Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 14
Cin Hay menoleh ke arah pembaringan, Gadis itu sudah rebah telentang dalam keadaan pingsan! Saking merasa ngeri menghadapi ancaman perkosaan atas dirinya, gadis yang tabah itu akhirnya tidak tahan dan jatuh pingsan pada saat pintu kamar itu pecah berantakan. Rasa ngeri yang sudah sampai di puncaknya, porak poranda karena harapan baru yang muncul ketika daun pintu jebol, membuat Hong Ing tak sadarkan diri.
Cin Hay berdiri di tepi pembaringan. Melihat wajah yang manis itu, diam-diam Cin Hay mengerti mengapa Lui Teng tadi mati-matian hendak memperkosa gadis ini, tidak takut lagi kepada pemimpinnya.
Siapapun akan tergila-gila oleh gadis seperti ini, pikirnya. Diambilnya sehelai selimut yang masih terlipat di sudut pembaringan, lalu ditutupinya tubuh itu dengan selimut, digulungnya dan diapun memanggul tubuh Hong Ing yang sudah terbungkus selimut dan sebelum dia keluar dari kamar, dia menyambar pakaian gadis itu yang robek dan berserakan di atas lantai, lalu pakaian itu dia susupkan ke dalam gulungan selimut pula. Dan keluarlah Cin Hay dari dalam kamar itu, menuju ke ruangan dalam di mana terjadi hal lain yang hebat!
Ketika Song Tek Hin dalam keadaan seluruh tubuh nyeri-nyeri karena hajaran Lui Teng diseret oleh penjaga itu keluar kamar, dia menurut saja, akan tetapi diam-diam Tek Hin mengumpulkan kekuatannya. Untung bahwa tidak ada tulang di tubuhnya yang patah-patah, dan luka-lukanya hanya luka luar saja, tubuhnya matang biru dan bengkak-bengkak, dari hidung dan mulutnya mengalir darah karena tamparan Lui Teng yang memecahkan bibirnya dan membuat hidungnya berdarah.
Dia diseret ke tengah ruangan di mana masih ada duabelas orang penjaga yang berkumpul. Wajah para penjaga itu tegang sekali karena merekapun bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan mereka khawatir kalau-kalau pimpinan mereka akan kalah oleh dua orang muda yang lihai itu. Bahkan dua orang di antara mereka tadi sudah lari untuk melapor dan minta bantuan kepada Kwa-ciangkun, komandan pasukan keamanan di benteng kota Lok-yang yang sudah menjadi sahabat baik dari Hek-sim Lo-mo!
Begitu melihat Tek Hin diseret masuk dan penjaga yang menyeretnya itu berkata.
"Kong-cu telah menyerahkan orang ini kepada kita, boleh kita siksa dia sampai mampus!" Semua penjaga yang sudah ketakutan dan marah kepada musuh ini, segera mengepung dan berlumba untuk memukuli Tek Hin. Akan tetapi pemuda ini sudah sejak tadi mengumpulkan tenaga.
Kini dia tahu bahwa dia terancam bahaya maut di tangan tigabelas orang penjaga ini. Mereka tidaklah selihai Jai-hwa Kongcu Lui Teng, pikirnya, maka bangkitlah semangatnya dan diapun mengamuk, menghantam sana, menerjang sini dan tidak memperdulikan hujan pukulan yang jatuh kepada tubuhnya. Semangatnya makin berkobar ketika dia mendapatkan hasil dengan robohnya beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, dia sendiri sudah semakin lemah, dihujani pukulan dan dia terhuyung ke sana-sini seperti seekor jangkerik sekarat dikeroyok sekumpulan semut.
Ketika keadaan Tek Hin gawat sekali karena kini para penjaga itu saking marahnya sudah mencabut golok masing-masing, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam didahului sinar hitam bergulung-gulung dan para penjaga itu roboh dan tewas seketika kena disambar oleh Hek-liong-kiam di tangan Liong-li!
Tek Hin masih berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, dan dia tersenyum melihat Liong-li yang berdiri dengan pedang di tangan dan semua pengeroyok telah roboh.
"Hebat...... kau wanita hebat...... aku yakin engkau pasti datang menolongku...... kau..... Liong-li yang cantik jelita dan hebat......" dan diapun terguling dan tentu akan terbanting jatuh karena pingsan kalau saja tidak cepat disambut oleh Liong-li.
Wanita ini merasa kagum sekali melihat keberanian Song Tek Hin, juga terharu mendengar pujian menjelang pingsannya tadi. Dipanggulnya tubuh itu dan dibawanya meloncat keluar.
Tiba-tiba terdengar derap banyak kaki kuda dari orang di luar gedung itu. Agaknya serombongan besar orang berkuda dan berjalan kaki menyerbu ke pekarangan gedung itu dan segera Liong-li melihat di bawah sinar bulan betapa puluhan orang menyerbu masuk pekarangan dan melihat pakaian mereka yang seragam, tahulah ia bahwa penyerbu itu adalah pasukan keamanan kota!
Selagi ia termangu-mangu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan ia melihat Cin Hay telah berdiri di dekatnya dan di pundak pemuda itu terpanggul tubuh seorang gadis cantik yang dibungkus selimut! Liong-li merasa geli dan iapun mengenal gadis yang tadi menjadi tawanan bersama Tek Hin. Akan tetapi Cin Hay berkata dengan suara serius.
"Liong-li, mari kita cepat pergi. Mereka itu adalah pasukan keamanan yang telah bersekutu dengan Hek-sim Lo-mo. Mari, lewat belakang saja!"
Tubuhnya berkelebat cepat dan Liong-li juga tidak membuang waktu, cepat mengikuti Cin Hay. Dengan mempergunakan ilmu mereka berlari cepat, biarpun masing-masing memanggul tubuh orang, mereka dapat cepat keluar dari kota Lok-yang.
"Kita pergi ke petak rumput tepi sungai!" kata pula Cin Hay yang setelah tiba di luar tembok kota mempercepat larinya.
Liong-li maklum tempat mana yang dimaksudkan, tentu tempat di mana mereka tadinya menantang kepada Hek-sim Lo-mo untuk bertanding. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu menandingi Cin Hay dalam hal berlari cepat.
Bulan bersinar terang sehingga Liong-li dapat mencari tempat itu di tepi sungai kecil yang jernih airnya, dan ketika ia tiba di situ, ia berhenti melihat dari jauh betapa gadis itu merangkul leher Cin Hay sambil menangis! Liong-li menahan ketawanya dan iapun mengambil jalan lain, menuju ke tepi sungai yang agak jauh dari tempat Cin Hay, terhalang banyak semak belukar sehingga mereka tidak dapat saling lihat.
Ketika Cin Hay menurunkan "buntalan selimut" itu, Hong Ing siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dan melihat dirinya dibungkus selimut, tanpa disadarinya ia bangkit duduk dan bungkusan selimut itupun terlepas dan ia bergidik. Lalu ia teringat dan memandang ke kiri. Ia melihat Cin Hay duduk bersila di atas rumput dan pemuda ini berkata halus.
"Pakaianmu berada di dalam selimut itu, nona."
Hong Ing terkejut, lalu teringat bahwa tadi pintu kamar itu jebol ketika ia hampir putus asa menahan Lui Teng yang hendak memperkosanya dan biarpun batinnya terguncang hebat dan pandang matanya sudah kurang terang, namun ia masih dapat melihat berkelebatnya bayangan putih dan melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang memegang sebatang pedang yang berkilauan sebelum ia jatuh pingsan!
Kini, melihat pemuda yang duduk bersila di dekatnya, pemuda yang berwajah tampan dan halus, yang berpakaian serba putih sederhana, ia teringat kesemuanya. Pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada maut! Pemuda ini telah menyelamatkan nyawanya, menyelamatkan kehormatannya! Keharuan menggenangi perasaannya.
"Apakah..... apakah engkau... Tan-taihiap?" Ia teringat akan cerita Song Tek Hin kepadanya.
Cin Hay memandang kepadanya dan tersenyum.
"Namaku Tan Cin Hay, nona......"
"Ahhh..., terima kasih, taihiap...... terima kasih..." dengan hati diliputi penuh keharuan, Su Hong Ing lalu maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda yang bersila itu.
Tentu saja Cin Hay menjadi repot sekali! Dia memegang kedua pundak wanita itu, mengangkatnya bangkit agar tidak berlutut. Dilepasnya lagi pundak itu dan dia memandang penuh kagum.
Cin Hay adalah seorang laki-laki yang baru berusia duapuluh lima tahun, tentu saja penglihatan di depannya itu, wajah yang cantik manis, merasa betapa tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ditambah sinar bulan yang romantis, tak dapat dicegah lagi diapun terpesona. Sampai lama dia mengamati gadis itu, dan Hong Ing yang berterima kasih, kagum dan maklum akan pandang mata yang penuh kagum itu, menundukkan mukanya.
"Nona... kau...... kau sungguh cantik sekali...!" kata Cin Hay lirih dan suaranya tersendat-sendat.
Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang kini berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Ia merasa bahwa ia berhutang nyawa, berhutang budi kepada pemuda perkasa yang seketika menarik hatinya ini, dan seperti ditarik oleh besi semberani, gadis itupun merangkulkan kedua lengannya ke leher Cin Hay, menyandarkan mukanya di dada itu dan menangis!
Cin Hay tidak dapat berbuat lain kecuali merangkul dan memeluknya, mengelus rambutnya dan hatinya diliputi rasa kasihan dan sayang. Pada saat gadis itu merangkul dan menangis di dadanya itulah Liong-li melihat dari jauh dan gadis itupun tersenyum geli, kemudian pergi mencari tempat lain.
Ketika Liong-li menurunkan tubuh Tek Hin dari pondongan atau panggulannya ke atas rumput tebal, pemuda itu mengeluh, tanda bahwa dia telah siuman dari pingsan. Begitu siuman, dia segera teringat dan cepat dia bangkit duduk.
"Li-hiap (pendekar wanita), aku......" katanya dengan sinar mata penuh kagum dan terima kasih yang mudah dilihat oleh Liong-li di bawah sinar bulan. Liong-li cepat meletakkan jari tangannya di atas
(Lanjut ke Jilid 15)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 15
bibir pemuda itu dan berkata lirih.
"Sshhhh, jangan banyak bicara dulu. Rebahlah, aku harus memeriksamu, kalau-kalau engkau menderita luka dalam atau patah tulang."
Tek Hin merebahkan diri lagi telentang. Ah, jangankan hanya luka dalam atau patah tulang, biar mati sekalipun dia tidak penasaran kalau akhirnya dia dapat berduaan dengan pendekar wanita yang amat dikaguminya ini! Berduaan di tempat sunyi, di malam hari terang bulan, dan wanita ini sekarang meraba-raba seluruh tubuhnya dengan jari-jari tangan yang lembut dan hangat! Amboii! Sama sekali dia tidak pernah mimpi akan dapat merasakan kemesraan seperti ini dengan Liong-li!
Liong-li memeriksa seluruh tubuh Tek Hin, memijat tulang-tulangnya, meraba dengan telapak tangan untuk memeriksa kalau-kalau ada tulang patah atau luka dalam yang berbahaya. Dan ia semakin kagum. Pemuda ini bukan saja hebat semangatnya, gagah berani dan tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi selain tampan dan gagah juga memiliki bentuk tubuh yang hebat! Seorang pria yang akan mudah menundukkan hati wanita yang manapun juga, termasuk ia sendiri!
Hatinya tergerak dan ia tertarik sekali, apa lagi ia adalah seorang wanita yang masih muda, baru berusia duapuluh tiga tahun, bagaikan bunga sedang mekarnya. Pengalamannya dengan para pria dahulu hanya merendahkan dan menghina dirinya. Ia hanya dijadikan korban, menjadi alat pemuas nafsu para pria itu tanpa ia merasakan sedikitpun kemesraan kasih sayang, sedikitpun tidak pernah merasakan cinta di dalam hatinya, melainkan benci yang terselubung karena terpaksa.
Kini, melihat Song Tek Hin, hatinya mekar seperti kelopak bunga menyambut embun pagi dan tanpa disadarinya, jari-jari tangannya memancarkan gelora yang timbul dari hati yang menyayang.
"Bukan main!" katanya.
"Engkau tidak apa-apa! Engkau dikeroyok, dihajar oleh banyak orang, mengalami siksaan dan penahanan selama berhari-hari, sampai mukamu bengkak-bengkak, kulitmu lembam dan matang biru, akan tetapi sedikitpun engkau tidak menderita luka dalam atau patah tulang! Song-toako, engkau sungguh gagah bukan main!"
Bagaikan mimpi rasanya Tek Hin mendengar betapa dari mulut pendekar wanita yang dikaguminya itu meluncur sebutan "Song-toako" sedemikian merdunya! Merdu dan mesra.
Diapun bangkit dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis pendekar itu.
"Li-hiap, jangan menumpuk budi terlampau banyak sampai aku merasa tidak kuat untuk menerimanya! Berkat pertolonganmu yang dua kali, aku kini masih hidup, dan engkau malah memuji-mujiku. Li-hiap, aku bersyukur dan berterima kasih sekali kepadamu, dan kalau dalam kehidupan yang sekarang aku tidak mampu membalas budi, biarlah di lain kehidupan mendatang aku akan menjadi kuda tungganganmu!"
Wajah Liong-li berubah merah membayangkan betapa pemuda ini menjadi kuda tunggangannya! "Ihh, jangan begitu, toako. Bangkitlah, engkau lebih tua dariku, dan engkau begini gagah perkasa, tidak layak kalau berlutut kepadaku!"
Liong-li memegang kedua pundak Tek Hin dan menariknya pemuda itu bangkit duduk. Tek Hin memegang kedua lengan yang begitu halus mulus kulitnya akan tetapi yang dia tahu menyembunyikan tenaga dahsyat di dalamnya. Mereka masih saling pegang, dan duduk berhadapan.
Liong-li memegang kedua pundak pemuda itu dan Tek Hin memegang kedua lengannya. Dua mata saling berpadu, penuh sinar aneh dan agaknya cahaya bulan mendorongkan pengaruhnya kepada dua hati itu sehingga tanpa diketahui lagi siapa yang mendahului, tahu-tahu mereka sudah saling rangkul!
Perasaan kagum dan iba merupakan dua di antara perasaan-perasaan yang berpengaruh kuat sekali terhadap pertumbuhan kasih sayang. Dan kasih sayang antara dua jenis yang berlawanan selalu menjadi makanan lunak bagi nafsu yang selalu mengintai untuk menerkam hati yang dilemahkan oleh perasaan kasih sayang.
Kalau dua buah hati yang haus akan kemesraan belaian kasih sayang, kalau dua buah hati yang mendambahkan curahan cinta bagaikan bunga kekeringan mengharapkan tetesan embun, kalau dua buah hati yang dirundung rindu dendam sudah saling bertemu dan bersatu padu, maka dunia ini rasanya bagaikan sorga. Waktu tidak ada lagi, ruang tidak ada lagi, aku dan engkau tidak ada lagi, yang ada hanyalah kebahagiaan yang tak dapat diukur dan digambarkan lagi.
Tahu-tahu pagipun sudah menjelang, sinar matahari pagi mulai memudarkan sinar bulan dan bintang-bintang di angkasa. Bersama lenyapnya cahaya bulan yang mempesona dan menyihir hati, maka kesadaranpun mulai kembali menguasai batin.
"Li-hiap......, benarkah engkau tidak mau hidup selamanya di sampingku? Begitu tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi pagi ini, setelah engkau merampas cintaku, merampas hatiku, merampas segalanya yang ada padaku?"
Liong-li yang menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, menarik napas panjang. Sepasang matanya masih sayu seperti orang mengantuk, akan tetapi bibirnya tersenyum.
"Alangkah indahnya hidup ini! Alangkah akan bahagianya kalau aku dapat terus begini......!"
"Mengapa tidak, Li-hiap? Engkau dapat menjadi isteriku yang terkasih! Aku akan mencintamu selama hidupku, sebagai suamimu, dan kita akan hidup bersama selamanya......"
Liong-li menggeleng kepala.
"Itu tidak mungkin, Song-toako. Sama sekali tidak mung- kin, dan karena itu, maka pagi ini aku terpaksa harus berpisah darimu. Kita harus berpisah dan biarlah semua yang terjadi menjadi kenangan manis dalam kehidupan kita."
Tek Hin mendekap kepala itu ke dadanya erat-erat, seolah-olah kepala itu sebuah mustika dan dia tidak mau kehilangan mustika itu, hendak membenamkan di dalam dadanya agar selamanya tidak keluar lagi.
"Akan tetapi kenapa, Li-hiap? Kenapa tidak mungkin? Bukankah engkau juga mencintaku seperti aku cinta padamu, Li-hiap?"
Liong-li mengangkat mukanya, merangkul leher di atas itu dan menarik kepala Tek Hin turun, lalu bibirnya mengecup dagu pemuda itu.
"Aku sayang padamu, Song-toako, hal ini tentu engkau ketahui dan boleh yakin. Akan tetapi, tidak semua cinta dan sayang harus berakhir dengan pernikahan."
Ia lalu bangkit duduk dan menghadapi. pemuda itu, pandang matanya penuh kesungguhan.
"Dengar baik-baik, toako. Aku tidak mungkin dapat hidup sebagai seorang isteri dan rumah tangga. Aku seorang petualang dan hidupku penuh bahaya maut. Aku tidak mau membawa engkau masuk ke dalam ancaman bahaya setiap waktu! Aku harus hidup sendirian!"
Dengan pandang mata sayu Tek Hin memandang wanita itu. Betapa cantik jelitanya, dengan rambut yang agak awut-awutan seperti itu, mata yang demikian tajam bersinar akan tetapi masih nampak kesayuannya penuh kemesraan.
"Li-hiap, aku bersedia untuk hidup menghadapi tantangan bahaya maut di sampingmu!"
Kembali Liong-li menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin, toako. Pernikahan bukan hanya membutuhkan cinta kasih, lebih dari pada itu! Selain cinta kasih, juga harus dilandasi saling pengertian, selera yang sama, cara hidup yang sama. Kalau tidak, maka cinta itu akan mudah goyah. Sudahlah, engkau percayalah bahwa aku, Lie Kim Cu, selamanya tidak akan melupakan Song Tek Hin. Selamat tinggal!"
Tek Hin hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba gadis di depannya itu telah berkelebat menjadi sesosok bayangan hitam dan lenyap dengan kecepatan seperti menghilang saja!
Tek Hin bangkit berdiri, memandang ke empat penjuru, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu, tidak mendengar sesuatu dan dengan kedua kaki lemas dia menjatuhkan diri lagi di atas rumput, menelungkup dan hidungnya masih dapat mencium bau sedap yang ditinggalkan tubuh Liong-li, masih dapat merasakan kehangatan yang ditinggalkan tubuh wanita itu pada rumput. Kalau saja dia seorang wanita lemah, bukan seorang laki-laki jantan, tentu dia sudah menangis mengguguk!
Sementara itu di tepi sungai agak jauh dari situ, Hong Ing menangis sambil merangkul pundak Cin Hay, menyembunyikan mukanya di dada pendekar itu sehingga baju Cin Hay menjadi basah oleh air mata. Cin Hay mengelus rambut yang halus itu dan menghibur.
"Sudahlah, Ing-moi, tenangkan hatimu."
"Tapi, tai-hiap...... begitu tegakah hatimu untuk meninggalkan aku? Aku... aku ingin ikut denganmu selamanya, tai-hiap...... tidak ingin berpisah lagi darimu..... biar aku menjadi bujangmu, menjadi pelayanmu, aku.... aku...... bukankah kita saling mencinta, tai-hiap......?" kata Hong Ing di antara isak tangisnya.
Cin Hay mengangkat muka itu dengan memegang dagunya, lalu mengecup bibir yang gemetar itu, mengecup pipi yang dibasahi air mata.
"Tentu saja aku cinta padamu, Hong Ing. Engkau seorang gadis yang amat baik, gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi, sekali lagi kujelaskan bahwa aku bukan seorang yang pantas menjadi suami dan ayah. Hidupku mengharuskan aku menjadi seorang petualang, pembasmi kejahatan dan hidupku bergelimang kekerasan dan selalu terancam bahaya maut."
"Aku tidak takut........ !"
"Aku percaya, akan tetapi aku yang tidak ingin melihat engkau selalu terancam bahaya. Tidak, engkau harus memperoleh jodoh yang cocok bagimu. Engkau seorang gadis yang baik, aku hanya akan berdoa untukmu, Ing-moi. Percayalah, aku selamanya takkan melupakanmu. Selamat tinggal, Ing-moi, selamat tinggal dan semoga engkau berbahagia!"
"Tai-hiap......!" Hong Ing menjerit ketika tiba-tiba Cin Hay melepaskan dirinya dan sekali berkelebat, hanya nampak bayangan putih dan pemuda itu telah lenyap.
"Tai-hiap...... aahhh, tai-hiap......!" Dan gadis itupun menangis, mengguguk sambil menelungkup di atas rumput.
Setelah tangisnya mereda, Hong Ing bangkit duduk, masih terisak dan ia berkata seorang diri.
"Tai-hiap... engkau meninggalkan aku...... apa artinya lagi hidup bagiku? Tai-hiap, lebih baik aku mati saja..." Ia bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara halus di belakangnya.
"Hong Ing, jangan engkau berkata seperti itu!"
Hong Ing terkejut, penuh harap ia membalikkan tubuhnya. Kiranya yang berdiri di depannya adalah Song Tek Hin.
"Ing-moi, tenangkanlah hatimu, sabarkanlah hatimu, aku... aku tahu apa yang kausedihkan, Ing-moi. Aku sendiri juga amat kehilangan ia... ia telah meninggalkan aku pula, seperti Tan-taihiap meninggalkanmu......"
Hong Ing merasa hatinya seperti ditusuk karena diingatkan dengan nada penuh iba itu. Ia lalu lari menubruk Tek Hin dan menangis di dada pemuda itu, seperti seorang anak kecil.
Tek Hin merangkul dan menarik napas panjang, mengelus rambut gadis itu dengan hati penuh iba. Dia tahu bagaimana rasanya hati yang ditinggal pergi kekasih, bukan hanya ditinggal pergi, melainkan juga direnggut putus tali cinta kasihnya. Dia merasakan hal yang sama seperti yang kini diderita Hong Ing.
"Ing-moi, engkau tentu mencinta Tan-taihiap, bukan?" tanyanya halus, seperti kepada seorang adik.
Tanpa menjawab, dengan muka masih disembunyikan di dada itu, dengan pundak masih terguncang oleh isak, Hong Ing mengangguk.
"Dan Tan-taihiap terpaksa meninggalkan engkau karena dia tidak ingin engkau menjadi teman hidupnya?"
Kembali Hong Ing mengangguk, sesenggukan.
"Aku juga mengalami hal yang sama, Ing-moi. Aku mencinta Li-hiap, dan iapun sayang padaku, akan tetapi, ia terpaksa meninggalkan aku karena ia tidak ingin aku hidup selamanya di sampingnya."
Hong Ing terheran mendengar ini dan ia lalu melepaskan diri, mundur dua langkah dan memandang kepada pemuda itu dengan muka basah air mata, kini matanya terbelalak memandang pemuda itu.
"Kau...... kau juga?" hanya demikian ia bertanya.
Tek Hin tersenyum, senyum yang pahit sekali dan mengangguk. Hong Ing menghentikan tangisnya, kini hatinya diliputi rasa iba terhadap pemuda itu. Keduanya menunduk sampai lama.
Tek Hin menarik napas panjang.
"Mereka itu benar, Ing-moi. Kita yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin dua orang pendekar sakti seperti mereka itu mau berjodoh dengan orang-orang bodoh seperti kita? Kehidupan mereka akan menjadi pincang dan kita hanya akan menjadi beban mereka. Seekor naga tak mungkin berjodoh dengan seekor ular. Burung-burung Hong seperti mereka tidak mungkin berjodoh dengan burung-burung gagak seperti kita. Burung gagak jodohnya juga burung gagak, seperti engkau dengan aku."
Hong Ing mengangkat mukanya dan matanya terbelalak.
"Apa... apa maksudmu, toako?"
Tek Hin tersenyum.
"Engkau mengalami patah hati dan kekecewaan cinta, akupun demikian, Ing-moi. Engkau tahu, aku telah kehilangan tunanganku Pouw Bi Hwa, dan sekarang aku kehilangan Hek-liong-li. Sekarang barulah aku menyadari bahwa orang yang jauh lebih pantas dan cocok untuk menjadi jodohku adalah engkau! Kita sama-sama menderita kekecewaan, bagaimana kalau kita sama-sama berusaha saling menghibur? Bersediakah engkau menjadi isteriku, Ing-moi?"
Wajah itu berubah kemerahan dan matanya semakin terhelalak. Dahulu, sudah lama sekali, ketika untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada tunangan saudara misannya, Pouw Bi Hwa, pernah diam-diam ia mengagumi pemuda ini dan merasa iri kepada Bi Hwa. Dan kini, pemuda itu secara tiba-tiba melamar dirinya untuk menjadi isterinya! Setelah apa yang dialaminya bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
Hong Ing termenung, sukar sekali untuk menjawab. Akan tetapi kemudian ia mengangkat mukanya lagi menatap wajah pemuda itu. Mereka saling pandang dengan sinar mata penuh selidik dan mendapat kenyataan betapa mereka memang saling menaruh rasa iba.
"Toako, kita berdua baru saja mengalami hal-hal yang hebat, baru saja lolos dari maut yang mengerikan. Agaknya kita memang senasib sependeritaan, juga dalam cinta. Karena itu...... kalau memang engkau sungguh-sungguh tulus dan jujur, aku..... aku akan merasa berbahagia sekali, mendapatkan kembali harapanku untuk hidup berbahagia di sampingmu, toako."
Tek Hin tersenyum, melangkah maju dan merangkul pundak gadis itu, diajaknya melangkah menuju ke timur di mana matahari mulai muncul dengan cerahnya. Mereka berjalan melangkah perlahan-lahan menyongsong Sang Surya, menyongsong kehangatan dan cahaya terang penuh kedamaian. Lengan kiri Tek Hin merangkul pundak dan leher Hong Ing dan perlahan-lahan, lengan kanan gadis itupun melingkar di pinggang Tek Hin
?Y?
"Liong-li, perlahan dulu......!"
Liong-li yang sedang berlari cepat itu, menahan langkahnya dan menoleh, ia tersenyum melihat Tan Cin Hay berlari mengejarnya,
"Hemm, engkau, Liong-eng (Pendekar Naga)?" tegurnya dan Cin Hay tersenyum mendengar sebutan itu. Liong-li menyebutnya Liong-eng, dan memang sebutan ini cocok sekali dengan sebutan Liong-li! Biarlah mulai sekarang, setidaknya untuk Liong-li, dia berjuluk Liong-eng, singkatan dari Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih).
Mereka, tanpa berunding, duduk di atas rumput di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu. Mereka telah meninggalkan Tek Hin dan Hong Ing jauh sekali, akan tetapi masih terus mengikuti sungai dan tadi mereka berlari menyusuri tepi sungai.
"Jadi engkau juga meninggalkan dia?" tanya Cin Hay.
Liong-li menatap tajam.
"Engkau juga meninggalkan gadismu baju hijau atau baju selimut itu?" ia tersenyum mengejek.
Cin Hay mengangguk serius.
"Aku bukan seorang calon suami yang baik."
"Aku juga bukan seorang calon isteri yang baik," kata pula Liong-li. Kemudian disam- bungnya.
"Liong-eng, mengapa engkau berkata bahwa engkau bukan seorang calon suami yang baik?"
"Aku pernah menjadi suami orang, akan tetapi aku seorang suami yang tidak mampu menjaga keselamatan isterinya sehingga isteri itu tewas dalam tangan manusia-manusia iblis."
Cin Hay lalu menceritakan pengalaman hidupnya, betapa dia dan isterinya di Telaga See-ouw diganggu oleh Koan Taijin dan tukang-tukang pukulnya, yaitu See-ouw Sam-houw. Betapa dia hampir tewas dan isterinya dirampas, kemudian isterinya diperkosa sampai mati, pada hal isterinya sedang mengandung tiga bulan.
Diceritakannya pula betapa dia kemudian ditolong oleh mendiang Pek I Lojin yang menjadi gurunya. Dia digembleng oleh kakek itu, kemudian dia, tujuh tahun kemudian, membalas dendam kematian isterinya, membunuh See-ouw Sam-houw dan membuat Koan Taijin menjadi seorang manusia yang tidak berguna lagi.
"Kemudian aku memenuhi pesan mendiang suhu untuk mencari Kim-san Liong-cu yang membawaku bertentangan dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu, Liong-li. Nah, entah mengapa aku menceritakan semua ini kepadamu, Liong-li, pada hal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk merahasiakan riwayat hidupku yang buruk ini. Entah mengapa aku menaruh kepercayaan yang mutlak kepadamu. Engkau merupakan orang pertama dan orang terakhir yang mendengar riwayatku, maka kupercaya engkau akan merahasiakannya pula."
Liong-li mendengarkan dengan terharu. Kiranya pemuda ini memiliki riwayat hidup yang cukup menyedihkan.
"Percayalah, aku akan menyimpannya seperti rahasia pribadiku sendiri."
"Akan tetapi, kuharap engkaupun cukup percaya kepadaku untuk menceritakan riwayatmu, Liong-li. Dengan demikian, kita berdua saling mengenal secara mendalam. Aku mendapat firasat bahwa bukan hanya sekali ini saja kita akan bekerja sama menentang kejahatan. Maukah engkau bercerita kepadaku, Liong-li!"
Liong-li menundukkan mukanya dan menyembunyikan warna merah yang naik ke wajahnya yang manis itu. Beberapa kali ia menarik napas panjang, kemudian berkata.
"Akupun menaruh kepercayaan besar kepadamu, Liong-eng. Maka biarlah engkau mendengar riwayatku dan engkaupun orang pertama dan orang terakhir yang akan mendengarnya."
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong-li lalu bercerita secara singkat namun padat. Betapa untuk menyelamatkan ayahnya yang korup, ia dipaksa menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong dan karena ia melawan ketika hendak digauli, ia disiksa, diperkosa secara kejam oleh pangeran itu, kemudian karena masih terus melawan, ia dijual ke rumah bordil dan oleh pemilik rumah bordil yang mempunyai tukang-tukang pukul, iapun disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur!
Tanpa malu-malu lagi ia menceritakan betapa ia dipaksa melayani banyak orang, dan betapa ia diam-diam ia mengusahakan pelariannya. Betapa ia berhasil melarikan diri, dikejar-kejar dan ditolong oleh nenek Huang-ho Kui-bo yang kemudian menjadi gurunya selama tujuh tahun. Setelah selesai belajar silat, ia lalu membalas dendam dan membuat semua orang yang pernah menghinanya menjadi penderita cacat seumur hidup dengan membuntungi kaki tangannya, dan para hidung belang itu ia buntungi hidung mereka. Pangeran Coan Sui Ong ia buntungi kaki tangannya.
"Akupun dipesan oleh subo untuk mencari Kim-san Liong-cu dan dalam usaha mencari mutiara itu, aku bertemu dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu. Nah, demikianlah riwayat hidupku dan kuharap engkau sebagai satu-satunya orang yang pernah mendengarnya, akan merahasiakannya."
Cin Hay atau yang kini berjuluk Liong-eng menghela napas panjang, memandang kepada kawannya itu dengan penuh perasaan iba.
"Aduh, riwayat hidupmu sungguh menyedihkan sekali, Liong-li. Tentu saja aku akan merahasiakannya seperti rahasia pribadiku sendiri."
"Tidak, Liong-eng. Engkau yang lebih menderita, karena engkau kehilangan isteri yang tercinta, bahkan kehilangan calon anak. Engkau menderita kehilangan, sedangkan aku hanya menderita penghinaan."
"Betapapun juga, Liong-li, Kita berdua adalah dua orang yang menjadi korban kejahatan manusia yang berhati iblis. Oleh karena itu, kita harus selalu menentang kejahatan dalam bentuk apapun juga! Maukah engkau bekerja sama dengan aku dalam hal ini? Dengan bekerja sama, tentu kita menjadi lebih kuat."
"Aku setuju, Liong-eng. Akan tetapi, tidak semua lawan perlu kita hadapi bersama. Kalau seorang di antara kita menghadapi kesulitan, bertemu dengan lawan yang amat tangguh seperti Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, barulah kita saling mengabari dan saling bantu. Setujukah engkau?"
Liong-eng atau Tan Cin Hay mengangguk. Diapun tahu bahwa kalau mereka selalu berkumpul, banyak sekali bahayanya. Mereka itu saling kagum, dan kalau terlalu sering berkumpul, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang lebih akrab dan mesra di antara mereka dan hal itu akan merupakan kelemahan mereka.
"Baik, Liong-li. Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat saling menghubungi atau mencari?"
"Aku berasal dari Lok-yang, maka akupun tidak akan meninggalkan Lok-yang jauh-jauh. Aku akan berada di sekitar Lok-yang, dan kalau engkau ingin bertemu atau menghubungi aku, datanglah engkau ke tepi sungai ini. Aku akan mendirikan sebuah pondok di sini untuk tempat peristirahatan, dan di tempat inilah engkau akan menemui aku. Dan bagaimana dengan kau? Kalau aku perlu denganmu, ke mana aku harus mencarimu?"
"Aku? Aku akan berada di sekitar Telaga See-ouw! Aku tidak dapat melupakan telaga yang indah itu. Kampung halamanku tidak jauh dari telaga itu di mana orang tuaku hidup bertani, dan kuburan isteriku juga berada di sana."
"Bagus, kalau begitu semua telah disepakati. Aku girang sekali dapat menjadi sahabatmu, Liong-eng dan mudah-mudahan tidak lama lagi kita akan dapat saling bertemu kembali." Iapun bangkit berdiri.
Liong-eng juga bangkit berdiri.
"Kita berpisah sekarang, Liong-li?"
Wanita itu tersenyum, manis sekali.
"Ada pertemuan harus ada perpisahan, dan hanya perpisahan yang membuat pertemuan berikutnya menjadi teramat indahnya! Bukankah begitu?"
Liong-li tersenyum, mengangguk.
Sungguh menyenangkan sekali mempunyai seorang sahabat sejati seperti Liong-li ini, wataknya aneh akan tetapi amat gagah dan baik, pandangan luas, dan hatinya bebas. Dan yang lebih dari itu, wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya, dan dia sendiripun pernah menyelamatkan nyawanya.
"Selamat jalan dan selamat berpisah, Liong-li," katanya sambil membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, bersoja.
Liong-li membalas penghormatan itu, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya, mendekati Liong-eng. Sambil tersenyum orang muda itu menyambut uluran tangan itu, menyambut dalam jabatan tangan yang hangat di mana kedua tangan itu saling genggam penuh getaran persahabatan.
Begitu keduanya melepaskan jabatan tangan, keduanya saling pandang, tersenyum dan keduanya lalu berkelebat lenyap, yang seorang ke utara, seorang ke selatan menurut arah sungai yang membelok ke selatan itu. Sebentar saja yang nampak hanyalah dua titik, satu hitam satu putih yang makin lama makin saling menjauhi sampai akhirnya lenyap.
?Y?
Rumah besar di lereng bukit luar kota itu memang menyeramkan. Bentuknya seperti sebuah benteng yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di sebelah dalam pagar tembok terdapat beberapa bangunan mengelilingi bangunan induk yang besar dan kuno, seperti kuil-kuil saja. Bukit itu merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang mengelilingi Telaga Po-yang di Propinsi Kiang-si.
Di bukit-bukit itu memang terdapat banyak bangunan kuno, peninggalan jaman dahulu, kuil-kuil tua yang sudah tidak dipergunakan sebagai kuil lagi, hanya menjadi peninggalan kuno yang kadang-kadang dikunjungi orang untuk dikagumi. Akan tetapi, bangunan yang satu ini, yang terletak di lereng Bukit Merak, tidak pernah dikunjungi orang!
Semua orang di sekitar daerah itu tidak ada yang berani, apa lagi berkunjung, mendekatipun mereka tidak berani. Kecuali mereka yang mempunyai keperluan seperti pedagang beras dan kebutuhan lain untuk dikirimkan kepada penghuni bangunan besar itu.
Kalau para penduduk di sekitar tempat itu takut mendekatinya karena telah mendengar betapa para penghuni rumah besar itu bengis dan galak, juga lihai dan suka main pukul, para tokoh kang-ouw lebih takut lagi untuk mendekati tempat itu. Dunia kang-ouw sudah mengetahui bahwa rumah besar di lereng bukit yang disebut Bukit Merak itu adalah tempat tinggal dari Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka Tertawa), seorang di antara datuk sesat yang dikenal dengan sebutan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang kini merajalela di dunia persilatan setelah puluhan tahun mereka tidak pernah mencampuri urusan dunia.
Baru beberapa tahun ini Kiu Lo-mo terjun ke dunia ramai dan dunia kang-ouw menjadi gempar karena sepak terjang mereka yang menggegerkan dunia persilatan, menaklukkan seluruh golongan hitam untuk menjadi anak buah mereka di daerah kekuasaan masing-masing.
Siauw-bin Ciu-kwi yang menguasai seluruh daerah Propinsi Kiang-si, dalam waktu beberapa tahun saja sudah menalukkan sebagian besar kaum sesat dan diapun diangkat menjadi Beng-cu (pemimpin) oleh para tokoh sesat yang tidak mampu menandingi ilmu kepandaiannya yang konon amat tinggi sehingga dia dinamakan seorang yang sakti.
Malam itu amat sunyi di sekitar lereng Bukit Merak. Lampu-lampu gantung di atas pagar tembok dan di luar rumah-rumah besar tua itu nampak berkelap-kelip di antara kegelapan malam, menambah seramnya suasana yang amat sunyi itu. Tidak ada seorangpun penduduk di sekitar Telaga Po-yang berani mendekati Bukit Merak, apalagi sampai ke lerengnya, baru di kaki bukit itu saja mereka tidak berani. Lebih baik mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari pada harus melalui kaki Bukit Merak.
Akan tetapi, dalam keremangan cuaca malam yang hanya disinari oleh laksaan bintang di langit, nampak empat orang laki-laki mendorong-dorong seorang hwesio, mendaki kaki bukit terus ke lereng. Beberapa kali, kalau hwesio itu berjalan kurang cepat, dia didorong oleh empat orang yang berjalan di belakangnya sambil dibentak sehingga hwesio itu terhuyung-huyung ke depan.
Hwesio itu usianya sudah enampuluhan tahun, bertubuh kurus dan bermuka pucat. Ke- palanya gundul dan jubahnya yang kuning itu agak kumal. Dia melangkah sambil merangkap kedua tangan di depan dada, agaknya dia sudah menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa, maklum bahwa dia tidak berdaya dan terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang jiwanya dikuasai nafsu iblis.
Hwesio ini bernama Loan Khi Hwesio, ketua dari sebuah kuil kecil di sebuah bukit yang berada di sebelah barat Telaga Po-yang. Sore tadi, dia kedatangan empat orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya ini, dan dengan suara kasar mereka memaksa dia harus ikut bersama mereka untuk menghadap Beng-cu di lereng Bukit Merak!
Lima orang hwesio yang menjadi pembantunya, hwesio-hwesio muda, tentu saja tidak merelakan dia yang menjadi ketua kuil diculik begitu saja. Mereka melawan, akan tetapi apa daya lima orang hwesio yang hanya menguasai sedikit ilmu silat menghadapi empat orang yang lihai itu? Dengan mudah lima orang hwesio itu dihajar sampai pingsan semua dan dia pun dipaksa untuk ikut mereka ke Bukit Merak.
Loan Khi Hwesio maklum siapa yang disebut Beng-cu itu. Dia sudah mendengar tentang Siauw-bin Ciu-kwi, seorang datuk besar kaum sesat yang amat sakti dan kejam. Maka, diapun pasrah dan hanya mempergunakan kekuatan batinnya untuk menghadapi ancaman bahaya maut ini.
Empat orang itu yang rata-rata berusia empatpuluh tahun, memiliki tubuh yang kokoh kuat dan wajah yang bengis, orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Mereka adalah sebagian dari para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi, hanya merupakan pembantu rendahan saja, bukan pembantu utama yang berilmu tinggi.
Kini mereka tiba di depan pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal. Seorang di antara empat tukang pukul itu membunyikan genta dan dari dalam pintu, seorang penjaga mengintai melalui lubang daun pintu, kemudian membuka pintu gerbang itu, dibantu oleh seorang teman karena pintu gerbang itu amat berat saking tebal dan besarnya. Loan Khi Hwesio didorong masuk dan hampir saja jatuh karena kakinya tersandung batu.
"Hayo cepat!" bentak seorang di antara empat jagoan itu sambil menangkap lengan hwesio itu dan menyeretnya menuju ke sebuah bangunan induk di dalam tembok yang seperti benteng.
Setelah mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup terang, hwesio itu didorong masuk sampai jatuh menelungkup. Akan tetapi, dia bangkit lagi tanpa mengeluh, kedua tangan masih dirangkap depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk mohon kekuatan kepada Yang Maha Kuasa. Dia lalu mengangkat muka memandang.
Kiranya di dalam ruangan itu duduk beberapa orang yang kesemuanya memandang kepadanya, bagaikan segerombolan anjing srigala kelaparan. Loan Khi Hwesio merasa betapa dia seperti seekor kelinci yang dikepung srigala-srigala itu sehingga diam-diam diapun bergidik walaupun penyerahan dirinya kepada Tuhan telah membuat dia tidak merasa takut. Dia merasa ngeri menghadapi manusia-manusia yang pada lahirnya saja sudah nampak sedemikian mengerikan dan penuh dengan kepalsuan dan kekejaman.
Siauw-bin Ciu-kwi mudah dikenal oleh orang yang baru mendengar namanya dan belum pernah melihat mukanya. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut, nampak semakin pendek karena duduk di atas kursi yang besar dan dalam.
Dia nampak seperti seekor katak bersembunyi di dalam lubangnya. Kepalanya botak, sedemikian botaknya sehingga kelihatan gundul. Mukanya sungguh aneh. Muka yang seperti muka kanak-kanak, gemuk dengan kedua pipi tebal, akan tetapi mulutnya terus menyeringai, tersenyum lebar!
Seluruh wajahnya tersenyum kecuali matanya. Sepasang mata itu sama sekali tidak tersenyum, sama sekali tidak membayangkan keramahan atau kegembiraan, melainkan sepasang mata yang mencorong dengan sinar yang tajam menusuk dan mengandung kekejaman dan kecerdikan luar biasa. Agaknya karena mulutnya yang selalu menyeringai itulah maka dia dijuluki Siauw-bin (Muka Tertawa).
Di atas meja di depannya nampak sebuah guci arak besar dan di tangannya nampak cawan arak yang tak pernah kosong karena setiap kali dia meneguk isi cawan, selalu ada tangan halus yang mengisi cawan itu kembali dari guci arak. Tangan halus itu milik seorang wanita muda yang selalu duduk di samping Beng-cu itu, seorang wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun yang berwajah cantik manis, pesolek, dengan mulut penuh gairah dan sepasang mata yang indah.
Melihat seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh demikian indah, wajah manis dan sikap yang genit memikat, orang tidak akan mengira bahwa wanita ini sungguh bukan seorang wanita yang lemah! Biarpun ia dapat menjadi hangat dan penuh kemesraan, namun di balik semua keindahan itu tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat, kekejaman yang membuat seorang penjahat sekalipun menjadi ngeri, dan kepandaian silat yang membuat namanya terkenal di seluruh Propinsi Kiang-si.
Wanita yang kini seolah-olah menjadi pelayan terkasih dari Beng-cu itu terkenal dengan julukan Tok-sim Nio-cu (Nona Berhati Racun). Nama kecilnya adalah Lui Cin Si, akan tetapi di dunia kang-ouw, nama ini tidak dikenal orang, akan tetapi kalau sekali orang menyebut Tok-sim Nio-cu, penjahat yang paling kejam sekalipun akan merasa serem dan takut!
Ketika Siauw-bin Ciu-kwi muncul di dunia persilatan dan bermukim di Propinsi Kiang-si, tentu saja seperti banyak tokoh kang-ouw, Tok-sim Nio-cu juga tidak sudi untuk menyerah dan takluk kepada datuk besar yang baru muncul ini. Apa lagi melihat orangnya yang tidak mengesankan, hanya seorang laki-laki setengah tua yang pendek berperut gendut dan selalu senyum-senyum seperti orang sinting.
Tok-sim Nio-cu bahkan memandang rendah dan ia menantang datuk ini. Sungguh di luar perkiraannya, menghadapi si pendek gendut itu, dalam beberapa jurus saja, kurang dari sepuluh jurus, ia sudah terjungkal roboh! Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu bukan orang yang mudah menyerah.
Tidak mudah bagi Siauw-bin Ciu-kwi untuk menalukkan wanita liar ini, yang masih merasa penasaran dan ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk mengeroyok. Baru setelah berkali-kali semua usahanya menentang Siauw-bin Ciu-kwi gagal dan berkali-kali ia dirobohkan tanpa dibunuh, akhirnya Tok-sim Nio-cu menyatakan takluk dan menyerah!
Setelah Tok-sim Nio-cu menyerah, kini ia malah menjadi seorang pembantu yang paling dipercaya oleh Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan tidak hanya itu, ia juga menjadi kekasih Beng-cu itu dan karena ini, kekuasaannya amat besar dan hanya di sebelah bawah kekuasaan sang Beng-cu! Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, ternyata si pendek gendut yang tidak dapat dibilang ganteng dan tidak memiliki banyak daya tarik sebagai seorang pria terhadap wanita itu, ternyata adalah seorang pria yang jantan bagi seorang wanita haus laki-laki seperti Tok-sim Nio-cu! Seorang pria yang dapat memuaskan hatinya!
Di samping ini, juga Beng-cu itu berkenan mengajarkan beberapa jurus ilmu silat yang tinggi kepadanya, menguruknya pula dengan kemuliaan, kemewahan dan kedudukan sehingga membuat wanita genit itu benar-benar takluk dan setia! Demikianlah, wanita ini bahkan tidak malu-malu dan tidak merasa rendah untuk menuangkan arak dan melayani Beng-cu seperti seorang pelayan biasa saja, biarpun di depan banyak orang! Tentu saja tidak ada seorangpun berani memandang rendah kepadanya, yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Beng-cu!
Hanya Tok-sim Nio-cu seorang yang duduk di samping Beng-cu menghadapi meja, seperti seorang pelayan, juga seperti seorang kekasih atau isteri, karena Beng-cu tidak mempunyai isteri. Ada pula enam orang wanita muda yang menjadi semacam selir, atau dayang atau juga pelayan, menjadi penghibur Beng-cu. Mereka duduk bersimpuh di atas lantai, siap untuk melaksanakan perintah Beng-cu, baik perintah untuk bermain musik, menari, bernyanyi, atau juga beramai "mengeroyok" Beng-cu melayani segala kehendak pria pendek gendut yang amat sakti itu! Mereka adalah gadis-gadis pilihan yang mau tidak mau kini menjadi pelayan dan penghibur datuk besar itu.
Di belakang datuk itu, nampak tiga orang laki-laki yang nampak aneh dan tidak seperti manusia biasa. Memang mereka bukan manusia biasa, melainkan manusia berwatak iblis yang sejak lama menjadi tokoh-tokoh sesat di Propinsi Kiang-si. Seperti juga Tok-sim Nio-cu, mereka ditundukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dengan kekerasan dan mereka baru mau sungguh-sungguh takluk setelah kalah mutlak menghadapi Beng-cu yang sakti itu.
Kini mereka menjadi pembantu-pembantu setia dari Beng-cu yang pandai mengambil hati mereka dengan melimpahkan kemuliaan dan kemewahan. Juga, menjadi pembantu Beng-cu mengangkat nama mereka lebih tinggi di dunia kang-ouw membuat mereka semakin disegani dan ditakuti orang.
Yang pertama hanya dikenal julukannya saja, yaitu Lim-kwi Sai-kong (Si Muka Singa Setan Hutan), dan memang sebelum menjadi pembantu utama Beng-cu, dia menjadi seorang penunggu hutan yang ditakuti. Usianya sudah enampuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya seperti muka singa, penuh dengan cambang bauk dan persegi menyeramkan, wajah yang penuh kegarangan dengan mata yang lebar dan sinarnya aneh.
Pakaiannya selalu hitam dari kain tebal dan tidak pernah bersih, tubuhnya juga berbau binatang hutan. Sebatang golok besar tak pernah meninggalkan pinggangnya dan sehelai rantai baja besar melilit pula pinggang itu. Biarpun dia seperti seorang hutan tulen, namun jangan dikira bahwa dia hanya buas dan mengandalkan tenaga raksasa saja, seperti seekor singa. Tidak, di samping tenaga besar dan kebuasannya, juga dia memiliki ilmu silat yang dahsyat, bahkan pandai pula mempergunakan khi-kang untuk mengeluarkan auman yang menggetarkan jantung dan melumpuhkan kaki seorang lawan!
Orang kedua kurang mengesankan sebagai seorang jagoan, apa lagi sebagai seorang pembantu utama dari Siauw-bin Ciu-kwi. Dia seorang pria berusia tigapuluh lima tahun bernama Ciong Koan dan berjuluk Pek-i Kongcu (Tuan Muda Baju Putih). Pria muda ini selalu mengenakan pakaian putih, akan tetapi bukan putih sederhana, melainkan putih pesolek, rambutnya disisir licin dan diminyaki. Seorang pria yang berwajah tampan, mulutnya memiliki senyum memikat akan tetapi matanya jelas membayangkan kecabulan.
Pria berbaju putih ini dahulunya adalah seorang murid Kun-lun-pai yang memiliki keahlian bermain pedang. Dari remaja dididik untuk menjadi seorang pendekar. Akan tetapi setelah dewasa, dia runtuh oleh nafsunya sendiri, melakukan penyelewengan-penyelewengan karena diperbudak oleh berahi yang tidak wajar.
Akhirnya, dia terseret oleh lingkungan dan menjadi seorang tokoh sesat yang suka mempermainkan wanita, baik melalui rayuan dan ketampanannya, maupun melalui paksaan mengandalkan kelihaiannya. Entah berapa banyak gadis diperkosanya, isteri orang dirayunya sehingga melakukan penyelewengan. Setelah ditaklukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dia menjadi seorang pembantu setia dan kekejamannya bertambah karena selalu berdekatan dengan para datuk dan tokoh sesat.
Orang ketiga bernama Lok Hun berjuluk Hek-giam-ong, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan sesuai dengan julukannya, yaitu Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), maka seluruh kulit tubuhnya, dari muka sampai kaki, berwarna hitam gelap. Mukanya yang hitam itu amat menyeramkan, apa lagi karena wajahnya itu amat dingin, matanya seperti tanpa sinar, mulutnya tidak pernah tersenyum dan muka itu seperti topeng saja, tidak pernah membayangkan apa yang dirasakannya. Senjata istimewanya adalah sebuah ruyung yang berat.
Demikianlah keadaan Siauw-bin Ciu-kwi dan empat orang pembantu utamanya. Dengan hati yang penuh penyerahan karena maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis, Loan Khi Hwesio memandang kepada mereka semua sambil berdiri dan merangkap kedua tangan depan dada.
"Hwesio sialan! Berlutut kau!" bentak Lim-kwi Sai-kong dengan suaranya yang mengguntur ketika dia melihat betapa tawanan itu berdiri saja di depan Beng-cu.
"Omitohud......!" Loan Khi Hwesio menjura sambil tetap merangkap kedua tangan depan dada.
"Pinceng tidak pernah berlutut, kecuali kepada Sang Buddha......"
Para anak buah rendahan yang tadi menangkap dan mengantar hwesio itu menghadap Beng-cu, sudah disuruh keluar dan tidak boleh ikut mendengarkan dan melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Kini yang menyaksikan hanyalah Beng-cu dan para pembantunya, termasuk enam orang dayang yang menjadi pembantu dan juga selir-selirnya.
Mendengar jawaban pendeta itu, Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo dari Beng-cu, berseru.
"Beng-cu, haruskah kupatah-patahkan kakinya agar dia mau berlutut?"
Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi menyeringai, kini tertawa dan menenggak secawan arak, lalu memberikan cawan kosong kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk diisi kembali.
"Biarkanlah, nanti saja kalau dia tidak mau mengaku, baru kau boleh siksa dia sampai setengah mati!" kata Siauw-bin Ciu-kwi, sengaja mengancam untuk mengecilkan hati hwesio itu. Kemudian dia bertanya kepada tawanan itu.
"Apakah engkau yang bernama Loan Khi Hwesio?"
Loan Khi Hwesio menjura dengan sikap hormat.
"Benar sekali, pinceng bernama Loan Khi Hwesio. Tidak tahu ada urusan apa maka pinceng dipaksa datang ke tempat ini?"
"Ha-ha-ha, Loan Khi Hwesio, apakah engkau benar tidak tahu atau tidak dapat menduganya? Ataukah hanya berpura-pura saja?"
"Pinceng sungguh tidak tahu dan tidak dapat menduga......"
Tiba-tiba Beng-cu itu menggebrak meja dengan marah walaupun mulutnya masih menyeringai.
"Serahkan peta itu kepadaku!"
Wajah yang sudah pucat itu semakin pucat dan mata pendeta itu terbelalak memandang kepada wajah yang kekanak-kanakan itu.
"Peta? Peta apakah yang kaumaksudkan?"
"Hwesio tolol!" kembali Lim-kwi Sai-kong membentak marah.
"Jaga sikap dan bicaramu! Engkau menghadap Beng-cu yang berkuasa di seluruh Kiang-si! Salah sedikit saja bicaramu, kaki tanganmu akan dibuntungi dan lidahmu akan dipotong!"
Tentu saja hwesio itu menjadi semakin ngeri.
"Maaf, Beng-cu. Sungguh, pinceng tidak mengerti peta apa yang dimaksudkan itu......"
Siauw-bin Ciu-kwi mendengus dan mulutnya menyeringai semakin lebar.
"Huh, peta apa lagi kalau bukan peta Patung Emas!"
"Peta Patung Emas? Pinceng...... tidak...... tidak tahu......"
"Brakkk!" kembali Beng-cu menggebrak meja.
"Tak perlu bohong! Kami sudah tahu bahwa engkau telah mendapatkan sebagian dari peta itu. Peta yang ada gambarnya patung emas, peta harta terpendam di Telaga Po-yang! Sudahlah, tidak perlu pura-pura tidak tahu lagi. Serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan kami bebaskan dan boleh melanjutkan pekerjaanmu di kuil tua itu! Akan tetapi kalau engkau tidak mau menyerahkan, tidak mau mengaku di mana adanya peta itu, engkau akan disiksa sampai mati!"
Seluruh tubuh pendeta itu gemetar, mulutnya terasa kering dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata.
"Sungguh, pinceng tidak menyimpannya...... pinceng tidak tahu peta itu di mana......"
"Hek-giam-ong, paksa dia mengaku di mana peta itu!" kata Siauw-bin Ciu-kwi.
Pembantunya yang menerima perintah ini bangkit dari kursinya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menjulang tinggi dan mukanya yang seperti topeng hitam itu nampak dingin dan tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi ketika dia melangkah dan mendekati Loan Khi Hwesio, sinar matanya mencorong penuh ancaman.
Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya kemak-kemik membaca doa karena dia maklum bahwa bahaya maut mengancamnya. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan, tentu saja hatinya merasa ngeri.
"Hwesio, sekali lagi kuulangi permintaan Beng-cu. Serahkan peta itu atau katakan di mana adanya peta itu sekarang!" kata Hek-giam-ong Lok Hun dengan muka tidak membayangkan sesuatu, tetap dingin dan suaranya juga terdengar datar saja sehingga terdengar menyeramkan, lebih menyeramkan dari pada kalau suara itu mengandung bentakan marah.
"Tidak.... tidak tahu...... pinceng tidak tahu!"
Tiba-tiba tangan Hek-giam-ong meluncur dan menangkap lengan kiri hwesio itu.
"Katakan, atau akan kupatahkan jari tanganmu satu demi satu!"
Loan Khi Hwesio menggeleng kepala.
"Omitohud...... maafkan... pinceng sungguh tidak tahu......!"
Hek-giam-ong yang memegang lengan kiri hwesio itu dengan tangan kanan, lalu menangkap ibu jari tangan itu dengan tangan kirinya dan menekuk ibu jari itu ke belakang punggung tangan.
"Kreekkk!" tulang ibu jari itu patah dan Loan Khi Hwesio mengeluarkan suara rintihan. mukanya yang semakin pucat itu basah dengan keringat yang keluar dari tubuhnya saking nyerinya. Kini telujuknya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya, dan satu demi satu, perlahan-lahan, kelima jari tangan kirinya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya. Loan Khi Hwesio merintih, mengerang, bahkan menjerit. Ketika kelingkingnya ditekuk patah, dia meraung dan pingsan!
Ketika dia siuman kembali, tangan kanannya sudah dipegang tangan kiri algojo itu.
"Nah, sekarang katakan terus terang, di mana peta itu? Kalau engkau tidak mau mengaku, jari-jari tangan kananmu akan kupatah-patahkan seperti tangan kirimu tadi!" Hek-giam-ong mengancam
Tubuh Hwsio itu menggigil. Dia kini bangkit duduk. Tangan kirinya tak dapat dia gerakkan, nyeri bukan main, rasa nyeri yang datang dari jari-jari tangan itu dan terus menerus sampai ke jantungnya. Akan tetapi, dia tetap berusaha melindungi dirinya dengan doa, walaupun kini dia mulai meragukan apakah doanya akan berguna dalam keadaan seperti itu.
Dia menggeleng kepala.
"Pinceng...... tidak...... tidak tahu......" Dan diapun memejamkan kedua matanya dan mulutnya berkemak-kemik, menanti datangnya saat penyiksaan yang lebih hebat.
Dan siksaan itupun datang! Seperti tadi, ibu jari tangan kanannya ditekuk ke belakang sampai mengeluarkan bunyi "krekkk!" dan tulang ibu jari itu patah sambungannya, disusul jari-jari yang lain. Baru tiga batang jari yang dipatahkan, kembali hwesio itu sudah jatuh pingsan, karena tidak dapat menahan lagi perasaan nyeri yang menusuk jantung.
Ketika untuk kedua kalinya dia siuman, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Rasa nyeri dari kedua tangannya itu menjalar ke seluruh tubuh. Dua buah tangannya sudah tidak dapat dia gerakkan lagi. Dia bangkit duduk lalu menunduk dan memejamkan kedua matanya, mohon kekuatan dari Yang Maha Kuasa, dan menyerahkan seluruh jiwa raganya.
Ketika dia tenggelam ke dalam penyerahan ini, terjadilah keanehan pada dirinya. Tadinya, dari kedua tangannya keluar denyut-denyut yang amat nyeri, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk jantung. Sukar digambarkan bagaimana perasaan nyeri itu. Ada rasa panas, perih, menusuk-nusuk dan mencabut-cabut. Akan tetapi, rasa berdenyut-denyut itu kini berubah sama sekali!
Tidak lagi mendatangkan nyeri, bahkan mendatangkan nikmat! Sungguh! Tidak perlu lagi dia merintih. Denyut-denyut nyeri tadi kini bertukar denyut nikmat. Ataukah penerimaannya, alat penerimaannya yang berubah? Bukankah nyeri dan nikmat hanyalah permainan dari perasaan belaka? Penyerahannya yang sebulatnya kepada Tuhan melenyapkan perbedaan antara nyeri dan nikmat, antara enak dan tidak enak, sehingga diapun tidak tahu lagi apakah kedua tangannya itu terasa nyeri ataukah nikmat!
Loan Khi Hwesio yang memejamkan matanya itu kini tersenyum. Senyum wajar karena bebas dari rasa nyeri, bahkan merasakan kenikmatan pada kedua tangannya.
Melihat hwesio itu tersenyum, Beng-cu berpandangan dengan para pembantunya. Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang datuk besar. Dia menduga bahwa tentu hwesio yang tentu saja memiliki ilmu kebatinan yang mendalam itu agaknya sudah mampu menguasai perasaan nyeri, maka dalam keadaan semua jari tangannya patah-patah itu masih mampu tersenyum, senyum sama sekali bebas dari rasa nyeri!
"Loan Khi Hwesio, apakah engkau masih juga belum mau menyerahkan peta itu?" terdengar Siauw-bin Ciu-kwi bertanya.
"Kesempatanmu untuk bebas dari maut hanya tinggal yang terakhir!"
Tanpa membuka matanya, Loan Khi Hwesio berkata.
"Omitohud biar dibunuh sekali- pun, pinceng tidak dapat memenuhi permintaan itu. Pinceng tidak tahu di mana peta yang dimaksudkan itu......"
Komentar
Posting Komentar