Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 09




   Souw Kun mengerutkan alisnya, lalu mengangguk.

   "Memang seringkali ada tamu luar daerah datang berkunjung, akan tetapi sama sekali bukan karena keindahan pemandangan alam atau kesejukan hawa di dusun ini."

   "Ehh? Kalau bukan untuk itu, lalu untuk apa mereka datang berkunjung ke sebuah dusun yang sunyi ini?" Song Tek Hin yang mengerti akan pancingan Cin Hay, menyambung.

   "Ah, yang datang bukanlah pelancong-pelancong seperti ji-wi (anda berdua) yang suka akan tempat indah, melainkan orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat dan orang-orang kasar."

   Jelas bahwa petani itu tidak suka mereka yang suka berdatangan ke dusun mereka. Dia adalah seorang petani sederhana yang usianya sudah empatpuluh tahun dan sudah banyak ulah orang-orang kang-ouw yang merugikan penduduk dusun dengan tingkah laku mereka yang kasar dan kadang-kadang sewenang-wenang dan kejam.

   Tentu saja Souw Kun sama sekali tidak tahu bahwa dua orang tamunya yang kelihatan demikian halus dan seperti dua orang terpelajar yang tidak mengenal kekerasan, adalah dua orang muda yang ahli dalam ilmu silat, apa lagi yang berpakaian serba putih itu! Mereka berdua juga tidak membawa senjata apapun.

   "Orang-orang kang-ouw? Ahli-ahli silat? Mau apa mereka datang ke sini?" tanya Cin Hay pura-pura heran.

   "Di dusun kami tinggal seorang ahli pembuat senjata tajam yang amat terkenal, nama- nya Thio Wi Han. Dia tinggal di tepi dusun, berdua saja dengan isterinya dan dialah yang seringkali didatangi orang-orang kang-ouw yang hendak membuatkan senjata. Bahkan sekarang inipun di dusun kami terdapat banyak orang kang-ouw yang agaknya sedang menunggu senjata pesanan mereka. Sudah berpekan-pekan mereka tinggal di sini."

   Souw Kun lala menceritakan tentang orang-orang kang-ouw yang berkeliaran di dusun itu, juga tentang adanya tigabelas orang yang kelihatan buas, yang membuat pondok darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han, juga tentang seorang kakek raksasa yang menyewa sebuah rumah terbesar di dusun itu di mana dia tinggal bersama beberapa orang yang kelihatannya aneh dan buas, akan tetapi yang tidak pernah mengganggu penghuni dusun.

   Dari mulut Souw Kun, Cin Hay dan Tek Hin mendapatkan keterangan yang cukup jelas, akan tetapi petani itu tidak tahu senjata apa yang dipesan oleh orang-orang kang-ouw itu. Juga dia sama sekali tidak tahu tentang Hek-sim Lo-mo, apa lagi tentang mustika naga.

   Dalam rumah sederhana dari Souw Kun itu hanya terdapat dua buah kamar. Sebuah kamar besar dari Souw Kun dan isterinya, dan sebuah kamar yang tidak begitu besar dari A Kim, puteri mereka. Dengan adanya dua orang tamu itu, isteri Souw Kun mendapat alasan yang cukup baik untuk tidur di kamar puterinya, bahkan hal ini dikehendaki oleh suaminya karena kamar besar dipergunakan oleh Souw Kun dan dua orang tamunya.

   Souw Kun memberikan pembaringannya kepada dua orang tamunya sedangkan dia sendiri tidur di kursi panjang di sudut kamarnya itu. Isterinya tidur bersama puterinya dan dua orang wanita itu merasa tegang sekali, teringat akan pesan pemuda tampan yang memberi hadiah kepada mereka.

   Malam itu sunyi sekali. Malam yang gelap dan hawa udara di luar rumah amatlah dinginnya. Cin Hay dan Tek Hin yang sehari tadi melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah, sudah rebah di atas pembaringan, bahkan Tek Hin segera jatuh pulas. Cin Hay masih belum dapat pulas, rebah dengan gelisah. Dia melihat kehidupan tuan rumah dan diam-diam dia merasa agak iri.

   Betapa bahagianya kehidupan keluarga petani dusun miskin seperti Souw Kun itu! Memang miskin sekali untuk ukuran kota, akan tetapi jelas bahwa tidak banyak persoalan yang harus mereka pikirkan kecuali bekerja setiap hari mencari makan, dan tidak ada kesulitan apapun dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang mereka butuhkan kecuali makan kenyang setiap hari, pakaian yang setiap hari dapat diganti, tempat tinggal yang cukup melindungi mereka dari panas, angin dan hujan. Apa lagi?

   Di dusun tidak ada restoran besar yang serba mahal, tidak ada toko-toko yang memamerkan barang-barang mewah pakaian indah, tidak ada tontonan-tontonan yang menghamburkan uang, tidak ada tempat perjudian dan lain kesenangan lagi yang hanya akan menambah besar kebutuhan manusia hidup. Lalu dia ingat akan keadaannya sendiri. Diapun tidak butuh apa-apa, akan tetapi juga tidak punya apa-apa! Tidak ada keluarga, tidak ada orang-orang yang dicintanya, dan hidupnya terasa hampa.

   Dia menoleh kepada Tek Hin yang tidur pulas. Orang inipun tidak bahagia, pikirnya. Kehilangan orang yang dicintanya, dan kini hatinya hanya penuh dengan dendam! Hanya dendam yang masih membuat dia mempertahankan hidupnya, dendam dan harapan karena bertemu dengan dia yang menimbulkan harapan akan dapat membalas dendamnya! Kasihan Song Tek Hin ini, pikir Cin Hay, lupa akan keadaan dirinya sendiri.

   Duka timbul dari iba diri sebagai hasil dari pementingan diri pribadi. Karena itu, begitu pikiran ditujukan kepada orang lain sehingga timbul rasa iba kepada orang lain, dengan sendirinya duka yang timbul dari iba diri itupun menghilang atau menipis. Perubahan dan jalan pikiran ini, ulah tingkah pikiran seperti ini, seyogianya selalu diperhatikan, diamati tanpa pamrih, tanpa tindakan apapun, hanya pengamatan saja yang ada.

   Pengamatan inilah yang akan mendatangkan suatu keadaan yang lain sama sekali, pengamatan tanpa si-aku yang mengamati karena si-aku, yaitu pikiran, sudah lebur dan bersatu ke dalam pengamatan itu, seluruh pikiran, hati dan perasaan menjadi satu dalam pengamatan sehingga tidak ada lagi si-aku yang menimbang, yang menilai, yang ingin menyenangkan dan ingin disenangkan yang keduanya berpamrih dan bersumber kepada pementingan si-aku pula.

   Tidak adanya si-aku ini bukan berarti diri menjadi kosong dan tumpul. Sebaliknya malah! Tanpa adanya si-aku, maka pengamatan itu murni dan penuh, tidak diselewengkan oleh si-aku yang berpendapat. seperti penuhnya pengamatan seorang tukang jam yang sedang menyelidiki kerusakan jam itu. Yang ada hanya pengamatan yang mendalam, yang menimbulkan pengertian dan kewaspadaan.

   Cin Hay menoleh kepada tuan rumah. Juga sudah tidur pulas, bahkan dalam tidurnya pun, terdapat perbedaan antara pulasnya Tek Hin dan pulasnya Souw Kun petani itu. Dari cahaya sinar lilin, Cin Hay dapat melihat betapa garis-garis wajah Tek Hin yang tampan itu masih dibayangi sisa keruwetan pikiran, dan mungkin saja dalam keadaan seperti itu, di dalam tidurnya Tek Hin akan bermimpi sebagai sisa celoteh pikiran di siang hari, tidak seperti Souw Kun yang tidur demikian nyenyak, dengan wajah yang polos dan begitu bebas!

   Malam semakin larut dan akhirnya Cin Hay mulai diselimuti ketidaksadaran orang yang menyeberang ke alam tidur. Akan tetapi, belum lama dia tertidur, dia yang memiliki pendengaran amat tajam berkat latihan yang tekun, tergugah oleh suara yang tidak wajar. Kelopak matanya tergetar, lalu terbuka dan kesadarannya mulai masuk. Dia tidak bergerak, melirik ke arah dua orang kawan sekamar itu. Terdengar dengkur halus Souw Kun, dan Tek Hin juga masih tidur pulas, kini miring ke kiri.

   Kesadarannya sudah pulih dan dia memasang telinganya. Terdengar isak tangis tertahan! Tangis wanita yang ditahan-tahan, datangnya dari kamar sebelah! Memang lirih sekali, namun cukup menembus dinding dan tertangkap oleh pendengarannya yang tajam.

   Dua orang wanita, ibu dan anak itu, sejak memasuki kamar sudah merasa gelisah dan tegang. Kalau mengenangkan pesan pemuda yang menarik itu, mereka menjadi tegang, dan si ibu muda yang merasa amat tertarik kepada orang muda tampan dan pandai merayu itu, diam-diam mengharapkan kedatangannya. Akan tetapi kalau ia teringat akan suaminya dan dua orang tamunya yang tidur di kamar sebelah, ia merasa ngeri kalau sampai kedatangan pemuda tampan itu ketahuan dan diam-diam ia mengharapkan orang itu agar jangan muncul dan bahwa pesannya tadi hanya bualan saja!

   Adapun A Kim yang baru berusia limabelas tahun, masih gadis remaja, hanya menduga-duga dengan jantung berdebar tegang, apakah pemuda itu benar akan datang ke dalam kamarnya dan apa gerangan yang akan dilakukan oleh pemuda itu kepadanya dan kepada ibunya.

   Sampai tengah malam, keduanya belum juga tidur, menanti dengan jantung berdebar. Akan tetapi, semakin larut malam, hati mereka menjadi semakin lega karena pemuda itu tidak muncul. Tentu hanya bualan saja, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba jendela kamar mereka terbuka dari luar tanpa mengeluarkan suara! Dan sebuah kepala nampak di jendela itu, diterangi lampu gantung di sudut rumah, dan terdengar suara.

   "Sssssshhhh......!" isyarat bagi mereka agar jangan bersuara.

   Ibu muda dan gadisnya itu terbelalak, dan A Kim merasa betapa jantungnya berdetak keras sampai terdengar meledak-ledak di telinganya. Ia tidak tahu bahwa ibunya juga mengalami hal yang sama ketika ia memegang tangan ibunya. Tangan mereka dingin dan gemetar! Mereka mengenal kepala dan muka itu, muka pemuda tampan yang berjumpa dengan mereka di sungai siang tadi! Wajah yang tampan tersenyum manis dan pandang matanya yang nakal!

   Bagaikan seekor kucing saja, tanpa menimbulkan suara, pemuda yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, sudah melompat ke dalam kamar itu.

   "Sstttt, aku datang memenuhi janji......" bisiknya lirih.

   "harap jangan mengeluarkan suara......"

   Dan diapun langsung saja menutupkan kembali daun jendela yang tadi dibukanya dari luar dengan mudah, mempergunakan tenaga dan kepandaiannya. Kamar itu kembali menjadi gelap seperti tadi, hanya remang-remang saja karena ada sedikit sinar lampu menyorot masuk dari ruangan di luar kamar itu melalui celah-celah di atas daun pintu yang tinggi.

   Nyonya Souw Kun, ibu A Kim, dengan tubuh gemetar menurut saja seperti seekor domba digiring ke jagal ketika Lui Teng merangkulnya dan menariknya ke pembaringan. Tangan ibu ini memegang lengan A Kim yang ikut pula terbawa dan begitu mereka berada di atas pembaringan, Lui Teng menerkam wanita itu dengan penuh gairah, namun juga dengan kelembutan, disertai bisikan-bisikan merayu yang memang menjadi keahliannya.

   Ibu muda itu seperti lumpuh. Bermacam perasaan membuatnya lumpuh. Perasaan gembira, malu, ingin tahu, juga tegang dan takut, semua itu didorong oleh rangsangan yang timbul oleh rayuan dan cumbuan Lui Teng yang berpengalaman, berubah menjadi penyerahan dengan penuh kepasrahan seorang yang mabok nafsu! Ibu ini lupa keadaan, lupa di mana ia berada, lupa siapa dirinya, dan lupa bahwa di dekatnya ada puterinya yang masih remaja, yang menggigil karena ia sudah cukup besar untuk mengerti apa yang sedang terjadi.

   Dan Lui Teng tidak akan dijuluki Jai-hwa Kongcu kalau dia merasa puas dengan hasil yang diperolehnya, puas dengan penyerahan diri Nyonya Souw Kun penuh kepasrahan itu. Tidak, dia sama sekali belum puas. Masih ada A Kim di situ, setangkai bunga yang sedang mekar, belum tersentuh tangan, setangkai kembang yang belum tercium kumbang.

   Setelah menaklukkan sang ibu, diapun mulai menerkam puterinya! Dan ibu A Kim tidak dapat berbuat apapun, tidak berani melarang karena khawatir kalau rahasianya terbuka. Terpaksa ia harus merelakan puterinya digauli Jai-hwa Kongcu, bahkan ia membujuk-bujuk agar puterinya tidak menangis terlalu keras, agar jangan sampai diketahui suaminya bahwa di kamar itu, ibu dan anak sedang tidur bersama seorang laki-laki asing!

   Dan tangis tertahan-tahan dari A kim itulah yang terdengar oleh telinga Cin Hay yang peka terlatih. Setelah dia merasa yakin bahwa yang merintih dan menangis lirih itu adalah suara seorang wanita di kamar sebelah, Cin Hay lalu bangkit duduk, dengan hati-hati dia turun dari atas pembaringan lalu menghampiri Souw Kun yang masih tidur nyenyak. Dirabanya pundak orang itu dan diguncangnya perlahan sampai Souw Kun terbangun. Cin Hay menaruh telunjuknya di depan mulut lalu berkata lirih,

   "Souw-toako, aku mendengar suara tangisan di kamar sebelah. Sebaiknya kalau engkau jenguk anak isterimu, jangan-jangan ada yang sedang sakit. Tangis itu merintih seperti orang kesakitan."

   Souw Kun bangkit duduk dan dia mencoba mendengarkan, akan tetapi pendengarannya tidak setajam pendengaran Cin Hay, maka dia menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak mendengar apa-apa," katanya.

   "Coba kautempelkan telingamu di dinding itu, mungkin kau akan mendengar juga," kata Cin Hay.

   Souw Kun lalu menghampiri dinding yang memisahkan kamar itu dengan kamar puterinya, lalu menempelkan telinganya. Benar saja lapat-lapat dia mendengar suara rintihan dalam tangisan lirih, bahkan lapat-lapat dia mengenal tangis itu seperti suara puterinya.

   "Ah, aku dapat mendengarnya sekarang! Anakku tentu sakit......" katanya.

   "Toako, sebaiknya kalau engkau menjenguk mereka, siapa tahu anakmu membutuhkan pertolonganmu," kata Cin Hay yang merasa tidak enak hatinya.

   Puteri tuan rumah itu jelas menangis dengan tertahan-tahan, seolah-olah ia merasa malu untuk mengganggu para tamunya. Hal ini membuat hatinya tidak enak, karena ia merasa telah mengganggu keluarga tuan rumah yang demikian ramahnya. Mungkin gadis itu mengalami sakit yang hebat, dan menahan tangisnya agar jangan mengganggu para tamu.

   Souw Kun merasa khawatir juga mendengar ucapan Cin Hay. Dia lalu membuka pintu kamar itu dan keluar. Tak lama kemudian Cin Hay yang masih berada di dalam kamar mendengar tuan rumah menggedor daun pintu kamar sebelah dan memanggil-manggil isteri dan anaknya. Dia tidak ikut karena merasa tidak patut untuk menjenguk ke kamar isteri dan gadis tuan rumah.

   Tiba-tiba Cin Hay terkejut. Terdengar suara gaduh di kamar sebelah itu, dan yang terakhir terdengar teriakan Souw Kun, disusul robohnya tubuh orang dan selanjutnya sunyi. Cin Hay cepat melompat keluar dari dalam kamar dan dia masih melihat berkelebatnya orang, cepat sekali, keluar dari ruangan itu. Dia hendak mengejar, akan tetapi melihat tubuh Souw Kun menggeletak di ambang pintu kamar yang terbuka lebar, sebuah lampu gantung yang agaknya tadi dibawa Souw Kun, menggeletak miring dan hampir padam di sebelahnya.

   Cin Hay tidak jadi mengejar, melainkan cepat menyambar lampu gantung itu sehingga tidak jadi mati, dan ketika dia mengangkat lampu itu mendekati tubuh Souw Kun, dia terkejut melihat betapa orang itu telah tewas dengan leher terluka lebar hampir putus! Agaknya leher itu terbabat senjata tajam yang dilakukan dengan tenaga besar sehingga Souw Kun tewas seketika. Tentu teriakan tadi dilakukan Souw Kun sebelum dia roboh, dan mungkin karena dia melihat sesuatu di dalam kamar.

   Dengan hati berdebar tegang, Cin Hay melangkah ke dalam kamar, mengangkat lampu itu tinggi-tinggi di tangannya dan dia menahan teriakannya! Ibu dan gadis itu menggeletak di atas pembaringan, dengan telanjang bulat dan tubuh mereka penuh berlepotan darah!

   Sepintas lalu saja Cin Hay tahu bahwa mereka telah tewas dengan dada tertusuk senjata tajam dan mungkin menembus jantung dan mereka tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan suara! Cin Hay menjadi pening. Wajah ibu dan gadisnya itu nampak seperti wajah mendiang isterinya, Ci Sian, yang juga tewas dalam keadaan yang tidak jauh berbeda dari ibu dan anak itu!

   "Keparat......!" bentaknya dan tubuhnya berkelebat keluar dari rumah itu, untuk mengejar bayangan yang tadi dilihatnya berlari keluar. Akan tetapi, sunyi saja di luar. Sunyi dan gelap. Dia tidak tahu ke mana penjahat biadab itu melarikan diri.

   Souw Kun telah tewas, demikian pula isterinya dan puterinya. Mereka bertiga tewas terbunuh di depan hidungnya tanpa dia mampu mencegahnya. Dalam sekelebatan saja dia tahu apa yang terjadi.

   Tentu penjahat itu tadi mengganggu ibu dan anak gadisnya itu di dalam kamar mereka, mungkin memperkosanya. Kemudian Souw Kun menggedor daun pintu, mengejutkan penjahat itu dan untuk menghilangkan jejak, penjahat keji itu membunuh dua orang wanita yang menjadi korbannya, kemudian membunuh pula Souw Kun. Dengan demikian, tidak ada orang yang sempat melihat mukanya dan tidak akan ada yang tahu siapa yang memperkosa dua orang wanita itu dan melakukan pembunuhan atas diri mereka dan Souw Kun.

   Cin Hay kembali ke rumah Souw Kun, lalu menyelinap ke dalam kamar di mana dia melihat Song Tek Hin baru saja terbangun dan pemuda itu memandang kepadanya dengan heran.

   "Tai-hiap, dari mana engkau dan apakah yang terjadi? Aku seperti mendengar suara ribut-ribut di sebelah," katanya.

   "Saudara Song, telah terjadi hal yang hebat dalam rumah ini," kata Cin Hay dan dengan singkat namun jelas dia menceritakan apa yang terjadi.

   "Ahhh! Souw-toako, isterinya, dan puterinya dibunuh orang?" Song Tek Hin terbelalak.

   "Akan tetapi, mengapa?" Lalu dia meloncat turun dari atas pembaringan dalam keadaan siap siaga.

   "Apakah karena kita menginap di sini? Apakah penjahat itu sebetulnya menginginkan nyawa kita?"

   Cin Hay menggeleng kepala dan menceritakan pendapatnya.

   "Agaknya penjahat itu memperkosa ibu dan anak itu. Aku mendengar rintihan mereka dan aku membangunkan Souw-toako yang segera menggedor pintu kamar mereka. Penjahat itu lalu membunuh dua orang wanita itu, keluar dari kamar dan membunuh pula Souw-toako. Aku sempat melihat bayangannya berkelebat melarikan diri. Tentu dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika aku mencari jejaknya keluar, aku tidak menemukan lagi bayangannya."

   "Ah, tidak salah lagi! Tentu ini perbuatan kaki tangan Hek-sim Lo-mo! Mereka memang tokoh-tokoh sesat yang jahat seperti iblis! Dan melihat kejahatan ini, tentu keselamatan kakek ahli pembuat pedang itu terancam bahaya pula."

   "Memang sebaiknya kalau kita pergi menemuinya, selain untuk menjaga keselamatannya, juga untuk melihat apakah benar Hek-sim Lo-mo membawa mustika naga yang dirampas dari Pouw Sianseng untuk dibuatkan senjata oleh kakek Thio Wi Han," kata Cin Hay.

   "Lalu mereka itu......" Song Tek Hin menunjuk ke luar kamar.

   "Bagaimana dengan mayat-mayat mereka?"

   Cin Hay menarik napas panjang.

   "Tidak ada orang lain melihat kita di sini, sebaiknya kita pergi diam-diam agar tidak mendatangkan banyak ribut dan prasangka buruk. Biarlah besok mayat mereka ditemukan para tetangga. Kita sekarang juga pergi menyelidiki keadaan rumah kakek Thio Wi Han."

   Song Tek Hin mengangguk dan mereka lalu membawa semua bekal pakaian dan meninggalkan kamar itu. Mereka berhenti sebentar di depan kamar sebelah dan Song Tek Hin mengerutkan alisnya ketika melihat mayat-mayat itu, terutama keadaan mayat ibu dan anak yang telanjang bulat itu. Diapun membayangkan keadaan tunangannya yang juga tewas diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo, maka sambil mengepal tinju dia menyumpahi datuk sesat dan kaki tangannya.

   Cin Hay dan Tek Hin menyelidiki keadaan sekitar rumah tinggal kakek Thio Wi Han. Pondok itu sunyi dan gelap, tanda bahwa penghuninya sedang tidur. Cin Hay dan Tek Hin melihat bahwa kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang membuat bangunan darurat yang tidak jauh dari pondok ahli pembuat pedang itu berada di dalam pondok darurat mereka.

   Ada dua orang yang duduk berjaga, yang lain agaknya juga tertidur di sebelah dalam. Karena merasa tidak enak mengganggu kakek Thio Wi Han dan isterinya yang masih tidur, dua orang pemuda itu tidak mau berkunjung, melainkan menanti sampai pada pagi harinya.

   Setelah kelihatan kesibukan di pondok itu, barulah Cin Hay dan Tek Hin berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang mereka.

   "Haiiii! Siapa kalian? Berhenti dan perkenalkan diri kepada kami lebih dulu!"

   Cin Hay dan Tek Hin membalik dan mereka melihat ada tigabelas orang yang bersikap kasar dan rata-rata memiliki wajah bengis, berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, telah berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam. Pemimpin mereka yang berperut gendut dan bermuka bopeng, maju menghampiri dan sikapnya angkuh sekali ketika dia memandang Cin Hay dan Tek Hin. Agaknya, orang inilah yang tadi membentak kepada mereka.

   Song Tek Hin yang dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang jahat dan berbahaya, membiarkan Cin Hay maju melayani mereka. Dia hanya mengandalkan kepada Pendekar Naga Putih ini untuk melawan Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, maklum betapa lihainya pendekar ini.

   Cin Hay bersikap tenang, mengamati tigabelas orang itu dan diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang jahat namun tentu memiliki ilmu silat yang tangguh. Siapa tahu, pembunuh Souw Kun dan anak isterinya mungkin juga seorang di antara mereka ini.

   "Kami berdua hendak berkunjung kepada Thio Wi Han, ahli pembuat pedang," kata Cin Hay.

   "Harap cu-wi (anda sekalian) tidak melarang kami."

   "Tidak bisa! Siapapun yang hendak berkunjung kepada Thio Wi Han, harus melalui kami dan memperoleh ijin dari kami! Hayo katakan, siapa kalian?" Si gendut bopeng itu adalah Kwa Ti, orang pertama dari Wei-ho Cap-sha-kwi dan dia bersikap congkak sekali.

   Cin Hay mengerutkan alisnya, namun dia tetap sabar.

   "Sebetulnya kami berdua sama sekali tidak ada urusan dengan cu-wi, maka tidak semestinya kami memperkenalkan diri dan minta ijin. Tidak tahu siapakah cu-wi dan ada hak apa cu-wi mengharuskan orang yang hendak bertemu kepada paman Thio barus mendapat ijin dari cu-wi lebih dulu?"

   "Pemuda sombong!" bentak seorang di antara mereka.

   "Kwa-toako, hantam saja bocah lancang mulut itu!" bentak orang kedua.

   Akan tetapi Kwa Ti tersenyum menyeringai.

   "Daa orang bocah kutu buku, agaknya kalian tidak tahu siapa kami, ya? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi dan kami yang pada saat ini menguasai seluruh wilayah ini! Hayo kalian berlutut minta ampun, lalu berterus terang siapa kalian dan apa perlunya kalian mencari Thio Wi Han, baru kami akan mengampuni kalian."

   Tidak menjadi watak Kwa Ti untuk bersikap demikian sabar terhadap orang lain. Hal ini adalah karena dia teringat akan larangan keras dari Hek-sim Lo-mo agar selama mereka menanti selesainya pedang pusaka yang dibuat Thio Wi Han, mereka tidak diperkenankan mengganggu orang di daerah itu.

   Cin Hay maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk bertindak sewenang-wenang, akan tetapi dia tetap dapat menguasai diri dan tidak memperlihatkan kemarahan, melainkan menjawab dengan tenang.

   "Namaku Tan Cin Hay dan urusanku dengan paman Thio Wi Han adalah urusan pribadi yang tidak dapat kuceritakan kepada orang lain. Harap cu-wi membuka jalan dan tidak menghalangi kami!"

   "Toako, kutu buku ini kurang ajar sekali, berani memandang rendah kepada kita. Biar kuhantam saja mulutnya!" bentak seorang di antara Cap-sha-kwi, akan tetapi Song Tek Hin yang tidak sabar melihat betapa pendekar yang diandalkannya itu bersikap demikian lemah dan mengalah, segera membentak.

   "Cap-sha-kwi atau Seribu Setan sekalipun tidak ada artinya dan tidak berharga bagi Tan-taihiap! Kalian yang tidak mengenal orang! Tan-taihiap ini adalah Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sebaiknya kalian yang cepat berlutut minta ampun kepadanya!"

   Mendengar teriakan Song Tek Hin ini, Kwa Ti menjadi marah sekali dan melompat ke depan, siap menyerang pemuda tunangan mendiang Pouw Bi Hwa itu. Song Tek Hin cepat meloncat ke belakang, berlindung di belakang Cin Hay. Kwa Ti tidak perduli dan dia sudah mencabut goloknya menyerang ke arah Song Tek Hin. Akan tetapi, Cin Hay menggerakkan kakinya maju ke depan dan kaki kirinya menyambar ke arah lutut kaki kanan orang pertama dari Wei-ho Cap-sha-kwi itu.

   Kwa Ti melihat tendangan ke arah lututnya, cepat dia menahan serangannya dan mengayun golok besar yang tadi diangkat ke atas kepala itu ke bawah, membabat ke arah kaki Cin Hay yang menendang. Gerakannya cepat dan amat kuat sehingga kini berbalik Cin Hay yang terancam kakinya! Akan tetapi, tentu saja Cin Hay melihat ancaman bahaya ini dan diapun sudah menarik kembali kakinya dan pada saat golok itu menyambar lewat, secepat kilat kaki kanannya bergerak menendang ke arah lutut kaki kiri Kwa Ti.

   Tendangan ini selain cepat sekali, juga tidak terduga datangnya. Kwa Ti terkejut dan mencoba untuk meloncat ke belakang, namun dia kalah cepat sehingga ujung sepatu Cin Hay masih sempat mencium pinggir lututnya. Kwa Ti terhuyung dan hampir jatuh! Hal ini membuat dia dan kawan-kawannya menjadi marah sekali. Mereka semua mencabut golok dan segera tigabelas orang penjahat itu sudah mengepung Cin Hay dengan golok di tangan dan sikap mengancam. Song Tek Hin sudah menjauhkan diri dan hanya menjadi penonton karena dia maklum bahwa kepandaian silatnya belum memadai untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai seperti Wei-ho Cap-sha-kwi.

   Tigabelas orang jagoan itu baru saja mengalami kepahitan ketika mereka dikalahkan dengan mudah oleh Hek-sim Lo-mo. Mereka itu adalah segerombolan orang yang terbiasa memaksakan kehendak dan selama ini merasa diri mereka paling jagoan. Akan tetapi sungguh mengejutkan hati mereka betapa mereka dengan amat mudahnya dibuat tak berdaya oleh Hek-sim Lo-mo. Hal ini menyadarkan mereka bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang lebih pandai dari pada mereka.

   Pengalaman itu membuat mereka kini lebih berhati-hati dan menghadapi pemuda yang katanya berjuluk Pendekar Naga Putih ini, mereka mengepung ketat dan mempergunakan Cap-sha-tin (Barisan Tigabelas) yang rapi dan kuat. Mereka membuat gerakan melingkari Cin Hay, melangkah perlahan-lahan mengelilinginya, makin lama gerakan kaki mereka semakin cepat dan mereka kini bahkan berlari-lari mengitari pemuda itu. Lingkaran merekapun berubah-ubah, kadang-kadang melebar dan kadang-kadang menyempit.

   Cin Hay maklum bahwa dia dikepung oleh tigabelas orang yang selain jahat dan kejam, juga amat pandai mempergunakan golok, terutama sekali agaknya mereka sudah terlatih baik dalam bekerja sama dan membentuk barisan golok. Dia dapat menduga akan bahayanya barisan seperti ini, maka, diapun berdiri di tengah dengan tegak, sikapnya tenang sekali dan dia membiarkan mereka itu mengelilinginya, tanpa bergerak, hanya kedua matanya saja yang memandang ke kanan kiri dengan sikap waspada, juga kedua telinganya dipasang dengan penuh perhatian untuk berjaga diri.

   Dari mendiang gurunya, Pek I Lojin, dia mempelajari berbagai ilmu silat yang tinggi, yang membuat dia tidak khawatir menghadapi pengepungan tigabelas orang bersenjata golok itu walaupun dia sendiri bertangan kosong. Dari gurunya dia memperoleh kepandaian yang istimewa, yang membuat segala benda yang ada, bahkan pasir dan tanah, dapat menjadi senjata yang ampuh. Juga kaki tangannya merupakan senjata yang ampuh.

   Tiba-tiba Kwa Ti mengeluarkan bentakan nyaring sebagai aba-aba untuk memulai serangan. Barisan itu membalik dan menyerang Cin Hay secara tiba-tiba dan serentak. Tigabelas batang golok menyambar-nyambar, setiap kali serangan maju tiga batang golok, bergelombang sampai empat kali, didahului oleh gerakan bacokan golok di tangan Kwa Ti! Sungguh merupakan gelombang serangan yang dahsyat dan teratur baik sekali.

   Namun, Cin Hay bersikap tenang. Dia melihat datangnya serangan-serangan itu dan dengan kelincahan tubuhnya yang luar biasa, dia menggerakkan tubuhnya menyelinap di antara sinar golok. Kaki tangannya tidak tinggal diam. Kecepatannya jauh melampaui gerakan para pengeroyoknya dan diapun dapat mengelak, menangkis atau mendahului lawan dengan sambaran kakinya. Gagallah gelombang serangan pertama itu, bahkan sebaliknya, beberapa orang di antara mereka ada yang mengaduh karena paha atau perut mereka kena dicium sepatu Cin Hay!

   Serangan kedua datang dengan cara yang lebih dahsyat lagi karena kini tigabelas batang golok itu menyerang secara bertubi dan bersambung, juga mereka itu saling menjaga. Seorang penyerang selalu dijaga oleh dua orang kawan sehingga mereka menyerang dengan tenaga penuh tanpa membagi tenaga untuk berjaga diri karena dirinya telah dilindungi dua orang kawan.

   Cin Hay menghadapi gelombang serangan kedua ini dengan cara lain. Dia mengelak dari serangan lawan dengan loncatan-loncatan tinggi, kemudian dia membalas menyerang, bukan pada penyerangnya melainkan kepada dua orang pelindung penyerang itu. Dengan demikian, kembali barisan menjadi kacau balau, apa lagi gerakan Cin Hay menyambar-nyambar dari atas sungguh mengejutkan mereka. Seolah-olah pemuda itu berubah menjadi seekor naga yang melayang-layang dan menyerang dari angkasa.

   Kini, gelombang serangan kedua itu mengakibatkan Cap-sha-kwi menderita rugi lebih besar lagi karena dua orang di antara mereka roboh dengan kesakitan dan untuk sementara tidak mampu melakukan penyerangan lagi. Tentu saja barisan tigabelas orang ini menjadi pincang dan kacau balau.

   Tiba-tiba Wei-ho Cap-sha-kwi mundur dan membuka kepungan, memberi jalan bagi mereka yang baru datang untuk menghadapi Cin Hay. Pemuda baju putih ini mengangkat muka, memandang penuh perhatian. Lima orang yang muncul dan perlahan-lahan melangkah maju menghampirinya itu sungguh menarik sekali, mendatangkan perasaan seram dan Cin Hay segera dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang lihai dan merupakan calon-calon lawan yang tangguh sekali.

   Dugaan Cin Hay memang tidak keliru. Lima orang yang muncul itu adalah pembantu-pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo!

   Di hari-hari terakhir pembuatan pedang pusaka, para pembantu utama Hek-sim Lo-mo sudah berkumpul di tempat itu, ikut melakukan penjagaan seperti yang diperintahkan oleh Hek-sim Lo-mo. Mereka tadi mendengar akan keributan ketika Cap-sha-kwi mengeroyok Cin Hay, dan mereka segera datang ke tempat itu. Diam-diam mereka terkejut juga melihat betapa seorang pemuda berpakaian putih membuat kepungan Cap-sha-kwi menjadi kacau balau.

   Cin Hay mengamati mereka dengan penuh perhatian. Yang melangkah di sudut kiri adalah seorang laki-laki tinggi kurus, berusia kurang lebih limapuluh tahun, dan mata kirinya buta, tertutup dan tidak ada biji matanya lagi. Itulah Yauw Ban yang berjuluk Tok-gan-liong (Naga Mata Satu), seorang yang amat lihai dengan pedang tunggalnya.

   Di sampingnya berjalan Kiu-bwe Mo-li. Wanita berusia empatpuluh dua tahun yang pesolek dan genit, akan tetapi di balik bedak tebal itu terdapat wajah yang keriput. Sebatang cambuk ekor sembilan nampak berjuntai di balik punggungnya, seperti sebuah panji. Ia merupakan pembantu kedua yang amat tangguh, kejam dan dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo.

   Orang ketiga adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, seorang pria berusia tigapuluh tahun lebih yang tampan dan gagah, bersikap halus seperti seorang pelajar. Biarpun tingkat kepandaiannya tidak setinggi Yauw Ban atau Kiu-bwe Mo-li, namun pria cabul yang sudah banyak mengganggu wanita ini lihai bukan main. Adapun orang keempat dan kelima adalah sepasang orang kembar yang terkenal dengan julukan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis He-nan), terkenal sekali dengan golok mereka, apalagi kalau mereka maju bersama.

   Yauw Ban merupakan pembantu utama atau orang nomor satu di antara semua pembantu Hek-sim Lo-mo. Kini dia sudah berada di depan Cin Hay dan mengamati pemuda ini dengan penuh perhatian, dan memandang kepada Song Tek Hin, hanya sepintas saja lalu kembali menghadapi Cin Hay.

   Dia melihat seorang laki-laki muda yang tampan, bertubuh sedang saja dan sama sekali tidak kelihatan mengesankan atau menakutkan, kecuali bahwa sepasang mata itu nampak penuh ketenangan, penuh keberanian dan mencorong seperti mata seekor naga atau harimau. Akan tetapi karena Yauw Ban percaya akan kepandaiannya sendiri, apa lagi di situ terdapat kawan-kawannya yang merupakan orang-orang lihai, sedikit banyak dia memandang rendah kepada Cin Hay.

   "Orang muda, siapakah engkau berani membikin ribut di tempat ini?"

   Cin Hay memang hendak menyelidiki keadaan Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya di tempat itu, dan menyelidiki pula tentang Kim-san Liong-cu yang terjatuh ke tangan Hek-sim Lo-mo, maka diapun
(Lanjut ke Jilid 10)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 10
bersikap tenang dan sabar.

   "Namaku Tan Cin Hay dan sahabatku ini bernama Song Tek Hin. Kami hendak mengunjungi paman Thio Wi Han, akan tetapi kami dihalang-halangi oleh mereka yang mengaku bernama Cap-sha-kwi ini."

   Mendengar pemuda itu menyebut "paman" kepada Thio Wi Han, Yauw Ban mengerutkan alisnya. Kalau pemuda ini masih keponakan Thio Wi Han, tentu saja sama sekali tidak boleh diganggu sebelum pedang pusaka itu jadi.

   "Apakah kalian keponakan dari Thio Wi Han?" tanyanya sambil memandang wajah Cin Hay penuh perhatian.

   Cun Hay mengangguk.

   "Benar, kami adalah keponakan beliau."

   "Yauw-toako, jangan parcaya! Dia tadi disebut Pek-liong-eng. dan jelas dia datang bukan dengan maksud baik!" teriak Kwa Ti.

   Mendengar julukan itu, Yauw Ban memandang kepada Cin Hay dengan sikap berubah dan tidak senang, Dia selalu merasa tidak senang bertemu dengan golongan pendekar yang dianggap musuhnya. Betapapun juga, dia masih takut kepada Hek-sim Lo-mo dan tidak mau sembarangan mengganggu keponakan dari Thio Wi Han.

   "Keponakan atau bukan, kalian harus menyerah kepada kami untuk kami bawa menghadap pimpinan kami dan kami tanyakan kepada Thio Wi Han apakah benar kalian adalah keponakannya."

   Tentu saja Cin Hay tidak mau menyerah. Thio Wi Han takkan mau mengakui mereka sebagai keponakan. Kenalpun belum!

   "Tidak, kami tidak mau menyerah. Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian, mengapa kami harus menyerah? Biarkan kami pergi dan mengunjungi paman Thio Wi Han, karena kamipun tidak mempunyai urusan dengan kalian," katanya.

   "Orang muda, beranikah engkau menentang kami?" Yauw Ban menghardik, marah dan mengancam.

   "Aku tidak bersalah apapun dan tidak menentang siapapun!" Cin Hay balas menghardik.

   "Lui-te, kau hajar dia!" teriak Yauw Ban, memberi perintah kepada kawannya.

   Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jai-hwa Kongcu Lui Teng tersenyum, memandang rendah kepada Cin Hay dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah meloncat dengan gerakan indah ke depan Cin Hay, langsung saja dia menampar dengan tangan kirinya, dilanjutkan dengan pukulan telapak tangan pada dada Cin Hay.

   "Wuuutt...... plakkk!" Cin Hay mengelak dari tamparan pertama dan menangkis pukulan kedua. Tamparan dan pukulan itu mengandung tenaga yang kuat sehingga mendatangkan angin. Akan tetapi tangkisan Cin Hay membuat tubuh penjahat cabul itu hampir terpelanting! Lui Teng terkejut bukan main dan diapun sudah melepas sabuk kain putihnya, lalu menyerang Cin Hay dengan totokan ujung sabuk, tamparan tangan kiri dan diseling tendangan bertubi-tubi yang kesemuanya merupakan serangan maut.

   Namun, yang diserang bertubi-tubi menghadapi semua serangan itu dengan tenang sekali. Hanya dengan gerakan kedua kaki bergeser ke belakang, kanan atau kiri, dan dengan kedua tangan menangkis, semua serangan Lui Teng dapat dipatahkan dan ketika dari samping lengan Cin Hay membalas dengan pukulan melengkung, pundak Lui Teng kena disentuh dan tubuhnya terjengkang keras!

   Untung si penjahat cabul ini memiliki gin-kang yang baik sekali sehingga dia mampu membuat salto tiga kali ke belakang untuk mematahkan kekuatan yang mendorongnya dan dia tidak sampai terbanting dan terjengkang. Akan tetapi mukanya berubah pucat dan berkeringat.

   "Siang-mo, bantu dia!" bentak Yauw Ban kepada He-nan Siang-mo.

   Dua orang kembar ini sudah menggerakkan golok di tangan mereka dan bagaikan dua orang satu otak mereka bergerak maju menyerang Cin Hay. Jai-hwa Kongcu Lui Teng juga sudah maju lagi memutar sabuk putihnya dengan penuh semangat terdorong oleh rasa marah dan penasaran.

   Cin Hay dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tangguh. Namun, tidak sia-sia mendiang Pek I Lojin, kakek sakti itu, menggembleng Cin Hay selama tujuh tahun dan mewariskan semua ilmu simpanan dan andalannya.

   Dengan gerakan yang mantap, penuh tenaga sakti, dan dengan keringanan tubuhnya, pemuda berpakaian putih itu berkelebatan dan bentuk tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan putih yang menyelinap di antara gulungan sinar golok dan sabuk putih, selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran senjata tiga orang pengeroyoknya, bahkan setiap kali dia membalas, tiga orang pengeroyok itu terdesak dan terancam hebat. Beberapa kali He-nan Siang-mo terhuyung, dan Lui Teng telah terkena tendang pahanya sehingga gerakan kakinya agak terpincang dan tidak leluasa lagi.

   Yauw Ban dan Kiu-bwe Mo-li diam-diam terkejut, terutama sekali Kiu-bwe Mo-li. Baru saja ia bertemu dengan Liong-li yang terhitung sumoinya sendiri, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sehingga ia sendiri kewalahan menghadapi Liong-li, dan kini muncul Pendekar Naga Putih yang demikian lihainya sehingga dikeroyok tiga oleh Lui Teng dan He-nan Siang-mo sama sekali tidak kewalahan bahkan membuat tiga orang lihai itu selalu terdesak!

   Tanpa dikomando lagi, Kiu-bwe Mo-li menggerakkan cambuk ekor sembilan di tangannya, cambuk itu meledak-ledak dan berubah menjadi gulungan sinar hitam yang amat berbahaya. Juga Yauw Ban sudah mencabut pedangnya dan ikut pula mengeroyok.

   Melihat gerakan kedua orang ini, diam-diam Cin Hay terkejut. Dua orang ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga orang pengeroyok pertama, pikirnya. Mereka ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Maka diapun mengeluarkan suara melengking dan gerakannya menjadi semakin cepat, kaki tangannya mengeluarkan angin pukulan yang semakin kuat.

   Timbul kekhawatiran di hati Cin Hay ketika dia melihat betapa Song Tek Hin juga sudah dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kwi. Pemuda itu melawan sekuatnya dan mengamuk, namun setelah lewat belasan jurus, dia menjadi bulan-bulan pukulan dan akhirnya ditangkap dan dibelenggu!

   Hal ini menimbulkan kekhawatiran di dalam hati Cin Hay dan dia mengamuk. Sebuah tendangan keras mengenai dada Can Siong, orang kedua dari He-nan Siang-mo. Can Siong terjungkal dan terengah-engah, tidak dapat melanjutkan serangan. Sementara itu, Cap-sha-kwi juga mulai mengepung dan mengeroyok.

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Mundur semua! Mundur dan jangan lanjutkan pengeroyokan ini!"

   Melihat bahwa yang membentak itu adalah Thio Wi Han, Yauw Ban lalu berteriak menyuruh kawan-kawannya mundur. Sementara itu, Cin Hay memandang dan dia tidak tahu siapa adanya kakek gagah yang menghentikan pengeroyokan itu. Dia seorang yang cukup cerdik. Dia tidak percaya bahwa datuk sesat yang disebut Hek-sim Lo-mo begini gagah dan lembut, dan karena dia tidak yakin siapa adanya kakek itu, dia lalu menghadapi kakek itu, memberi hormat dan berkata,

   "Saya Tan Cin Hay ingin sekali berkunjung ke rumah Paman Thio Wi Han, akan tetapi, mereka ini menghalangiku."

   "Thio locianpwe, benarkah pemuda ini adalah keponakanmu?" Yauw Ban bertanya dan pertanyaannya ini menunjukkan bahwa Yauw Ban lebih pandai menggunakan pedangnya dari pada otaknya. Tentu saja Cin Hay menjadi girang karena dia kini yakin bahwa dia berhadapan dengan Thio Wi Han, pembuat pedang pusaka itu.

   "Paman Thio, lihat, mereka bahkan telah menawan Song Tek Hin, seorang keponakanmu yang lain," katanya menunjuk ke arah Song Tek Hin yang sudah dibelenggu kedua tangannya dan dikawal oleh Cap-sha-kwi.

   Kakek itu sejenak memandang kepada Cin Hay, lalu kepada Tek Hin dan dia mengangguk.

   "Benar, mereka adalah keponakan-keponakanku, dan aku minta agar dia dibebaskan dari belenggu."

   Yauw Ban dan kawan-kawannya ragu-ragu, akan tetapi kakek itu membentak lagi walaupun suaranya tetap halus.

   "Cepat bebaskan dia! Kalian ini tamu-tamu yang sama sekali tidak tahu aturan, keluarga tuan rumah bahkan diganggu dan ditawan!"

   Yauw Ban menjadi serba salah dan terpaksa dia memberi isyarat kepada Kwa Ti, orang pertama Cap-sha-kwi, untuk membebaskan Tek Hin. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dan muncullah seorang kakek lain yang membuat Cin Hay terkejut sekali.

   Kakek tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan, matanya lebar, kumis, cambang dan jenggotnya lebat sekali, pakaiannya seperti pakaian hartawan dengan jubah pendeta berwarna merah, usianya lebih dari enampuluh tahun. Seorang yang menyeramkan dan tanpa diperkenalkan diapun dapat menduga bahwa tentu inilah yang disebut Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Datuk Iblis! Dari kemunculannya saja yang demikian tiba-tiba mendatangkan angin keras, dapat diketahui bahwa kakek ini berilmu tinggi!

   "Jangan bebaskan dia dulu!" katanya dan dia menghadapi Thio Wi Han.

   Thio Wi Han menghadapi Hek-sim Lo-mo dengan sikap dingin.

   "Hemmm, kiranya engkau yang datang. Hek-sim Lo-mo. Lihat, orang-orangmu mengganggu dua orang keponakanku yang datang untuk berkunjung kepada paman dan bibinya."

   Hek-sim Lo-mo tidak kelihatan membuka mulutnya, namun terdengar suara ketawa dari dalam dadanya.

   "Ha-ha-ha-ha! Thio Wi Han, saat ini engkau sedang mengerjakan sesuatu yang amat penting dan sebelum pekerjaan itu selesai, tidak boleh ada orang lain mengganggumu. Biarlah kedua orang keponakanmu ini menjadi tamu-tamuku lebih dulu. Setelah pekerjaanmu selesai, barulah mereka akan kulepaskan dan beramah-tamah denganmu."

   Cin Hay mendapatkan kesempatan untuk mencoba sampai di mana kelihaian pimpinan dari gerombolan jahat yang kini menguasai Kim-san Liong-cu itu, maka sebelum Thio Wi Han menjawab, dia sudah mendahului dan melangkah maju menghadapi kakek raksasa hitam itu dalam jarak dua meter.

   "Hek-sim Lo-mo!" katanya dengan lantang.

   "Paman Thio adalah seorang tua yang terhormat dan kini menjadi tuan rumah di tempat tinggal sendiri. Engkau dan anak buahmu hanya tamu-tamu, bagaimana kalian yang kini hendak menetapkan peraturan? Sungguh tidak tahu diri. Aku berani bertaruh bahwa kedatanganmu inipun tentu hanya untuk minta tolong kepada paman Thio untuk membuatkan sesuatu. Kalau kalian sebagai tamu tidak setuju dengan peraturan paman Thio yang menjadi tuan rumah, silakan kalian angkat kaki dan pergi dari sini sekarang juga!"

   Semua orang, termasuk Thio Wi Han sendiri, terbelalak mendengar ucapan pemuda pakaian putih itu. Betapa lancangnya! Betapa beraninya! Juga Hek-sim Lo-mo sendiri melotot, bukan karena marah melainkan lebih karena heran ada orang berani bersikap dan berkata seperti itu kepadanya, dan yang bicara itu seorang muda lagi!

   Kemudian dia tertawa, sekali ini dia membuka mulut sehingga suara ketawanya mendatangkan getaran dahsyat sekali. Beberapa orang anak buah Cap-sha-kwi sampai terjungkal karena lutut mereka seperti lumpuh mendengar suara ketawa yang getarannya amat kuat itu! Tentu saja Cin Hay maklum bahwa datuk ini mengerahkan tenaga khi-kang dalam suara ketawa itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaga dan tidak berpengaruh sedikitpun juga.

   "Hoa-ha-ha-ha! Engkau orang muda, anak kecil yang masih ingusan, tentu engkau belum mengenal siapa aku maka berani bersikap seperti ini!"

   Dengan sengaja Cin Hay mengeluarkan kata-kata keras yang dimaksudkan untuk memancing kemarahan datuk itu.

   "Engkau keliru, Hek-sim Lo-mo. Aku mengenal siapa engkau. Aku sudah mendengar bahwa Kiu Lo-mo, Sembilan Iblis Tua, telah turun ke dunia untuk membikin kacau dan engkau adalah seorang di antara mereka. Tadinya kusangka bahwa Kiu Lo-mo adalah iblis-iblis tua yang melakukan hal-hal besar, tidak tahunya engkau seorang di antara mereka, hanyalah seorang penjahat kecil saja yang mengandalkan banyak anak buah untuk menekan seorang bijaksana seperti paman Thio ini dan bertindak sewenang-wenang. Hemm, kalau begitu, nama besarmu hanya akan menjadi buah tertawaan orang sedunia kang-ouw, Hek-sim Lo-mo!"

   Wajah Thio Wi Han menjadi pucat. Celaka, pikirnya. Pemuda ini sudah gila rupanya, terlalu berani dan tentu dia akan mati setelah berani mengeluarkan ucapan menghina seperti itu kepada Hek-sim Lo-mo yang sakti!

   Wajah yang hitam dari Hek-sim Lo-mo menjadi semakin hitam ketika darah naik ke kepalanya. Ada uap mengepul dari kepala itu, tanda bahwa kepalanya panas dan dia marah bukan main.

   "Anjing kecil, engkau layak mampus!" katanya dan tiba-tiba dia mendorongkan kedua tangannya ke depan, telapak tangannya menghadap ke arah Cin Hay.

   Pemuda ini sudah menduga bahwa kakek datuk itu sakti, maka dia tidak berani memandang rendah. Cepat diapun menekuk kedua kakinya, mengerahkan sinkang sekuatnya dan diapun mendorongkan kedua telapak tangan ke depan.

   Dua tenaga raksasa bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cin Hay terdorong mundur sampai beberapa meter sedangkan tubuh Hek-sim Lo-mo bergoyang-goyang! Akan tetapi, Cin Hay tidak terluka dan tidak terjengkang. Dia tadi mengerahkan sinkang dan menggunakan tenaga lemas untuk menahan dorongan yang amat kuat itu, maka dia terdorong mundur namun tidak terluka.

   Hek-sim Lo-mo yang tadinya sudah tersenyum kemenangan, kini terbelalak dan mulutnya ternganga melihat betapa pemuda yang terdorong mundur itu masih dalam keadaan memasang kuda-kuda dan bahkan tersenyum, sedikitpun tidak terluka atau roboh! Dia menurunkan kedua tangannya dan memandang, matanya mencorong penuh rasa marah dan penasaran. Cin Hay meloncat lagi ke depan, kini dalam jarak kurang dari dua meter di depan kakek itu.

   "Tenagamu memang kuat Hek-sim Lo-mo, akan tetapi belum cukup kuat untuk merobohkan aku. Apakah engkau masih memiliki ilmu lain yang lebih hebat?" Cin Hay memang sengaja menantang, dan tadipun dia sengaja menyebut tentang penggunaan anak buah agar datuk itu tersinggung dan menyerangnya tanpa mengandalkan pengeroyokan anak buahnya.

   Dan bakarannya ini berhasil baik sekali. Hek-sim Lo-mo menjadi marah dan dari kedua matanya seperti keluar api, hidungnya mendengus tiga kali seperti seekor kuda yang marah.

   "Bocah sombong, makin lama semakin kurang ajar engkau! Kalau belum dihajar, takkan tahu siapa sesungguhnya Hek-sim Lo-mo!" katanya dan tubuhnya menerjang ke depan.

   Biarpun usianya sudah enampuluh tiga tahun lebih, dan tubuhnya tinggi besar, namun serangan ini sungguh mengejutkan karena gerakannya cepat bukan main, seperti seekor biruang yang marah. Tahu-tahu dia telah menyerang dari kanan kiri dengan kedua tangan yang berlengan panjang.

   Melihat gerakan kedua lengan itu, sungguh mirip dua ekor ular besar yang menyambar mangsanya dengan moncong dibuka lebar. Dan memang kakek ini seorang yang memiliki ilmu silat ular yang amat berbahaya. Lengannya dapat bergerak cepat sekali seperti ular, meliak-liuk dan tangannya membentuk kepala ular dengan moncong dibuka, kuku-kuku kedua tangan itu seperti gigi-gigi ular yang beracun.

   Cin Hay tidak berani memandang rendah. Pernah mendiang gurunya bercerita tentang nama besar Kiu Lo-mo yang merupakan sembilan orang datuk sesat yang amat tinggi ilmunya. Diapun cepat mengerahkan tenaga sin-kang dan mempergunakan kelincahan tubuhnya dan langkah-langkah kaki untuk menghindarkan semua serangan lawan dan membalas secepatnya dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan maut.

   Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Angin pukulan menyambar-nyambar, bahkan kadang-kadang mengeluarkan suara angin bercuitan, orang-orang mundur teratur, tidak berani mendekat karena amat berbahaya kalau kena disambar pukulan sehebat itu.

   Tubuh kedua orang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua bayangan orang yang saling serang, bayangan putih dan bayangan merah. Kadang-kadang terdengar dua benda bertemu, yaitu kedua lengan mereka saling bertemu membawa tenaga sin-kang yang kuat sekali sehingga benturan kedua tengan itu terasa getarannya oleh semua orang.

   Namun, Cin Hay sungguh merupakan seorang pendekar muda yang hebat dan gigih sekali. Gerakan-gerakannya mantap, dan sama sekali dia tidak sampai terdesak karena dia membalas setiap serangan lawan dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Beberapa kali kalau serangannya nyaris mengenai lawan namun tetap dapat terelakkan, atau kalau lengan mereka saling bertemu dengan dahsyatnya, Hek-sim Lo- mo mengeluarkan suara gerengan seperti suara binatang buas.

   "Hyaattt!" tiba-tiba Hek-sim Lo-mo membentak dan tangan kanannya memukul dengan kuatnya ke arah kepala Cin Hay. Pemuda ini cepat mengelak ke kiri sambil membuat tangkisan melingkar dengan tangan kanannya. Akan tetapi, tangan kanan Hek-sim Lo-mo membalik ke bawah dan menangkap pergelangan tangan Cin Hay.

   Cin Hay segera mengerahkan sin-kangnya untuk menjaga lengan yang tertangkap, memutar kaki dan tangan kirinya mencuat ke arah mata kanan lawan! Serangan ini berbahaya sekali sehingga Hek-sim Lo-mo terpaksa melepaskan cengkeramannya dan menangkis, tangan kirinya menyambar dari bawah ke arah ulu hati lawan. Cin Hay memapaki serangan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.

   "Plakkkk!" kedua tangan bertemu saling dorong dan tubuh Cin Hay terdorong mundur sampai setombak. Dia cepat membalikkan tubuhnya karena pada saat itu dia mendengar angin pukulan lawan kembali datang.

   Dengan melangkah mundur, Cin Hay merasa yakin bahwa pukulan itu tidak akan dapat mencapai tubuhnya. Akan tetapi lengan lawan itu terus mulur dan biarpun jarak mereka ada dua meter, tangan itu masih menyambar ke arah mukanya! Baru tahulah Cin Hay bahwa lawannya memiliki ilmu yang aneh itu, yaitu lengannya dapat mulur seperti karet!

   "Ihhhh!" Dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik. Nyaris mukanya kena dicengkeram sehingga keringat dingin membasahi leher Cin Hay yang merasa ngeri. Lawannya sungguh lihai bukan main!

   Ketika dia melompat lagi menghadapi lawan, Cin Hay lalu melakukan gerakan aneh dan dia mulai mainkan jurus-jurus aneh dari ilmu silat Pek-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Putih) ciptaan gurunya yang telah dikuasainya dengan sempurna dan yang jarang dia mainkan. Kini, bertemu dengan lawan yang demikian saktinya, yang dalam segala hal bahkan lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengannya, terpaksa dia mengeluarkan ilmu silat simpanannya itu.

   Kembali terjadi saling serang yang hebat dan dengan ilmu silat Pek-liong Sin-kun ini, Cin Hay bukan saja dapat membendung semua gerakan lawan, bahkan dapat membalas dan membuat datuk itu agak kerepotan karena Hek-sim Lo-mo sama sekali tidak mengenal ilmu silat yang aneh dan berbahaya itu.

   "Plakkk!" Dengan desakan sebuah jurus yang ampuh, tangan kiri Cin Hay berhasil menampar pundak lawan.

   Tidak hebat memang, namun cukup membuat Hek-sim Lo-mo menggereng karena malu dan marah! Dia membalas dengan dorongan tangan kirinya ke arah leher Cin Hay. Pemuda ini memiringkan tubuh sehingga dorongan tangan itu lewat di atas pundaknya, akan tetapi tiba-tiba tangan yang mulur panjang itu membalik dan menyerangnya dari belakang dengan cengkeraman!

   Cin Hay terkejut, namun tidak gugup karena dia sudah tahu bahwa lengan lawannya dapat mulur. Sambil miringkan tubuh, dia menangkis tangan yang datang dari belakang tadi, dan tangan yang lain menusukkan jari ke arah mata lawan.

   Hek-sim Lo-mo semakin marah karena semua akalnya dapat dipunahkan oleh Cin Hay. Dia mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia memutar pedang dan menyerang dengan dahsyatnya! Cin Hay cepat mengelak dan berloncatan, namun ilmu pedang kakek itu sungguh dahsyat bukan main, membuat Cin Hay segera terdesak! Cin Hay kini terdesak dan terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan dia maklum bahwa kini dia benar-benar terancam.

   Ketika dia meloncat untuk menghindarkan babatan pedang ke arah kakinya, dia disambut tangan kiri yang mulur dan pukulan menyerempet bahunya, membuat dia terjatuh! Pedang menyambar ganas dan Cin Hay masih berhasil menghindarkan diri dengan bergulingan, dikejar oleh gulungan sinar pedang!

   Pada saat itu, Thio Wi Han meloncat ke depan.

   "Tahan, Hek-sim Lo-mo!"

   Melihat kakek ini menghadang, hampir saja Hek-sim Lo-mo membabatkan pedangnya. Akan tetapi dia teringat akan pesanan pedang pusaka, maka dia menahan pedangnya dan memandang kepada pembuat pedang itu dengan mata melotot.

   "Minggirlah, Thio Wi Han. Akan kubunuh setan cilik itu!" bentaknya.

   "Tidak, Hek-sim Lo-mo. Kalau engkau membunuh kedua orang pemuda itu, aku tidak akan menyelesaikan pesanan pedangmu, biar kaubunuh pun aku tidak akan mau menyelesaikan!" katanya ketika melihat betapa Yauw Ban sudah berada di sampingnya dan menempelkan pedang di lehernya. Sikap kakek ini gagah dan berwibawa, sedikitpun tidak memperlihatkan kekhawatiran atau ketakutan.

   "Tan Cin Hay, menyerah kau, atau kami akan lebih dulu membunuh kakek Thio Wi Han dan saudaramu itu!" kata Yauw Ban.

   Cin Hay melirik dan melihat betapa sebatang golok ditempelkan pula di leher Song Tek Hin. Melihat Cin Hay menoleh kepadanya, Tek Hin yang sudah ditempeli golok di lehernya itu berteriak.

   "Taihiap, jangan perdulikan aku. Aku tidak takut mampus! Sebaiknya engkau basmi srigala-srigala jahat ini sebelum mereka menyebar kejahatan kepada orang lain!"

   "Plakk!" Seorang di antara Cap-sha-kwi menampar mulutnya dan bibir pemuda itu penuh berdarah. Namun, Tek Hin tidak menjadi gentar.

   "Biar mereka menyiksaku, membunuhku, aku tidak takut. Jangan mau menyerah, taihiap! Mereka ini curang dan licik!" kembali dia berteriak.

   "Hek-sim Lo-mo! Kalau engkau tidak membebaskan kedua orang pemuda itu, sungguh mati aku tidak sudi menyelesaikan pedangmu!" Thio Wi Han berteriak lagi mengancam.

   Sejenak saja Hek-sim Lo-mo bimbang, lalu dia menyimpan pedangnya.

   "Aku tidak akan membunuh mereka, akan tetapi mereka berdua itu harus menjadi tawananku dan baru akan kubebaskan setelah engkau menyelesaikan pedang-pedangku!"

   Thio Wi Han bimbang, akan tetapi Cin Hay yang mengkhawatirkan keselamatan kakek itu dan Tek Hin, berkata kepadanya.

   "Paman Thio, biarlah aku dan Tek Hin menjadi tawanan. Sebagai seorang datuk besar, tentu Hek-sim Lo-mo tidak akan melanggar janjinya."

   THIO WI HAN mengangguk. Dia tadipun melihat bahwa betapa lihainya pun Cin Hay, pemuda itu masih belum dapat mengalahkan Hek-sim Lo-mo yang amat lihai ilmu pedangnya. Untuk sementara ini, yang penting adalah menghindarkan dua orang pemuda itu dari maut.

   "Baiklah, Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi engkau berjanjilah dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan membunuh kedua orang pemuda ini, dan akan membebaskan mereka setelah pedang-pedang itu kuselesaikan."

   Hek-sim Lo-mo menyeringai.

   "Aku berjanji."

   Lalu kepada Yauw Ban dan kawan-kawannya dia memerintah.

   "Tangkap mereka, belenggu kaki tangan mereka, akan tetapi jangan disiksa dan jangan diganggu!"

   Cin Hay tidak melihat jalan lain kecuali menyerah, ketika kaki dan tangannya dipasangi rantai baja. Kalau dia melawan, tentu Thio Wi Han dan Song Tek Hin mereka bunuh. Juga dia tadi sudah merasakan kelihaian Hek-sim Lo-mo. Datuk itu saja dia tidak mampu kalahkan, apa lagi kalau datuk itu dibantu oleh semua anak buahnya yang rata-rata amat lihai. Akan tetapi Song Tek Hin marah-marah dan kecewa sekali melihat Cin Hay menyerah.

   "Tai-hiap, engkau kena ditipu! Kalau engkau menyerah, akhirnya mereka ini tentu akan membunuh pula engkau, aku dan paman Thio! Sia-sia saja pengorbananmu. Kalau engkau melawan, biarlah mereka memhunuhku, aku tidak penasaran karena engkau tentu akan berhasil membasmi mereka."


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis