Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 23

 




   Akan tetapi begitu pedangnya bertemu senjata merah itu, tongkat itu telah berubah lemas lagi seperti sutera kembali dan tentu saja pedang pusakanya tidak dapat merusak sabuk sutera itu. Bahkan yang terakhir kalinya, ujung sabuk sutera itu dengan lemasnya membelit pedangnya, seperti ekor ular. Belitan yang amat kuat dan sabuk itu ditarik oleh Siauw-bin Ciu-kwi mempergunakan tenaga sin-kang yang kuat sekali!

   Pek-liong tentu saja tidak membiarkan pedangnya dirampas. Dia mempertahankan pedangnya sehingga terjadilah adu tenaga tarik menarik. Dan ternyata, dalam adu tenaga ini keduanya sama kuat!

   Hal ini mengejutkan hati Siauw-bin Ciu-kwi. Di antara Kiu Lo-mo (Sembilan lblis Tua), dia termasuk seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi bocah ini mampu menandinginya! Sungguh hal ini mengejutkan hatinya dan dia tahu bahwa dia harus berhati-hati sekali. Lawannya ini sungguh tak boleh dipandang ringan.

   "Hohhhh......!" Tiba-tiba saja dia melangkah dekat tanpa mengurangi tarikan terhadap sabuk sutera yang membelit pedang, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah kepala Pek-liong. Pemuda ini maklum bahwa selama pedangnya masih dibelit sabuk, dia tidak berdaya dan kakek itu lihai bukan main. Maka, melihat kakek itu menggunakan tangan kiri untuk menghantam kepalanya, dia mendapatkan kesempatan baik untuk melepaskan pedangnya dari belitan.

   Bagaimanapun juga, kakek itu tentu memecah tenaga sin-kangnya untuk melakukan penyerangan itu. Maka, dia berpura-pura menangkis dengan tangan kirinya. Gerakan ini hanya pura-pura saja dan sama sekali dia tidak mengerahkan sin-kang pada tangan kirinya. Sebaliknya, Siauw-bin Ciu-kwi yang melihat pemuda itu menangkis, tentu saja mengerahkan tenaga pada tangan kiri yang memukul.

   Pada saat itu, Pek-liong mengerahkan semua tenaganya pada tangan kanan dan menarik pedangnya sambil melempar tubuh ke kiri untuk menghindarkan pukulan tangan kiri lawan. Pedang itu terlepas dari libatan dan Siauw-bin Ciu-kwi mengeluarkan suara gerengan marah karena dia baru tahu bahwa dia telah diakali setelah pedang itu terlepas dari libatan sabuk sutera, dan pukulannya sama sekali tidak ditangkis, melainkan dielakkan dengan melempar tubuh ke kiri.

   Pemuda itu bergulingan beberapa kali lalu meloncat berdiri lagi dengan pedang Pek-liong-kiam siap di depan dada!

   Siauw-bin Ciu-kwi kini marah bukan main. Dia adalah seorang datuk besar yang terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, ditakuti oleh semua orang kang-ouw, dipuja oleh semua tokoh sesat di dunia hitam. Kini ada seorang pemuda berani menentangnya, bahkan menandinginya satu lawan satu. Kalau dia tidak mampu membunuh pemuda ini, sungguh nama besarnya akan runtuh!

   "Haiiiihh......!" Dia berteriak dan tangan kanan yang memegang sabuk sutera itu bergerak lagi. Sinar merah menyambar, mengeluarkan suara mencicit nyaring. Sabuk merah itu panjangnya hanya dua meter, ditambah lengannya yang pendek, ketika menyerang itu jangkauannya paling jauh hanya tiga meter.

   Pek-liong berdiri dalam jarak empat meter lebih dari kakek itu, maka ketika melihat sabuk merah menyambar, Pek-liong tenang-tenang saja, tahu bahwa sabuk itu hanya menggertak dan tidak akan dapat mencapainya karena terlalu jauh. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat sabuk merah itu terus maju dan meluncur ke arah lehernya!

   Sabuk itu bukan saja mampu mencapainya, bahkan ujungnya masih lebih dan akan dapat melibatnya seperti ketika melibat pedangnya tadi! Dia cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan dan luput dari serangan berbahaya itu. Dia meloncat berdiri lagi dan tahulah dia kini bahwa Siauw-bin Ciu-kwi memiliki ilmu yang dapat membuat lengannya memanjang! Lengan yang pendek itu dapat menjangkau sampai panjang, dapat mulur seperti karet!

   Pek-liong tidak merasa gentar, bahkan gembira bahwa dia tahu akan hal ini dan dapat berjaga diri menghadapi ilmu yang aneh itu. Kini dia meloncat ke depan dan memutar pedang Pek-liong-kiam untuk menyerang sebagai balasan. Serangannya dapat dielakkan oleh kakek pendek gendut itu yang ternyata dapat bergerak dengan gesit sekali. Bahkan kakek itu menahan desakan pedang Pek-liong-kiam dengan totokan-totokan sabuknya yang berbahaya.

   Terjadilah perkelahian yang amat hebat antara Siauw-bin Ciu-kwi dan Pek-liong. Tenaga mereka seimbang. Pek-liong menang gesit dan menang ulet karena dia lebih muda, akan tetapi dia kalah pengalaman, dan lawannya itu memiliki banyak sekali siasat yang aneh-aneh dan curang dalam caranya bersilat dan berkelahi.

   Sampai tigapuluh jurus mereka saling serang dan tiba-tiba kakek itu memutar sabuknya. Sabuk sutera yang lemas itu kini berputar seperti kitiran sehingga nampak lingkaran merah seperti payung yang melindungi tubuh gendut pendek itu sebagai perisai. Ketika Pek-liong mencoba untuk memecahkan "payung" itu, yang terbuat dari lingkaran sinar merah, pedangnya membalik!

   Pedang pusaka Pek-liong-kiam memang ampuh dan tajam untuk mematahkan senjata dari baja dan besi yang bagaimanapun, akan tetapi menghadapi senjata sutera yang lemas itu, senjata pedang ini seperti kehilangan keampuhannya. Dan tiba-tiba dari balik "payung" itu, tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi mencuat dan dada Pek-liong kena dihantam oleh telapak tangannya.

   "Bukk!!" Tubuh Pek-liong terjengkang dan dia bergulingan sampai beberapa meter jauhnya untuk menghindarkan diri dari serangan susulan. Dan untung saja dia melakukan hal itu karena sabuk sutera itu, berubah menjadi sinar merah, telah menyerangnya berkali-kali dan mengejarnya ketika dia bergulingan. Ketika ujung sinar merah itu mengenai tanah karena luput mengenai tubuh Pek-liong, tanah itu berlubang-lubang seperti ditusuk tombak!

   Pek-liong dapat menghindar dan meloncat berdiri. Mukanya berubah agak pucat. Dadanya kena dihantam telapak tangan kiri lawan. Untung dia sudah melindungi dadanya dengan kekuatan sin-kang yang tadi sempat dia kerahkan sehingga kini hanya terasa nyeri sedikit, tidak sampai dia menderita luka dalam yang parah. Bagaimanapun juga, dadanya nyeri dan napasnya menjadi agak sesak!

   Bukan main hebatnya Siauw-bin Ciu-kwi. Belum pernah selama hidupnya, sejak melawan Hek-sim Lo-mo dan berhasil menewaskan datuk besar itu bersama Liong-li, dia bertemu dengan lawan setangguh Siauw-bin Ciu-kwi ini!

   Ketika dia mendesak dengan pedangnya, dalam suatu kesempatan dia dapat melakukan tendangan dengan kaki kirinya ke arah kaki kanan lawan, menyambar ke arah lutut. Kakinya menyentuh kaki lawan dan kakek itupun terguling jatuh! Akan tetapi, pada saat dia terguling itu, saat yang amat menyenangkan hati Pek-liong dan membuat hatinya berdebar dan kewaspadaannya agak melemah, tiba-tiba saja kaki kakek itu mencuat, melakukan tendangan sambil menjatuhkan diri. Gerakannya ini selain cepat, juga aneh dan sama sekali tidak terduga.

   "Desss!!" Tak dapat dihindarkan lagi, paha Pek-liong tercium ujung sepatu dan untuk kedua kalinya, Pek-liong menjadi korban serangan dan dia sampai terpental dan terbanting roboh! Akan tetapi, tubuh pemuda ini memang kuat dan kebal. Pahanya hanya membiru dan terasa nyeri, namun dia masih mampu meloncat dengan cepat dan memutar pedangnya untuk melindungi diri ketika lawannya menyusulkan serangan bertubi dengan sabuk sutera merahnya.

   Kini Pek-liong berkelahi dengan hati-hati sekali. Dua kali dia menjadi korban serangan dengan siasat yang licik. Lawannya licik dan curang, memiliki berbagai gaya serangan yang aneh, maka diapun tidak terlalu mendesak dan lebih memperhatikan pertahanannya agar tidak mudah kecurian seperti tadi.

   Sementara itu, perkelahian antara Liong-li yang dikeroyok oleh dua orang lawan juga berlangsung dengan seru dan mati-matian. Kedua orang lawannya juga bukan orang-orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah terkenal sekali karena mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

   Lim-kwi Sai-kong dengan golok besar dan rantai bajanya memang buas dan liar bagaikan seekor singa, sedangkan Pek I Kongcu, bekas murid Kun-lun-pai itu, selain telah mewarisi ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang indah dan juga dahsyat, juga dia memiliki banyak ilmu-ilmu dari dunia sesat, ilmu silat yang penuh dengan daya tipu dan muslihat berbahaya.

   Namun, sekali ini kedua orang itu menemukan lawan yang amat tangguh. Biarpun usianya masih muda sekali, baru duapuluh empat tahun, namun Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah seorang wanita gemblengan.

   Bukan saja tergembleng oleh gurunya yang sakti, yaitu Huang-ho Kui-bo seorang datuk sesat pula yang memiliki ilmu-ilmu hebat, akan tetapi juga tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit getir sehingga ia menjadi seorang wanita yang gemblengan, tabah, penuh keberanian, cerdik luar biasa dan juga ia mampu mengembangkan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo sehingga ia menjadi lihai sekali, mungkin tidak kalah lihai dibandingkan nenek yang menjadi gurunya!

   Dengan pedang Hek-liong-kiam di tangan, Liong-li menjadi semakin tangguh. Dua orang lawannya selalu menghindarkan pertemuan senjata mereka dengan pedang di tangan wanita cantik itu, dan hal ini membuat Liong-li memperoleh banyak kesempatan untuk mendesak.

   Namun, pertahanan kedua orang itu memang amat kuat. Mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan selalu melindungi. Kalau Liong-li mendesak yang satu, yang lain tentu menyerangnya dengan gencar sehingga terpaksa Liong-li harus membagi perhatiannya dan karenanya, serangannya menjadi kurang terpusat dan kurang kuat.

   Setelah lewat limapuluh jurus dan hanya mampu mendesak kedua orang pengeroyoknya, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke atas, ke sebuah pohon besar yang tumbuh tak jauh dari situ. Ketika tubuhnya turun, tangan kirinya sudah memegang sebatang ranting pohon yang tadi dibabatnya dengan pedang. Dan begitu tangan kirinya memegang ranting sebagai senjata tongkat maka Liong-li bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Memang keahliannya adalah bermain pedang dan bermain tongkat.

   Kini, Hek-liong-kiam dibantu dengan gerakan tongkat yang menotok-notok ke arah jalan darah lawan. Diserang oleh dua senjata yang ampuh itu, Lim-kwi Sai-kong dan Pet I Kongcu terkejut bukan main dan merekapun menjadi gugup dan permainan mereka menjadi kacau.

   "Tranggg......!" Pedang di tangan Pek I Kongcu terlepas ketika pedang itu bertemu ranting yang digetarkan dan sebelum Pek I Kongcu sempat menghindarkan diri, pedang Hek-liong-kiam telah menyambar dan pemuda berpakaian putih itupun roboh mandi darah dengan dada ditembusi pedang!

   Lim-kwi Sai-kong terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan auman singa yang dahsyat, lalu menubruk maju dengan kedua senjatanya diputar.

   Melihat lawan yang marah dan nekat itu, Liong-li tersenyum. Ia tadi melihat dengan sudut matanya betapa rekannya, Pek-liong terdesak hebat oleh lawan. Bahkan ia tahu pula ketika sampai dua kali Pek-liong terkena pukulan dan tendangan, maka ia ingin cepat-cepat menyelesaikan perkelahiannya dengan kedua orang pengeroyoknya agar ia dapat membantu Pek-liong.

   Kini, melihat Lim-kwi Sai-kong nekat dan menyerangnya dengan ganas, memutar kedua senjatanya, ia menjadi girang dan cepat ia menyambut dengan putaran pedang di tangan kanannya. Nampak gulungan sinar hitam yang menyeramkan, mengeluarkan angin berdesingan dan begitu gulungan sinar ini bertemu dengan golok besar dan rantai baja, kedua senjata itupun patah-patah dan beterbangan!

   Barulah Lim-kwi Sai-kong terkejut dan teringat. Dalam kemarahannya tadi, dengan penuh nafsu dia hendak menyerang dan merobohkan wanita berpakaian hitam itu, menyerang dengan penuh nafsu sambil mengerahkan seluruh tenaganya, dia terlupa akan keampuhan Hek-liong-kiam.

   Kini setelah kedua senjatanya patah-patah, baru dia teringat dan hatinya menjadi gentar. Ingin dia meloncat dan melarikan diri, akan tetapi tidak sempat lagi. Pedang bersinar hitam menyambar ke arah lehernya. Lim-kwi Sai-kong masih mampu mengelak dengan merendahkan dirinya, akan tetapi pada detik berikutnya, dia terjungkal roboh karena totokan ranting di tangan kiri Hek-liong-li. Begitu dia roboh, sinar hitam pedang Hek-liong-kiam menyambar dan Lim-kwi Sai-kong tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi karena lehernya putus disambar sinar hitam tadi!

   Tanpa membuang waktu lagi, Liong-li melompat dan membantu Pek-liong yang terdesak. Tentu saja Pek-liong merasa gembira, sebaliknya Siauw-bin Ciu-kwi menjadi gelisah. Dia memaki diri sendiri mengapa selama itu belum juga dia mampu merobohkan Pek-liong.

   Kalau dia sudah mampu merobohkan Pek-liong, tentu kini dia tidak gentar menghadapi Liong-li. Akan tetapi dikeroyok dua? Mengalahkan Pek-liong seorang saja sudah amat sukar, apa lagi ditambah Liong-li yang dia dengar tidak kalah lihainya dibandingkan Pek-liong!

   Dan segera dia melihat dan merasakan buktinya ketika Liong-li terjun ke dalam perkelahian itu dan sinar hitam menyambar-nyambar dahsyat ke arah tubuhnya! Dia mengira bahwa Hek-liong-li belum tahu akan kelihaian sabuk sutera merahnya, maka diapun menyambut pedang hitam itu dengan sabuk sutera merah, berniat untuk melibat pedang itu seperti yang dilakukannya tadi terhadap pedang di tangan Pek-liong.

   Begitu pedang hitam itu bertemu sabuk sutera, pedang segera dilibat dengan amat kuatnya. Akan tetapi justeru ini yang dikehendaki oleh Liong-li. Ia sudah memperhitungkan betapa lihainya sabuk sutera yang lemas itu yang dapat dipergunakan menghadapi pedang pusaka tanpa takut menjadi putus karena lemasnya.

   Sabuk sutera itu baru dapat dibikin putus kalau ia mengeras, maka iapun sengaja membiarkan pedangnya dilibat. Kalau ia terlambat bergerak dan sabuk itu sudah melibat pedangnya, akan sukarlah untuk melepaskan pedang dari libatan. Akan tetapi, ia telah memperhitungkan, pada detik sabuk bertemu pedang dan mulai melibat, ia secepat kilat menggetarkan pedangnya dan menariknya dengan gerakan menyayat.

   "Bretttt......!" Tak dapat dicegah lagi, ujung sabuk yang melibat itupun terobek pedang! Hal ini sungguh tidak disangka-sangka oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Dia menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan seperti binatang buas marah, dia memutar sisa sabuk suteranya, juga tangan kirinya menyerang dengan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan uap kemerahan!

   Bukan main berbahayanya pukulan tangan merah ini, karena selain mengandung tenaga sin-kang yang kuat, juga mengandung hawa beracun. Lebih lagi, lengan kiri itu dapat memanjang, mulur seperti karet sehingga gerakannya sukar diduga. Amukan tangan kiri dan sabuk sutera merah yang sudah putus ujungnya ini masih dibantu kedua kakinya yang menyeling serangan itu dengan tendangan-tendangan kilat.

   Demikian bebatnya serangan kakek datuk sesat ini sehingga betapapun lihainya Pek-liong dan Liong-li, tetap saja mereka harus berhati-hati karena hampir saja perut Pek-liong kena tendangan, sedangkan Liong-li sempat dibuat terhuyung oleh serangkaian serangan ilmu tangan merah itu. Diam-diam Liong-li harus mengakui bahwa kakek ini lihai bukan main dan andaikata ia seorang diri yang harus maju menandinginya, akan sukarlah untuk dapat mengalahkan datuk sesat ini. Akan tetapi, kini mereka berdua saja mengeroyok!

   Bukan saja Liong-li dan Pek-liong masing-masing sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga mereka dapat bekerja sama dengan baik sekali. Di antara mereka terdapat kontak batin yang jarang terdapat di antara manusia. Hubungan yang amat akrab dam erat.

   Mereka selalu saling membantu, saling melindungi, bahkan untuk saling menolong, mereka setiap saat bersedia mengorbankan nyawa sendiri! Ada hubungan yang bahkan melebihi cinta kasih antara dua orang kekasih. Mereka seolah-olah dapat saling menjenguk isi hati dan pikiran masing-masing.

   Dalam pengeroyokan menghadapi Siauw-bin Ciu-kwi inipun, gerakan pedang mereka saling menolong, saling melindungi seolah-olah gerakan mereka berdua itu dikendalikan oleh satu kecerdasan saja! Menghadapi kerja sama yang demikian hebatnya, Siauw-bin Ciu-kwi mulai menjadi bingung dan terdesak, walaupun dia sudah mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya.

   Biarpun demikian, baru setelah hampir satu jam lamanya, tenaga dan kecepatan Siauw-bin Ciu-kwi menurun banyak sekali dan biarpun dia berusaha mati-matian, tetap saja ujung pedang di tangan Pek-liong menyentuh pundaknya dan nyaris mengakibatkan luka hebat.

   Untung dia masih membuat gerakan miringkan tubuhnya sehingga hanya baju dan kulitnya yang terobek. Akan tetapi pada saat berikutnya, pedang Liong-li juga menggores paha kirinya. Tidak hebat kedua luka itu, namun mendatangkan keyakinan dalam hati Siauw-bin Ciu-kwi bahwa kalau perkelahian dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan tewas di ujung pedang kedua orang muda yang amat lihai itu.

   "Singgg......!" Pedang Naga Hitam di tangan Liong-li menyambar ke arah lehernya.

   "Singgg......!" Pedang Naga Putih di tangan Pek-liong juga menyambar ke arah perutnya.

   Kalau pedang Hek-liong-kiam menyambar dari kanan ke kiri, maka pedang Pek-liong-kiam menyambar dari kiri ke kanan sehingga tubuh Siauw-bin Ciu-kwi seperti digunting. Siauw-bin Ciu-kwi mengelebatkan sabuknya yang sudah buntung dan berbareng dia melempar tubuhnya ke belakang, Dua batang pedang tidak mengenai sasaran, bahkan muka kedua orang itu disambar ujung sabuk.

   Keduanya mengelak dan melihat lawan kini bergulingan, merekapun mengejar dan mengirim tusukan-tusukan. Akan tetapi, ternyata cara bergulingan seperti merupakan suatu ilmu yang aneh, akan tetapi juga berbahaya bagi lawan. Dengan bergulingan, Siauw-bin Ciu-kwi dapat menghindarkan setiap tusukan, dan kedua orang lawannya pun kini hanya dapat menyerang dari atas saja, dengan tusukan atau bacokan.

   Sebaliknya, sambil bergulingan mengelak, Siauw-bin Ciu-kwi membalas dengan luncuran sabuk merahnya dari bawah, atau kadang-kadang dia mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya. Tangan kirinya juga mengirim pukulan jarak jauh dan kadang-kadang, secara tiba-tiba, tangan kirinya juga sudah menyambar batu atau tanah, dilontarkan ke arah muka lawan!

   Kakek ini memang hebat. Biarpun dia melawan dua orang lawan lihai dengan bergulingan saja, dia masih berhasil melemparkan batu mengenai pundak Liong-li dan membuat wanita itu terhuyung, dan hampir saja kedua mata Pek-liong kena disambar sambitan tanah dan pasir. Pemuda ini masih sempat miringkan mukanya sehingga yang terkena sambaran tanah dan pasir hanya pipinya, akan tetapi juga cukup menimbulkan nyeri dan membuat pipinya kemerahan seperti menerima tamparan keras!

   Liong-li dan Pek-liong menjadi penasaran. Sejak tadi, mereka hanya mampu mendesak Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan mereka telah menerima akibat serangannya yang walaupun tidak mendatangkan luka parah atau bahaya, namun cukup mengejutkan dan menyakitkan hati.

   "Pek-liong, kita serang dari kanan kiri!" Tiba-tiba Liong-li berseru dan Pek-liong yang maklum akan maksud rekannya, sudah melompat ke sebelah sana tubuh yang bergulingan itu dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!

   Sekarang, repotlah Siauw-bin Ciu-kwi! Kalau tadi, dia bergulingan dan kedua orang lawannya mengejar dan melakukan serangan dari satu jurusan. Akan tetapi, kini mereka menyerang dari dua jurusan, membuat dia tidak mampu lagi bergulingan. Maka, dia lalu meloncat berdiri dan kembali pangkal lengannya tergores ujung pedang Liong-li.

   "Lihat senjata rahasiaku!" bentaknya dan tangan kirinya melemparkan sebuah benda yang diambilnya dari pinggang.

   Liong-li dan Pek-liong tentu saja menjadi waspada oleh bentakan itu dan mereka menahan pedang, siap menghadapi serangan senjata rahasia dalam bentuk apapun juga. Mereka tadi sudah merasakan betapa hebatnya lontaran kakek itu. Baru menggunakan kerikil, pasir dan tanah yang berada di bawah saja, dia sudah amat berbahaya, apa lagi kalau menggunakan senjata rahasia. Jarak antara mereka dan Siauw-bin Ciu-kwi harus agak jauh sehingga mengurangi kecepatan serangan senjata rahasia.

   Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi tidak melontarkan senjata rahasianya itu kepada mereka, melainkan membantingnya ke atas tanah. Terdengar ledakan keras dan asap hitam mengepul tebal sekali. Karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun, Liong-li dan Pek-liong berlompatan menjauh. Ketika asap membuyar, Siauw-bin Ciu-kwi sudah lenyap.

   "Celaka, kita ditipunya!" teriak Liong-li dan mereka lalu cepat berloncatan mencari.

   "Itu dia......!" Pek-liong menuding. Kiranya Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendayung perahu menuju ke tengah telaga!
(Lanjut ke Jilid 25 - Tamat)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 25 (Tamat)
"Ah, tentu peti itu sudah lebih dulu dia simpan di dalam perahu. Kita harus mengejarnya!" kata Liong-li.

   Akan tetapi di situ sunyi sekali, tidak ada perahu. Bagaimana mungkin dapat mengejar Siauw-bin Ciu-kwi yang melarikan diri menggunakan perahu ke tengah telaga? Pada saat itu, sebuah perahu meluncur cepat ke arah mereka.

   "Tai-hiap......!"

   "Li-hiap......!"

   Dua orang muda perkasa itu menengok dan mereka gembira bukan main.

   "Sun Ting......! seru Liong-li.

   "Cian Li......! Pek-liong juga berseru girang.

   Setelah perahu mendekat, mereka lalu meloncat ke atas perahu.

   "Cepat, jangan bicara dulu. Mari kita kejar perahu di depan itu!" kata Liong-li dan mereka berempat lalu mendayung perahu itu sehingga meluncur cepat sekali mengejar perahu yang didayung oleh Siauw-bin Ciu-kwi.

   Mereka telah berada jauh dari tempat ramai, tiba di bagian yang sepi dari telaga, di dekat pantai yang penuh hutan dan bukit. Kalau Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendarat di pantai itu, tentu akan sukar untuk menemukannya. Akan tetapi, perahu mereka jauh lebih cepat dan sebelum tiba di pantai, mereka sudah mengejar dekat.

   "Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak lari ke mana?" bentak Pek-liong.

   "Kakek iblis, harta karun itu berikan saja kepada kami!" kata pula Liong-li sambil tersenyum.

   Melihat bahwa tidak mungkin melarikan diri lagi dan bahwa dia harus melawan mati- matian kalau ingin menyelamatkan harta karun dan nyawanya, Siauw-bin Ciu-kwi menjadi marah bukan main. Dia lalu mengangkat peti hitam itu ke atas kepalanya.

   "Kalau aku tidak bisa mendapatkan harta karun ini, maka orang lainpun tidak!" Berkata demikian, dia melemparkan peti itu ke atas dan ketika peti meluncur turun, dia menyambutnya dengan hantaman kedua tangannya.

   "Brakkkk!!" Peti itu hancur berantakan dan isinyapun berhamburan jatuh ke dalam telaga dan sebentar saja semua isinya tenggelam dan lenyap.

   "Engkau iblis keparat!" Liong-li membentak.

   "Siauw-bin Ciu-kwi, engkau tidak akan terlepas dari tangan kami!" Pek-liong juga membentak.

   Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha ha, kalian juga tidak kebagian apa-apa!"

   Dua orang muda itu sudah berloncatan ke atas perahu di mana Siauw-bin Ciu-kwi berdiri dan datuk sesat inipun menyambut mereka dengan sabuk sutera merahnya. Liong-li dan Pek-liong menggerakkan pedang, dan karena perahu itu tidak besar, maka tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak dapat bergerak dengan leluasa. Perahupun terguncang dan ketika Siauw-bin Ciu-kwi menangkis pedang Pek-liong yang menyerang dari depan, dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika dari belakangnya, Liong-li menusukkan pedang Hek-liong-kiam!

   "Cappp......!" Pedang itu menembus punggung. Akan tetapi kakek yang amat kuat itu sudah membalik sehingga pedang itu terlepas dari pegangan tangan Liong-li dan masih tertinggal di punggung Siauw-bin Ciu-kwi!

   Kini tangan kiri kakek itu mulur dan hendak mencekik Liong-li. Gadis perkasa ini mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi karena perahu itu kecil, loncatannya membuat ia jatuh ke dalam air.

   Pada saat itu, pedang Pek-liong-kiam juga sudah meluncur dan menusuk lambung kakek itu, amblas sampai tembus. Kembali kakek itu membalik dengan kekuatan yang luar biasa sehingga pedang Pek-liong-kiam juga terlepas dari tangan Pek-liong dan tertinggal di lambung kakek itu.

   Kakek itu menggerakkan sabuk suteranya, akan tetapi agaknya kini tenaganya sudah habis karena diapun terkulai dan roboh ke dalam perahunya, tak berkutik lagi karena ternyata nyawanya telah meninggalkan tubuhnya! Liong-li naik lagi ke perahu dengan pakaian basah kuyup. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan wanita itu menarik napas panjang.

   "Bukan main! Dia ini adalah seorang lawan yang amat tangguh!"

   "Benar," kata Pek-liong.

   "Sayang sekali kepandaian yang demikian tinggi itu dia pergunakan untuk kejahatan." Mereka mencabut pedang masing-masing dari tubuh yang sudah tak mampu bergerak itu.

   "Tai-hiap......!"

   "Li-hiap......!"

   Dua orang muda sakti itu menoleh dan mereka melihat kakak beradik itu sudah mengenakan pakaian menyelam, pakaian yang ketat mencetak tubuh mereka sehingga membuat Liong-li dan Pek-liong memandang dengan kagum.

   "Kami akan menyelam dan mengumpulkan harta karun itu!" kata Sun Ting.

   "Baiklah, dan kami akan mengubur dulu jenazah ini," kata Liong-li.

   Pek-liong kagum, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu. Dia tahu bahwa di dasar hati wanita yang dipujanya ini terdapat suatu kelembutan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kehidupannya yang keras dan penuh bahaya. Mereka lalu mendayung perahu Siauw-bin Ciu-kwi itu ke pantai, kemudian menggali lubang dan mengubur jenazah bekas lawan itu dengan sederhana.

   Kemudian mereka kembali ke tempat tadi. Ternyata kakak beradik itu telah beberapa kali menyelam dan berhasil mengumpulkan banyak barang berharga yang tadi berhamburan dari dalam peti harta karun.

   Seperti tidak disengaja saja, kalau dia timbul dari menyelam dan membawa barang emas intan, Sun Ting tentu berenang ke perahu di mana Liong-li berada. Adapun Cian Li, setelah muncul, berenang ke perahu yang sebuah lagi, di mana Pek-liong menantinya dengan senyum dan pandang mata kagum.

   Pek-liong pergi membeli makanan dan minuman karena penyelaman kakak beradik yang mengumpulkan harta karun yang berhamburan itu akan makan waktu sedikitnya tiga hari! Pada hari pertama itu, sudah terkumpul cukup banyak di dalam dua perahu.

   Setelah matahari condong ke barat, ketika Cian Li muncul sambil membawa kantung kain terisi beberapa buah benda emas dan naik ke perahu di mana Pek-liong sudah menanti, Pek-liong menerima kantung itu dan mengeluarkan isinya, ditumpuk di dalam perahu bersama barang lain yang sudah terkumpul selama sehari itu. Ketika Cian Li hendak meloncat lagi, dia memegang lengan gadis itu.

   "Sudah cukup, Cian Li. Besok masih ada hari. Engkau sudah bekerja sejak tadi dan hari sudah menjelang senja. Kakakmu juga sudah mengaso," kata Pek-liong tanpa melepaskan lengan yang dipegangnya. Betapa lembut dan hangat lengan itu, dan betapa di bawah kulit yang putih mulus itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan, kekuatan yang terhimpun melalui gerakan renang.

   Ketika merasa betapa jari-jari tangan pendekar pujaannya itu tidak melepaskan lengannya, bahkan perlahan-lahan membelai dan naik ke siku, Cian Li marasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang dan bangkit berdiri.

   "Di mana dia? Mana kakakku?" Ia mengalihkan perhatian sambil memandang ke arah perahu yang sebuah lagi, beberapa puluh meter dari situ. Tidak nampak seorangpun di perahu itu! "Eh, di mana kakakku dan di mana pula li-hiap?"

   Pek-liong tertawa.

   "Mereka? Mereka di perahu!"

   "Tapi tidak kelihatan dari sini!"

   "Tentu saja, kalau kita berada di bilik perahu inipun tentu tidak akan kelihatan dari perahu mereka."

   Cian Li memandang lagi. Perahu yang di sana itu bergoyang-goyang, tanda bahwa me-mang ada orangnya, akan tetapi orangnya berada di dalam bilik perahu yang sempit, maka tidak nampak. Tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, mulutnya menahan senyum dan ia tersipu. Pek-liong menariknya dan ia tidak menolak, bahkan menyambut mesra ketika Pek-liong mendekap tubuhnya yang masih basah itu dan membawanya ke dalam bilik perahu.

   Sementara itu, di perahu yang lain, tadi Liong-li juga mencegah ketika Sun Ting menyelam lagi.

   "Besok saja lagi, Sun Ting. Jangan engkau terlalu lelah karena barang yang harus diambil dari dasar telaga masih banyak."

   Liong-li lalu masuk ke bilik perahu dan merebahkan dirinya. Ia menghela napas panjang, kagum memandang kepada Sun Ting. Bentuk tubuh pemuda itu membayang di balik pakaian renangnya yang ketat dan basah.

   Darah mudanya sudah sejak tadi bergolak melihat betapa otot-otot tubuh Sun Ting bergerak-gerak di bawah pakaian yang ketat itu, ketika pemuda itu naik turun perahu. Betapa indah dan jantannya!

   "Aih, enak istirahat di sini, Sun Ting, terlindung dari panasnya matahari dan tidak kelihatan orang lain."

   Melihat wanita yang dipujanya itu, Sun Ting yang memang sudah jatuh cinta, menelan ludah. Dia merangkak menghampiri, dan suaranya gemetar ketika dia bertanya.

   "......enci bagaimana... bagaimana dengan luka di pinggulmu......?"

   Melihat betapa pemuda itu sukar bicara, dan kedua tangan itu gemetar, Liong-li tersenyum manis.

   "Sudah agak sembuh, Sun Ting. Coba kaulihat sendiri." Berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuhnya, miring hampir menelungkup.

   Dengan tangan gemetar Sun Ting mendekat, lalu meraba.

   "......boleh... boleh aku melihatnya?"

   "Tentu saja, bukankah engkau yang dulu mengobatinya?"

   Dengan kedua tangan gemetar Sun Ting menarik celana itu agak turun sehingga nampak pinggul yang berkulit putih mulus itu, pinggul yang membukit besar. Luka itu memang sudah sembuh dan kering, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi Sun Ting sudah tidak kuat menahan dirinya dan diapun menciumi pinggul itu, luka di pinggul itu.

   "Enci...... ah, enci... betapa indah pinggulmu......"

   "Ih, anak nakal!" Liong-li membalik, lalu merangkul dan menarik tubuh Sun Ting sehingga mereka berdekapan.

   Ketika Pek-liong dan Cian Li sudah saling dekap dan saling berciuman, Pek-liong merasa heran karena gadis dalam pelukannya itu menangis!

   "Cian Li, engkau kenapa? Mengapa engkau menangis?"

   Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cian Li mempererat rangkulannya dan menjawab lirih sambil menyembunyikan muka di leher pemuda itu.

   "Tidak apa-apa...... aku.... aku menangis karena bahagia, Hay-ko. Aku..... aku sejak bertemu denganmu... aku telah jatuh cinta dan betapa aku mengharapkan dapat berada dalam pelukanmu seperti ini......"

   Pek-liong menghela napas dan mengelus rambut kepala Cian Li.

   "Cian Li, sebelum kita melangkah lebih jauh, aku harus lebih dulu memperingatkanmu bahwa aku...... aku tidak seperti yang kauharapkan, aku tidak seperti pria lain......"

   Sekali ini Cian Li terkejut dan bangkit duduk, memandang wajah pemuda yang rebah telentang itu.

   "Apa...... apa maksudmu, Hay-koko?"

   "Engkau seorang gadis yang baik, Cian Li maka aku harus berterus terang kepadamu. Aku memang suka kepadamu, aku kagum kepadamu, akan tetapi hanya sampai di situ saja. Aku tidak mungkin menjadi suamimu. Nah, aku harus memberitahukan hal ini lebih dulu padamu. Aku tidak mau menghancurkan kebahagiaanmu. Nah, engkau sudah tahu sekarang.

   Sepasang mata itu terbelalak.

   "Tapi...... tapi mengapa, koko? Kalau kita saling mencinta, kenapa kita tidak dapat menjadi suami isteri?"

   Pek-liong menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin! Aku tidak mau menikah, sekarang ini tidak dan belum! Hidupku masih penuh bahaya, aku tidak mau membawa seorang isteri dalam bahaya maut."

   "Tapi aku...... aku mau, koko. Aku tidak takut menghadapi bahaya maut, asal berada di sampingmu!"

   "Tidak, Cian Li. Sudah kujelaskan tidak dan harap jangan mendesakku. Aku sudah berterus terang, aku tidak ingin melihat engkau nanti kecewa dan kehilangan kebahagiaanmu. Nah, kita sudahi saja kemesraan ini dan kita menjadi saudara saja. Bagaimana?"

   Pek-liong juga bangkit duduk. Mereka duduk berhadapan, saling pandang dan mata gadis itu masih basah air mata. Akan tetapi, tiba-tiba Cian Li menubruk dan merangkul Pek-liong sehingga pemuda ini jatuh dan rebah telentang lagi, Cian Li di atasnya.

   Gadis itu mencium mulut Pek-liong dan ia berbisik.

   "Aku tidak perduli... biar engkau tidak menjadi suamiku, aku tidak perduli...... engkaulah satu-satunya pria yang kukagumi dan kucinta, aku...... aku ingin.... menjadi milikmu..... saat ini......"

   Pek-liong balas merangkul.

   "Engkau sungguh tidak akan menyesal?"

   Cian Li memegang kepala pemuda itu dengan kedua tangannya, agak dijauhkan agar mereka dapat saling berpandangan.

   "Mengapa menyesal? Tidak! Aku ingin engkau yang menjadi pria pertama yang memiliki diriku......" Mereka tidak bicara lagi.

   Demikianlah, selama tiga hari mereka berempat berada di perahu, masing-masing pasangan dalam sebuah perahu. Makanan dan minuman yang dibeli Pek-liong cukup untuk mereka, dan sudah dibagi menjadi dua.

   Pada sore hari ketiga, Pek-liong dan Liong-li menyuruh kakak beradik itu menghentikan penyelaman mereka. Biarpun tidak mungkin mengumpulkan seluruh isi peti harta karun itu dan mungkin masih ada yang tertinggal di dasar telaga, namun yang dapat dikumpulkan selama tiga hari itu sudah lebih dari pada cukup. Tak ternilai harganya dan mereka menjadi kaya raya!

   Pada keesokan harinya, ketika terbangun dari tidurnya karena merasa kedinginan, Cian Li membuka mata dan berbisik lirih.

   "......Hay-koko......" tangannya merangkul akan tetapi tidak merasakan apa-apa. Ia membuka matanya.

   "Hay-ko......!"

   Kosong dalam bilik perahu yang sempit itu, yang setiap malam selama tiga hari ini menjadi tempat ia bersama Pek-liong. Tidak ada jawaban. Bagaikan disengat laba-laba, karena menduga sesuatu, Cian Li bangkit duduk.

   "Hay-koko......??" Kini suaranya terdengar mengandung kekhawatiran.

   Ia bangkit berdiri dan keluar dari dalam bilik perahu. Tidak nampak ada Pek-liong. Ia melihat sekeliling. Sunyi. Perahu yang sebuah lagi nampak tak jauh dari situ, dan kedua perahu mereka itu kini telah berada di pantai, tidak seperti kemarin, masih terapung di tengah telaga.

   "Hay-koko.....! Di mana engkau......??" Ia berteriak dan meloncat ke daratan.

   "Li-moi......!"

   Ia membalik, penuh harapan. Akan tetapi, yang memanggilnya adalah kakaknya sendiri, Kam Sun Ting yang berada di atas perahunya.

   "Li-moi, kau ke sinilah!" kata pemuda itu sambil menggapai dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang sebuah surat yang agaknya sedang dibacanya, Cian Li berlari menuju ke perahu kakaknya yang juga sudah menepi, lalu ia naik ke perahu.

   "Bacalah surat ini, dan engkau akan mengerti," katanya dan Cian Li melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali, matanya mengandung kecewa dan duka, bahkan ia melihat kakaknya seperti orang yang akan menangis! Ia merampas surat itu dan dibacanya.

   Sun Ting dan Cian Li yang tercinta.

   Karena waktunya sudah tiba, kami terpaksa meninggalkan kalian, untuk kembali ke tempat kami musing-masing dan kami meninggalkan sebagian harta karun dalam kantung-kantung di perahu. Pakailah untuk modal kalian hidup.

   Maafkan kami, kami bukan jodoh kalian. Carilah jodoh yang baik dan hiduplah berbahagia. jangan ingat kepada kami lagi. Kami akan selalu mengingat kalian sebagai pemuda dan gadis yang manis dan baik budi.

   Selamat tinggal!
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng

   "Aiihh......!" Cian Li mengeluh panjang dan iapun menubruk kakaknya.

   "Koko...... ah, koko..... jadi dia benar meninggalkan aku.....!"

   Ia menangis tersedu-sedu di pundak kakaknya. Sun Ting hanya mengelus rambut kepala adiknya dan diapun menangis, tidak terisak, melainkan air mata menetes-netes keluar dari kedua matanya. Dia teringat akan kata-kata Liong-li semalam, ketika mereka berdua sebagai jawaban ketika dia menyatakan ingin menikah dengan wanita itu.

   "Sun Ting, jangan merusak suasana. Ingatlah selalu hubungan kita selama tiga hari ini sampai kita mati, dan akan selalu menjadi kenangan indah. Kalau kita menikah, kenangan itu akan buyar dan lenyap. Aku tidak ingin terikat, tidak ingin menjadi isteri siapapun. Aku sayang padamu, titik. Hanya sekian saja, tidak ingin terikat denganmu. Kalau engkau ingin menikah, pilihlah seorang gadis yang baik. Aku tidak akan menjadi isteri yang baik, aku seorang petualang, hidupku penuh bahaya maut."

   Sun Ting menepuk-nepuk pundak adiknya.

   "Sudahlah, Li-moi. Mereka itu memang bukan orang-orang biasa. Sudah beruntung bagi kita bahwa mereka menyayang kita dan kita akan mengingat dan mengenang mereka sebagai sahabat-sahabat dan kekasih-kekasih yang amat kita kagumi dan sayang."

   Karena memang ia tahu bahwa Pek-liong pasti akan meninggalkannya, maka Cian Li dapat dihibur juga. Mereka menemukan dua kantung harta karun itu, di dalam perahu. Biarpun bagian itu hanya sepersepuluhnya, namun pada saat itu mereka telah menjadi orang-orang yang kaya raya!

   Dengan harta itu mereka akan mampu membeli rumah besar, membuka toko yang besar. Atau kalau mereka menghendaki, mereka dapat membeli tanah seluas dusun mereka! Dan di samping harta karun itu, merekapun memiliki kenangan yang teramat manis, kenangan selama tiga hari tiga malam bersama orang yang pernah mereka cinta, dan yang takkan mungkin dapat mereka lupakan selama hidup mereka, biarpun kelak mereka akan bertemu jodoh dan sampai mereka menjadi ayah, ibu, kakek dan nenek!

   Sementara itu, jauh dari situ, Pek-liong dan Liong-li menunggang kuda masing-masing yang mereka beli di dekat telaga. Harta karun itu telah mereka bagi dan mereka simpan dalam kantung yang kini mereka gendong di punggung. Tadinya Pek-liong menolak.

   "Untuk apa kauberikan sebagian harta karun itu padaku, Liong-li? Aku tidak membutuhkan harta karun! Kalau aku membutuhkan sesuatu, tidak sukar bagiku untuk mendapatkannya!"

   Liong-li tersenyum.

   "Mencuri milik hartawan atau bangsawan? Hemm, memang baik saja akan tetapi kalau sampai ketahuan, tentu akan tersiar ke mana-mana bahwa Pek-liong-eng, pendekar yang terkenal menjadi pemberantas kejahatan itu ternyata hanyalah seorang pencuri atau perampok. Ihh, aku akan ikut merasa malu, Pek-liong! Sebaiknya engkau terima bagianmu dalam harta karun ini dan hidup berkecukupan. Dan ingat, kita bersama sudah bersumpah untuk menentang kejahatan dan pekerjaan itu kadang-kadang membutuhkan biaya yang cukup besar! Bawalah, belilah rumah yang cukup besar agar aku menjadi betah di rumahmu kalau datang berkunjung."

   Akhirnya Pek-liong menerimanya juga dan mereka membalapkan kuda meninggalkan Telaga Po-yang, telaga besar di mana mereka mengalami petualangan yang amat berbahaya, akan tetapi juga amat menguntungkan itu. Bukan hanya untung karena memperoleh harta karun yang tak terhitung besarnya, akan tetapi bertemu pula dengan seorang pemuda dan seorang gadis yang mereka sayang dan yang amat menyayang mereka pula.

   Setelah tiba di jalan simpang, mereka berhenti. Hari masih pagi sekali dan jalan itu masih sunyi. Keduanya turun dari atas kuda, lalu saling berhadapan.

   "Pek-liong, kita berpisah di sini!"

   Pek-liong mengerutkan alisnya.

   "Liong-li, baru saja kita saling bertemu, haruskah sudah berpisahan lagi. Apakah engkau tidak ingin berkunjung ke rumahku!"

   "Hi-hik, nanti saja, kalau engkau sudah membangun rumah yang besar! Dan belum waktunya engkau berkunjung ke tempatku. Kita baru saja mengalami petualangan besar yang melelahkan dan kita perlu beristirahat. Mudah-mudahan segera muncul suatu pekerjaan baru yang akan dapat membawa kita bekerja sama pula menghadapinya. Nah, selamat berpisah, Pek-liong!" kata Liong-li sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada.

   "Selamat berpisah, Liong-li," jawab Pek-liong sambil memberi hormat pula.

   Keduanya saling berpandangan dan seperti ditarik besi semberani, keduanya melangkah maju dan di lain saat mereka telah saling berpelukan. Tanpa berahi. Berpelukan seperti dua orang sahabat yang enggan berpisah.

   Pada saat mereka saling rangkul itu, dalam lubuk hati masing-masing timbul perasaan bahwa sebetulnya, pada perasaan yang paling mendalam, mereka itu saling memiliki! Betapa mudahnya bagi mereka berdua untuk membiarkan diri terseret oleh perasaan sehingga timbul nafsu yang akan menggelora, akan membakar segalanya.

   Namun keduanya juga merasa bahwa kalau hal ini mereka biarkan, maka perasaan kasih sayang yang amat mendalam itu, saling memiliki itu, akan ikut pula terbakar. Oleh karena itu, Liong-li yang lebih dulu melepaskan rangkulannya dan iapun sekali meloncat sudah berada di atas punggung kudanya.

   Pek-liong juga naik ke atas punggung kudanya dan merekapun membalapkan kuda masing-masing, hanya menoleh satu kali pada saat yang bersamaan! Kembali mereka heran dan juga gembira bahwa dalam saat seperti itupun, kontak antara mereka itu masih demikian kuatnya sehingga ketika menolehpun pada saat yang sama!

   Mereka mengangkat tangan sebagai selamat berpisah, lalu membalapkan kuda masing-masing dengan menuju pulang ke tempat tinggal masing-masing. Pek-liong menuju dusun kecil di dekat kota Hang-kauw, tak jauh dari Telaga See-ouw. Sedangkan Liong-li pulang ke kota Lok-yang.

   T A M A T

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis