Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 21

 




   "Hal itulah yang harus kita selidiki, Beng-cu. Coba berikan patung emas itu, biar kuperiksa." Berkata demikian, Pek-liong menjulurkan tangannya. Dia tersenyum melihat betapa Pek I Kongcu dan yang lain-lain, kecuali Tok-sim Nio-cu, siap dengan senjata mereka untuk menyerang kepadanya. Siauw-bin Ciu-kwi juga memandang kepada para pembantunya, lalu dia tertawa dan menyerahkan patung emas itu kepada Pek-liong.

   "Ha-ha-ha, kalian memang terlalu curiga. Seorang diri saja di sini, Pek-liong tidak akan dapat berbuat sesuatu yang bodoh. Aku mulai percaya kepadamu, Pek-liong. Nah, coba kau periksa patung itu, siapa tahu apa yang kau katakan itu benar."

   Pek-liong menerima patung emas itu, memandang ke sekeliling dan tersenyum menyaksikan sikap mereka, juga tersenyum manis kepada Tok-sim Nio-cu yang tidak mencurigainya. Wanita ini membalas senyumnya, mendekat dan menyentuh pundaknya dengan sikap manja.

   "Pek-liong, aku percaya kepadamu. Rahasia apa sih yang terdapat pada patung emas ini?"

   Dengan lembut Pek-liong melepaskan diri dari sentuhan lembut mesra itu, lalu dia menghadap Siauw-bin Ciu-kwi, menjawab kepada wanita itu sambil lalu saja.

   "Untuk itu aku harus menyelidikinya dulu."

   Dan diapun melakukan penyelidikan. Diamati patung emas itu, ditimang-timang dan semua gerakannya diikuti oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dan kaki tangannya dengan penuh perhatian. Sekali ini Pek-liong tidak bersandiwara. Dia memang benar-benar melakukan penyelidikan, mempergunakan segala kecerdikan akalnya.

   Dia memang banyak tahu tentang barang-barang pusaka kuno dan sudah mempelajarinya, maka dari ciri-ciri ukirannya iapun dapat menduga bahwa patung emas ini sedikitnya berusia limaratus tahun. Ada setengah jam dia meneliti patung emas itu sehingga semua orang mulai menjadi tidak sabar lagi.

   "Bagaimana, Pek-liong?" Siauw-bin Ciu-kwi bertanya.

   "Beng-cu, pergunakanlah pedang dan memenggal leher patung emas ini!" kata Pek-liong.

   Tentu saja semua orang terkejut. Patung emas itu merupakan sebuah benda yang langka dan amat berharga, bukan hanya karena emasnya, melainkan karena merupakan benda pusaka kuno dengan ukirannya yang indah dan halus. Kalau dipenggal leher patung itu, sama saja dengan merusak dan mengurangi nilainya! Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi yang menginginkan harta yang lebih berharga lagi, segera berkata kepada Tok-sim Nio-cu.

   "Nio-cu, pergunakan pedangmu memenggal leher patung itu seperti diminta oleh Pek-liong!"

   Tok-sim Nio-cu mencabut pedangnya dan berkata kepada Pek-liong sambil tersenyum.

   "Pek-liong, tidak sayangkah patung begini indah dipenggal lehernya?"

   Pek-liong menjawab.

   "Lakukan saja perintah Beng-cu. Buntungnya leher patung, dengan mudah dapat diutuhkan kembali oleh tukang emas!" Mendengar ini barulah semua orang menyadari bahwa memang kerusakan itu dapat diperbaiki dan kalau sudah disambung kembali oleh tukang emas yang pandai tidak akan nampak bekasnya.

   Pedang di tangan Tok-sim Nio-cu berkilat menyambar dan buntunglah leher patung itu dengan sayatan yang rapi. Pek-liong melihat, seperti yang sudah diduga, bahwa tubuh patung itu berlubang dan dia melihat segulung kain di dalamnya.

   "Berikan patung itu kepadaku!" Siauw-bin Ciu-kwi yang juga melihat gulungan kain itu berseru.

   Pek-liong tersenyum dan menyerahkan patung emas. Dengan tangan yang jelas nampak gemetar saking tegang dan gembiranya, Siauw-bin Ciu-kwi mengambil gulungan kain itu dari dalam perut patung. Segera diperiksanya gulungan kain itu, dengan sikap hati-hati agar orang lain tidak melihat tulisan yang terdapat dalam gulungan kain. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan wajahnya berseri, lalu dia tertawa bergelak-gelak.

   "Ha-ha-ha, ha-ha-ha-ha...... jasamu besar sekali, Pek-liong. Benar seperti dugaanmu, patung ini menyembunyikan rahasia besar. Ha-ha, kalau berhasil kita temukan harta karun ini, aku berjanji bahwa patung emas ini akan kuberikan sebagai hadiah kepadamu!"

   "Terima kasih, Beng-cu. Sudah kuduga bahwa bekerja sama denganmu memang menguntungkan sekali!"

   Siauw-bin Ciu-kwi menyimpan gulungan kain itu ke dalam jubahnya, lalu memandang kepada semua pembantunya dan berkata dengan suara berwibawa.

   "Mulai saat ini, Pek-liong menjadi pembantuku yang utama. Kalian tidak boleh mengganggunya! Peta rahasia Patung Emas yang ditemukan di dalam patung ini amat penting. Kalian tidak usah tahu dan ikuti saja aku untuk mendapatkan harta karun yang tak ternilai besarnya. Jangan khawatir, setelah harta karun itu berada di tanganku, kalian tentu akan memperoleh bagian masing-masing."

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dan berkata dengan suara lantang.

   "Pek-liong, jasamu besar sekali. Akan tetapi aku masih merasa heran, bagaimana engkau dapat menduga bahwa di dalam patung terdapat rahasianya. Hayo ceritakan agar menambah pengertian rekan-rekanmu yang berada di sini, agar lain kali mereka mencoba menggunakan otak, jangan hanya pandai menggunakan hati dan tangan kaki saja!"

   Pek-liong tersenyum dan memandang kepada para tokoh pembantu lainnya, sengaja berlagak tinggi hati untuk membuat hati mereka merasa tidak senang.

   "Ah, Beng-cu, sesungguhnya tidak sukar untuk menduga hal itu kalau saja kita mau mempergunakan akal pikiran kita. Melihat betapa penuh rahasia peta yang menunjukkan di mana adanya patung emas itu, dan betapa patung itu disimpan di dasar telaga, maka tidak mungkin kiranya kalau yang disembunyikan itu hanya sebuah patung emas sekecil itu. Tentu ada barang lain yang jauh lebih berharga, yang rahasianya berada di patung itu.

   "Ketika aku menerima patung itu, maka dugaanku semakin kuat. Patung itu ringan saja, berarti di dalamnya berlubang, tidak seperti patung emas lainnya. Kalau pembuat patung emas membuat dalamnya berlubang, hal ini hanya dengan satu maksud, yaitu untuk menyimpan suatu benda yang teramat penting, yang jauh lebih berharga dari pada nilai patung itu sendiri.

   "Pula, setelah mengamati secara teliti aku melihat ada guratan aneh pada leher patung, jelas itu merupakan tanda bahwa leher itu sambungan dan dikerjakan kurang cermat. Maka, sudah bulatlah dugaanku bahwa di dalam perut patung yang berlubang itu tentu disembunyikan benda yang amat berharga."

   "Ha-ha-ha, hebat sekali! Bagus sekali, kiranya engkau tidak hanya lihai ilmu silatmu, akan tetapi juga amat cerdik pikiranmu. Aku girang sekali dapat bekerja sama denganmu, Pek-liong."

   "Dan aku juga gembira sekali dapat membantumu, Beng-cu."

   "Dan akupun gembira kalau dapat menjadi pacarmu yang baru, Pek-liong!" kata Tok-sim Nio-cu genit.

   "Nah, kalian lihat! Baru saja membantuku, jasa Pek-liong sudah jauh lebih besar dari pada jasa kalian selama ini! Maka dalam mengambil harta karun ini, kalian harap bekerja keras sehingga kalian pantas memperoleh bagian!"

   Perahu besar lalu digerakkan menuju ke pantai, dan kini Pek-liong ikut mendaki Bu- kit Merak, menuju ke sarang yang dipergunakan oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Sekali ini bukan lagi sebagai tawanan, melainkan sebagai pembantu Siauw-bin Ciu-kwi.

   Namun, Pek-liong yang cerdik itu maklum bahwa sikap dan semua ucapan Siauw-bin Ciu-kwi kepadanya itu masih palsu, dan dia tahu bahwa diam-diam Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya mengamati semua gerak geriknya. Dia harus berhati-hati sekali!

   "Keparat! Tan Cin Hay itu sungguh jahat dan kejam bukan main!" Berulang kali Kam Sun Ting mengomel panjang pendek mencaci maki Pek-liong ketika dia bersama adiknya menyeret tubuh Liong-li yang lemas di balik tumbuh-tumbuhan teratai menuju ke perahu kecil mereka di tempat yang agak jauh.

   "Ih, sudahlah, koko. Sudahi saja caci makimu yang tidak baik itu dan lebih baik kita memperhatikan keadaan li-hiap ini. Mari cepat bawa ia ke perahu!" Cian Li mencela kakaknya, hatinya merasa tidak enak mendengar kakaknya mencaci-maki Pek-liong.

   Biarpun ia sendiri merasa kecewa melihat ulah Pek-liong, namun hatinya masih tidak rela membiarkan kakaknya mencaci maki seperti itu di depannya. Mereka lalu berenang dengan cepat setelah jauh dari perahu besar sehingga tidak kelihatan lagi dan tak lama kemudian, mereka sudah mengangkat tubuh Liong-li ke atas perahu.

   "Li-moi, cepat dayung perahu ini ke daratan yang sunyi, aku akan mencoba merawat dan menyadarkan Liong-lihiap!" kata Sun Ting, khawatir melihat wajah pendekar wanita itu pucat dan matanya terpejam, akan tetapi perutnya tidak menggembung.

   Dia memang sudah siap siaga. Sebelumnya telah diatur oleh pendekar wanita itu, yaitu dia disuruh membantu adiknya agar Cian Li dapat berhasil dan selamat. Dan dia dipesan agar bersama Cian Li siap di bawah permukaan air, bernapas melalui batang alang-alang yang berlubang, dan menanti di situ, siap menolong kalau ia sampai terpaksa meloncat ke air. Maka, dia dan adiknya dapat melihat perkelahian antara Pek-liong dan Liong-li tadi, melihat pula betapa Liong-li meloncat ke air dan terkena samba-an pisau.

   Sun Ting mengajak adiknya menyelam dan tepat seperti yang sudah direncanakan oleh Liong-li, mereka berdua menyeret tubuh Liong-li ke bawah air sehingga tidak nampak oleh orang-orang di dalam perahu pendekar wanita itu timbul kembali. Mereka menyelam dan berenang di dalam air, lalu bersembunyi di balik tumbuhan teratai yang lebat, dan sambil bersembunyi, perlahan-lahan mereka berenang di balik tumbuhan itu menuju ke perahu yang cukup jauh dari situ. Yang membuat Sun Ting khawatir adalah karena Liong-li sejak tadi pingsan dan ada pisau menancap di pinggulnya sebelah kanan.

   Sun Ting tidak berani mencabut pisau itu, dan melihat betapa Liong-li pingsan dan pucat, bahkan napasnya hampir tidak ada, dalam kepanikannya, dia lalu membuka mulut pendekar wanita itu dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri lalu meniup sekuatnya untuk membantu paru-paru gadis perkasa itu. Pada saat dia melakukan perawatan itu, sedikitpun tidak ada perasaan apapun di hatinya kecuali ingin menyelamatkan Liong-li, tidak timbul kemesraan atau nafsu walaupun diam-diam dia sudah jatuh cinta kepada pendekar wanita itu.

   Akhirnya, setelah melakukan perawatan itu beberapa kali, Liong-li gelagapan, membuka matanya dan melihat betapa pemuda penyelam itu meniup melalui mulutnya, dengan lembut ia mendorong dada pemuda itu, lalu berbatuk-batuk.

   "Cukup...... aduhh......! Ketika ia miringkan tubuhnya, baru terasa olehnya bahwa ada pisau menancap di pinggul kanannya. Dirabanya pinggul itu.

   "Sun Ting, cepat ambilkan buntalan obat, dalam buntalan pakaianku itu buntalan kuning......"

   Sun Ting membuka buntalan pakaian Liong-li yang memang ditinggalkan di perahu itu, dan mengambilkan sebuah buntalan kuning kecil. Ketika buntalan ini dibukanya, maka terisi bubukan kuning yang amat halus.

   "Sun Ting, akan kucabut pisau ini, lalu kau robek kain yang menutupi pinggul yang luka, taburkan obat itu di atas luka, pergunakan jarimu untuk menekan-nekan agar obat itu masuk ke dalam lukanya," Liong-li lalu mencabut pisau itu yang ternyata masuk sedalam satu jari panjang.

   Darah keluar dari luka di pinggul itu dan Sun Ting merobek celana yang menutupi pinggul. Dengan tekanan-tekanan jarinya pada jalan darah tertentu, pendarahan itu berhenti dan Liong-li menyuruh pemuda itu menaburkan obat bubuk kuning halus. Sun Ting menaburkan obat dan menekan-nekan obat ke dalam luka. Juga dia tidak merasakan apa-apa melihat pinggul yang putih mulus dan halus di depan matanya itu, karena yang teringat olehnya hanyalah bahwa gadis perkasa itu terluka parah.

   "Biarkan dulu sampai obat yang berada di luar luka mengering, jangan ditutupi bagian yang terluka itu," kata Liong-li, kemudian kepada Cian Li ia berkata.

   "Adik manis, tolong kauambilkan dua batang pedang yang kuikat di bawah perahu ini."

   Tadi sebelum ia dan Sun Ting meninggalkan perahu, Liong-li yang selalu berhati-hati itu menyembunyikan sepasang pedang pusaka, yaitu Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam di bawah perahu.

   Cian Li mengangguk dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menghentikan perahu dan menyelam. Tak lama kemudian ia sudah muncul kembali membawa dua batang pedang yang amat ampuh itu.

   "Sekarang, dayunglah perahu ke pantai yang sunyi, aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Pek-liong masih berada dengan mereka dan aku tahu bahwa keselamatannya masih terancam hebat."

   Sun Ting mengepal tinjunya dengan gemas.

   "Ah, lihiap, mengapa masih memikirkan orang jahat itu? Dia telah berubah menjadi seorang penjahat keji! Sungguh tidak tahu malu, dia telah melukaimu dengan curang......"

   "Tepat seperti yang kukehendaki, Sun Ting. Memang Pek-liong seorang yang cerdik luar biasa dan dia dapat membaca setiap isi hati dan pikiranku. Untung dia berlaku cepat dan dapat melukai pinggulku, kalau tidak tentu mereka akan semakin mencurigainya. Mudah-mudahan saja pengorbanan pinggulku ini tidak sia-sia!"

   Tentu saja kakak beradik itu terbelalak memandang kepada pendekar wanita itu.

   "Lihiap......! Apa maksudmu? Benarkah bahwa Tan-taihiap tidak berkhianat, tidak bersekutu dengan penjahat dan dengan kejam sekali telah melukaimu?"

   Pendekar wanita itu masih menelungkup. Pinggulnya terbuka dan bukit pinggul itu menjulang ke atas, indah bentuknya dan putih mulus kemerahan. Ia menggeleng kepalanya sambil tersenyum.

   "Sama sekali tidak! Sampai dunia kiamat, Pek liong tidak akan mengkhianati aku, dan tidak akan sudi menjadi kaki tangan penjahat."

   "Akan tetapi, lihiap! Bukankah tadi dia memaki-makimu dengan kata-kata kotor, bahkan lalu menyerangmu? Dia sudah mengaku dengan lantang bahwa dia ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi untuk mendapatkan bagian harta karun. Bahkan dia telah memakimu dengan kata-kata kotor, menuduhmu secara keji dan......"

   Liong-li mengangkat tangannya unluk menutupi mulut Sun Ting yang agaknya hendak memaki itu, dan ia tersenyum.

   "Kalian adalah dua orang muda yang berjiwa bersih dan polos, tentu saja tidak mengerti akan sepak terjang kami berdua. Menghadapi para penjahat keji dan lihai seperti mereka, kita harus mempergunakan siasat pula."

   "Akan tetapi, lihiap. Kalau taihiap tidak ingin bekerja sama dengan mereka, tadi dia dapat bersama lihiap meloncat ke air dan kami berdua yang akan mampu melarikan kalian dengan selamat. Kenapa dia tinggal di perahu itu?" Cian Li juga membantah, merasa penasaran dan khawatir karena pendekar yang dikaguminya itu kini masih berada bersama para penjahat keji itu.

   "Tadinya aku memang bermaksud untuk membebaskan engkau dan dia, adik manis. Akan tetapi ketika aku mendengar ucapan Pek-liong kepadamu, ucapan keras yang sengaja dia keluarkan agar aku dapat mendengarnya, bahwa dia ingin bekerja sama dengan Beng-cu untuk mendapat bagian harta karun, aku tahu akan rencananya. Maka, aku harus bersandiwara sesuai dengan rencananya agar dia berhasil.

   "Aku harus berusaha agar dia dapat diterima oleh gerombolan penjahat itu dan dipercaya. Ketika dia melukai aku dengan pisau dan aku jatuh ke air terus kelihatan tenggelam dan tewas, tentu dia diterima dengan gembira oleh Beng-cu, bahkan mungkin menjadi orang kepercayaannya!"

   "Ah, kalau begitu...... Tan-taihiap tadi.... dan lihiap, hanya bermain sandiwara saja? Semua itu merupakan siasat ji-wi (kalian) agar Tan-taihiap dapat dipercaya dan diterima sebagai sekutu gerombolan penjahat itu?" tanya Sun Ting dengan muka merah, teringat betapa tadi dia telah memaki-maki Pek-liong.

   "Sudah jelas begitu masih bertanya lagi!" Cian Li berkata dengan mulut cemberut.

   "Dasar engkau yang tidak mengenal budi orang, koko, belum apa-apa sudah mencela dan memaki-maki!"

   "Ah, ah...... aku menyesal sekali..... akan tetapi siapa tahu bahwa mereka itu bersandiwara? Melihat betapa lihiap benar-benar terluka oleh pisau, siapa mengira bahwa hal itu disengaja?" Sun Ting membela diri.

   Liong-li tersenyum.

   "Sudahlah, bukan salah Sun Ting. Memang bagi orang lain, kami berdua sukar dimengerti. Serahkan saja kepada kami berdua untuk menghadapi gerombolan penjahat yang amat lihai itu."

   "Tapi...... tapi, lihiap. Mengapa taihiap harus menyerahkan diri, harus menjadi sekutu mereka walaupun hanya berpura-pura? Mengapa pula lihiap harus mengorbankan diri seperti ini? Apa perlunya bekerja sama dengan para penjahat itu?"

   "Tentu ada alasannya bagi Pek-liong untuk berbuat demikian. Hanya dia yang mengetahui dan aku hanya melengkapi peranannya saja. Tentu ada hal yang amat penting, teramat penting bagi kami berdua maka dia memainkan sandiwara itu. Karena itu, kita harus waspada dan di darat, kalian tidak mungkin dapat membantu kami. Kepandaian kalian jauh dari pada cukup untuk melawan mereka.

   "Kalau kalian membantu, bahkan kalian akan melemahkan kami, karena kami harus melindungi kalian. Belum lagi kalau kalian ditawan dan dijadikan sandera, memaksa kami untuk menyerah. Kalian tunggu saja di tepi telaga. Kalau kalian melihat perahu mereka berlayar baru kalian boleh membayangi dari jauh, apa lagi kalau melihat ada Pek-liong di perahu itu. Kalian siap sedia untuk menolong kalau kami sampai membutuhkan pertolongan di air, seperti keadaanku tadi. Mengerti?"

   "Baik, enci," kata Sun Ting dan kembali dia menyebut enci, hal ini menandakan bahwa ketegangan telah lewat dan dia kembali bersikap mesra.

   "Akan tetapi, engkau masih terluka......"

   "Aku akan beristirahat di perahu ini. Dalam waktu beberapa jam saja luka ini akan mengering dan aku akan dapat melakukan penyelidikan di Bukit Merak. Kuyakin bahwa tentu Pek-liong diajak ke sana oleh mereka."

   Tiba-tiba Cian Li mengepal tinju dan mukanya berubah marah.

   "Sayang aku tidak berhasil membuat perempuan laknat itu mati tenggelam!"

   Ia teringat kepada Tok-sim Nio-cu dan merasa cemburu, apa lagi mengingat bahwa kini Pek-liong menjadi sekutu mereka. Tentu hal ini akan dipergunakan sebagai kesempatan baik oleh perempuan genit itu untuk memikat hati Pek-liong.

   Liong-li tersenyum. Ia dapat membaca jalan pikiran gadis penyelam yang manis itu, dan sambil mengamati wajah dan tubuh orang ia berkata.

   "Jangan khawatir, adik manis. Aku mengenal benar siapa Pek-liong. Dia tidak akan mudah jatuh oleh rayuan segala macam wanita macam si genit itu. Aku tahu selera Pek-liong. Gadis seperti engkau inilah kiranya akan memenuhi seleranya!"

   Mendengar ucapan pendekar wanita ini, seketika wajah Cian Li tersipu malu dan ketika perahu tiba di tepi yang sunyi, ia lalu meloncat ke darat dan menalikan tali perahu pada sebatang pohon.

   "Aku akan mencari kayu kering pembuat api unggun," katanya dan iapun pergi.

   Sun Ting masih duduk menjaga di dekat Liong-li yang masih menelungkup. Dengan penuh rasa iba dan sayang, dia memandang bukit pinggul yang terluka itu. Obat bubuk kuning itu nampak telah membuat luka itu mengering, akan tetapi di sekeliling luka itu masih nampak betapa kulit yang halus mulus itu kemerahan.

   "Enci, sakit benarkah rasanya pinggulmu......?" tanya Sun Ting lirih dan seperti otomatis, jari-jari tangannya mengelus-elus sekeliling luka, seolah-olah dengan jari jari tangannya dia ingin mengusir perasaan nyeri yang ada. Mendengar pertanyaan itu dan merasa betapa jari-jari tangan itu mengelus lembut, Liong-li merasa bulu tengkuknya meremang.

   "Ah, tidak berapa nyeri, Sun Ting. Sebentar lagi tentu sembuh. Setelah cuaca gelap nanti, aku akan pergi menyelidik ke Bukit Merak."

   Sun Ting tidak menjawab, tangannya masih mengelus bukit pinggul itu di sekeliling luka.

   "Enci, bukit pinggulmu indah sekali bentuknya, dan putih mulus......" katanya lirih.

   Liong-li merasa betapa jantungnya berdebar, maka ia lalu berkata cepat.

   "Lepaskan tanganmu, Sun Ting. Aku akan duduk, tutupkan selimut itu pada pinggulku, lukanya sudah mengering."

   Biarpun dengan lambat, seolah merasa tidak rela pinggul itu ditutupi Sun Ting melakukan perintah itu dan sambil tersenyum Liong-li berkata kepadanya.

   "Engkau perayu nakal! Tugas masih bertumpuk untuk kita, belum waktunya bersenang-senang. Nah, bantulah adikmu mengumpulkan kayu kering, dan coba cari makanan karena sebelum pergi, aku ingin makan dulu. Cepat pergi, jangan bengong saja, aku hendak berganti pakaian!"

   Sun Ting meloncat ke darat dan setelah melangkah belasan kaki dia menengok. Dia melihat betapa pendekar wanita itu telah menanggalkan pakaiannya! Kalau menurut dorongan nafsunya, ingin dia membalikkan tubuh dan menikmati penglihatan itu, akan tetapi kesopanan memaksanya cepat membuang muka dan melanjutkan langkahnya.

   Liong-li melihat semua ini dan iapun tersenyum. Seorang pemuda yang amat baik, dan amat menyenangkan, pikirnya dan kedua pipinya berubah merah, lesung pipitnya bermain di kanan kiri bibirnya. Iapun cepat berganti pakaian kering, pakaian serba hitam yang ringkas dan menyelipkan sepasang pedang pusaka di punggung.

   Dengan cepat dibereskannya rambutnya yang tadi basah dan awut-awutan. Disisirnya rapi dan digelung ke atas, diikat saputangan sutera merah dam ditusuk dengan tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil. Ia mengenakan sepatunya yang tadi dilepas di dalam perahu kecil, dan lengkaplah sudah ia, siap untuk melakukan penyelidikan, siap untuk bertempur!

   Kakak beradik itu datang membawa kayu kering yang cukup, dan Sun Ting membawa pula tiga ekor ikan yang tadi didapatnya dengan menjala di tepi telaga. Mereka lalu duduk memghadapi api unggun dan ketika matahari mulai tenggelam di barat, mereka makan panggang ikan.

   Setelah cuaca mulai gelap, pergilah Liong-li meninggalkan kakak beradik itu di tepi telaga. Dengan tenang Liong-li melakukan perjalanan menuju ke Bukit Merak setelah mendapat petunjuk dari Sun Ting tentang letak Bukit Merak. Malam itu kebetulan bulan purnama, maka setelah bulan muncul, pendekar wanita ini dapat melakukan perjalanan tanpa banyak kesukaran.

   Sun Ting dan adiknya lalu kembali ke dusun mereka di luar kota Nan-cang. Mereka mengumpulkan pakaian dan perbekalan di rumah mereka yang sudah diaduk-aduk oleh para penjahat ketika mereka mencari peta dahulu itu. Malam itu mereka bermalam di rumah sendiri, baru pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka kembali ke telaga, mendayung perahu mereka dan mulai dengan pengamatan mereka kalau-kalau ada perahu penjahat berlayar. Akan tetapi, sehari itu mereka tidak melihat ada perahu penjahat, tidak melihat pula bayangan Pek-liong maupan Liong-li sehingga diam-diam hati kedua orang kakak beradik ini diliputi penuh kekhawatiran.

   Di bawah sinar bulan purnama, Liong-li mendaki Bukit Merak. Ia menduga bahwa sarang penjahat itu tentu tidak semudah itu didaki orang. Tentu di sana terkandung banyak perangkap dan juga terdapat para penjaga. Dugaannya memang benar. Beberapa kali dia berhadapan dengan perangkap-perangkap, seperti lubang jebakan yang ditutup rumput, tali-tali yang kalau tersangkut kaki menurunkan jala atau membuat tombak dan anak panah datang berhamburan dari kanan kiri.

   Namun, Liong-li adalah seorang wanita perkasa yang amat cerdik dan sudah banyak pengalamannya, maka ia selalu berhati-hati dan setiap kali melihat ketidakwajaran di depan, ia selalu menguji keamanan tempat itu dengan lemparan kayu atau batu. Maka, tak pernah ia terperosok ke dalam jebakan atau terserang senjata rahasia yang dipasang di jalan menuju ke sarang penjahat di lereng Bukit Merak.

   Ketika ia melalui daerah yang penuh pohon sehingga di bawah pohon terlalu gelap dan terlalu berbahaya untuk dilalui, Liong-li lalu mempergunakan kepandaiannya dan iapun meloncat ke atas pohon, kemudian bagaikan seekor tupai saja, ia berloncatan dari pohon ke pohon, menuju ke lereng di mana sudah nampak sinar-sinar lampu dari perkampungan penjahat.

   Dan perhitungannya memang tepat. Setelah ia melalui jalan atas di antara pohon- pohon, ia tidak pernah berhadapan dengan perangkap lagi. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw-bin Ciu-kwi jauh lebih cerdik dari pada yang disangkanya. Biarpun tidak dipasangi perangkap, namun di luar kesadarannya, ketika ia berloncatan dari pohon ke pohon, kakinya menyangkut dan membikin putus tali halus yang berhubungan dengan tanda bahaya yang dipasang di rumah tinggal Siauw-bin Ciu-kwi!

   Beng-cu kaum penjahat ini tahu bahwa ada tamu tak diundang datang berkunjung malam itu. Dia dapat menduga bahwa tamu yang datang melalui pohon-pohon sudah pasti bukan kawan, maka cepat dia memanggil para pembantunya.

   "Ada musuh datang, entah berapa orang banyaknya. Mereka lihai, datang berkunjung melalui pohon-pohon. Cepat kalian hadang dan robohkan mereka, hidup atau mati!"

   Siauw-bin Ciu-kwi merasa khawatir sekali setelah peta rahasia dari Patung Emas berada di tangannya. Dia merahasiakan isi peta itu dari para pembantunya, bahkan Tok-sim Nio-cu yang merupakan pembantu utamanya, juga pacarnya pun tidak diberitahu. Hanya siang tadi dia memerintahkan Po-yang Sam-liong untuk mengumpulkan bantuan tenaga kasar sebanyak limapuluh orang.

   Tak seorangpun di antara para pembatunya dapat menduga untuk apa beng-cu mereka membutuhkan tenaga kasar sebanyak limapuluh orang itu. Po-yang Sam-liong diberi tugas itu karena mereka adalah tokoh-tokoh di sekitar daerah Telaga Po-yang sehingga tentu akan lebih mudah mengumpulkan orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka akan diberi gaji besar, demikian beng-cu berjanji. Untuk mengumpulkan limapuluh orang, Po-yang Sam-liong minta waktu selama tiga hari.

   Demikianlah, sambil menanti orang-orang yang dikumpulkan Po-yang Sam-liong, Siauw-bin Ciu-kwi selalu berhati-hati dan memesan para pembantunya untuk berjaga-jaga. Diam-diam diapun membisiki para pembantu lama untuk mengamati sepak terjang dan gerak-gerik Pek-liong walaupun pada lahirnya Pek-liong seolah-olah sudah dianggap sebagai seorang pembantu yang dipercaya pula.
(Lanjut ke Jilid 23)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 23
Malam itu, ketika Beng-cu memanggil mereka dan memberitahu adanya musuh yang datang berkunjung, Pek-liong juga mendapat tugas untuk menyambut musuh.

   Para pembantu itu lalu berpencar, memimpin anak buah Beng-cu yang berjumlah belasan orang. Tok-sim Nio-cu pergi bersama Lim-kwi Sai-kong karena Beng-cu tidak memperbolehkan ia bersama Pek-liong. Pek-liong ditemani Hek-giam-ong Lok Hun, sedangkan Pek I Kongcu memimpin beberapa orang anak buah. Mereka berpencar dan masing-masing membawa sebuah sempritan terbuat dari bambu untuk memberi tanda kepada kawan-kawan kalau mereka bertemu bahaya atau bertemu musuh.

   "Kita menghadang musuh dari sini!" kata Pek-liong kepada Hek-giam-ong Lok Hun. Mendengar ajakan ini, Hek-giam-ong mengerutkan alisnya dan matanya berkilat.

   "Hemm, tidak akan ada musuh berani datang melalui padang rumput yang diterangi sinar bulan seperti itu. Dia pasti muncul dari semak belukar atau hutan!"

   "Hek-giam-ong, bukankah tadi Beng-cu menyuruh engkau membantu aku? Itu berarti bahwa aku yang menjadi pimpinan dan aku yang bertanggung jawab. Engkau tinggal mematuhi saja. Mari!" Pek-liong lalu melompat ke depan, menuju ke padang rumput yang berada di sebelah kiri.

   Si tinggi kurus muka hitam itu mengeluarkan suara mengomel, akan tetapi dia tidak berani membantah karena tadi memang dia yang harus membantu Pek-liong, dan Beng-cu tentu akan marah kalau dia tidak mentaati Pek-liong. Biarlah, pikirnya, yang akan bertanggung jawab adalah Pek-liong! Sambil bersungut-sungut dan memanggul ruyungnya yang berat, diapun mengejar di belakang Pek-liong yang membawa sebatang pedang yang dipinjamnya dari ruangan belajar silat.

   Tentu saja hanya Pek-liong yang sudah hafal akan kebiasaan Liong-li. Demikian pula Liong-li tahu bahwa Pek-liong akan dapat menduga cara yang dipergunakannya. Pek-liong tahu bahwa Liong-li cerdik sekali.

   Tamu malam biasa, tentu akan melakukan seperti yang dikatakan atau diduga oleh Hek-giam-ong tadi, yaitu datang berkunjung melalui tempat-tempat gelap yang terlindung semak-semak atau pohon-pohon. Akan tetapi justeru kebiasaan tamu malam ini dijauhi oleh Liong-li. Wanita perkasa itu tentu akan memilih keadaan sebaliknya sehingga tidak akan mudah diduga lawan. Ia tentu akan mengambil jalan yang melalui padang rumput itu.

   Ketika mereka tiba di padang rumput yang rumputnya tebal dan subur itu, mereka berdua memandang dan tidak melihat ada bayangan orang di sana. Sinar bulan sepenuhnya menyinari padang rumput yang tidak ada pohonnya itu dan suasana sunyi, namun pemandangan amatlah indahnya.

   Padang rumput itu nampak hijau kekuningan, segar dan angin semilir membuat ujung-ujung rumput bergoyang-goyang seperti sekelompok penari. Namun tidak kelihatan ada orang di situ. Tiba-tiba Pek-liong berteriak dengan lantang.

   "Musuh yang bersembunyi di sana! Cepat keluar memperlihatkan diri sebelum kami terpaksa menyerang dengan senjata rahasia kami!"

   Hek-giam-ong sudah hampir tertawa, mentertawakan Pek-liong yang dianggap tolol itu ketika tiba-tiba dari tengah padang rumput itu berkelebat bayangan hitam yang tadinya bertiarap sehingga tidak nampak di antara rumput yang tebal dan tinggi. Begitu melompat, bayangam hitam itu sudah langsung saja menerjang ke arah Hek-giam-ong yang bersenjata ruyung karena si tinggi kurus muka hitam ini yang. terdekat dengannya.

   Hek-giam-ong terkejut bukan main. Di bawah sinar bulan purnama, dia tidak dapat melihat dengan jelas keadaan musuh yang bergerak amat cepatnya itu, akan tetapi yang diketahuinya adalah bahwa lawan ini berpakaian serba hitam dari kepala sampai mukanya dikerodongi kain hitam pula, hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong mengerikan! Dia cepat menggerakkan ruyungnya menangkis,

   "Trangggg......!" Pedang di tangan orang itu terpental dan hampir terlepas. Orang itu terkejut sekali dan meloncat untuk melarikan diri. Pada saat itu, Pek-liong sudah menyambitkan pedangnya sambil berseru nyaring.

   "Engkau hendak lari ke mana?" Pedang di tangannya meluncur ke arah tubuh hitam yang melarikan diri itu.

   Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aduhhhh......!" Orang berkedok itu berteriak dengan suara parau dan tubuhnya terus berloncatan jauh ke depan sambil membawa pedang yang dilemparkan Pek-liong tadi, yang agaknya menancap di tubuhnya!

   Pek-liong dan Hek-giam-ong mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang ke dalam hutan terdekat yang gelap. Hek-giam-ong menjadi bingung karena tidak tahu harus mengejar ke mana. Pada saat itu, terdengar suara sempritan nyaring sehingga mengejutkan Hek-giam-ong.

   Kiranya sempritan itu dibunyikan oleh Pek-liong yang terus mengejar ke depan. Baru Hek-giam-ong teringat dan diapun meniup sempritan yang berada di kantungnya. Sebentar saja, mereka semua telah ikut mengejar ke situ. Tok-sim Nio-cu bersama Lim- kwi Sai-kong, dan Pek I Kongcu bersama belasan orang anak buah.

   "Kami bertemu dengan seorang musuh!" kata Hek-giam-ong sambil mengamang-amangkan ruyungnya.

   "Dia lari ke depan! Kejar!" kata Pek-liong mendahului dan mereka semua melakukan pengejaran. Akan tetapi, sampai jauh mereka mengejar dan memeriksa, ternyata si kedok hitam itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.

   "Dia sudah terluka terkena sambitan pedangku!" kata Pek-liong penasaran.

   "Dia tidak berapa lihai. Sekali tangkis dengan ruyungku, pedangnya hampir terlepas dari tangannya, dia lari dan disambit pedang oleh Pek-liong. Jelas sambitan itu mengenai sasaran karena dia mengaduh, akan tetapi masih mampu melarikan diri!" kata Hek-giam-ong membanggakan kemenangannya.

   Karena mereka tidak berhasil menemukan Musuh itu, mereka lalu kembali ke markas untuk melaporkan hal itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi. Beng-cu ini mengerutkan alisnya.

   "Jaga yang ketat. Ingatlah bahwa kita memiliki benda yang amat berharga, yang perlu dijaga siang malam dengan ketat. Jangan khawatir, bagian kalian kelak akan dapat kalian pergunakan untuk selama hidup!"

   Ucapan itu tentu saja menggembirakan hati para pembantunya, dan Pek-liong berkata,

   "Harap Beng-cu jangan khawatir. Selama ada aku di sini tidak ada seorangpun musuh yang akan dapat mengganggu!"

   Biasanya, yang membenci Pek-liong adalah Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu. Kini, Hek-giaam-ong diam saja karena tadi dia sudah membuktikan kebenaran pendapat Pek-liong. Hanya Pek I Kongcu yang berkara lirih.

   "Hemm, jangan menyombongkan diri dulu, Pek-liong. Kesanggupanmu itu haruslah kita lihat dulu buktinya."

   Pek-liong tersenyum.

   "Mari kita berlumba, Pek I Kongcu, berlumba untuk membuat jasa. Yang jelas saja, aku sudah berhasil membunuh Hek-liong-li dan baru saja melukai seorang mata-mata musuh."

   "Hemm, hal itupun harus dibuktikan dulu, Pek-liong. Tidak ada bukti bahwa Hek-liong-li telah tewas, dan siapa tahu tamu tak diundang yang muncul tadi adalah Hek-liong-li!"

   Pek-liong menyembunyikan perasaan kagetnya. Diam-diam dia memuji kecerdikan tokoh sesat yang tampan ini dan dia harus berhati-hati karena orang ini ternyata lihai dan cerdik. Akan tetapi, dia mendapatkan bantuan dari Hek-giam-ong yang tidak secerdik Pek I Kongcu.

   "Ah, tidak mungkin kalau orang tadi Hek-liong-li. Bukankah ia telah terluka oleh sambitan pisau dan jelas nampak ia tenggelam dan air telaga mengandung darah? Dan kalau orang tadi Hek-liong-li, masa sekali tangkis saja aku dapat membuat ia melarikan diri?"

   "Sudahlah, jangan kalian ribut-ribut. Yang penting adalah bekerja sama untuk menjaga agar jangan sampai ada musuh menyelundup masuk. Kita berjaga dan menanti sampai Po-yang Sam-liong kembali membawa tenaga yang kubutuhkan," kata Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya tidak berani ribut-ribut lagi.

   Pek-liong maklum bahwa biarpun nampaknya dia diberi kebebasan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, namun beng-cu itu masih belum percaya sepenuhnya kepadanya dan para pembantu yang lihai dari beng-cu itu selalu mengamati gerak-geriknya. Maka diapun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan dan kalau tidak sedang bertugas jaga, dia berdiam saja di dalam kamarnya.

   Malam itu, ketika dia sedang beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk perlahan dari luar. Pek-liong membuka daun pintu kamarnya dan Tok-sim Nio-cu menyelinap masuk tanpa permisi lagi. Bagi wanita ini, ia tidak perduli kamar pria mana yang akan dimasukinya, dan iapun tidak perduli apakah ada orang lain melihat ia memasuki kamar Pek-liong!

   Pek-liong mengerutkan alisnya, akan tetapi wanita itu telah duduk di tepi pembaringannya. Diapun duduk di atas kursi dan bertanya dengan suara tenang.

   "Tok-sim Nio-cu, ada keperluan apakah engkau datang mengunjungi aku!?" Dengan ha-lus dia lalu mengusirnya.

   "Aku ingin beristirahat, kalau ada perlu, cepat katakan dan tinggalkan aku."

   Tok-sim Nio-cu tersenyum manis. Ia tidak bangkit, bahkan lalu merebahkan diri telentang dengan gaya yang memikat sekali.

   "Aih, Pek-liong. Apa salahnya kalau aku menemanimu beristirahat di sini? Aku kesepian dan hawa malam ini dingin sekali. Mari, naiklah ke sini, Pek-liong, dan aku akan membuat engkau senang!"

   Pek-liong bangkit berdiri. Tentu saja dia sudah mengenal wanita macam apa adanya Tok-sim Nio-cu ini. Seorang wanita cabul, gila lelaki, hamba nafsu berahinya sendiri dan selalu menggoda pria yang menarik hatinya.

   "Tok-sim Nio-cu, dengar baik-baik! Aku juga bukan seorang perjaka yang bersih dan alim, akan tetapi ketahuilah bahwa aku datang ke sini bukan untuk bermain gila denganmu! Aku datang ke sini untuk mencari keuntungan, untuk mendapatkan bagian dari harta karun!" Lalu ditambahkannya dengan tekanan mantap.

   "Dan terus terang saja, sebagai wanita engkau tidak menarik hatiku dan minatku!"

   Tok-sim Nio-cu mengerutkan alisnya dan pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan kekecewaan, akan tetapi segera ia menutupi semua itu dengan senyum.

   "Pek-liong, engkau datang untuk mencari harta karun, bukan? Mengapa harus menerima bagian sedikit saja dari Beng-cu? Alangkah senangnya kalau kita berdua bisa mendapatkan seluruhnya, dibagi dua saja antara kita!"

   Pek-liong terkejut, akan tetapi kecerdikannya bekerja. Dia melihat perbedaan, bahkan sikap yang sebaliknya dari tadi Tok-sim Nio-cu berusaha merayunya, itu adalah Tok-sim Nio-cu yang sebenarnya, yang sudah menjadi gila oleh nafsunya sendiri. Akan tetapi yang kedua ini, sikap yang amat berbeda ini tentu bukan sikap yang wajar, melainkan pura-pura, sandiwara!

   Diapun mengerti bahwa tentu Tok-sim Nio-cu yang gagal memikat hatinya, kini menggunakan siasat yang agaknya sudah diatur oleh Siauw-bin Ciu-kwi untuk menguji dan menjebaknya! Dia menduga bahwa tentu Siauw-bin Ciu-kwi hendak mengujinya melalui wanita palsu ini. Maka, diapun memandang marah.

   "Tok-sim Nio-cu, engkau perempuan rendah tak tahu malu! Engkau pengkhianat yang layak dipukul!" Berkata demikian, Pek-liong sudah maju dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu. Tentu saja Tok-sim Nio-cu mengelak dan iapun menjadi marah.

   "Keparat yang tak tahu diri!" Bagi wanita ini, setiap orang pria yang tidak menguntungkan dirinya, tidak mau melayaninya, berubah menjadi orang dibencinya. Maka sambil mengelak ia sudah mengeluarkan kipasnya, satu di antara senjatanya yang ampuh. Ia tidak membawa pedangnya, karena niatnya juga bukan untuk berkelahi, melainkan untuk bermain mata dengan pria yang ganteng dan gagah ini.

   Kini, dengan kipas di tangan, Tok-sim Nio-cu sudah menyerang dengan ganas, gagang kipasnya menjadi senjata penotok yang ampuh. Namun, Pek-liong juga mengelak dan terjadilah perkelahian di dalam kamar itu.

   Pek-liong sengaja melayani wanita itu karena diapun ingin menguji dan mengukur sampai di mana kepandaian seorang di antara calon-calon lawannya ini. Kalau sudah tiba saatnya, tentu ita akan bertanding sungguh-sungguh melawan Tok-sim Nio-cu. Dan dia mendapat kenyataan bahwa ilmu permainan kipas wanita itu cukup hebat, walaupun belum merupakan bahaya besar bagi dia maupun Liong-li. Dia mengelak atau menangkis dan membalas dengan tangan kosong.

   Tiba-tiba daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Siauw-bin Ciu-kwi.

   "Hei, mengapa kalian ini? Hentikan!" bentak Beng-cu itu dan dua orang yang sedang saling serang mati-matian itupun menghentikan gerakan mereka.

   Dengan wajah muram Pek-liong segera melaporkan.

   "Beng-cu, harap tangkap wanita ini! Ia telah membujuk dan mengajak aku untuk berkhianat, untuk mendapatkan harta karun berdua saja dengannya!"

   Beng-cu itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, sudahlah, Pek-liong. Ia memang sengaja untuk mengujimu, dan aku menyuruhnya."

   Jawaban ini tentu saja sama sekali tidak mengejutkan hati Pek-liong yang memang sudah menduganya, akan tetapi dia berpura-pura terkejut dan memandang heran, juga penasaran.

   "Akan tetapi, Beng-cu! Apa artinya ini? Mengapa ia berbuat demikian kepadaku dan mengapa pula Beng-cu yang menyuruh ia berbuat demikian?"

   "Untuk menguji kesetiaanmu, Pek-liong." Dan hatinya puas sudah.

   "Sekarang, jangan lagi kalian saling mendendam karena kalian berdua adalah pembantu-pembantuku yang paling utama dan kalau harta karun itu sudah kita peroleh, kalian akan mendapatkan bagian yang paling besar di antara semua pembantuku."

   "Terima kasih, Beng-cu, terima kasih!" kata Pek-liong dengan sinar mata gembira dan wajah berseri.

   Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu masih agak cemberut karena bagaimanapun juga, wanita ini merasa kecewa dan merasa dipandang rendah oleh Pek-liong yang menolak cintanya! Dan Pek-liong juga maklum bahwa seorang wanita yang terhina karena ditolak cintanya akan merupakan musuh yang amat berbahaya dan amat membencinya.

   Pada keesokan harinya, mulailah Po-yang Sam-liong membawa tenaga-tenaga bantuan yang terdiri dari pemuda-pemuda dari dusun yang bertubuh kekar. Mereka itu mau diajak oleh Po-yang Sam-liong, bukan saja karena takut kepada tiga orang tokoh Telaga Po-yang itu, akan tetapi juga tertarik oleh janji upah yang besar.

   Dan mulailah Tok-sim Nio-cu yang dikecewakan Pek-liong itu berpesta pora. Sambil menanti berkumpulnya limapuluh orang, jumlah yang dibutuhkan, wanita ini seenaknya memilih beberapa orang pemuda dan mengajak mereka ke kamarnya. Tentu saja para pemuda dusun itu tidak menolak ajakan seorang wanita yang demikian cantiknya, apa lagi dibujuk dengan hadiah berharga. Mereka bahkan berlumba untuk memuaskan nafsu Tok-sim Nio-cu yang tak pernah mengenal puas itu!

   Melihat ini, Pek I Kongcu juga menjadi iseng dan dia mengajak para pelayan wanita muda yang manis-manis dari Beng-cu. Bergantian para pelayan itu dengan senang hati melayani Pek I Kongcu.

   Pek-liong melihat ini semua dan dia hanya tersenyum. Selama masih memiliki kelemahan itu, diperhamba nafsu berahi, dua orang itu berkurang bahayanya. Diapun bersembunyi saja dalam kamarnya, kadang-kadang melihat kalau ada rombongan tenaga baru datang dan menduga-duga apakah ada Liong-li menyelinap di antara mereka.

   Dia merasa yakin bahwa Liong-li takkan tinggal diam, tentu wanita perkasa itu telah membuat persiapan. Entah bagaimana caranya, dia sendiri belum dapat menduga. Liong-li terlalu cerdik dan banyak akal, lebih cerdik dari dia sendiri, dan dia tahu betapa pandainya Liong-li melakukan penyamaran. Untuk ilmu penyamaran ini, Liong-li berguru kepada tokoh pemain wayang di kota raja. Dia sendiri pernah mempelajarinya, namun dibandingkan dengan Liong-li, dia masih hijau.

   Di antara segala nafsu yang berada dalam diri manusia, yang paling berbahaya dan amat kuatnya dalam usahanya menguasai hati dan akal pikiran manusia adalah nafsu yang timbul dari daya rendah benda! Hal ini adalah karena benda-benda mendatangkan banyak kesenangan bagi manusia. Dan benda terjadi karena bekerjanya akal pikiran manusia yang selalu berusaha untuk menjadikan kehidupan di dunia ini terasa nikmat. Maka, tiada habis dan tiada hentinya pikiran menciptakan benda-benda yang dapat membuat kita menikmati kehidupan.

   Semua ini merupakan anugerah dari Tuhan Maha Kasih, dan kita wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah ini. Namun, benda-benda buatan kita ini ternyata merupakan pula musuh dalam selimut yang amat berbahaya.

   Daya kekuatannya amat besar dan daya rendah benda selalu berusaha untuk mencengkeram dan menguasai diri kita sehingga kita dapat diperbudak olehnya. Kalau kita manusia sudah menjadi hamba dari daya rendah kebendaan ini, maka nampaklah sikap dan perbuatan yang amat rendah, seperti keinginan menumpuk harta kekayaan dengan cara apapun juga, tidak perduli dengan cara yang halal maupun yang haram.

   Terjadi pencurian, penipuan, perampokan, korupsi dan tindak pidana lain. Nampak pula watak iri hati, murka, kikir. Membuat orang menjadi budak nafsu amarah, karena dirinya telah lenyap, artinya yang penting adalah benda-benda itu sendiri! Manusianya terlupa, yang teringat hanya benda-benda berharga.

   Segala macam benda yang ada, memang diperuntukkan manusia. Demikian besarnya kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada kita. Namun, diperuntukkan kepentingan manusia hidup, apa yang diperlukan saja! Bukan untuk dijadikan makanan nafsu yang takkan pernah merasa cukup.

   Manusia boleh saja mencari harta benda, boleh saja mencari uang, karena hal itu amat perlu bagi kehidupannya. Akan tetapi, harta yang kita cari itu tetap menjadi alat keperluan hidup, menjadi hamba yang melayani kita manusia, bukan lalu didewa-dewakan, lalu disembah dan diangkat menjadi majikan, dan kita menjadi hambanya!

   Kita pergunakan harta yang kita dapatkan untuk kepentingan hidup kita, keluarga kita, handai taulan dan manusia lain yang memerlukannya. Kalau kita tidak diperbudak oleh harta, maka tentu kita tidak akan menjadi kikir, kita tidak merasa sayang untuk mempergunakan harta demi prikemanusiaan, menuruti dorongan hati, yaitu kasih sayang antara manusia yang digerakkan oleh kasih sayang Tuhan

   Kalau kita tidak diperbudak oleh benda, tentu kita tidak suka melakukan hal-hal yang tidak baik, hal-hal yang haram, untuk memperolehnya. Kalau kita mendapatkan benda atau harta dengan cara yang halal, yang diridhoi Tuhan, maka harta itu akan mendatangkan nikmat hidup yang luar biasa bagi kita.

   Namun, sungguh kita harus berhati-hati, harus selalu mohon petunjuk dari Tuhan Maha Kasih, untuk dapat menjadi manusia yang utuh, yang tidak diperhamba oleh nafsu-nafsu kita, terutama nafsu yang timbul dari daya rendah kebendaan. Daya rendah kebendaan ini amatlah kuatnya, dan tanpa bantuan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, kita manusia kiranya akan teramat sukarnya menanggulanginya. Karena kita amat membutuhkan benda, kita sudah begini tergantung kepada benda dalam kehidupan ini.

   Makin maju dunia ini, majunya adalah majunya kebendaan dan kita semakin terpengaruhi. Kita tidak mungkin dapat membebaskan diri dari bantuan kebendaan. Asal kita selalu ingat bahwa kita harus memperalat benda, bukan malah diperalat.

   Kalau kita mau membuka mata mengamati penuh kewaspadaan, akan nampak betapa kita ini tak berdaya tanpa bantuan kebendaan, dan betapa nampak bahwa manusia ini sudah dijadikan hamba-hamba yang menuruti segala kehendak setan itu, daya rendah kebendaan itu. Lihat saja betapa di mana-mana terjadi perang, permusuhan, tipu menipu, segala bentuk kejahatan hanya untuk saling memperebutkan kebendaan! Daya rendah kebendaan yang sudah mencengkeram manusia, membuat manusia menjadi penjahat, setidak-tidaknya menjadikan manusia kikir, tamak dan tidak mengenal prikemanusiaan.

   Agaknya Siauw-bin Ciu-kwi lupa bahwa harta benda yang amat besar akan membuat mata para pembantunya menjadi hijau! Dia terlalu percaya kepada para pembantunya, tentu saja mengandalkan kepandaiannya. Seujung rambutpun dia tidak pernah menduga bahwa orang-orang macam Po-yang Sam-liong berani untuk mengkhianatinya, menjadi nekat karena terpengaruh oleh nafsu ingin menguasai atau memiliki harta karun yang peta rahasianya telah berada di tangannya!

   Ketika Po-yang Sam-liong mendapat tugas untuk mengumpulkan limapuluh orang tenaga kasar, kesempatan ini dipergunakan oleh Po-yang Sam-liong untuk mengatur siasat! Tiga orang raksasa she Poa itu, tiga bersaudara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah terkenal sebagai penguasa daerah Telaga Po-yang, hanya karena terpaksa saja mereka mau menjadi anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu (pemimpin) mereka.

   Mereka telah dikalahkan oleh Tok-sim Nio-cu dan mereka maklum bahwa ilmu kepandaian Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya terlalu tinggi bagi mereka untuk menentang maka terpaksa mereka menakluk dan menjadi anak buah. Namun, tentu saja di dalam hati, mereka merasa penasaran. Mereka bukan orang-orang yang biasa menjadi anak buah, melainkan biasanya menjadi pemimpin.

   Ketika mereka melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi mendapatkan patung emas, kemudian dari dalam patung emas itu ditemukan peta yang mengandung rahasia penyimpanan harta karun, tentu saja hati mereka terguncang oleh keinginan keras untuk dapat memiliki harta karun itu, bukan sekedar menerima upah kelak dari beng-cu mereka. Dan melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi membutuhkan limapuluh orang pekerja, mereka dapat menduga bahwa tentu harta karun itu amat besar jumlahnya dan berada di tempat yang sukar untuk dibongkar sehingga membutuhkan demikian banyaknya orang.

   Ketika mereka bertiga diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengumpulkan limapuluh orang pekerja kasar, Po-yang Sam-liong lalu menghubungi Yang-ce Ngo-kwi (Lima Iblis Sangai Yang-ce). Yang-ce Ngo-kwi adalah lima orang kakak beradik seperguruan yang menjadi pimpinan gerombolan bajak Sungai Yang-ce-kiang. Mereka itu merupakan sahabat baik dari Po-yang Sam-liong, dan semenjak bertahun-tahun mereka itu saling bantu.

   Po-yang Sam-liong tidak pernah mengganggu daerah Sungai Yang-ce yang dikuasai Yang-ce Ngo-kwi, yaitu di sepanjang sungai itu di daerah yang panjangnya kurang lebih seratus lie. Tentu saja bagian lain dari sungai yang teramat panjang itu dikuasai oleh tokoh-tokoh sesat yang lain. Sebaliknya, Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka tidak pernah mau mengganggu daerah Telaga Po-yang.

   Mendengar cerita Po-yang Sam-liong tentang patung emas, lima orang kepala bajak sungai itu merasa tertarik sekali. Orang pertama bernama Coa Kun, berusia empatpuluh lima tahun dan bertubuh tinggi kurus. Orang kedua dan ketiga kakak beradik, hanya dikenal dengan nama A Kwan berusia empatpuluh tiga tahun yang berperawakan sedang dan A Ban berusia empatpuluh satu tahun bertubuh pendek kecil.

   Orang keempat dan kelima juga kakak beradik, yang pertama bernama Ji Hok berusia empatpuluh tahun dengan tubuh tinggi besar dan adiknya Ji Lok berusia tigapuluh delapan tahun bertubuh pendek gendut. Mereka itu adalah kakak beradik seperguruan dan mereka terkenal amat lihai dengan permainan golok mereka.

   "Rahasia Patung Emas? Pernah kami mendengar cerita tentang itu, akan tetapi karena cerita itu mengenai Telaga Po-yang, kamipun tidak memperhatikan lagi. Kami tidak ingin mengganggu Telaga Po-yang karena kami selalu bersahabat dengan kalian," kata Coa Kun orang tertua kepada tiga orang tamunya itu.

   Poa Seng, orang pertama dari Po-yang Sam-liong, mengangguk-angguk.

   "Kami percaya sepenuhnya akan kesetiakawanan Yang-ce Ngo-kwi. Kami sendiri tadinya hanya menganggap bahwa cerita itu merupakan dongeng rakyat. Akan tetapi, kemudian kami mendengar akan adanya peta rahasia tentang patung emas yang terjatuh ke dalam tangan Thio Kee San, maka kami menangkapnya dan menghajarnya sampai mati. Dalam peristiwa itulah kami bertemu dengan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi dan kami ditundukkan, dipaksa menakluk dan menjadi pembantu Siauw-bin Ciu-kwi yang mengangkat diri menjadi beng-cu."

   Dia lalu menceritakan semua keadaan, menceritakan pula tentang hasil yang dicapai Beng-cu sehingga bukan saja patung emas dikuasainya, akan tetapi juga peta yang tersembunyi di dalam patung itu, peta yang amat berharga!

   "Peta itulah yang penuh rahasia dan amat berharga!" Poa Seng melanjutkan ceritanya yang amat menarik perhatian lima orang pemimpin bajak sungai itu.

   "Biarpun Beng-cu menyembunyikan dan merahasiakan dari para pembantunya, namun kami dapat mengira-ngira bahwa tentu harta karun itu amat besar. Buktinya, dia menyuruh kami untuk mengumpulkan limapuluh orang tenaga kasar. Hal ini saja menunjukkan bahwa selain tempat itu sulit ditemukan, melalui pembongkaran dan kerja keras, juga sudah pasti harta karun itu banyak sekali!"

   Yang-ce Ngo-kwi semakin tertarik, akan tetapi mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.

   "Hemm, memang menarik sekali, Akan tetapi, saudara Poa, sedangkan kalian bertiga saja takluk kepada mereka, apa lagi kami. Apakah kalian menyuruh kami menyerang mereka dan mengalami kehancuran kami?"

   "Wah, Yang-ce Ngo-kwi terlalu merendahkan diri!" kata Poa Seng.

   "Terus terang saja, kalau mengenai ilmu silat, memang mereka itu merupakan sekumpulan orang yang berkepandaian tinggi dan lihai sekali. Apa lagi, seperti kuceritakan tadi, Pek-liong-eng juga menjadi pembantu Beng-cu, bahkan orang seperti Hek-liong-li tewas di tangan Pek-liong. Kalau kita hanya mempergunakan tenaga kekerasan menyerbu, memang hal itu amat sukar. Ilmu kepandaian kalian berlima, biarpun lebih tinggi dari pada kami, kiranya belum cukup untuk dapat mengalahkan mereka. Ingat, Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo, dia seorang datuk sesat yang sakti. Akan tetapi, kalian mempunyai anak buah yang amat banyak!"

   Coa Kun mengerutkan alisnya.

   "Hemm, jadi maksudmu kita menyerbu mengandalkan anak buah kami? Memang, kami dapat mengerahkan anak buah kami sampai duaratus orang banyaknya."

   "Tidak, bukan begitu maksudku. Sebaiknya diatur begini. Kalian memilih sekitar duapuluh lima orang anak buah pilihan. Mereka ini akan berbaur dengan para pemuda dusun yang kupilih untuk melakukan pekerjaan membongkar tempat harta karun. Kita jadikan mereka sebagai mata-mata.

   "Sementara itu, kalian bersama anak buah kalian bersembunyi tak jauh dari tempat dibongkarnya harta karun itu, dan kalau harta itu sudah berhasil ditemukan, kalian menyerbu, kami dan duapuluh lima orang anak buah, yang lebih dulu menyelundup itu membantu dari dalam. Dengan demikian, tentu mereka yang tidak mempunyai anak buah akan menjadi panik, dan kita berkesempatan untuk melarikan harta karun itu!"

   Yang-ce Ngo-kwi mengangguk-angguk, saling pandang, kemudian mereka tertawa.

   "Haha-ha, suatu gagasan yang amat baik!" kata Coa Kun.

   "Kita biarkan mereka mencari harta karun itu, membiarkan mereka membongkarnya sampai dapat, setelah dapat kita turun tangan merampasnya! Alangkah mudah kelihatannya. Akan tetapi engkau sendiri yang mengatakan bahwa Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo yang sakti, belum lagi para pembantunya Pek-liong-eng, Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka semua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi! Apakah tidak akan merupakan bunuh diri dan kita akan mati konyol sebelum bisa mendapatkan harta karun itu, Po-yang Sam-liong?"

   "Yang-ce Ngo-kwi harap jangan khawatir. Bukankah pepatah mengatakan bahwa yang kalah otot harus menang otak? Kalau harta karun itu telah ditemukan, ada dua jalan yang dapat kita tempuh. Pertama, kita mengandalkan banyak anak buah untuk menyerbu dan di dalam kekacauan itu, kita tidak perlu ikut menyerbu, melainkan kita menggunakan saat kacau balau itu untuk melarikan harta karun."

   "Hemm, berarti kita akan mengorbankan nyawa banyak anak buah kita!"

   "Apa artinya anak buah dibandingkan harta karun? Biar kehabisan anak buah, kalau kita memiliki harta karun, apa sukarnya menghimpun lagi anak buah yang lebih banyak dan lebih kuat? Sebaliknya, memiliki banyak anak buah tanpa harta, malah merepotkan."

   "Hemm, akan kami pikirkan itu. Akan tetapi apakah jalan yang kedua? Siapa tahu lebih baik."

   "Jalan kedua adalah membujuk Siauw-bin Ciu-kwi untuk menyelamatkan harta karun ke atas perahu. Nah, kalau sudah berada di perahu dan perahu berada di atas telaga, apa sukarnya bagi kita? Ha-ha, betapapun lihainya Beng-cu itu bersama anak buahnya, kalau perahunya tenggelam dan mereka berada di air, sama sekali bukan lawan kita yang merupakan setan-setan air!"

   "Bagus!" seru lima orang Yang-ce Ngo-kwi.

   "Cara kedua ini jauh lebih baik!"

   Mereka tentu saja menyetujui karena memang di samping pandai ilmu silat golok dan tenaga besar, mereka sebagai pimpinan bajak sungai juga memiliki ilmu di dalam air yang melebihi orang biasa. Dan mereka tahu bahwa para ahli silat kenamaan menjadi mati kutu setelah mereka terjatuh ke dalam air yang dalam karena mereka tidak begitu pandai renang.

   "Kita melihat perkembangannya sajalah nanti," kata Po-yang Sam-liong.

   "Yang penting sekali, apakah kalian menyetujui dan mau bekerja sama dengan kami?"

   "Kami setuju!" seru Coa Kun gembira.

   "Dan pembagian hasilnya?"

   "Kita bagi masing-masing pihak setengahnya!"

   "Setuju sekali!"

   Demikianlah, selama tiga hari, Po-yang Sam-liong berhasil mengumpulkan limapuluh orang pria dari usia duapuluh sampai empatpuluh tahun. Duapuluh lima orang yang menyamar sebagai orang-orang biasa adalah anak buah Yang-ce Ngo-kwi, sedangkan yang duapuluh lima orang lainnya adalah penduduk dusun di sekitar Po-yang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis