian harta karun itu, Pendekar Naga Putih menjadi
orang yang kaya raya. Dia seorang duda. Isterinya yang tercinta tewas di tangan
penjahat, dan sejak itu, dia tidak pernah mau menikah lagi
walaupun kalau dia mau banyak gadis yang akan merasa bangga
dan berbahagia menjadi isterinya. Dia tampan, gagah,
berkepandaian tinggi, kaya raya!
Jangankan wanita yang belum dikenalnya, bahkan wanita yang
pernah bergaul dekat dengannya, yang pernah berenang di
lautan asmara bersamanya, tak pernah ada yang berhasil
mengikatnya sebagai suami. Tidak, dia tidak mau terikat dalam
pernikahan dengan seorang wanita, walaupun dia tidak menolak
untuk bercinta dengan seorang wanita yang menarik hatinya,
yang bebas, dan yang tahu bahwa dia tidak akan mau
menikahinya. Dia pantang mempergunakan kekayaan dan ketampanannya
untuk menjatuhkan hati wanita, pantang untuk menjanjikan
pernikahan lalu menipunya. Dia hanya mau mendekati wanita
yang sudah tahu bahwa dia tidak mau terikat, dan kalaupun
157 mereka berdua bercinta, hal itu dilakukan karena mereka saling
merasa suka. Pek-liong-eng Tan Cin Hay maklum bahwa di dunia persilatan,
banyak tokoh pendekar yang mencela sikapnya terhadap wanita
itu. Banyak pendekar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang
menganggapnya sebagai seorang yang mata keranjang, seorang
perayu wanita dan tukang merusak wanita, seorang petualang
cinta yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Namun, dia tidak memperdulikan anggapan orang. Dia sudah
meneliti diri sendiri dan tidak menemukan watak seperti yang
dikatakan orang terhadap dirinya. Tidak, dia tidak akan pernah
memaksa seorang wanita untuk bercinta dengannya, baik
memaksa dengan kekerasan atau memikatnya dengan
kekayaannya, kepandaiannya atau ketampanannya.
Dia tidak pernah jatuh cinta dalam arti seperti cintanya terhadap
mendiang isterinya dahulu. Dia tidak pernah ingin memperisteri
seorang wanita. Dan hubungannya dengan seorang wanita terjadi
karena mereka saling mengagumi, saling tertarik, dengan penuh
kesadaran bahwa hubungan itu tidak akan berlanjut ke jenjang
pernikahan. Dia tidak pernah menipu! Bahkan tidak jarang dia
menjauhkan diri sebelum terjadi hubungan cinta kalau seorang
gadis atau seorang janda benar jatuh cinta dan menginginkan
menjadi isterinya. Kini empat orang muda itu menjadi marah bukan main. Pemuda
berkepala besar dan pemuda kurus yang berpakaian mewah itu
adalah dua orang yang merasa diri mereka sebagai kongcu158
kongcu (tuan muda) yang harus ditaati semua perintah mereka.
Mereka itu putera-putera orang kaya raya yang sejak kecil
dimanja dan dituruti semua permintaan mereka.
Dua orang kawan mereka adalah tukang pukul mereka yang
hidup bagaikan lintah, menempel kepada dua orang muda kaya



itu. Ke manapun mereka berdua yang sakunya penuh uang itu
pergi, tentu ada saja pemuda-pemuda tukang pukul yang
mengikuti mereka sebagai pengawal dan juga sebagai
pembonceng berbelanja apa saja.
"Hajar perempuan itu!" bentak si kepala besar yang masih
mengaduh-aduh karena mukanya kini seperti udang direbus,
kemerahan terkena kuah dan air teh panas. Dia menuding ke
arah Cu Sui In dengan mata melotot lebar.
"Ia harus mencium kaki kami untuk minta ampun!" kata pula si
kurus yang juga terkena percikan kuah dan kini dia sibuk
membersihkan pakaiannya yang kotor dan basah.
Dua orang tukang pukul itu menghampiri Cu Sui In dengan sikap
mengancam. Sui In sudah selesai makan atau memang ia sudah
kehilangan seleranya, maka ia bangkit dari duduknya dan
menggapai pelayan karena ia ingin membayar harga makanan
dan minumannya lalu pergi dari situ secepatnya.
Seorang pelayan bergegas datang menghampirinya, akan tetapi
dua orang tukang pukul itu mendorongnya sehingga terpelanting.
"Pergi kau!" bentak seorang di antara dua tukang pukul itu, yang
berjenggot kambing. 159 Orang kedua, yang matanya juling, berkata kepada Sui In dengan
nada memerintah. "Bocah sombong, hayo cepat berlutut mohon ampun kepada
kedua orang kongcu kami, atau engkau ingin aku memaksamu
berlutut?" Dia menghampiri dengan sikap mengancam.
"Berlutut dan cium kaki kedua kongcu kami!" bentak pula si
jenggot kambing. Wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan sinar mata yang
jeli itu kini mencorong, tanda bahwa Sui In marah bukan main
mendengar ucapan yang nadanya menghina itu.
"Aku tidak ingin mencari perkara, akan tetapi kalau kalian tidak
cepat pergi dari sini dan menutup mulut kalian yang kotor,
terpaksa kalian akan kuhajar!" katanya, lembut namun
mengandung ancaman. "Heiiiittt!" Si mata juling segera memasang kuda-kuda, kedua kaki
terpentang, kedua lutut ditekuk dan pinggulnya menonjol ke
belakang, kedua lengan menyilang di depan dada, dengan
tangan membentuk cakar. Lagaknya yang digagah-gagahkan itu
lucu sekali. "Hyatttt......!" Si jenggot kambing juga memasang kuda-kuda,
lebih gagah lagi, dengan kaki kiri diangkat dan lutut ditekuk
sehingga kaki kiri menempel di samping lutut kanan sedangkan
kaki kanan berjungkit, tangan kiri di depan pusar dan tangan
kanan diangkat tinggi menuding langit! Seolah-olah dia hendak
memainkan ilmu silat yang amat luar biasa tingginya, setinggi
160 langit. Akan tetapi karena dia tidak dapat bertahan lama dengan
sebelah kaki berjungkit, maka kaki kanan diturunkan dan kini dia
membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, kaki kiri di
belakang, kedua tangan terkepal di pinggang, siap untuk
menerjang! Melihat lagak mereka, Sui In tersenyum mengejek dan
menepiskan tangannya seperti orang mengusir lalat. "Sudahlah,
kalian badut-badut menjemukan, aku mau pergi!" Ia lalu
melangkah dan sama sekali tidak memperdulikan kedua orang
yang memasang kuda-kuda dan siap menyerangnya itu.
Melihat betapa gadis itu tidak takut menghadapi kuda-kuda
mereka yang gagah, dua orang tukang pukul itu marah dan ketika
gadis itu lewat di antara mereka, keduanya seperti berlomba lalu
menubruk maju, berlumba untuk merangkul gadis itu. Si jenggot
kambing merangkul leher, dan temannya si mata juling merangkul
pinggang Sui In membiarkan sampai serangan mereka itu datang
dekat, lalu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat ke depan.
Dua orang yang sudah yakin akan berhasil menubruk dan
merangkul itu, girang sekali.
"Bressss......!" Mereka mengaduh karena mereka ternyata saling
tubruk dan saling rangkul, bahkan kepala mereka saling bertemu
dengan kerasnya. Terdengar suara tertawa bergelak dan yang
tertawa ini adalah Pek-liong yang tak dapat menahan kegelian
hatinya melihat lagak dua orang itu, dan diapun girang dan
kagum melihat kecekatan gadis manis itu.
161 "Keparat kau!" bentak si jenggot kambing sambil mencabut
goloknya. "Perempuan hina!" bentak pula si mata juling dan diapun
mencabut goloknya. Akan tetapi, Sui In tetap tenang, tidak
mengeluarkan senjatanya karena dara ini sudah dapat mengukur
bahwa dua orang lawannya itu lebih mengandalkan kenekatan
dari pada kepandaian. Mereka itu seperti dua buah tong kosong
yang berbunyi nyaring. Dengan teriakan-teriakan menyeramkan, ke dua orang itu kini
menggerakkan golok mereka dan menerjang ke arah Sui In,
bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan benar-benar
menyerang! Namun, Sui In dengan mudahnya berloncatan
mengelak. Dua orang itu mengamuk terus, mengejar ke manapun Sui In
meloncat sehingga golok mereka menyambar-nyambar dan
merobohkan beberapa buah kursi yang menjadi patah-patah.
Melihat ini, pemilik rumah makan itu menjadi panik. Bisa hancur
semua perabotnya! "Sudah! Sudah......, harap
Berulang-ulang dia berteriak.
jangan berkelahi di sini........!" Melihat ini, Sui In merasa kasihan, maka ketika dua batang golok
itu menyambar, tubuhnya merendah dan kedua lengannya
berkembang, tangannya sudah menotok ke arah siku dua orang
penyerangnya. Golok itu terlepas dan pada detik berikutnya, kaki
kanan gadis itu terangkat dan dua kali bergerak menendang ke
arah perut dua orang lawannya.
162 Kaki itu menendang dengan gerakan cepat dan indah, dua kali
bergerak tanpa turun dulu. Nampaknya tendangan itu tanpa
tenaga, akan tetapi, begitu mengenai perut si jenggot kambing
dan si mata juling, keduanya berteriak kesakitan, dan terjengkang
lalu mengaduh-aduh sambil mengelus perut mereka yang
mendadak terasa mulas dan nyeri sekali!
Kini Sui In melangkah ke arah meja dua orang pemuda kaya itu,
tanpa memperdulikan, lagi dua orang bekas lawan yang
mengaduh-aduh. Matanya yang jeli itu menatap wajah kedua
orang pemuda hartawan itu dengan sinar mencorong.
Dua orang pemuda itu berdiri menggigil ketakutan melihat betapa
dua orang tukang pukul mereka roboh tak berdaya. Apa lagi
melihat sinar mata gadis itu, mereka ketakutan dan kedua kaki
mereka menggigil, dan ketika Sui In tiba di depan mereka, tak
dapat ditahan lagi celana mereka menjadi basah! Melihat ini, Sui
In merasa jijik. Tangan kirinya bergerak, dua kali ke arah muka
mereka. "Plok! Plok!" Tubuh dua orang pemuda hartawan itu terpelanting
dan ketika mereka bangkit duduk sambil memegangi pipi yang
membengkak dan mulut berdarah karena beberapa buah gigi
mereka rontok, gadis itu sudah membayar harga makanan tanpa
bicara lagi, dan melangkah pergi.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay kagum bukan main. Gadis hebat,
pikirnya dan dia merasa puas. Kalau lebih banyak wanita seperti
gadis berpakaian hijau itu, tentu berkuranglah laki-laki iseng yang
suka mengganggu wanita dengan cara yang kurang sopan.
163 Diapun mengenal gerakan wanita itu ketika tadi menghadapi
serangan dua batang golok, cara mengelak, kemudian tendangan
beruntun itu. Gerakan gadis itu mempunyai ciri khas yang datang dari sumber
partai persilatan Kun-lun-pai. Gadis itu tentu seorang murid Kunlun-pai, pikirnya. Murid yang sudah jadi, sudah matang menurut
dugaannya. Tentu saja ini hanya dugaan karena untuk
menentukan tingkat gadis itu, dia harus melihat gadis itu bersilat
berkelahi sungguh- sungguh, terutama menggunakan ilmu silat
tangan kosong dan ilmu pedangnya.
Sambil tersenyum dia melihat betapa empat orang pemuda itu
merangkak-rangkak, membayar harga makanan, bahkan
membayar pula kerugian yang timbul karena kerusakan meja
kursi dan pecahnya mangkok piring akibat perkelahian tadi.
Kemudian mereka pergi dari situ, si kepala besar tidak malu-malu
menangis dan mengaduh-aduh karena pipinya bengkak dan
banyak giginya sebelah kanan rontok!
Akan tetapi, Cin Hay yang sudah hampir melupakan lagi gadis
berpakaian hijau yang lihai dan menarik itu, dan hendak
melanjutkan makan minumnya, tiba-tiba tertarik melihat sikap tiga
orang pria-pria setengah tua yang tadi dia lihat makan pula di
meja lain. Dari sikap mereka, diapun tahu bahwa mereka adalah
orang-orang yang biasa bertualang di dunia persilatan. Akan
tetapi tadi dia tidak memperhatikan mereka.
Baru sekarang dia menaruh perhatian ketika melihat betapa tiga
orang itu bicara bisik- bisik dan kadang menoleh ke luar setelah
164 gadis berpakaian hijau tadi meninggalkan rumah makan itu.
Alisnya berkerut. Jelas bahwa mereka itu bukan orang-orang
lemah, terutama sekali orang yang berusia limapuluh tahun dan
rambutnya sudah berwarna putih semua itu.
Pernah dia mendengar akan seorang tokoh sesat yang
rambutnya sudah putih semua dan terkenal ahli bermain pedang,
julukannya Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih). Inikah orangnya"
Diapun memperhatikan dua orang yang lain. Yang seorang
berperut gendut, mukanya ramah akan tetapi matanya bersinar
kejam. Orang kedua kurus pendek dengan wajah bengis.
Tak lama kemudian, tiga orang ini bangkit dari meja dan
membayar harga makanan, lalu bergegas mereka keluar. Cin Hay
melirik ke arah meja mereka. Mereka itu belum selesai makan,
akan tetapi mengapa tergesa-gesa pergi" Dan mereka tadi jelas
membicarakan si nona baju hijau!
Timbul kecurigaannya dan diapun segera membayar harga
makanan lalu melangkah keluar. Di luar masih terdapat beberapa
orang yang tadi tertarik melihat keributan yang terjadi dalam
rumah makan dan mereka itu kini sedang membicarakan gadis
baju hijau dengan kagum. Cin Hay masih sempat melihat mengepulnya debu bekas kaki tiga
ekor kuda itu menuju ke utara, maka diapun berjalan dengan
langkah lebar menuju ke utara. Setelah keluar dari dusun Kimtang, sebagai seorang yang tinggal di daerah Telaga See-ouw,
tentu saja dia mengenal baik daerah ini dan melihat betapa masih
nampak debu bekas kaki kuda mengepul di depan, tahulah dia
165 bahwa tiga orang penunggang kuda itu menuju ke bukit hutan
cemara. Dia tahu bahwa hutan itu sunyi dan jarang dikunjungi orang
karena selain di sana tidak terdapat binatang buruan, juga banyak
bagian yang berbatu-batu dan tidak mendatangkan hasil apapun
kecuali kayu pohon cemara. Diapun segera mengerahkan tenaga
berlari cepat setelah tiba di jalan yang sunyi, membayangi tiga
orang penunggang kuda itu.
Kini dia sudah kehilangan tiga orang penunggang kuda karena
mereka sudah memasuki hutan di kaki bukit. Cin Hay yang
merasa curiga, terus membayangi, bahkan mempercepat larinya
untuk menyusul karena kalau sudah tiba di hutan, dia dapat
membayangi dari jarak yang lebih dekat tanpa mereka ketahui.
Sementara itu, Sui In setelah meninggalkan rumah makan,
segera melanjutkan perjalanannya. Ia ingin mengunjungi
susioknya (paman gurunya) yang bertapa di Bukit Cemara itu.
Susioknya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai, dan ia percaya
bahwa kalau susioknya membantu, akan lebih mudah baginya
untuk mencari Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) sampai dapat dan
membalas dendam atas kematian suaminya, juga menghentikan
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja selama ini.
Ketika Sui In tiba di luar dusun, iapun menggunakan ilmu berlari
cepat menuju ke bukit Cemara. Setelah hampir tiba di kaki bukit,
ia merasakan sesuatu yang tidak wajar, yang membuatnya
menengok dan iapun melihat tiga orang penunggang kuda
membalapkan kuda mereka. 166 Ia tidak tahu siapa mereka, akan tetapi menduga bahwa tentu
mereka itu orang-orang yang hendak membalaskan kekalahan
empat orang pemuda kurang ajar yang dihajarnya di rumah
makan tadi. Maka iapun mempercepat larinya dan tibalah ia di
hutan cemara yang mulai dari kaki bukit. Akan tetapi, tiga orang
penunggang kuda itu terus mengejar memasuki hutan.
Ia menjadi penasaran sekali. Tentu saja ia tidak takut
menghadapi mereka, dan kalau mereka itu hendak membela
empat orang pemuda kurang ajar tadi, ia akan menghajar mereka
pula! Maka, setelah tiba di tempat terbuka, ia berhenti untuk
mengaso dan melihat siapa mereka yang melakukan pengejaran
itu. Tiga orang penunggang kuda itu berlompatan turun dari atas
kuda mereka ketika melihat bahwa gadis yang mereka kejar
sudah berdiri menanti di atas lapangan terbuka, dengan sikap
yang gagah dan menantang! Tiga orang penunggang kuda itu
sesungguhnya bukanlah tukang-tukang pukul biasa yang hendak
membela empat orang pemuda tadi seperti yang disangka oleh
Sui In. Sama sekali bukan!
Mereka adalah tiga orang setengah tua yang tadi makan pula di
rumah makan dan mereka melihat pula ketika Sui In menghajar
para pemuda kurang ajar itu. Justeru gerakan gadis itulah yang
menarik perhatian mereka dan yang membuat mereka melakukan
pengejaran. Gerakan ilmu silat Sui In ketika menghadapi para pemuda jahat
tadi mereka kenal sebagal ilmu silat Kun-lun-pai. Gadis itu murid
167 Kun-lun-pai dan karenanya harus mati di tangan mereka! Atau
lebih tepat lagi harus mati di tangan laki-laki berambut putih itu,
karena yang dua orang lainnya hanyalah merupakan para
pembantunya. Siapakah mereka bertiga itu" Dugaan Pek-liong tadi memang
tidak keliru. Pria berusia limapuluhan tahun yang rambutnya
sudah putih semua itu adalah Ciong Hu, berjuluk Pek-mau-kwi
(Setan Rambut Putih), seorang tokoh sesat kenamaan. Pek-maukwi Ciong Hu ini terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, dan
diapun terkenal jahat dan kejam. Dia tidak pantang melakukan
kejahatan apapun asal perbuatan itu menghasilkan keuntungan
baginya. Adapun dua orang temannya juga bukan orang sembarangan,
melainkan tokoh-tokoh sesat yang namanya ditakuti orang karena


selain kejam, merekapun lihai sekali. Terutama mereka yang suka
mengarungi Sungai Huang-ho dengan perahu, tentu akan
mengenal nama mereka. Mereka adalah dua orang kakak beradik yang suka membajak di
sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan merekapun
Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang
berperut gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya
kejam berusia empatpuluh lima tahun dan bernama Can Kai,
sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis adalah adiknya
bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.
Melihat cara tiga orang itu berlompatan dari atas punggung kuda,
Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang ini tidak boleh
168 dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda
yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap
waspada. Ia mulai meragukan sangkaannya setelah mengetahui mereka
sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran itu pula.
Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya
tadi, tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In.
Tidak, mereka mengejarnya tentu karena alasan lain. Akan tetapi
ia bersikap tenang saja ketika berdiri berhadapan dengan mereka
bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang kepadanya
dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai
dengan sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.
"Mau apa kalian bertiga mengejarku?"
Pek-mau-kwi Ciong Hu menggerakkan tangannya. "Nona,
benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid Kun-lunpai?"
Sui In mengerutkan alisnya. "Kalau benar, mengapa?"
Akan tetapi pria berambut putih itu tidak memperdulikan Sui In
melontarkan balas tanya penuh tantangan itu. "Dan engkau
hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?"
Sui In merasa tidak perlu merahasiakan kunjungannya lagi
karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya. "Memang
aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian
siapakah?" 169 Akan tetapi tiga orang itu sudah tertawa bergelak. "Hemm,
engkau murid keponakan Giam Sun?" kini Can Kai si gendut
tertawa. "Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan
aku!" Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Can Kai
sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya gendut ternyata dia
dapat bergerak dengan cepat sekali.
Sui In cepat mengelak dan ketika lengan kanan si gendut itu
masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil mengerahkan
tenaga. "Plakk!" Can Kai mengeluarkan seruan kaget karena lengannya
yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa gadis itu memiliki
sin-kang yang cukup kuat.
"A Kai, jangan main-main. Cepat selesaikan ia, kita tidak
mempunyai banyak waktu!" tiba-tiba Pek-mau-kwi Ciong Hu
berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut
pedangnya, lalu tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung
menerjang dengan ganas. Akan tetapi, melihat lawan
menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus
pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.
"Tranggg......!" Begitu kedua pedang bertemu dan tangkisan itu
membuat pedang Can Kai terpental, pedang di tangan Sui In
sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat,
menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!
170 Si gendut ini terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, lalu
berjungkir balik sambil memutar pedang melindungi tubuhnya.
Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus! Dia
menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama
sekali tidak berani memandang rendah lagi.
Sui In juga segera memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang
amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu berubah menjadi
sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu
menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang
merupakan serangan balasan yang cepat dan berbahaya bagi
lawan. Dalam waktu duapuluh jurus saja, Can Kai sudah terdesak hebat
dan setiap lima kali serangan lawan dia hanya mampu membalas
satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan berputar-putar
dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan
roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang
lihai itu! Melihat kakaknya terdesak, Can Kui sudah mencabut pedangnya
dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun membantu
kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan
kakaknya, maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In
dapat mendesak lawan, kini ia harus berhati-hati karena setelah
dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi berubah! Wanita perkasa
ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini serangan
dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan
balasan yang dapat ia lakukan.
171 Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi tidak sabar. Tak disangkanya
bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga dikeroyok oleh dua
orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah
memperoleh kemenangan, "Hemm, perempuan yang sombong, terimalah kematianmu!"
bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu
pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa
pedangnya itu adalah sebuah senjata yang baik dan juga tajam
sekali. Pedang itu meluncur dan merupakan segulung sinar terang
menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok oleh dua orang,
Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali
serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena
pada saat itu ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya.
Pada saat yang amat berbahaya bagi Sui In, tiba-tiba nampak
sinar putih meluncur dari samping.
"Cringggg......! Ahhhh......!!" Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan
seruan kaget dan cepat memeriksa pedangnya yang hampir saja
terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh sinar putih
itu. Dia merasa lega bahwa pedangnya tidak rusak, akan tetapi
alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka memandang
kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum.
Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana
saja dan tentu dia tidak akan menduga bahwa pemuda itu
seorang ahli silat yang lihai kalau saja dia tidak melihat pedang
172 yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya terpental
tadi. "Pek-liong-eng........!" serunya dengan mata terbelalak.
Tan C'in Hay tersenyum, "Dan engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong
Hu!" "Pek-liong-eng, selama ini di antara kita tidak pernah ada
permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap engkau
tidak mencampuri urusan pribadiku!" kata Pek-mau kwi Ciong Hu,
sementara itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi
mengeroyok Sui In. "Pek-mau-kwi, memang jalan kita tidak pernah bertabrakan, akan
tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau mengeroyok seorang
wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini
tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat
laki-laki yang curang dan pengecut!"
"Pek-liong-eng, orang lain boleh takut kepada nama besarmu,
akan tetapi aku tidak! Mampuslah!" Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah
menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan
dia adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya.
Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Si Naga Putih!
Sebelum dia menjadi rekan setia dari Hek-liong-li, dia sudah
merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi, mewarisi ilmuilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia
memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka
Naga Putih), dan bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu
173 pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu pedangnya dahsyat bukan
main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya, lenyaplah
bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulunggulung yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin
menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor naga bermainmain di angkasa.
Pek-mau-kwi merasa terkejut bukan main. Dia mengerahkan
seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya,
memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya
terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih
untung baginya bahwa diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan
keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga perhatian Pek-liong
terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa itu
terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-maukwi untuk meloncat jauh ke belakang.
"Kita pergi......!" teriaknya kepada dua orang pembantunya.
Sebetulnya, Can Kai dan Can Kui sudah mulai menghimpit
lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis dan
melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan
roboh. Akan tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka
terkejut. Tadipun mereka sudah cemas mendengar pemimpin mereka
menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir lagi,
keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain
saat, mereka bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan
tempat itu. 174 Pek-liong tidak mengejar, juga Sui In tidak mencoba untuk
mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak, pandang mata
yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat
bahwa baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera
mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat
sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan yang diberikan
sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka."
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tersenyum dan membalas
penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan
dada, "Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau
kita saling membantu apa bila menghadapi ganguan orang-orang
jahat." "Aku...... aku bukan seorang nona......" Sui In tersipu mendengar
ia dipanggil "siocia" (nona). Usianya sudah duapuluh enam tahun
dan ia seorang janda! Pek-liong masih tersenyum dan kembali mengangkat kedua
tangan di depan dada memberi hormat, "Ah, maafkan aku,
nyonya......" Sui In masih tersipu akan tetapi iapun tersenyum, dan
menggeleng kepalanya. "Akupun bukan seorang nyonya......"
"Ehhh......?" Kini Pek-liong terbelalak bingung. Bukan nona dan
bukan nyonya, apakah ia banci......"
"Aku seorang janda," Sui In cepat menjelaskan.
"Ah, begitu......?"
175 Keduanya terdiam. Agaknya pengakuan dirinya sebagai seorang
janda itu membuat suasana menjadi canggung. Akan tetapi
akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di
depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan
bicara dan harus ia yang lebih dahulu bicara.
Ia mengangkat muka. Kebetulan Pek-liong juga sedang
memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu,
bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke
samping sambil memerah muka di luar kesadarannya.
"Jadi...... engkau ini yang dijuluki Pek-liong-eng itu" Namamu
sudah terkenal sampai ke kota raja."
"Ah, hanya nama kosong saja, tidak pantas untuk disohorkan,"
kata Pek-liong merendah. "Bukan nama kosong. Baru saja aku menyaksikan sendiri betapa
hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar besar). Aku sudah
mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai
dan ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa
gebrakan saja, melawanmu, dia telah melarikan diri. Sungguh
engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap."
"Wah, engkau membikin aku dua kali malu dan bingung. Engkau
tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut nyonya, akan
tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil
namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari
saja. Kalau kita ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya
engkau menyebut aku toako saja. Usiaku sudah duapuluh tujuh
176 tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah sepatutnya kalau
engkau menyebut toako (kakak) kepadaku."
Sui In tersenyum. Hatinya girang bukan main. Dahulu ia sudah
mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi ketika bertemu di
restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena tampan
dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian
dan sepak terjangnya. Dan kini, bukan saja ia berhadapan dan berkenalan dengan
pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut toako! Ia
semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan,
berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan
jujur! "Baiklah, toako, akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku
nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik perernpuan).
Usiaku sudah duapuluh enam tahun, setahun lebih muda darimu."
"Ah, tidak mungkin!"
"Apanya, yang tidak mungkin, toako?"
"Mana mungkin usiamu sudah duapuluh enam tahun" Engkau
kelihatan tidak lebih dari duapuluh tahun!" kata Pek-liong dengan
sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga,
maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.
"Sungguh, toako. Eh, kita ini sudah saling menyebut toako dan
siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama masing-masing!
177 Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui
namamu. Aku bernama Cu Sui In, toako."
"Cu Sui In nama yang bagus. Namaku sendiri Tan Cin Hay, Inmoi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan menjadi sahabat.
Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu
tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?"
Sui In menggeleng kepala. "Aku sendiri pun tidak tahu mengapa
mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi mengejarku, setelah
tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid Kun-lun-pai.
Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan
berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun


agaknya mengenal susiokku Giam Sun yang bertapa di puncak
bukit ini." "Susiokmu" Seorang tokoh Kun-lun-pai bertapa di bukit ini"
Heran sekali, mengapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu"
Pada hal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini."
"Giam Susiok (Paman Guru Giam) memang bertapa
mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang
bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana
tiga orang itu mengetahuinya dan..... ah, jangan-jangan telah
terjadi sesuatu dengan susiok....!" Wajah manis itu nampak
khawatir sekali. "Aku harus cepat melihat keadaannya!"
Setelah berkata demikian, Sui In yang mengkhawatirkan paman
gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong juga tertarik
sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ,
maka diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi.
178 Pondok itu sederhana saja, tersembunyi di bawah pohon cemara
dan semak belukar tumbuh di sekelilingnya sehingga pondok itu
tidak nampak dari bawah puncak.
"Giam susiok.......!" Sui In memanggil beberapa kali di luar
pondok. Tidak ada jawaban. Sunyi sekeliling dan perasaan hati wanita itu
semakin gelisah. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan
pendekar ini memberi isyarat dengan pandang matanya ke arah
pintu pondok, Sui In mengangguk dan mereka lalu menghampiri
pintu pondok, mendorongnya terbuka.
"Susiok......!" Sui In terkejut bukan main melihat paman gurunya
sudah rebah miring di atas lantai tanah pondok itu. Ia meloncat
masuk diikuti Pek-liong dan keduanya berlutut dekat tubuh yang
menggeletak miring. "Dia sudah tewas," kata Pek-liong dan Sui In mengangguk,
wajahnya pucat dan matanya terbelalak.
"Lihat ini......," kata Pek-liong menunjuk ke arah lantai dan ketika
Sui In memandang sambil mendekatkan mukanya, iapun melihat
betapa dekat tangan yang terkulai itu, di atas lantai tanah,
terdapat tulisan. Huruf-hurufnya cukup jelas dan ia membacanya.
"Pek-mau-kwi...... Kwi-eng-cu......!"
"Aih, Kwi-eng-cu......?"" Gadis itu nampak terkejut sekali sehingga
Pek-liong cepat bertanya.
179 "Siapa itu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)?"
Sui In memandang dengan kedua mata basah.
"Aku...... aku mencari paman justeru...... justeru..... karena urusan
Kwi-eng-cu dan ternyata paman guruku telah menjadi korban
Kwi-eng-cu pula!" Gadis itu menangis, teringat akan kematian suaminya dan kini
kematian susioknya (paman gurunya), pada hal tadinya ia
mengharapkan bantuan paman gurunya untuk dapat membalas
dendam kepada Kwi-eng-cu.
Pek-liong membiarkan wanita itu menangis sejenak, setelah Sui
In dapat menguasai dirinya, dia lalu berkata, "Sudahlah, In-moi.
Susiokmu sudah tewas dan ditangisi bagaimanapun juga, tidak
ada gunanya. Jauh lebih baik kalau kita segera mengubur
jenazahnya." Sui In mengangguk dan Pek-liong lalu mencari sebuah cangkul di
bagian belakang pondok itu, memilih tempat yang baik dan
diapun segera bekerja, menggali lubang kuburan. Dan tak lama
kemudian, jenazah Giam Sun, kakek berusia enampuluh tahun
tokoh Kun-lun-pai itu telah dikubur secara sederhana. Kemudian
disembayangi secara sederhana pula, tanpa alat sembahyang,
hanya dengan berlutut di depan makam dan berdoa di dalam hati,
namun dua orang muda itu bersembahyang dengan khidmat.
Setelah penguburan selesai, barulah Pek-liong berkata, "Nah,
sekarang coba kauceritakan kepadaku siapa itu Kwi-eng-cu dan
180 apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini dan dengan
semua peristiwa ini, In-moi!"
Sui In menarik napas panjang, terkenang akan semua peristiwa
buruk yang menimpa dirinya.
"Aku tinggal di ibu kota, toako. Selama beberapa bulan ini, di kota
raja timbul peristiwa yang menggegerkan, yaitu dengan terjadinya
pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap beberapa orang
pejabat penting. Tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh itu,
hanya ada yang melihat bayangan yang bertanduk, seperti iblis.
Karena itu maka pembunuh itu hanya dinamakan Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis) tanpa ada yang menduga siapa dia dan di mana
sarangnya. Di antara banyak pejabat yang terbunuh itu, termasuk
juga suamiku ......"
"Ah......! Suamimu seorang pejabat dan dia pun tewas oleh Kwieng-cu?"
Tentu saja Pek-liong terkejut dan kini dia memandang wajah
wanita itu dengan perasaan iba. Sui In melihat pandang mata
penuh iba itu, maka iapun berterima kasih dengan senyum kecil!
"Aku sudah dapat mengatasi peristiwa itu, toako. Bukan hanya
suamiku yang dibunuh, akan tetapi banyak pejabat, bahkan ada
pangeran yang dibunuh, pembantu menteri bahkan menteri! Kota
raja menjadi geger, dan aku sendiri setelah itu menjaga
keselamatan pamanku, yaitu Pembantu Menteri Pajak, karena
setiap orang pejabat tinggi, apa lagi yang dekat dengan kaisar,
merasa terancam dan tidak aman.
181 "Karena aku ingin sekali menangkap penjahat tukang bunuh itu,
maka setelah paman mendatangkan rombongan pengawal yang
cukup tangguh, aku lalu pergi ke sini untuk menghadap paman
guru Giam Sun, untuk minta bantuannya bersamaku menangkap
dan menghukum Kwi-eng-cu di kota raja.
"Selanjutnya, engkau tahu apa yang terjadi di sini, toako. Ahh,
sungguh malang sekali nasibku. Bagaimana pula susiok yang
akan kumintai bantuan, tahu-tahu telah dibunuh orang" Dan apa
artinya tulisan yang agaknya sengaja dia tinggalkan di tanah itu?"
Pek-liong tertarik sekali dan diapun mengerutkan alis,
mengerjakan otaknya yang sehat, yang membuat dia cerdik
sekali dan waspada. Baru sekarang dia mendengar tentang
pembunuhan-pembunuhan aneh di kota raja itu dan biarpun dia
tidak suka mencampuri urusan pemerintah, namun peristiwa itu
sungguh menarik hatinya. Terjadi kejahatan yang luar biasa
beraninya di kota raja. "In-moi, kalau boleh aku bertanya, bagaimana keadaan dan
pendirian mendiang suamimu terhadap Sribaginda Kaisar?"
Ditanya tentang suaminya itu, Sui In terkejut sekali, karena hal ini
tidak pernah disangkanya. Ia memandang dengan mata
terbelalak. "Apa...... apa maksudmu, toako?"
"Begini, In-moi. Aku ingin mengetahui bagaimana sikap para
pejabat tinggi yang terbunuh itu. Karena engkau tentu tidak
mengetahui keadaan mereka, maka aku bertanya tentang
182 suamimu. Diapun ikut pula terbunuh, berarti
persamaan atau kepentingan yang sama dengan
lain yang terbunuh. Nah, aku ingin tahu apakah
seorang pejabat yang...... maafkan pertanyaanku
apakah dia seorang pejabat yang korup?"
dia memiliki para pejabat suamimu itu kalau kasar, Secara kontan Sui In menggeleng kepala keras-keras.
"Sama sekali tidak! Baik pamanku, Ciok Tai-jin Pembantu Menteri
Pajak, dan juga mendiang suamiku, mereka adalah pejabatpejabat yang jujur dan setia, disiplin dan tidak sudi melakukan
penyelewengan demi keuntungan diri pribadi!"
Pek-liong mengangguk-angguk. "Dan bagaimana sikapnya
terhadap Sribaginda Kaisar" Setia sepenuhnyakah" Ataukah ada
sesuatu yang membuat suamimu merasa tidak suka akan
kebijaksanaan Kaisar" Secara terang-terangan atau secara
sembunyi menentang Kaisar?"
Sui In menggelengkan kepalanya dan kini ia mengerti ke arah
mana tujuan pertanyaan Pek-liong, maka iapun menerangkan.
"Akupun pernah melakukan penyelidikan tentang pembunuhanpembunuhan itu, toako, dan akupun sudah menyelidiki tentang
sikap mereka yang terbunuh. Suamiku sendiri adalah seorang
yang setia dan taat kepada kaisar. Akan tetapi, yang
membingungkan adalah bahwa di antara mereka yang terbunuh
terdapat pula mereka yang memperlihatkan sikap tidak cocok
dengan kebijaksanaan Kaisar. Jadi, pembunuhan ini jelas bukan
berdasarkan pro atau anti kaisar."
183 Pek-liong memandang wanita itu dengan kagum. Seorang wanita
yang cerdik pula, pikirnya.
"Apakah di kota raja sudah ada usaha untuk menyelidiki
pembunuhan-pembunuhan itu" Bagaimana dengan Kaisar
sendiri?" "Kaisar sudah memerintahkan semua petugas keamanan untuk
melakukan penyelidikan. Namun tanpa hasil. Akan tetapi,
sungguh aku tidak mengerti apa hubungan semua pembunuhan
di kota raja itu dengan pembunuhan terhadap susiok?"
"Tentu ada kaitannya, In-moi. Setidaknya, mereka itu jelas
memusuhi Kun-lun-pai. Buktinya, setelah mereka tahu bahwa
engkau murid Kun-lun-pai engkaupun akan mereka bunuh.
Tulisan itu menyebutkan dua nama.
"Nama Pek-mau-kwi sudah jelas. Dia adalah orang berambut
putih yang memimpin pengeroyokan terhadap dirimu. Ini berarti
bahwa ketika paman gurumu terbunuh, dia mengenal Pek-maukwi sebagai seorang di antara pembunuhnya. Melihat tingkat
kepandaiannya, kiranya kalau hanya seorang diri saja Pek-maukwi tidak akan mungkin dapat membunuh susiokmu yang tentu
lihai sekali." "Dalam hal kelihaian ilmu silat, susiok hanya lebih menang sedikit
dibandingkan aku, akan tetapi dia berpengalaman dan cerdik,
maka aku ingin minta bantuannya untuk menangkap pembunuh di
kota raja." 184 "Lebih lihai dan engkau berarti tidak kalah malawan Pek-mau-kwi.
Mungkin dia dikeroyok oleh Pak-mau-kwi bersama dua orang
pembantunya itu. Akan tetapi, diapun menulis nama Kwi-eng-cu!
Apakah pembunuh misterius di kota raja itu datang pula ke sini,
bersama Pek-mau-kwi membunuhnya?"
"Mungkin juga begitu! Sayang aku datang terlambat!" kata Sui In
penuh penyesalan. Pek-liong menggeleng kepala. Otaknya sudah bekerja karena dia
tertarik sekali oleh semua peristiwa yang terjadi, baik di bukit itu
maupun di kota raja seperti yang dia dengar dari Sui In.
"Engkau terlambat satu hari, In-moi. Pamanmu itu sudah tewas
sedikitnya lima jam yang lalu, akan tetapi melihat luka pedang di
tengkuknya, tentu dia sudah diserang orang pada hari kemarin.
Dia tentu disangka mati dan ditinggalkan para pembunuhnya,
maka dia masih mampu menuliskan nama-nama itu. Dan melihat
betapa kita bertemu dengan Pek-mau-kwi pada hari ini, bersama
dua orang pembantunya yang lihai pula itu, maka kurasa yang
membunuh pamanmu adalah tiga orang tadi. Kalau dikeroyok
tiga, sukar baginya untuk menang."
"Akan tetapi, mengapa paman guruku menuliskan nama Kwi-engcu pula?"
"Itulah yang menjadi rahasianya. Apapun rahasianya itu, jelas
bahwa antara Kwi-eng-cu dan Pek-mau-kwi ada hubungan! Jadi,
kalau kita hendak menyelidiki tentang Kwi-eng-cu, kita dapat
menyelidikinya melalui Pek-mau-kwi!"
185 "Kita......?" Sui In mengangkat muka, memandang dengan sinar
mata penuh harap. Pek-liong mengangguk. "Ya, aku akan pergi denganmu, In-moi.
Perkara ini amat menarik hatiku. Secara kebetulan saja kita saling
melihat di rumah makan itu. Kalau saja tiga orang itu tidak
menimbulkan kecurigaanku dengan sikap mereka, tentu aku tidak
akan membayangi mereka dan kita mungkin tidak akan saling
bertemu kembali." Bukan main girangnya rasa hati Sui In. Ia mencari susioknya
untuk membantunya menyelidiki pembunuh suaminya. Susioknya
tewas terbunuh orang dan sebagai gantinya, ia mendapat
bantuan dari orang yang lebih hebat dan lebih dapat dipercaya
dari pada susioknya, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
"Terima kasih, toako! Kalau engkau yang melakukan
penyelidikan, aku yakin rahasia pembunuh itu akan terbongkar
dan kita akan dapat menangkapnya! Biarpun aku berduka karena
kematian susiok, sebaliknya aku gembira sekali telah
mendapatkan engkau sebagai penggantinya untuk membantu
aku membalas dendam kematian suamiku!"
"Maaf, In-moi. Kalau aku ingin menyelidiki Kwi-eng-cu, hal itu
sama sekali tidak ada hubungannya dengan balas dendam
kematian suamimu, juga bukan sebagai seorang pendekar yang
menentang kejahatan lalu membela para pejabat. Aku bukan
pendekar, aku seorang manusia biasa yang bebas menentukan
jalan hidupku sendiri. Kalau aku sekarang ikut denganmu ke kota
186 raja, hal itu adalah karena aku tertarik oleh semua ceritamu tadi,
In-moi." "Apapun alasanmu, aku girang bahwa engkau suka pergi
bersamaku ke kota raja, toako. Mari kita berangkat!" ajak wanita
itu dengan wajah berseri.
"Kita singgah dulu di rumahku, In-moi. Tidak jauh dari sini. Aku
harus membuat persiapan dan memberitahu orang di rumah."
"Aih, maafkan. Aku lupa. Tentu saja engkau harus berpamit
kepada keluargamu!" kata Sui In dan teringat akan hal ini, seri di
wajahnya menghilang. Pek-liong-eng Tan Cin Hay tertawa. "Ha-ha-ha, aku hidup
seorang diri di dunia ini, In-moi, sebatang kara, tanpa keluarga.
Hanya dengan para pembantu rumah tangga. Kalau aku pergi,
aku harus memberitahu mereka agar mereka tidak gelisah. Pula,
aku harus membawa bekal dan persiapan."
"Tapi, toako. Seorang pria seperti engkau ini, usiamu sudah
cukup dewasa, engkau pandai, engkau gagah perkasa dan
wajahmu menarik, bagaimana mungkin sampai kini masih hidup
membujang" Maafkan, bukan maksudku mencampuri urusan
pribadimu, akan tetapi seorang pria seperti engkau sudah
sepatutnya kalau mempunyai seorang isteri yang cantik jelita dan
bijaksana, dan mempunyai beberapa orang anak yang mungil
dan sehat." Ada bayangan gelap menyelimuti wajah Pek-liong, namun hanya
sebentar saja, seperti bayangan awan yang lewat. Wajahnya
187 sudah berseri kembali, matanya bercahaya dan mulutnya ramai
oleh senyum. "Isteriku telah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu tanpa
anak dan sejak itu, aku belum pernah menikah lagi."
"Ah, engkau... seorang...... duda" Siapa sangka!"
Wajah Sui In berubah merah sekali karena ucapan itu tadi keluar


begitu saja di luar kesadarannya dan baru sekarang ia merasa
betapa ucapan itu amat tidak pantas keluar dari mulutnya. Untuk
menutupi perasaan rikuh dan salah tingkah, ia cepat
menyambung, "Isterimu tentu meninggal dunia karena sakit."
Pek-liong menggeleng kepala. "Seperti juga suamimu, isteriku
tewas dibunuh orang! Sudahlah, perlu apa kita bicara tentang hal
lalu. Mari engkau singgah dulu di rumahku. Tidak begitu jauh dari
sini." Menjelang sore, tibalah mereka di dusun Pat-kwa-bun. Begitu
memasuki pekarangan rumah Pek-liong, Sui In merasa, kagum
bukan main. Tempat itu amat bersih dan terpelihara rapi. Dari pagar
temboknya yang tidak begitu tinggi dan dicat merah, sampai
pekarangan yang juga merupakan taman terpelihara indah,
dengan air mancur di depan di tengah kolam ikan emas, dan ada
sebuah arca naga putih di belakang kolam. Beberapa batang
pohon membuat tempat itu sejuk dan nyaman, dan hamparan
rumput juga terpelihara sehingga merupakan permadani hijau
yang menyegarkan mata. 188 Rumah itu sendiri dari luar nampak kokoh. Tidak begitu besar
namun indah walaupun tidak nampak mewah dari luar.
Dindingnya putih bahkan jendela dari pintunya juga putih, dengan
garis-garis tipis merah muda dan kuning. Gentengnya
kemerahan. "Selamat datang, Tai-hiap, Selamat datang, nona!" Dua orang
pria yang berpakaian pelayan namun bersih dan dengan sikap
yang gagah, dengan tubuh tegak dan tegap, menyambut mereka
dengan salam hormat. "Nona ini adalah Cu Li-hiap, menjadi tamu kehormatanku malam
ini. Suruh A- liok menyiapkan hidangan yang lezat untuk tamu
kita!" kata Pek-liong kepada mereka.
"Maafkan kami, Li-hiap," kata seorang di antara mereka sambil
memberi hormat kepada Sui In yang tentu saja merasa rikuh
menerima penghormatan sebagai seorang pendekar wanita.
Akan tetapi ia hanya mengangguk dan Pek-liong mempersilakan
ia ikut memasuki rumahnya.
Setelah masuk ke dalam rumah itu, Sui In menjadi semakin
kagum. Kiranya isi rumah itu berbeda sekali dengan keadaan
luarnya. Semua perabot rumah di situ nampak megah dan
mewah, juga terpelihara rapi. Sampai lantainya saja mengkilap
seperti cermin! Lukisan-lukisan indah, juga tulisan-tulisan indah menghias
dinding. Pot-pot bunga terukir naga dan burung Hong, berdiri di
sudut-sudut terisi tanaman yang segar. Sutera-sutera beraneka
warna menutupi lubang-lubang dan bergantungan seperti pelangi.
189 Ruangan-ruangan yang dilaluinya ditata secara nyeni sekali, tidak
kalah indahnya dibandingkan istana raja sekalipun!
Yang membuat Sui In semakin kagum adalah ketika mereka
memasuki setiap ruangan Pek-liong selalu memeriksa apakah
tombol rahasia menunjukkan bahwa ruangan itu bebas
perangkap, jelas bahwa rumah yang indah itu penuh jebakan dan
perangkap. Karena ingin tahu ia tanyakan hal ini kepada tuan
rumah. Pek-liong mengangguk, tersenyum. "Hidup seperti aku ini selalu
diancam bahaya, banyak orang yang pernah kujatuhkan menaruh
dendam dan setiap waktu mereka dapat datang menyerbu ke
rumahku. Karena aku tidak suka menggunakan pasukan
pengawal, maka aku harus mampu menjaga segala kemungkinan
terhadap gangguan dari luar yang datang selagi aku tidur."
"Ah, menarik sekali, Toako, aku tidak ingin mengetahui alat-alat
rahasia di rumahmu ini yang tentu saja harus dirahasiakan, akan
tetapi kalau boleh aku ingin melihat bekerjanya satu saja
perangkap yang dipasang di ruangan depan itu." Ia menuding ke
depan, ke sebuah ruangan yang dihias sutera-sutera merah
muda. Pek-liong tersenyum, mengangguk dan berkata dengan suara
sungguh-sungguh. "Engkau boleh buktikan sendiri, In-moi. Coba kau masuki ruangan
itu dengan sikap hati-hati. Engkau seorang penyerbu yang sudah
menduga bahwa kamar itu dipasangi jebakan, sehingga engkau
boleh berhati-hati sekali, akan tetapi engkau harus memasuki
190 ruangan itu, katakanlah untuk mengambil atau melakukan
sesuatu." Sui In mengerutkan alisnya. "Akan tetapi...... aku tidak mau
terancam bahaya maut, toako!"
Pek-liong menggeleng kepala. "Aku belum gila, In-moi. Masa aku
akan mencelakaimu" Jangan khawatir, perangkap yang
kupasang di rumah ini bukan untuk membunuh, melainkan untuk
membuat orang yang berniat buruk tidak berdaya dan tertawan
tanpa melukai atau menyakitinya. Engkau boleh mencabut
pedangmu untuk berjaga-jaga, seperti seorang musuh tulen!"
Sui In menjadi tertarik sekali dan iapun mengangguk, mencabut
pedangnya dan dengan hati-hati menghampiri kamar itu. Bahkan
ia, merasa gembira karena ia seperti berada dalam suatu
permainan yang menarik untuk menguji diri sendiri dan menguji
keampuhan alat yang dipasang oleh Pendekar Naga Putih di
dalam rumahnya. Dengan penuh kewaspadaan, Sui In menghampiri ruangan itu.
Sebuah ruangan duduk yang indah, dengan pintunya terbuka dan
lantainya mengkilap, meja kursinya terukir indah ditilami bantalan.
Jendela-jendela yang berada di tiga penjuru tertutup, tentu dibuka
kalau ada tamu sehingga ruangan yang menembus di sebelah kiri
pada sebuah taman itu tentu akan sejuk dan nyaman sekali.
Dindingnya yang bersih dihiasi lukisan dan tulisan indah
berbentuk syair-syair berpasangan.
Dengan pandang matanya yang tajam Sui In mengamati seluruh
bagian ruangan itu, mencari-cari tanda adanya pesawat rahasia.
191 Namun semua nampak bersih dan wajar, tidak ada yang
mencurigakan. Apakah lantainya yang mampu bergerak dan
terdapat lubang sehingga ia akan terperosok ke bawah kalau
menginjaknya. Ataukah dari jendela-jendela itu akan keluar
senjata rahasia atau asap pembius yang akan membuatnya
pingsan" Apakah daun pintu akan menutup sendiri begitu ia
memasuki ruangan" Berbagai kemungkinan ini ia perhitungkan ketika akhirnya
berindap-indap ia melangkah memasuki ruangan itu dengan
pedang di tangan. Selangkah demi selangkah ia memasuki
ruangan itu, setiap bagian tubuhnya menegang penuh kesiap
siagaan. Pada langkah kelima, tiba-tiba terdengar suara berderit di
belakangnya. Ia cepat menoleh dan daun pintu yang tadi terbuka
lebar itu kini tertutup! Ia melangkah maju lagi dan setelah tiba di
tengah ruangan, tiba-tiba saja dari empat sudut ruangan itu
menyambar anak-anak panah yang ujungnya berbentuk bola,
juga dari atas turun anak panah bagaikan hujan.
Sui In cepat menggerakkan pedangnya, diputar melindungi
tubuhnya dan semua anak panah runtuh. Setelah runtuh baru
nampak olehnya bahwa anakpanah-anakpanah itu tumpul dan
tidak akan melukai orang yang menjadi sasaran.
Tiba-tiba saja dari lantai yang mengkilap itu bermunculan tongkattongkat panjang yang menyambar-nyambar ke arah kakinya. Sui
In meloncat ke atas, dan pada saat itu, kain-kain sutera merah
muda yang bergantungan di langit-langit itu bergerak,
192 menyambar-nyambar sehingga mengaburkan pandangan matanya dan tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya sudah terlibat-libat
oleh kain sutera yang panjang dan banyak sekali, seperti tidak
ada habisnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di udara
dalam libatan banyak kain sutera, seperti seekor lalat tertangkap
di sarang laba-laba. Akan tetapi, Sui In bukanlah wanita lemah. Ketika tadi kain sutera
yang tadinya bergantungan sebagai hiasan itu tiba-tiba hidup dan
menyambar-nyambar ke arahnya, tubuhnya terlibat-libat, ia sudah
cepat membebaskan tangan kanan yang memegang pedang.
Kini, biarpun tubuhnya sudah terlibat-libat kain, lengan kanan dan
pedangnya masih bebas. Ia menggerakkan pedangnya dan
putuslah semua libatan kain sutera dari tubuhnya.
Ia terlepas dan jatuh ke bawah. Dengan ilmu meringankan tubuh
yang hebat, ia sudah berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas
lantai dengan selamat dan dalam keadaan berdiri. Akan tetapi,
putusnya kain-kain sutera itu menimbulkan bunyi kelenengan
nyaring bertubi-tubi dan terdengar dari seluruh penjuru rumah itu.
Daun-daun jendela tiba-tiba terbuka dan enam orang pelayan pria
pembantu rumah tangga itu sudah berdiri di luar jendela dengan
pedang di tangan! Daun pintu yang tadi tertutup sendiripun
terbuka dan Pek-liong sudah berdiri di ambang pintu dengan
tersenyum! Sui In mendapatkan dirinya sudah terkepung di dalam
ruangan itu! 193 Pek-liong bertepuk tangan memuji. "Hebat, engkau hebat sekali,
nona. Engkau sudah dapat menghindarkan anak panah, toya dan
bahkan jala kain sutera!"
Sui In menyarungkan pedangnya dan menarik napas panjang.
"Aihhh, sungguh ruangan ini berbahaya sekali! Biarpun sudah
dapat membebaskan diri dari semua itu, akhirnya aku terkepung
di ruangan ini! Ruangan yang satu ini saja sudah begini hebat,
apa lagi yang lainnya! Toako, aku mengaku kalah dan
menyatakan kagum sekali. Maafkan kalau aku merusak kain-kain
sutera merah muda itu."
"Ah, tidak mengapa, In-moi." Lalu kepada para pembantunya dia
berkata, "Ganti kain?kain sutera itu dengan yang baru dengan
warna biru laut!" Kemudian dia mengajak Sui In keluar dari ruangan itu dan
mempersilakan janda muda itu ke sebuah kamar. Dia sendiri
berhenti di luar pintu kamar.
"In-moi, inilah kamar tamu untukmu bermalam semalam ini.
Besok pagi baru kita akan melakukan perjalanan ke kota raja.
Malam ini aku akan membuat persiapan untuk perjalanan besok
pagi. Makan malam nanti setelah siap dan engkau akan
diberitahu oleh pembantu. Nah, beristirahatlah, In-moi."
Setelah berkata demikian, Pek-liong meninggalkan wanita itu.
Sampai beberapa lamanya Sui In berdiri di pintu kamar itu,
mengikuti bayangan Pek-liong sampai lenyap di tikungan.
Seorang pria yang bukan main, pikirnya. Gagah perkasa,
berkepandaian tinggi, tampan dan ganteng, duda dan bebas,
194 ditambah lagi kaya-raya dan juga amat sopan. Masuk ke kamar
itupun dia tidak mau! Hatinya semakin tertarik dan dengan muka merah ia
mendapatkan kenyataan betapa ia telah jatuh cinta kepada pria
muda yang ganteng itu! Betapa ia mengharapkan terjadi suatu
mujijat, suatu anugerah dari Tuhan. Ia seorang janda, dan Pekliong-eng Tan Cin Hay seorang duda. Sudah tepat, bukan" Dan
jantungnya berdebar-debar ketika ia memasuki kamar itu. Begitu
masuk, hidungnya bertemu keharuman semerbak.
Sebuah kamar yang mewah sekali. Ada dupa harum masih
mengepul di atas meja, tanda bahwa dupa itu baru saja dibakar
oleh pelayan. Kamar itu tidak berapa besar, namun lengkap dan
enak sekali. Udaranya nyaman, masuk dari jendela yang
menembus taman, dan dari lubang-lubang hawa di atas jendela.
Sebuah kamar kecil menyambung kamar itu. Betapa mewahnya!
Ketika ia menjenguk ke dalam kamar mandi, tersedia sudah air
jernih yang cukup banyak. Setelah menutup pintu kamar, Sui In
lalu menyiram tubuhnya dengan air, mandi sekenyangnya
sehingga tubuhnya terasa segar kembali, kulit tubuhnya dari
muka sampai kaki tangan, menjadi kemerahan karena
digosoknya dengan keras sehingga bersih dari debu.
Ia telah mengenakan pakaian bersih ketika pinta kamar diketuk
dari luar, dan seorang pelayan dengan sikap hormat memberitahu
bahwa makan malam telah siap, dan tamu yang dihormati itu
dipersilakan datang ke ruangan makan di mana "tai-hiap" telah
menanti. 195 Ketika Sui In memasuki ruangan makan, Pek-liong bangkit berdiri
dan dia memandang kepada wanita itu dengan sinar mata
kagum. Harus diakuinya bahwa janda muda ini memang cantik
manis dan segar bagaikan setangkai bunga mawar di pagi hari,
tersiram embun pagi dan bersinar cahaya keemasan matahari.
Dengan ramah dia lalu mempersilakan tamunya duduk
berhadapan dengannya, menghadapi sebuah meja.
Melihat pandang mata kagum itu, Sui In merasa betapa
jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Untuk
menenangkan hatinya, iapun segera bertanya setelah duduk.
"Sudahkah engkau membuat persiapan, toako" Dan kapan kita
berangkat?" Pek-liong mengangguk. "Sudah beres semua, In-moi. Besok pagipagi setelah terdengar bunyi ayam berkeruyuk, kita berangkat."
Sementara itu, dua orang pelayan datang membawa hidangan
yang masih mengepul panas. Sui In mencium bau masakan yang
lezat dan perutnya memberontak karena memang ia telah merasa
lapar. Tidak kurang dari sepuluh macam masakan dihidangkan,
kesemuanya terdiri dari masakan yang mewah dan mahal.
Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira, sambil
bercakap-cakap. Sui In sama sekali tidak merasa canggung
biarpun pengalaman seperti ini merupakan pengalaman pertama
sejak suaminya terbunuh. Makan malam berdua saja dengan seorang pria yang tampan dan
gagah! Di dalam rumah pria itu pula! Akan tetapi, sedikitpun ia
196 tidak merasa canggung dan kaku. Hal ini karena sikap Pek-liong
yang sopan dan ramah. Memang, kadang-kadang sinar mata
yang tajam mencorong itu membayangkan kekaguman, namun
kekaguman yang wajar, tidak mengandung kecabulan atau
kekurangajaran yang biasa ia lihat dalam pandang mata kaum
pria kalau memandang kepadanya.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di dalam taman
bunga di belakang rumah itu. Juga taman bunga ini, walaupun
tidak sangat luas, diatur indah sekali.
Di tengah taman, di antara beraneka macam bunga, terdapat
sebuah tempat berteduh berbentuk payung, bangunan tanpa
dinding, hanya atap yang berbentuk payung dan di bawahnya
terdapat enam buah bangku dan sebuah meja.
Tempat itu enak sekali. Empat lampu gantung menerangi tempat
itu, dan di sana-sini, di ujung taman terdapat pula lampu gantung
dengan berbagai warna. Suasana amat hening dan indah,
semerbak harum bunga memenuhi taman itu.


"Aduh, bagus sekali taman ini!" kata Sui In memuji.
"Mari kita duduk di sana. Engkau belum mengantuk, bukan?" kata
Pek-liong dan wanita itu tertawa.
"Aih, toako. Baru saja makan kenyang, masa mengantuk dan
tidur" Pula, malam baru saja tiba, belum larut."
Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja kecil. Suasana
sungguh indah dan romantis sekali. Apa lagi ketika di langit
197 muncul bulan muda yang memandikan taman itu dengan
cahayanya yang lembut. Anginpun lembut sepoi-sepoi bercanda
di antara bunga-bunga, membuat udara yang penuh keharuman
bunga itu menjadi nyaman dan sejuk.
Suasana yang romantis seperti ini, cahaya bulan yang lembut
mengandung daya yang mengairahkan, yang amat kuat
mengusik hati muda, menggelitik dan membangkitkan berahi. Hal
ini terasa sekali oleh Sui In ketika ia duduk dan menikmati
keindahan itu, dan setiap kali pandang matanya berhenti di wajah
Pek-liong, ia terpesona. Wajah itu nampak demikian ganteng, demikian tampan sehingga
hatinya luluh, rindu dendam dan gairahnya bangkit. Kalau saja
pada saat itu Pek-liong maju selangkah saja, mengulurkan
tangan, pasti ia tidak akan mampu menolak atau mengelak, dan
akan terlena dalam pelukan pria itu dengan hati penuh kerinduan!
Akan tetapi, Pek-liong sama sekali tidak melakukan uluran
tangan! Sama sekali tidak, bahkan pria mengajaknya bercakapcakap kembali tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja,
sehubungan dengan kemunculan Si Bayangan Iblis.
Bimbingan ke arah percakapan itu tentu saja membuyarkan
keindahan khayal yang muncul dari gairah berahi tadi, apa lagi
karena percakapan itu mengingatkan Sui In akan semua peristiwa
dan malapetaka yang menimpa dirinya. Iapun tertarik dan setelah
mereka barcakap-cakap, iapun menerangkan dan menceritakan
segala hal yang diketahuinya dan yang bertalian dengan
pembunuhan-pembunuhan misterius yang dilakukan oleh
198 bayangan yang kemudian dinamakan Si Bayangan Iblis. Waktu
berjalan cepat dan tahu-tahu bulan sudah naik tinggi ketika Pekliong mempersilakan tamunya untuk tidur.
"Besok pagi-pagi kita berangkat, maka sebaiknya kalau engkau
mengaso dan tidur di kamar, In-moi. Selamat malam dan selamat
tidur!" Sui In tidak menjawab dan ada perasaan kecewa dan menyesal
di dalam hatinya bahwa malam itu ia harus berpisah dari Pekliong. Muncul kembali kerinduannya akan suatu kemesraan yang
sudah lama lepas darinya, lama sebelum suaminya tewas
dibunuh orang. Dan ia ingin mendapatkan kemesraan ittu dari Pek-liong! Akan
tetapi, agaknya sedikitpun Pek-liong tidak menanggapi
perasaannya. Berulang tali ia menarik napas panjang penuh
kekecewaan dan penyesalan ketika ia melangkah perlahan
menuju ke kamarnya, setelah tadi Pek-liong meninggalkannya di
taman. Baru setelah ia merebahkan diri di atas pembaringannya, ketika
suasana romantis taman bunga bermandikan cahaya bulan itu
tidak mempengaruhinya, ia tersenyum! Diam-diam ia berterima
kasih kepada Pek-liong yang tidak mempergunakan kesempatan
itu untuk merayunya dari menjatuhkannya!
Kalau sampai hal itu terjadi, tentu ia akan merasa menyesal
sekali kemudian, karena ia sedang bertugas! Tugas mencari Si
Bayangan Iblis dan menumpas kejahatan itu sama sekali belum
terlaksana! Suaminya tewas di tangan penjahat, juga paman
199 gurunya tewas di tangan penjahat dan penjahat itu agaknya Kwieng-cu (Si Bayangan Iblis).
Sungguh tidak pantas kalau kini ia bersenang-senang
mengumbar nafsu berahi. Selain tidak pantas karena baru saja
kematian suaminya, juga tidak patut karena dalam melaksanakan
tugas ia hanya mementingkan kesenangan sendiri, membiarkan
diri menjadi budak nafsu! Kalau musuh itu telah terhukum, kalau
ia sudah bebas dari tugas, hal itu akan lain lagi.
"Pek-liong, terima kasih......" bisiknya tersenyum dan janda muda
inipun terlena dalam kepulasan.
"Y" Gadis itu cukup manis walaupun tidak dapat dibilang terlalu
cantik, Bahkan wajah yang nampak membayangkan kebodohan
itu tidak akan menarik perhatian pria, walaupun harus diakui
bahwa bentuk tubuhnya amat indah. Rambutnya juga nampak
kasar dan gerak geriknya kaku. Juga ia kelihatan takut-takut dan
gelisah. Memasuki ruangan-ruangan yang amat indah dari istana itu, ia
bagaikan seekor ikan sungai yang kecil dilempar masuk ke dalam
samudera. Ia kebingungan, merasa dirinya kecil menghadapi
segala kemegahan dan kemewahan itu.
Melihat kegelisahan membayang di wajah yang manis dan polos
itu, pria berpakaian perwira yang berjalan di sampingnya
tersenyum. 200 "Akim, jangan takut. Tenanglah. Asalkan engkau pandai
membawa diri dan rajin bekerja juga jujur dan taat, tentu engkau
akan hidup senang di istana. Sekarang, Hong- houw (Parmaisuri)
ingin melihatmu sebagai seorang dayang baru, engkau harus
menghadap dan memberi hormat kepada beliau seperti yang
sudah kuajarkan tadi."
Gadis itu mengangguk-angguk akan tetapi jelas nampak betapa
ia gelisah dan ketakutan. Gadis yang jelas sekali kelihatan
sebagai seorang gadis dusun yang disebut Akim oleh perwira itu
bukan lain adalah Hek-liong-li Lie Kim Cu!
Dengan kepandaiannya menyamar yang hebat, ia sudah dapat
menyulap dirinya yang merupakan seorang wanita berusia
duapuluh lima yang amat cantik jelita, manis dan menarik hati,
berubah menjadi seorang gadis dusun berusia kurang lebih
duapuluh tahun, kasar kaku, tidak menarik walaupun cukup
manis, dan wajahnya membayangkan kebodohan. Cian Ciangkun sendiri sampai terbalalak dan tertegun ketika pertama kali
melihat penyamaran ini, dan merasa yakin bahwa tak seorangpun
akan dapat mencurigai seorang gadis dusun bodoh seperti itu.
Perwira yang berjalan di sampingnya dalam ruangan-ruangan
istana itu adalah Kok Ciang-kun (Perwira Kok) yang menjabat
kepala pasukan pengawal thai-kam (orang- orang kebiri), yaitu
kenalan Cian Ciang-kun dan yang suka "menolong" Cian Hui
untuk memasukkan seorang "sanak jauh" dari dusun menjadi
seorang dayang baru di istana.
201 Di istana bagian puteri ini, tak seorangpun dari luar diperbolehkan
masuk. Hanya keluarga Kaisar yang boleh masuk, dan tentu saja
para perajurit pengawal thai-kam. Untuk mencegah terjadinya,
penyelewengan dari para wanita dalam istana itu, maka sejak
dahulu kala sampai saat itu, para petugas pria di istana bagianputeri haruslah dikebiri lebih dahulu!
Pada saat itu, bukan hanya karena kepandaian saja Liong-li yang
kini menyamar menjadi Kim Siauw Hwa atau biasa disebut Akim
kelihatan gugup dan gelisah. Akan tetapi memang benar-benar
ada kegelisahan di hatinya.
Ia telah memasuki istana dengan menyamar, dan ia tahu bahwa
bahaya bukan hanya datang dari penjahat yang dinamakan Kwieng-cu akan tetapi dari satu kekuatan yang mempunyai banyak
orang pandai! Dan ia merasa yakin bahwa sarang penjahat itu,
atau pimpinannya, pasti berada di istana. Kalau gerombolan
penjahat itu berada di luar istana tentu sudah lama diketahui
tempatnya oleh Cian Hui yang cerdik dan memiliki banyak matamata.
Selain merasa berada di tengah-tengah pihak musuh yang belum
diketahuinya siapa, dan betapa bahayanya bagi dirinya kalau
pihak musuh sampai mengetahui bahwa ia Hek-liong-li yang
menyamar, juga ia harus berhadapan dengan Hong-houw
(Permaisuri) Bu Cek Thian! Menurut keterangan dari Cian Hui,
wanita itu cerdik bagaikan iblis! Ia teringat akan kata-kata
pesanan Cian Hui kepadanya ketika hendak berangkat tadi.
202 "BERHATI-HATILAH terhadap Hong-houw, Li-hiap. Ia seorang
wanita yang teramat cerdik seperti Iblis! Bahkan saat ini boleh
dibilang ia yang paling berkuasa di seluruh istana! Hong-siang
(Kaisar) sendiri seperti menjadi boneka di tangannya. Ia cerdik
dan amat berbahaya, oleh karena itu, berhati-hatilah engkau
terhadap wanita ini."
Tentu saja Liong-li tidak merasa takut. Baginya, makin lihai dan
makin cerdik orang?orang yang berada di pihak lawan, akan
semakin gembira menghadapinya. Yang membuat ia gelisah
adalah mengingat betapa dirinya sama sekali tidak berdaya di
dalam istana yang besar dan megah itu.
Ia merasa seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba! Dan
begitu memasuki istana, diterima oleh Kok Ciang-kun, perwira
thai-kam yang gendut dan agak genit seperti wanita ini
membawanya menghadap Hong-houw, wanita yang agaknya
bahkan ditakuti oleh Cian Hui itu!
Kini mereka tiba di luar sebuah pintu dan Kok Ciang-kun memberi
isyarat kepada Akim untuk berhenti. Kok Ciang-kun lalu
menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Akim yang sudah diberitahu
sebelumnya untuk mengikuti apa yang dilakukan perwira Thaikam itu.
"Hamba Kok Tay Gu mohon diperkenankan menghadap Honghouw!" Dia berkata dengan suara nyaring.
Pintu dibuka dari dalam. Sebuah pintu berukir yang indah dan
ketika pintu dibuka, Akim mengangkat muka dan iapun terpesona.
203 Bukan main indahnya ruangan di balik pintu itu! Dan bau
semerbak harum menyergap keluar begitu pintu dibuka oleh
seorang dayang muda yang cantik. Seluruh isi ruangan itu
gemerlapan dengan kemegahan dan kemewahan.
"Terima kasih, terima kasih atas kemurahan hati Hong-houw!"
kata pula Kok Ciang-kun. Sungguh suatu sikap yang berlebihan sehingga baginya seperti
adegan dalam panggung wayang atau pelawak saja. Akan tetapi,
Akim tidak berani mengangkat muka lagi ketika tadi pandang
matanya bertemu dengan sepasang mata yang indah akan tetapi
juga mencorong tajam seperti mata kucing di tempat gelap!
"Kok Ciang-kun, yang mulia Hong-houw memerintahkan engkau
dan calon dayang ini masuk!" terdengar perintah yang keluar dari
mulut seorang dayang lain.
Kok Ciang-kun bangkit dengan sikap hormat, diikuti oleh Akim,
kemudian melangkah memasuki kamar. Akim hanya mengikuti
saja dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
"Ban-swe, ban-ban-swe (hidup dan panjang usia)!" Kok Ciangkun menjatuhkan diri berlutut lagi dan membentur-benturkan
dahinya di lantai yang bertilamkan permadani merah. Akim juga
berlutut dan membentur-benturkan dahinya.
"Kok Tay Gu, inikah gadis dusun yang ingin menjadi dayang itu?"
terdengar suara yang halus namun tajam penuh wibawa.
204 Kok Ciang-kun memberi hormat lagi sebelum menjawab, "Benar
sekali, Yang Mulia. Ia seorang gadis dusun bernama Kim Siauw
Hwa, biasa disebut Akim, dan ia telah siap melakukan segala
macam pekerjaan yang diperintahkan untuknya, siap melayani
paduka dengan taruhan nyawa."
Hemm, taruhan nyawa hidungmu! Demikian Liong-li memaki
dalam hatinya. Sungguh segala hal terlalu dilebih-lebihkan di
dalam istana ini. Penjilatan agaknya terjadi setiap saat, oleh
orang-orang yang amat rendah terhadap orang-orang yang gila
hormat. "Hemmm, namanya Akim" Lucu juga. Akim, angkat mukamu
untuk kami lihat!" kata pula suara yang lembut tajam itu. Akim
mengangkat mukanya dan ia melihat kepada seorang wanita
yang amat cantik dan anggun. Wanita itu usianya empatpuluh
tahun lebih, namun pakaiannya mewah bukan main, dan seluruh
tubuhnya terawat dengan rapi. Agaknya setiap helai rambutnya
pun tidak terluput dari perawatan sehingga ia nampak seperti
hasil sebuah lukisan seorang ahli.
Sepasang matanya tajam mencorong, dan bibir yang penuh
gairah dan manis menantang itu dihias dagu yang
membayangkan kekerasan hatinya. Hidung kecil mancung itu
kembang kempis, pertanda bahwa ia seorang wanita yang
memiliki gairah nafsu yang berkobar! Seorang wanita yang amat
berbahaya, cerdik seperti iblis, demikian keterangan Cian Hui,
kepadanya. 205 Cepat ketika ia mengangkat mukanya, Akim memasang wajah
bodoh dan ketakutan membayang pada pandang matanya yang
biasanya tidak kalah tajam dan mencorong dibandingkan
sepasang mata permaisuri itu. Wajah wanita itu masih cantik
menarik, ditambah lagi dengan riasan yang agak berlebihan
sehingga alisnya dibuat melengkung seperti bulan tanggal muda,
bibirnya merah semringah, pipinya kemerahan dan kulit mukanya
lebih putih dari pada aselinya.
Sepasang alis melengkung yang terlalu hitam itu agak berkerut
ketika ia melihat wajah dayang baru itu.
"Hemm, engkau terlalu buruk untuk menjadi dayang!" serunya.
"Heh, Kok Tay Gu, kenapa engkau membawa seorang gadis
berwajah bodoh dan buruk ini untuk menjadi dayang baru" Apa
engkau ingin merusak keindahan sebuah taman bunga dengan
ratusan aneka bunga jelita dengan menyertakan setangkai bunga
yang jelek di dalam taman?"
Kok Ciang-kun sambil berlutut menjawab. "Mohon kemurahan
hati paduka untuk mengampuni hamba, Yang Mulia. Biarpun
wajahnya tidak berapa cantik namun ia pandai masak, rajin dan
besar tenaganya. Iapun bersedia untuk bekerja di dapur atau di
mana saja untuk menghambakan diri kepada paduka yang mulia!"
"Hemm, benarkah ia pandai masak dan rajin" Dan ia bertenaga
besar dan kuat" Ingin aku melihatnya!"
Akim yang sudah menunduk kembali, juga Kok Ciang-kun, tidak
melihat betapa permaisuri itu memberi isyarat dengan mata
kepada seorang dayang pengawalnya. Gadis yang bertubuh
206 tegap itu mengambil sebatang cambuk pendek, menghampiri
Akim dari belakang. Biarpun Akim berlutut dan menunduk, pendengarannya yang
terlatih dan amat tajam sudah sejak tadi menangkap gerakan
orang di belakangnya. Bahkan ia seperti dapat melihat saja ketika
gadis dayang itu mengayun cambuknya ke arah punggungnya
yang sedang membungkuk. Tentu saja amat mudah baginya
untuk mengelak atau menangkis kalau ia kehendaki. Akan tetapi,
Akim atau Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan
main, waspada dan dapat mengetahui keadaan seketika dengan
perhitungan yang tepat. Ia sudah dapat menduga bahwa tentu permaisuri yang cerdik dan
berbahaya seperti iblis itu menaruh curiga kepadanya dan kini
mengutus seorang pembantunya untuk mengujinya. Kalau dalam
keadaan seperti itu ia mampu menghindarkan diri dari serangan
cambuk itu, berarti ia membuka rahasianya bahwa ia seorang
yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, karena hanya orang
yang memiliki ilmu silat yang sudah tinggi tingkatannya saja
mampu menghindarkan diri dari ancaman bahaya tanpa


dilihatnya. Sungguh ujian yang keluar dari otak yang cerdik luar
biasa, pikirnya dan iapun tidak mengerahkan tenaga sedikitpun
ketika cambuk itu menghantam punggung.
"Tarr! Tarrr!" Dua kali cambuk itu menghantam punggungnya,
demikian kerasnya sehingga baju di bagian punggung robekrobek, berikut kulit punggungnya yang tidak ia lindungi dengan
tenaga sakti. Darah keluar dari kulit punggung yang pecah-pecah
dan Akim mengeluarkan jerit kesakitan yang ia lakukan bukan
207 seperti permainan sandiwara, melainkan sungguh-sungguh
karena ia tidak menahan diri dan membiarkan naluri perasaannya
membuatnya menjerit kesakitan.
Kok Ciang-kun terkejut sekali, akan tetapi tidak berani berkutik
ketika permaisuri itu turun dari atas kursi emasnya dan
melangkah perlahan untuk memeriksa keadaan punggung gadis
dusun yang masih berlutut dan menangis lirih itu. Ia melihat
punggung itu terluka oleh cambuk, berdarah dan iapun
mengangguk puas. Benar seorang gadis dusun yang tak begitu cantik, bodoh dan
sama sekali tidak memiliki kepandaian yang membahayakan, dan
mungkin tenaganya lebih besar dari wanita lain. Hal ini tentu saja
wajar kalau mengingat bahwa ia seorang gadis dusun yang sejak
kecil biasa bekerja kasar dan keras.
"Kok Tay Gu, Akim ini kami terima sebagai pelayan. Mundurlah,
dan kami senang dengan jasamu ini."
Bukan main girangnya hati Kok Ciang-kun yang tadinya sudah
gemetar ketakutan karena dia mengira bahwa kehadiran Akim
mendatangkan perasaan tidak senang di hati permaisuri itu. Dia
membentur-benturkan dahinya di lantai, menghaturkan terima
kasih berulang kali, kemudian merangkak mundur meninggalkan
ruangan itu. Permaisuri Bu Cek Thian berkata kepada seorang dayang
pengawal, "Bawa ia ke belakang, beri pakaian dan obati
punggungnya. Lalu serahkan ia kepada kepala dapur untuk
menerimanya sebagai pembantu di dapur."
208 Akim yang sudah mempelajari bagaimana ia harus bersikap di
depan sang permaisuri, segera meniru apa yang dilakukan Kok
Ciang-kun tadi. Ia membentur-benturkan dahinya di lantai sambil
mengucap terima kasih berulang kali, walaupun hatinya
mendongkol bukan main dan hatinya ingin sekali menghajar
wanita pesolek yang sewenang-wenang dan kejam itu.
Tentu saja ia tidak berani melakukan hal semacam itu, karena
betapapun pandainya, kalau ia berani melakukan hal itu, tentu
nyawanya takkan dapat tertolong lagi! Wanita di depannya ini
adalah permaisuri kaisar, bahkan menurut Cian Hui, wanita ini
merupakan orang paling berkuasa di seluruh kerajaan, bahkan
kaisar sendiri menjadi seperti boneka dalam genggaman wanita
ini. Ia lalu ditarik berdiri dan didorong secara kasar oleh dayang
pengawal yang menerima perintah, diajak keluar dari ruangan itu
dan setelah menerima beberapa helai pakaian baru, diobati
punggungnya dengan obat bubuk. Ia lalu diajak ke dapur dan
diserahkan kepada kepala dapur, seorang laki-laki thai-kam
gendut seperti bola yang dari gerak geriknya saja sudah dapat
diduga bahwa dia adalah seorang koki yang pandai!
Mulailah Akim atau Hek-liong-li Lie Kim Cu bekerja di dapur istana
permaisuri yang menjadi satu dengan dapur istana kaisar. Hanya
saja para pekerja thai-kam sajalah yang diperbolehkan masuk ke
bagian puteri sedangkan para pekerja pria biasa sama sekali
dilarang dan mereka ini yang membawa masakan dan segala
keperluan lain ke istana bagian putera.
209 Karena pandai membawa diri, dalam waktu sehari saja Akim yang
rajin disuka oleh mereka yang bekerja di dapur, apa lagi
mendengar bahwa Akim diterima dan ditunjuk sendiri oleh
permaisuri bekerja di bagian dapur. Karena ia ditunjuk sendiri
oleh Permaisuri, maka ia dianggap "istimewa" dan tidak ada yang
berani mengganggu. Pula, Akim pandai sekali memperlihatkan
sikap yang tidak menarik bagi pria, dan ia kelihatan sebagai
seorang gadis yang bodoh dan kaku walaupun rajin dan memiliki
bentuk tubuh yang elok. Malamnya, Akim mendapatkan sebuah kamar di antara deretan
kamar para pelayan di bagian paling belakang, dekat dapur.
Karena ia dianggap istimewa pula, pekerja yang ditunjuk
permaisuri, maka ia mendapatkan sebuah kamar untuk dirinya
sendiri. Pelayan lain merasa enggan untuk tinggal sekamar
dengannya, karena seorang yang ditunjuk oleh permaisuri
dianggap berbahaya. Siapa tahu ia mata-mata permaisuri yang
mencatat semua kegiatan mereka"
Permaisuri amat galak dan siapa yang bersalah mendapatkan
hukuman yang mengerikan. Pernah ada seorang pelayan wanita
di dapur yang wajahnya manis, tertangkap basah ketika ia
melakukan hubungan mesra dengan seorang pelayan pria dari
bagian putera. Permaisuri yang menganggap pelayan itu menodai
"kesucian" istana bagian puteri, dipaksa mati secara mengerikan.
Ia dipaksa duduk di atas sebuah kursi, dengan kaki dan tangan
terikat kepada kursi sehingga tak mampu bergerak. Kemudian,
sebuah kantung kain diselubungkan ke kepalanya dan diikat
tertutup rapat-rapat. Tentu saja setelah udara di dalam kantung
210 itu habis, wanita malang itu tidak dapat bernapas. Akan tetapi ia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis