Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 05

 



   Setelah menjadi datuk yang kekuasaannya meliputi wilayah dua propinsi itu, hampir semua tokoh dunia hitam tunduk kepada Hek-sim Lo-mo. Ada memang beberapa orang tokoh yang belum pernah mengenal kelihaiannya, merasa kurang percaya dan enggan untuk tunduk atau takluk. Dan ada beberapa tokoh yang cukup tangguh sehingga terpaksa Hek-sim Lo-mo harus turun tangan sendiri menaklukkannya dengan ilmu kepandaiannya yang luar biasa!

   Dan kabarnya, tidak ada seorangpun tokoh sesat pembangkang yang sanggup menandinginya lebih dari sepuluh jurus! Beberapa orang tokoh yang dinilai cukup lihai dan berharga untuk menjadi pembantunya, yang tadinya membangkang, tidak dibunuhnya melainkan ditundukkan dan diangkat menjadi pembantu yang boleh diandalkan.

   Pada suatu malam, para pembantu Hek-sim Lo-mo datang menghadap seperti biasa. Pertemuan seperti itu diadakan sedikitnya sebulan sekali, dan malam itu, atas permintaan Hek-sim Lo-mo, mereka datang untuk membuat laporan. Hek-sim Lo-mo yang seolah-olah menjadi raja di antara kaum sesat itu, menerima paras pembantunya dengan gembira, dengan pesta pora.

   Ruangan yang luas itu dipergunakan untuk menjamu para pembantunya, bahkan mengundang gadis-gadis panggilan, juga rombongan gadis pemain musik, tari dan nyanyi, untuk menghibur pertemuan antara dia dan para pembantunya itu. Memang, terhadap para pembantunya, Hek-sim Lo-mo bersikap royal, dan diapun melimpahkan banyak barang berharga untuk mereka.

   Ruangan yang luas itu terang benderang karena banyaknya lampu yang dipasang. Juga ruangan itu dihias dengan kain sutera warna-warni, dan karena banyak gadis cantik melayani, maka pesta itu meriah bukan main. Seperti biasa, sebelum menerima laporan dan merundingkan urusan yang timbul dalam wilayah kekuasaan Hek-sim Lo-mo, datuk ini lebih dulu menjamu para pembantunya dengan makanan yang mewah, dan minum arak nomor satu, juga menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan oteh rombongan gadis penari yang muda-muda dan cantik.

   Terjadilah pesta mabok-mabokan dan penuh kecabulan. Para tokoh sesat yang menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo itu sebagian besar adalah tokoh-tokoh jahat terkemuka di dunia kang-ouw, dan mereka adalah orang-orang kasar yang tidak segan-segan melakukan perbuatan tanpa susila di depan siapa saja.

   Melihat para gadis panggilan yang melayani mereka itu muda-muda dan cantik-cantik, maka merekapun tanpa malu-malu lagi menggoda dan mempermainkan mereka, mencubit, mencolek, meraba, bahkan ada yang memangku dan menciumi seorang gadis panggilan yang hanya terkekeh genit! Tentu saja tidak sampai berkelanjutan ke hubungan yang lebih intim.

   Untuk kesempatan itu, akan diberikan oleh Hek-sim Lo-mo setelah rapat selesai sehingga pesta ini juga merupakan "pemanasan" bagi para pembantu yang diam-diam telah memilih gadis pilihan masing-masing untuk menemani mereka malam nanti. Kamar-kamar untuk para pembantu itu telah disediakan di bagian belakang, kamar-kamar yang cukup mewah untuk menyenangkan hati para pembantunya.

   Setelah makan minum selesai, rapatpun dimulai. Tempat itu dibersihkan dari sisa-sisa pesta, meja-meja disingkirkan, diganti meja yang panjang di kelilingi kursi-kursi untuk para pembantu, sedangkan kursi besar berada di kepala meja, tempat duduk Hek-sim Lo-mo. Ruangan itu menjadi lega dan luas, dan para gadis itupun disuruh mundur.

   Hek-sim Lo-mo nampak duduk di kepala meja. Dia seorang laki-laki yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, sedikitnya enampuluh tiga tahun. Namun, tubuhnya yang tinggi besar itu masih nampak tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya kasar, berbentuk segi empat dengan kulit muka kasar menghitam yang setengahnya, di bagian bawah, penuh dengan kumis jenggot dan cambang.

   Sepasang matanya bulat dan besar, memiliki sinar tajam mencorong dan mulutnya selalu menyeringai karena bibirnya terlalu pendek untuk dapat menutup pintu mulutnya. Hidungnya juga besar dan bulat seperti buah terong muda. Bagian tubuh yang kelihatan seperti leher, sebagian lengan karena dia menggulung lengan bajunya, dilingkari otot-otot yang menonjol dan menggembung, membayangkan kekuatan yang dahsyat.

   Pakaiannya seperti pakaian hartawan, mewah, dari sutera mahal beraneka warna, dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang indah pula, sulaman bunga dan burung Hong. Di luar bajunya, dia mengenakan jubah panjang berwarna mortal seperti yang biasa dipakai oleh pendeta-pendeta. Dia tidak nampak membawa senjata, akan tetapi orang tidak tahu apa yang tersembuyi di balik jubah lebar itu. Sepatunya mengkilat, dari kulit tebal yang kuat. Biarpun usianya sudah enampuluh tiga tahun, namun kumis, jenggot dan rambut kepalanya masih hitam, kaku dan keras seperti kawat-kawat saja.

   Tidak ada yang tahu dari mana asalnya Hek-sim Lo-mo dan tidak ada yang berani menanyakannya. Melihat bentuk muka dan kulitnya, mungkin dia peranakan India atau Nepal, setidaknya dia tentu berasal dari daerah barat. Namanya menjulang tinggi dan ditakuti ketika tersiar berita betapa Hek-sim Lo-mo pada puluhan tahun yang lalu, pernah bermusuhan dengan perkumpulan Kui-san-pang dan kabarnya, dalam perkelahian di mana Hek-sim Lo-mo dikeroyok oleh semua pimpinan dan anak buah Kui-san-pang, datuk ini telah menewaskan seluruh anggauta Kui-san-pang yang jumlahnya tidak kurang dari seratus limapuluh orang!

   Belum ada yang membuktikan kebenaran berita ini, akan tetapi kenyataannya, Kui-san-pang terbasmi dan tidak tersisa lagi anggautanya, pada hal perkumpulan itu terkenal sekali sebagai perkumpulan yang memiliki banyak orang pandai! Kemudian, berulang kali tokoh-tokoh dunia persilatan menentang Hek-sim Lo-mo, namun seorang demi seorang roboh, tidak kuat menandingi datuk ini.

   Di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo yang dipercaya dan diandalkan, terdapat lima orang yang dianggap sebagai tangan kanan dan yang paling lihai di antara belasan orang itu. Yang pertama dan duduk di sebelah kanan Hek-sim Lo-mo adalah Yauw Ban yang berjuluk Tok-gan-liong (Naga Mata Satu).

   Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, tinggi kurus dengan leher panjang dan yang menarik adalah matanya yang tinggal sebelah. Mata sebelah kiri telah buta, tertutup dan tidak ada biji matanya. Mata itu tertusuk senjata lawan dan dia menjadi buta ketika masih muda dalam suatu perkelahian. Tok-gan-liong Yauw Ban ini lihai sekali, memiliki ilmu pedang tunggal yang sukar dicari tandingannya, dan diapun seorang ahli ginkang yang memiliki kecepatan gerakan seperti terbang saja. Dia pendiam dan berdarah dingin, dapat membunuh tanpa mengedipkan mata tunggalnya, dan cerdik sekali.

   Dia menjadi pembantu nomor satu dari Hek-sim Lo-mo setelah dia dikalahkan oleh datuk itu karena tadinya diapun tidak sudi takluk sebelum menguji kepandaian datuk itu. Dan dalam perkelahian inilah Hek-sim Lo-mo dapat melihat kelihaian Naga Mata Satu ini, maka diapun menarik Yauw Ban menjadi pembantu utama, maklum bahwa para pembantu yang lain masih kalah dibandingkan dengan Yauw Ban.

   Sebelum menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, Tok-gan-liong Yauw Ban ini menjadi perampok tunggal yang dianggap sebagai datuk para perampok di wilayah Propinsi Shan-tung. Dia malang melintang dan para perampok lainnya selalu memberi semacam "upeti" kepadanya. Akan tetapi kemunculan Hek-sim Lo-mo menarik nama besarnya ke bawah sehingga dia penasaran dan menantang datuk itu untuk mengadu ilmu silat. Tanpa banyak kesukaran, Hek-sim Lo-mo yang memang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya, mengalahkan Yauw Ban dan Si Naga Mata Satu ini lalu takluk dan dengan senang hati menjadi pembantunya yang paling setia.

   Bahkan Hek-sim Lo-mo berkenan memperdalam ilmu pembantunya ini sehingga Yauw Ban menjadi semakin setia karena menganggap Hek-sim Lo-mo selain atasannya, juga seperti gurunya sendiri. Dan datuk sesat itupun pandai menyenangkan hati Tok- gan-liong Yauw Ban sehingga pada waktu itu, andaikata disuruh menyeberangi lautan api sekalipun kalau yang memerintahnya Hek-sim Lo-mo, tentu Yauw Ban akan mentaatinya!

   Pembantu kedua yang juga amat lihai dan duduk di sebelah kiri Hek-sim Lo-mo adalah seorang wanita! Ia juga seorang tokoh sesat yang amat terkenal di Propinsi He-nan dan Shan-tung, terutama sekali di sepanjang Sungai Kuning dan wanita ini terkenal ganas sekali. Ia terkenal dengan julukannya, yaitu Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan) sehingga nama aselinya tak pernah diketahui orang.

   Iapun suka disebut Mo-li (Iblis Betina) saja! Selain ganas, kejam dan sadis, wanita ini terkenal gila laki-laki, cabul dan setiap orang laki-laki yang disenanginya, diculik dan dipaksa untuk melayani gairah nafsu berahinya. Yang menolak, dibunuh seketika. Yang mau melayaninya, kalau memuaskan hatinya, ia beri hadiah yang royal sekali, akan tetapi kalau mengecewakan, juga dibunuhnya!

   Tujuh tahun yang lalu, Kiu-bwe Mo-li berani menentang kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang mengutus Tok-gan-liong Yauw Ban untuk menundukkannya. Dalam adu kepandaian yang amat seru, Tok-gan-liong Yauw Ban menemui kesulitan untuk mengalahkan wanita itu, walaupun kehebatan ilmu pedangnya juga membuat Kiu-bwe Mo-li kewalahan untuk dapat mendesak lawannya.

   Melihat betapa wanita itu lihai, dapat mengimbangi kepandaian pembantu utamanya, timbul perasaan sayang pada Hek-sim Lo-mo dan dia lalu maju menggantikan Yauw Ban. Tanpa banyak kesulitan, akhirnya dia mampu menundukkan Kiu-bwe Mo-li yang kemudian takluk dan menjadi pembantunya yang nomor dua.

   Wanita itu kini berusia empatpuluh dua tahun, akan tetapi karena terlampau menurutkan nafsu berahi yang diumbarnya tanpa batas, wajahnya nampak lebih tua dan keriputan. Wajahnya yang dulu cantik itu masih meninggalkan bekas, namun kulitnya keriputan dan rambutnya banyak yang putih. Kenyataan ini hendak disembunyikan dengan bedak tebal dan dandanan yang pesolek sekali, juga sikap yang amat genit!

   Sesuai dengan nama julukannya, Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan), wanita ini memiliki senjata yang istimewa, yaitu sebatang cambuk yang berekor sembilan. Ia pandai sekali memainkan senjata cambuk ekor sembilan ini dan julukannya pun diambil dari senjata itu.

   Orang ketiga yang menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo adalah seorang pria yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun. Baru lima tahun dia menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo. Dia bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan menarik, gerak-geriknya halus lembut dan sopan peramah, pakaiannya seperti pakaian seorang terpelajar. Orang akan tidak percaya kalau mendengar bahwa dia adalah seorang yang memiliki hati yang amat kejam dan jahat, tidak percaya bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka memperkosa wanita dan membunuhnya!

   Namanya Lui Teng dan dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Tuan Muda Pemetik Bunga). Sebenarnya, Jai-hwa Kongcu Lui Teng ini adalah seorang murid yang pandai dari perguruan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) yang berada di puncak Gunung Lu-san, sebuah perkumpulan para orang gagah. Akan tetapi, Lui Teng diperhamba oleh nafsu berahinya sendiri sehingga dia melakukan perbuatan jahat, yaitu memaksa wanita yang membangkitkan gairah berahinya dengan cara memperkosa, bahkan sering kali dia membunuh wanita yang menolaknya atau melawannya ketika dia memperkosanya.

   Karena perbuatan ini, dia menjadi seorang pelarian, melarikan diri dari Pek-tiauw-pang. Bahkan setelah mendengar akan sepak terjang Lui Teng, para pimpinan Pek- tiauw-pang mengutuknya dan tidak lagi mengakuinya sebagai murid, walaupun hal ini dilakukan oleh para pimpinan dengan hati menyesal karena sesungguhnya Lui Teng adalah seorang murid yang mewarisi ilmu-ilmu perguruan itu dengan baik dan kepandaiannya yang tinggi dapat menjunjung tinggi nama perguruan Pek-tiauw-pang.

   Lui Teng juga penasaran melihat munculnya Hek-sim Lo-mo sebagai datuk. Diapun menantangnya dan biarpun dengan susah payah, dia dapat dikalahkan oleh Tok-gan-liong Yauw Ban. Dia takluk dan diangkat menjadi pembantu ketiga oleh Hek-sim Lo-mo.

   Pembantu keempat dan kelima adalah saudara kembar. Mereka bernama Gan Siang dan Gan Siong, dan keduanya selalu maju bersama. Oleh karena itu mereka mendapat julukan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis dari He-nan). Mereka berusia sekitar empatpuluh tahun dan baru dua tahun mereka menjadi pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo. Kedua orang kembar ini berwajah serupa benar sehingga sukarlah bagi orang lain untuk dapat membedakan antara mereka.

   Wajah mereka bulat, dan bukan hanya bentuk wajah dan tubuh mereka yang serupa benar, akan tetapi bahkan pakaian merekapun sama, seolah-olah lipatan-lipatannya sama, bentuk rambut, kumis dan jenggot mereka tiada bedanya. Juga keduanya suka tertawa, suka memandang rendah orang lain dan berhati kejam.

   Mereka terkenal sekali bukan hanya karena kekejaman mereka, melainkan terutama sekali karena kelihaian mereka memainkan sebatang golok. Kalau menghadapi bahaya atau lawan, jarang mereka maju satu demi satu, pasti mereka maju bersama, biar lawannya hanya seorang ataupun ada sepuluh orang. Dan kalau kedua orang kembar ini sudah memainkan golok mereka, dengan ilmu golok Siang-mo Sin-to (Golok Sakti Sepasang Iblis), maka dua batang golok itu seolah-olah digerakkan oleh satu orang saja yang memiliki dua pasang tangan dan dua pasang kaki!

   Kerja sama mereka mengagumkan dan mengherankan sekali, karena masing-masing seperti dapat mengetahui apa yang berada di dalam hati dan pikiran saudara kembarnya. Inilah yang membuat mereka menjadi lihai dan berbahaya sekali. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, mereka masih kalah oleh Jai-hwa Kongcu Lui Teng, akan tetapi kalau mereka maju bersama, biar Tok-gan-liong Yauw Ban sendiri akan repot melawan mereka.

   Di samping lima orang ini, masih ada sepuluh orang lain yang diangkat menjadi pembantu-pembantunya, akan tetapi yang menjadi tangan kanan hanyalah lima orang itu. Tentu saja tingkat kepandaian para pembantu lain juga tinggi dan mereka adalah tokoh-tokoh golongan hitam atau kaum sesat, namun masih kalah kalau dibandingkan dengan lima orang pembantu utama tadi.

   "Nah, sekarang mulailah kalian membuat laporan dan hasil dari pekerjaan kalian selama sebulan ini. Harap cepat karena aku merasa lelah, ingin beristirahat. Kalianpun tentu ingin beristirahat dengan pasangan kalian yang sudah kalian pilih tadi, di kamar kalian masing-masing seperti yang sudah-sudah."

   Mulailah para pembantu itu membuat laporan seorang demi seorang. Kebanyakan di antara mereka memberi pelaporan tentang hasil pemasukan uang "pajak" yang mereka tarik dari rumah-rumah judi, rumah-rumah pelacuran, dan bingkisan dari mereka yang merasa dan mengharapkan perlindungan, juga dari kepala-kepala perampok, bajak, copet, maling yang merasa berada di bawah kedaulatan datuk ini dan sekedar mengirim "bagi hasil".

   Di antara mereka, yang paling banyak mengumpulkan uang hasil tarikan ini adalah He-nan Siang-mo sehingga Hek-sim Lo-mo merasa girang sekali dan memuji dua orang pembantunya ini. Semua hasil berupa emas perak dan barang berharga itu segera diangkut oleh He-nan Siang-mo yang dipercaya oleh datuk itu untuk membuka gudang harta dan menyimpan semua harta baru itu ke dalam gudang.

   Kini tiba giliran Kui-bwe Mo-li yang membuat laporan.

   "Laporan yang saya bawa agak tidak menyenangkan, Beng-cu," memang Hek-sim Lo-mo memerintahkan semua bawahannya untuk menyebut dia beng-cu (pemimpin rakyat), membandingkan dirinya dengan para pahlawan rakyat yang berjuang demi rakyat jelata!

   "Seorang di antara bangsawan yang berada di bawah perlindungan kita, telah disiksa orang, bahkan dibuntungi kaki tangannya. Dia adalah Pangeran Coan Siu Ong! Bukan itu saja, juga orang yang membuntunginya itupun telah mengadakan pengacauan di Lok-yang, menghajar para jagoan dari rumah pelesir Bibi Ciok!"

   Sepasang alis tebal Hek-sim Lo-mo berkerut.

   "Hemm, mengganggu orang-orang yang kita lindungi sama artinya dengan mengganggu kita! Siapa orangnya demikian berani mati? Tentu dia bukan orang sini dan tidak tahu akan kekuasaan kita!"

   "Sudah saya selidiki, Beng-cu. Ia adalah seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh tiga tahun, cantik jelita dan ilmu kepandaiannya tinggi, selalu mengenakan pakaian serba hitam dan mengaku julukannya Hek-liong-li!"

   "Dewi Naga Hitam? Hemmm, betapa sombongnya. Cari dan segera bunuh ia, jangan beri ampun!" Bentak Hek-sim Lo-mo.

   "Kuserahkan tugas ini kepadamu, Mo-li!"

   "Harap Beng-cu jangan khawatir. Saya akan mencarinya, kalau perlu dibantu anak buah, dan kalau sudah dapat ditemukan, akan kupenggal kepalanya!" kata Kiu-bwe Mo-li sambil terkekeh genit.

   Yauw Ban, tangan kanan pertama itu melaporkan bahwa dia telah berhasil menemukan seorang ahli pembuat pedang yang amat pandai.

   "Namanya Thio Wi Han, usianya sudah tujuhpuluh tahun. Akan tetapi dia tidak mau dibawa ke sini, Beng-cu."

   "Ehh? Kalau tidak mau, seret saja!"

   "Dia adalah seorang tua yang kukuh. Katanya, dia hanya mampu membuat pedang pusaka kalau di rumahnya sendiri, menggunakan alat-alatnya sendiri. Kalau disuruh membuat di luar rumahnya, di tempat lain, dia tidak sanggup dan biar dibunuh mati sekalipun, dia tidak sanggup mengerjakannya."

   "Keparat, keras kepala! Akan tetapi sudahlah, yang penting adalah bahannya lebih dulu. Sudah mendapatkan seorang ahli pembuat pedang, sudah baik, dan membuat di sanapun tidak mengapa. Nah, Lui Teng, bagaimana dengan pelaksanaan tugasmu?"

   "Sudah saya laksanakan, Beng-cu. Dia memang keras kepala. Segala siksaan sudah saya lakukan, akan tetapi dia tetap membungkam. Saya khawatir kalau dia akan mati oleh siksaan yang lebih berat, maka saya lalu mencari akal yang baik sekali. Saya melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa dia meninggalkan seorang anak gadis di dusunnya. Saya lalu menangkap gadis itu dan membawanya ke sini, sekarang telah saya masukkan kamar tahanan. Saya kira kalau dia melihat anaknya disiksa, dia akan membuka mulut!"

   Wajah yang hitam menyeramkan dari Hek-sim Lo-mo berseri dan dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau memang cerdik, Lui Teng! Aku ingin cepat mendapatkan Liong-cu (mustika naga) itu. Bawa sasterawan kepala batu itu ke sini bersama anak gadisnya. Ha-ha, kita nonton pertunjukan sambil menanti keluarnya rahasia tempat penyimpanan Liong-cu itu!"

   "Baik, Beng-cu," kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng dengan gembira.

   Dia lalu meninggalkan ruangan itu dan tak lama kemudian dia datang kembali bersama seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, dipapah oleh seorang gadis berusia tujuhbelas tahun yang menuntun kakek itu sambil menangis. Kakek itu berpakaian sasterawan, pakaiannya kotor dan dekil karena semenjak ditahan dan disiksa, dia tidak pernah berganti pakaian.

   Usianya kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus. Dia adalah seorang sasterawan yang amat pandai dalam hal baca dan tulis, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng.

   Dia ditangkap oleh Hek-sim Lo-mo karena datuk ini juga merupakan seorang di antara mereka yang mencari-cari Kim-san Liong-cu, mustika naga yang berada di kuburan tua seorang pangeran di jaman dahulu. Ternyata kemudian bahwa mustika yang diperebutkan itu tidak ada di dalam makam setelah makam dibongkar, sudah ada orang lain yang mendahului para tokoh dunia persilatan yang memperebutkannya.

   Hek-sim Lo-mo yang ingin sekali mendapatkan mustika itu, tidak patah semangat dan dia terus melakukan penyelidikan, dibantu oleh banyak anak buahnya. Akhirnya dia menemukan rahasia kehilangan mustika itu. Kiranya seorang sastrawan yang terkenal amat pandai dalam ilmu sastra kuno, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng, orang yang suka melakukan penyelidikan mengenai sejarah dari peninggalan dan tulisan-tulisan kuno, telah menemukan tulisan kuno rahasia.

   Bagi orang lain yang tidak mengerti, bahkan bagi ahli-ahli sastra kebanyakan saja, benda itu tidak ada harga dan artinya. Namun, Pouw Sianseng dapat menterjemahkannya dan diapun girang membaca bahwa tulisan kuno itu menunjukkan tempat penyimpanan mustika yang disebut Kim-san Liong-cu yang ternyata telah diambil orang jauh sebelum para tokoh persilatan memperebutkannya!

   Pouw Sianseng lalu mencari tempat rahasia itu dan berhasil menemukan mustika itu! Akan tetapi, rahasianya ini akhirnya bocor ketika isterinya yang masih muda, jatuh cinta kepada seorang laki-laki muda. Isterinya itu membisikkan rahasia ini kepada kekasihnya. Perbuatan mereka tertangkap basah dan Pouw Sianseng membunuh isterinya, tidak tahu bahwa rahasianya tentang mustika sudah diketahui oleh kekasih isterinya yang melarikan diri.

   Semenjak isteri yang melakukan penyelewengan itu dibunuhnya, Pouw Sianseng hidup berdua dengan puterinya yang kini berusia tujuhbelas tahun, bernama Pouw Bi Hwa. Ketika dia membunuh isterinya, Bi Hwa baru berusia lima tahun dan selama belasan tahun ini, Pouw Sianseng berhasil menyimpan rahasianya tentang mustika naga yang disimpannya di tempat rahasia.

   Celakanya, kekasih mendiang isterinya itu tidak dapat menutup mulut dan dari mulut ke mulut, akhirnya berita itu sampai juga ke telinga Hek-sim Lo-mo. Sudah beberapa kali Pouw Sianseng diserbu pencuri, perampok, bahkan pernah diancam oleh tokoh- tokoh sesat untuk menyerahkan mustika itu, namun Pouw Sianseng tetap menyangkal sehingga akhirnya para tokoh itu berkesimpulan bahwa berita tentang mustika naga yang berada dalam kekuasaan Pouw Sianseng itu hanya kabar bohong belaka.

   Namun tidak demikian anggapan Hek-sim Lo-mo. Dia lalu mengutus orang kepercayaannya yang ketiga, yaitu Jai-hwa Kongcu Lui Teng, untuk menyiksa dan mengorek keterangan dari Pouw Sianseng yang sudah diculiknya. Hasilnyapun sia-sia, dan seperti yang sudah-sudah, Pouw Sianseng tetap menyangkal dan tidak mau membuka rahasia tentang Liong-cu (mustika naga) yang disembunyikannya itu.

   Hek-sim Lo-mo sudah demikian yakin bahwa dia akan dapat menguasai mustika naga itu, maka diapun sudah menyuruh pembantu utamanya, Tok-gan-liong Yauw Ban, untuk mencari seorang ahli pembuat pedang yang berilmu tinggi dan akan membuatkan pedang dari mustika naga itu!

   Ternyata kemudian dari laporan itu bahwa Pouw Sianseng benar-benar keras kepala sehingga Jai-hwa Kongcu Lui Teng mempergunakan akal lain, yaitu menculik puteri Pouw Sianseng. Dan kini, Jai-hwa Kongcu Lui Teng membawa Pouw Sianseng dan anak gadisnya ke dalam ruangan itu.

   Biarpun keadaan Pouw Sianseng sudah payah karena mengalami siksaan yang mengerikan, namun ketika dia masuk ruangan dipapah puterinya, dia menahan semua rasa nyeri dan menegakkan tubuh dan kepalanya, dengan sikap gagah dia hendak menentang semua pemaksaan para penculiknya.

   Sementara itu, puterinya memandang sekeliling dengan wajah pucat. Gadis berusia tujuhbelas tahun ini berwajah manis, tidak terlalu cantik, berpakaian sederhana namun sepasang matanya membayangkan kelembutan dan kecerdasan. Tubuhnya montok sebagai seorang gadis yang mulai dewasa, seperti setangkai bunga yang mulai mekar. Namun, gadis itu jelas kelihatan ketakutan dan gelisah sekali, juga berduka melihat keadaan ayahnya.

   Ayahnya menghilang sejak beberapa hari lamanya dan selagi ia kebingungan, malam itu muncul laki-laki tampan dan halus berpakaian pelajar itu yang mengatakan bahwa dia tahu di mana adanya ayahnya yang bilang dan mengajak ia untuk pergi bersama mengunjungi ayahnya. Karena khawatir akan keselamatan ayahnya, Pouw Bi Hwa terpaksa ikut dengan laki-laki yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng itu! Kalau saja ia tahu bahwa pria tampan itu adalah seorang tukang perkosa wanita yang amat keji!

   Akan tetapi, pria itu sama sekali tidak mengganggunya. Hal ini adalah karena gadis itu diajak pergi bukan untuk diperkosa, melainkan untuk keperluan lain lagi yang lebih penting, yaitu memaksa ayah gadis itu mengaku di mana adanya Liong-cu! Pula, selera Lui Teng dalam urusan wanita memang agak tinggi dan hanya wanita cantik jelita pilihan saja yang dapat menggerakkan hati dan membangkitkan gairahnya. Sedangkan Bi Hwa, biarpun tidak jelek, hanya memiliki kemanisan yang umum saja!

   Melihat sikap Pouw Sianseng yang angkuh, Hek-sim Lo-mo mengerutkan alisnya. Orang seperti ini memiliki kegagahan tersendiri, pikirnya, dan kalau dipaksanya, tentu dia lebih baik mati dari pada menyerahkan mustika itu. Kemudian dia memandang gadis itu dan dia pun tersenyum. Memang pembantunya yang nomor tiga itu cerdik sekali.

   Orang yang mempertahankan kehormatan lebih dari pada nyawanya seperti Pouw Sianseng itu, harus dilawan dengan ancaman terhadap kehormatannya pula. Dan kehormatan apakah yang lebih tinggi bagi seorang ayah dari pada kehormatan diri anak gadisnya? Tentu tidak lebih rendah dari pada kehormatan mempertahankan milik dan haknya, seperti mustika naga itu!

   Jai-hwa Kongcu mendorong ayah dan anak itu ke depan Hek-sim Lo-mo. Ayah dan anak itu jatuh tersungkur di atas lantai dan mereka berlutut di depan Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, Pouw Sianseng sudah mengangkat mukanya lagi dan menegakkan kepala, memandang kepada Hek-sim Lo-mo dengan penuh ketabahan.

   Hek-sim Lo.mo menyeringai.

   "Pouw Sianseng, keberanianmu mengagumkan hatiku. Biarlah aku tidak akan membunuhmu dan aku menukar nyawamu dengan Liong-cu itu!"

   Baru satu kali Pouw Sianseng dibawa menghadap Hek-sim Lo-mo, sebelum dia disiksa dan diapun tahu bahwa raksasa muka hitam inilah yang menjadi kepala di tempat itu, bahkan yang menyuruh orang menangkap dan menyiksa untuk merampas Liong-cu. Kini, ucapan Hek-sim Lo-mo disambutnya dengan senyum mengejek.

   "Hek-sim Lo-mo, tidak perlu banyak cakap lagi dan tidak perlu lagi membujuk atau mengancam aku. Aku tidak takut mati dan biar kaubunuh sekalipun aku tidak akan bicara tentang Liong-cu!"

   "Aku akan menukar puterimu dengan Liong-cu!" Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo berkata.

   Sepasang mata kakek sastrawan itu terbelalak sejenak, lalu diapun tersenyum.

   "Anakkupun tidak takut mati. Engkau tidak perlu mengancam. Biar kaubunuh kami berdua, Liong-cu tidak akan kuserahkan kepadamu!"

   "Orang she Pouw, jangan sombong engkau! Ada yang lebih menyiksa dari pada sekedar kematian. Panggil Hek-wan (Lutung Hitam) ke sini!" perintahnya kepada Jai-hwa Kongcu Lui Teng.

   Pria tampan ini tersenyum-senyum lalu keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang wajah serta tubuhnya amat menyeramkan. Dialah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Lengan Besi) yang terkenal sebagai tukang siksa yang kejam dan sadis. Mukanya mirip seekor monyet, kulit tubuhnya hitam, dan kedua lengannya berbulu seperti lengan lutung besar, tubuh atasnya tidak memakai pakaian sehingga nampak dada yang lebar, membusung, hitam dan penuh otot-otot besar, juga ditumbuhi bulu tebal.

   Begitu memasuki ruangan, Tiat-pi Hek-wan ini memandang ke sekeliling sambil tersenyum dan kelihatan bangga bahwa dia dipanggil oleh Hek-sim Lo-mo, berarti dia dibutuhkan. Setelah berada di depan datuk itu, dia memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya.

   "Hek-wan, aku akan memberi pekerjaan kepadamu, sekali ini pekerjaan yang amat menyenangkan!" kata Hek-sim Lo-mo.

   Si Lutung Hitam itu tertawa bergelak dan dia membuka mulut selebarnya sehingga nampak gigi yang besar-besar tidak rata dan kekuning-kuningan menjijikkan.

   "Ha-ha-ha, saya selalu siap sedia, Beng-cu. Menyiksa dan membunuh orang adalah pekerjaanku, kesenanganku. Siapa lagi yang harus saya patah-patahkan kaki tangannya, saya cabut lidah atau matanya, atau saya puntir batang lehernya?"

   Pouw Sianseng memandang kepada raksasa berbulu itu dengan pandang mata acuh, akan tetapi puterinya terbelalak dengan muka pucat dan jelas nampak bahwa ia merasa ngeri dan ketakutan.

   "Sekali ini tidak yang seperti itu, Hek-wan. Aku ingin memberi hadiah kepadamu. Lihat, gadis ini kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus memperkosanya di sini, kami dan ayah gadis ini ingin sekali melihat bagaimana engkau akan melakukannya," kata Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya tertawa dengan hati penuh ketegangan yang menggembirakan karena mereka akan disuguhi pertunjukan yang mereka anggap amat menyenangkan dan menarik hati.

   Mendengar ini, Tiat-pi Hek-wan menyeringai dan mengangguk-angguk, lalu dia menoleh kepada Bi Hwa yang sudah merangkul ayahnya sambil menangis. Pouw Sianseng kini juga terbelalak dan mukanya pucat, kedua lengannya merangkul puterinya seperti hendak melindunginya dari bahaya yang mengerikan.

   "Heh-heh, manis, engkau mendengar perintah Beng-cu tadi? Ke sinilah manis, dan engkau akan mengalami sesuatu yang selama hidupmu takkan pernah dapat kaulupakan! Marilah......"

   Dia melangkah maju. Bi Hwa menggeleng kepala keras-keras, menutupi mulut untuk menahan jeritnya saking merasa ngeri dan takut, merangkul ayahnya semakin kuat. Akan tetapi, sekali tangan kirinya menyambar, Tiat-pi Hek-wan sudah menangkap lengan kanan gadis itu dan menariknya.

   Ketika gadis itu menahan, dan ayahnya mempertahankan puterinya dengan kedua tangan merangkul kuat-kuat. Akan tetapi, Tiat-pi Hek-wan menendang dan tubuh kakek itupun terjengkang, dan pegangan antara ayah dan anak itupun terlepas. Bi Hwa menjerit ketika tubuhnya ditarik dan dipondong oleh raksasa itu. Ia meronta dan mencakar, menjerit-jerit dan menangis.

   Tiat-pi Hek-wan adalah seorang manusia yang wataknya sudah seperti binatang buas. Menyiksa orang merupakan kesenangan baginya, maka untuk menyenangkan majikannya, diapun hendak memamerkan pertunjukan yang semenarik mungkin. Tanpa memperdulikan cakaran dan pukulan kedua tangan Bi Hwa, seolah-olah cakaran dan pukulan itu bahkan merupakan belaian dan elusan baginya, dia menciumi muka gadis itu, pipinya, hidungnya, bibirnya barulah dia melepaskan Bi Hwa. Sengaja dilepaskan begitu saja.

   Bi Hwa yang sudah ketakutan setengah mati itu, dengan rambut riap-riapan karena terlepas dari sanggulnya ketika meronta-ronta tadi, ketika merasa betapa dirinya terlepas, segera bergegas hendak melarikan diri menuju ke pintu ruangan itu. Satu-satunya keinginan hatinya adalah keluar dari tempat jahanam itu, seperti seekor burung yang ingin sekali terbebas dari sebuah sangkar yang amat menakutkan.

   Dan sambil tertawa-tawa Tiat-pi Hek-wan membiarkan gadis itu lari! Setelah Bi Hwa lari sampai dekat pintu, barulah dia berloncatan mengejar dan menangkap rambut gadis yang berkibar itu. Bi Hwa terkejut sekali.

   "Ihhhhh......! Lepaskan...... lepaskaaaaan......" Ia menjerit akan tetapi tubuhnya sudah terseret di atas lantai, dibawa kembali oleh raksasa itu ke tempat tadi, di depan Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya yang menonton sambil tersenyum-senyum. Mereka tahu bahwa Tiat-pi Hek-wan sengaja mempermainkan gadis itu, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkam dan mengganyangnya.

   Kembali Tiat-pi Hek-wan merangkul dan menciumi gadis itu, meraba-raba dengan cara yang kurang ajar dan kasar sekali. Kembali Bi Hwa meronta-ronta, mencakar dan memukul untuk melepaskan diri. Dan seperti tadi, Hek-wan pura-pura kewalahan dan pegangannya terlepas. Bi Hwa cepat melarikan diri, tidak tahu bahwa Hek-wan sudah mengcengkeram bajunya bagian belakang. Ketika ia berlari, manusia berwatak binatang itupun merenggut.

   "Breeeeetttt......!" Baju itupun koyak di bagian belakangnya.
Sambil menyeringai Hek-wan sudah mengulur tangan, siap untuk merenggut sisa pakaian Bi Hwa. Pada saat itu, terdengar teriakan Pouw Sianseng.

   "Tahan......!!"

   Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hek-sim Lo-mo. Sejak tadi, semenjak Hek-wan mempermainkan Bi Hwa. Kalau semua pembantunya menonton pertunjukan menarik itu, dia sendiri tak pernah melepaskan pandang matanya dari Pouw Sianseng. Dengan hati gembira dia melihat betapa kakek itu tersiksa batinnya. Hal ini mudah dilihat dari keadaan muka dan pandang matanya dan pada saat baju puterinya direnggut terlepas, Pouw Sianseng tidak kuat menahan lagi dan dia berteriak untuk minta siksaan itu dihentikan.

   "Hek-wan, minggirlah dan aku senang sekali dengan pekerjaanmu. Duduklah di sana bersama rekan-rekanmu."

   Hek-wan menyeringai, sama sekali tidak memperlihatkan muka kecewa seperti yang nampak pada wajah para pembantu yang gagal menyaksikan pertunjukan menarik. Hek-wan yang buas itu memang setia kepada Hek-sim Lo-mo yang sudah menundukkannya.

   "Bagaimana, Pouw Sianseng? Mengapa engkau minta agar pertunjukan yang menarik ini dihentikan?" tanya Hek-sim Lo-mo, membiarkan ayah dan anak itu kembali saling rangkul. Pouw Sianseng melepas jubahnya yang kusut dan dekil, dia menyelimuti tubuh puterinya dengan jubah itu, kemudian dia memandang kepada Hek-sim Lo-mo.

   "Hek-sim Lo-mo, aku mengaku kalah. Kehormatan puteriku lebih berharga dari apapun juga di dunia ini. Engkau menang dan aku mau menukar Liong-cu dengan kebebasan anakku. Kalau aku menyerahkan Liong-cu, maukah engkau melepaskan puteriku ini?"

   "Heh-heh, tentu saja, Pouw Sianseng. Berikan Liong-cu, dan aku akan melepaskan puterimu."

   "Lo-mo, aku tidak dapat percaya kepada orang sepertimu. Bersumpahlah dulu sebagai seorang datuk, baru aku mau percaya!"

   Kalau saja dia tidak sangat menginginkan Liong-cu, tentu ucapan Pouw Sianseng itu sudah merupakan alasan yang cukup untuk dia turun tangan membunuh kakek itu. Wajahnya yang hitam menjadi lebih hitam lagi dan matanya mencorong, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menyeringai.

   "Ha-ha, baiklah. Aku, Hek-sim Lo-mo, datuk dari segala datuk yang merajai seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung, bersumpah bahwa kalau Pouw Sianseng menyerahkan Liong-cu kepadaku, maka aku akan melepaskan puterinya. Kalau aku melanggar sumpahku, biarlah Bumi dan Langit yang akan menghukumku!"

   Pouw Sianseng merasa lega mendengar sumpah itu dan diapun berkata kepada puterinya.

   "Bi Hwa, anakku, hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik pesanku. Kalau nanti aku sudah menyerahkan Liong-cu kepada Hek-sim Lo-mo, dan aku tidak dapat menemanimu, engkau keluarlah dari sini, tinggalkan tempat ini dan pulanglah. Lalu kaucari pamanmu di dusun Teng-cun dan ikutlah keluarganya. Mengertikah engkau?"

   Sambil bercucuran air mata, Bi Hwa mengangguk, Pouw Sianseng lalu melepaskan puterinya yang bangkit berdiri sambil menyelimuti tubuh atas dengan jubah ayahnya, dan Pouw Sianseng bangkit berdiri menghadapi Hek-sim Lo-mo.

   Semua mata kini ditujukan kepadanya, memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua ingin mendengar pengakuan kakek itu, di mana dia menyembunyikan Liong-cu yang diperebutkan oleh hampir seluruh tokoh dunia kang-ouw itu sejak ratusan tahun yang lalu dan kemudian lenyap tanpa bekas.

   "Hek-sim Lo-mo, mustika naga ini adalah milikku dan hakku, yang kudapatkan secara kebetulan melalui tulisan dan peta rahasia yang kuno dan yang hanya dapat kubaca. Sejak dahulu sudah diperebutkan orang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk kubawa mati bersama. Akan tetapi engkau yang curang dan licik telah mempergunakan puteriku untuk memaksaku. Apa boleh buat, agaknya memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Liong-cu akan jatuh ke tangan seorang datuk sesat sepertimu. Kalau aku tidak membuat pengakuan, sampai dunia kiamat engkau tidak akan mampu menemukan Liong-cu. Aku telah minta tolong kepada sahabatku, mendiang Yok-sian (Dewa Obat) untuk menyimpan Liong-cu di sini, melalui pembedahan!"

   Kakek itu lalu menanggalkan bajunya dan menunjuk ke perutnya. Karena dia kurus, perutnya kecil, akan tetapi di bagian kanan perutnya ada tonjolan aneh, seperti bengkak.

   "Liong-cu itu kausimpan di dalam perut?" tanya Hek-sim Lo-mo, hampir tak percaya.

   Pouw Sianseng mengangguk. Mendiang Yok-sian amat pandai, dia dapat menyimpan mustika ini ke dalam perutku, membedah kulit perut lalu menjahitnya kembali. Dan karena Liong-cu merupakan mustika yang ampuh, maka sama sekali tidak mengganggu kesehatan badanku."

   "Dan untuk mengambilnya......"

   "Harus memanggil seorang ahli bedah untuk mengeluarkannya dari perutku."

   "Ah, akupun bisa mengambilnya!" Tiba-tiba tangan Hek-sim Lo-mo meluncur dan sekali totok saja tubuh kakek itu roboh terlentang dalam keadaan lumpuh.

   "Ayah......?" Bi Hwa menjerit.

   "Jangan mendekat, Bi Hwa," kata kakek itu dengan lemah. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, akan tetapi masih dapat bicara.

   "Sudah kuduga ini...... kalau aku mati...... kau pulanglah sendiri dan hati-hatilah......"

   Hek-sim Lo-mo lalu menggunakan kuku jari tangannya menggores ke arah tonjolan pada perut kakek itu dan kulit perut itupun tergores robek! Di saat lain, dia sudah mengeluarkan sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya yang berlumuran darah, dan diapun membebaskan totokannya.

   "Ayah......!" Bi Hwa menubruk ayahnya dan membantu ayahnya membalut luka pada perut itu dengan robekan kain dari bawah bajunya sendiri setelah Yauw Ban, atas perintah Hek-sim Lo-mo, memberi obat bubuk pada luka di perut dan menutupnya dengan koyok.

   Semua orang tidak, memperhatikan ayah dan anak itu karena semua memperhatikan sebuah benda bulat yang sudah dibersihkan dari darah, yang berada di tangan Hek-sim Lo-mo. Benda itu berwarna putih kebiruan, seperti batu, dan sukar dipercaya bahwa benda itu adalah benda pusaka yang disebut Liong-cu (mustika naga) yang kabarnya terdapat pada rongga dalam kepala seekor naga!

   
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mustika ini harus diuji dulu keasliannya! Mo-li, keluarkan senjata rahasiamu yang paling ampuh, hendak kucoba khasiat mustika ini melawan racun yang bagaimana kuatpun!"

   Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan sebuah paku yang kehitaman. Itulah senjata rahasia paku yang luar biasa ampuhnya, karena telah direndam racun yang amat jahat sehingga sekali mengenai tubuh lawan, tentu akan membuat lawan tewas dengan tubuh bengkak menghitam!

   "Cobakan kepadanya!" kata Hek-sim Lo-mo.

   "Hitung-hitung untuk menghukumnya kalau dia membohong!" Dia menuding ke arah Pouw Sianseng yang sudah bangkit duduk, masih kesakitan karena kulit perutnya dibedah secara paksa oleh datuk itu tadi.

   Kiu-bwe Mo-li juga termasuk seorang yang amat keji dan sadis. Mendapat perintah ini, ia menyeringai dan secepat kilat, tangan kirinya yang memegang paku itu bergerak dan nampak sinar hitam kecil menyambar ke arah Pouw Sianseng.

   "Cappp! Aduhhh......!" Pouw Sianseng memekik dan mendekap pundak kirinya yang terkena paku, lalu tubuhnya berkelojotan karena merasa nyeri dan panas bukan main.

   "Bagus, racunnya telah bekerja!" kata Hek-sim Lo-mo.

   "Cabut kembali paku itu, biar kucobakan Liong-cu ini!"

   Kiu-bwe Mo-li menghampiri Pouw Sianseng yang berkelojotan, mendorong tubuh Bi Hwa yang menangisi ayahnya ke samping lalu mencabut paku itu. Begitu dicabut, rasa nyeri semakin menggigit dan menusuk sehingga kakek itu merintih-rintih.

   Hek-sim Lo-mo cepat memeriksa luka itu. Hitam membengkak dan sebentar lagi racunnya akan terbawa aliran darah ke seluruh tubuh dan akan matilah orang itu. Cepat dia lalu menempelkan mustika naga itu ke atas pundak yang terluka dan terjadilah keanehan. Warna hitam pada luka itu dalam waktu singkat saja lenyap dan pada permukaan benda itu nampak cairan hitam!

   Ternyata dengan mudahnya, benda itu telah menyerap dan menghisap semua racun yang berada di dalam luka itu sebelum menjalar ke seluruh tubuh! Bukan main! Belum pernah Hek-sim Lo-mo menyaksikan keampuhan benda seperti yang terdapat pada Liong-cu itu.

   Dan kini Pouw Sianseng tidak mengeluh lagi karena sama sekali tidak lagi merasa nyeri. Pundaknya yang tadi terkena paku kini hanya tinggal luka kecil kemerahan yang tidak ada artinya lagi, sudah bersih sama sekali dari racun, bahkan seperti sudah sembuh!

   "Hemm, sudah percayakah kau sekarang, Lo-mo? Aku bukan orang yang suka menipu atau berbohong!" kata Pouw Sianseng mendongkol.

   Hek-sim Lo-mo girang luar biasa dan seperti anak kecil memperoleh mainan baru, dia mendekap Liong-cu itu ke dadanya.

   "Liong-cu......! Aku telah mendapatkan Liong-cu...... ha-ha-ha! Ini semua berkat jasamu, Tiat-pi Hek-wan. Sebagai hadiah jasamu, kuberikan gadis ini kepadamu, boleh kauperbuat sesuka hatimu!"

   "Ha-ha-ha, terima kasih. Bengcu!" Tiat-pi Hek-wan sekali sambar sudah merenggut tubuh Bi Hwa dari ayahnya dan memondong gadis itu, lalu dibawa keluar, tanpa memperdulikan gadis itu menjerit-jerit, mencakar dan menggigit, diikuti senyum dan pandang mata rekan-rekannya.

   Melihat ini Pouw Sianseng terkejut sekali dan diapun memaksa diri bangkit dan berteriak kepada Hek-sim Lo-mo.

   "Lo-mo, apa artinya ini? Engkau melanggar sumpahmu? Engkau telah bersumpah akan melepaskan puteriku setelah......"

   "Akupun melepaskannya. Siapa melanggar sumpah? Aku tadi bersumpah bahwa kalau kau menyerahkan Liong-cu aku akan melepaskan puterimu, bukan? Nah, ia sudah kulepaskan, tidak kutahan, tidak kuganggu! Aku melepaskannya kepada Tiat-pi Hek-wan, dan kalau dia yang mengganggunya, itu urusan dia, bukan urusanku. Aku tidak mengganggu puterimu, sudah kulepaskan! Heh-heh!"
(Lanjut ke Jilid 06)

   Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 06
"Terkutuk kau, Hek-sim Lo-mo!" Pouw Sianseng marah sekali dan dengan nekat dia menubruk ke depan, hendak mencekik datuk itu. Akan tetapi, Hek-sim Lo-mo menggerakkan kakinya menyambut.

   "Dukkk!" Ujung kaki datuk itu mengenai ulu hati Pouw Sianseng dan tubuh tinggi kurus itupun terjengkang, terbanting dan tewas seketika, mulutnya mengeluarkan darah, matanya terbelalak. Dia mati dalam penasaran!

   Agaknya Hek-sim Lo-mo masih ingin membela diri dengan sikapnya itu kepada para pembantunya.

   "Orang ini memang harus dibunuh, kalau tidak, tentu dia akan membocorkan rahasia ini, akan memberitahu bahwa Liong-cu sudah berada padaku dan kalau demikian, celaka! Tentu semua orang dari dunia persilatan akan mencoba merampasnya dan kita menghadapi lawan yang banyak sekali dan lihai pula. Beritahu kepada Hek-wan, kalau dia sudah selesai dengan gadis itu, agar dibunuhnya pula. Buang mayat mereka ke dalam jurang agar tidak ada yang dapat mengikuti jejak mereka!"

   Hek-sim Lo-mo membubarkan persidangan dan dia membawa Liong-cu yang selalu didekapnya itu ke kamarnya setelah memesan kepada Yauw Ban bahwa besok pagi dia bersama Yauw Ban akan berkunjung kepada ahli pembuat pedang itu. Para pembantu kini menyambar gadis panggilan yang menjadi pilihan hati mereka tadi dan membawanya ke kamar masing-masing.

   Kalau dari kamar-kamar para pembantu ini terdengar suara cekikikan dan senda gurau, di sebuah kamar di belakang terdengar ratap tangis yang memilukan. Ratap tangis Bi Hwa yang dipermainkan oleh Tiat-pi Hek-wan yang sadis. Dan menjelang tengah malam, ketika ratap tangis itu akhirnya tidak terdengar lagi, gadis itupun telah tak bernyawa lagi dan mayatnya menyusul mayat ayahnya, dilempar ke dalam jurang yang amat curam, di mana kedua mayat itu akan hancur membusuk tanpa ada yang mengetahuinya!

   Manusia adalah mahluk tertinggi derajatnya di antara semua mahluk yang hidup di dunia ini, satu-satunya mahluk yang berakal budi, yang dikaruniai otak dan ingatan sehingga dapat berpikir, mempunyai pengertian dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Akan tetapi, sekali manusia menjadi hamba nafsu, bukan sebaliknya menguasai nafsu, maka dia menjadi mahluk yang sebuas-buasnya dan sekejam-kejamnya.

   Binatang yang kita sebut bagaimana buaspun, selalu mendasarkan semua perbuatannya pada kebutuhan hidup. Binatang harimau menerkam kelinci dan dimakannya, nampaknya memang buas dan kejam, akan tetapi sesungguhnya perbuatannya itu sama sekali tidak mengandung kejahatan, melainkan karena kebutuhan hidupnya, tuntutan perutnya. Binatang melakukan hubungan kelamin karena kebutuhan perkembangbiakan, tuntutan naluri seksuilnya.

   Akan tetapi manusia yang menjadi hamba nafsunya sendiri, dia makan demi memuaskan nafsu aluamahnya, ingin mencari kesenangan melalui makan, seolah-olah makan itu bukan suatu kebutuhan hidup melainkan kebutuhan kenikmatan yang membuatnya menjadi loba, tamak dan mau melakukan kejahatan apapun demi tercapainya pengejaran kesenangan melalui makan dan apa saja. Juga seorang yang diperhamba nafsunya sendiri akan mengejar kesenangan melalui seks, dan dia dapat melakukan kejahatan dan kekejaman yang luar biasa demi pemuasan nafsunya itu.

   ?Y?

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-sim Lo-mo sudah mengajak pembantu utamanya nomor satu, yaitu Tok-gan-liong Yauw Ban untuk pergi berkunjung ke rumah kakek Thio Wi Han, ahli pembuat pedang yang tinggal di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu-niu-san.

   Orang akan merasa heran kalau melihat keadaan rumah tinggal Thio Wi Han ini. Dia seorang ahli pembuat pedang yang kenamaan, bukan hanya pedang biasa seperti yang dapat dibeli di pasar, melainkan pedang buatannya selalu merupakan senjata pilihan, bahkan banyak sudah pedang-pedang pusaka dari bahan-bahan yang aneh-aneh dan langka dibuat oleh kedua tangannya yang ahli.

   Orang dengan keahlian seperti dia ini sesungguhnya akan mudah saja menjadi kaya raya. Bahkan pernah dia ditawari kedudukan di kota raja oleh istana, namun dia menolaknya! Dan dia tidak menghargai keahliannya dengan harta benda. Dia seorang seniman sejati yang melakukan pekerjaan membuat pedang itu sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang membahagiakan hatinya, tiada bedanya dengan para seniman lain, seniman sejati yang menganggap pckerjaan seninya itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya, merupakan sumber kebahagiaannya.

   Dia hanya berdua dengan isterinya yang berusia empatpuluh tahun lebih, jauh lebih muda dari Thio Wi Han yang sudah berusia tujuhpuluh tahun. Di dalam sebuah rumah kecil sederhana sekali, Thio Wi Han tinggal berdua saja tanpa pembantu dengan isterinya. Rumah itu hanya mempunyai tiga ruangan, ruangan depan yang menjadi ruang tamu, lalu kamar tempat tidur mereka, dan di belakang adalah dapur yang besar, tempat isterinya masak dan tempat dia bekerja membuat pedang dan senjata lainnya, merupakan bengkel tempat dia bekerja.

   Thio Wi Han tidak pernah membuat pedang atau pisau yang biasa di jual di pasar. Setelah tua ini, dia hanya bekerja kalau ada pesanan, dan pesanan itu haruslah pesanan pembuatan senjata yang istimewa. Pemesannya harus menyediakan bahan yang baik, baja pilihan, dan harus memperlihatkan kemampuan memainkan senjata yang dipesan itu dengan lebih dulu mendemonstrasikannya di depan Thio Wi Han! Kalau tidak begini, dia tidak akan mau membuatkannya!

   Dan biarpun dia sendiri belum pernah memperlihatkan kepandaiannya, namun semua orang kang-ouw menduga bahwa kakek ahli pembuat pedang ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Hal terbukti karena dia dapat mengetahui apakah benar pemesannya patut memegang senjata yang dipesannya, sesuai dengan kepandaiannya.

   Gi-ho-cung boleh jadi hanya sebuah dusun yang kecil sekali di kaki Fu-niu-san, sebuah dusun yang tidak ada artinya dengan penduduk hanya beberapa puluh rumah yang kesemuanya adalah petani-petani sederhana. Namun bagi dunia kang-ouw, dusun ini amat terkenal dan nama Thio Wi Han dikenal oleh semua tokoh kang-ouw, bahkan dia dihormati dan disuka oleh semua golongan karena Thio Wi Han tidak pernah membeda-bedakan golongan.

   Bagi dia, tidak perduli orang dari golongan apa, yang datang kepadanya akan dilayani asal memenuhi syaratnya, yaitu pertama, harus membawa bahan yang benar-benar pilihan, dan kedua, harus mampu memperlihatkan kepandaian yang sesuai untuk mempergunakan senjata ampuh buatannya! Tanpa adanya dua syarat ini, biar diancam dan dibujuk bagaimanapun, dijanjikan upah besar berapapun, atau diancam akan dibunuh sekalipun, jangan harap dapat memaksanya bekerja!

   Soal biaya pembuatan pedang, dia tidak pernah membicarakan dan hal itu terserah kepada pemesan, bahkan tidak diberi sekalipun dia tidak akan menagih! Memang Thio Wi Han seorang seniman yang aneh. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan semua orang karena dia tidak pernah memperlihatkannya, dia hidup berbahagia di samping isterinya karena ada pertalian kasih sayang besar antara mereka!

   Agaknya inilah yang menjadi rahasia besar kehidupan Thio Wi Han. Cinta kasih yang amat mendalam yang didapatkannya dari isterinya membuat dia tidak membutuhkan apa-apa lagi! Dalam kehidupan sederhana sekalipun dia merasa berbahagia di samping isterinya!

   Betapa menyedihkan kalau dilihat kenyataan bahwa jarang ada pasangan suami isteri seperti Thio Wi Han ini. Dia dan isterinya tidak mempunyai anak, selisih usia mereka hampir tigapuluh tahun, keadaan hidup merekapun sederhana, hidup di dusun pegunungan yang sunyi, namun mereka dapat hidup berbahagia karena ada ikatan tali kasih sayang besar di antara mereka.

   Bukan ikatan nafsu. Ikatan nafsu akan luntur dan tak meninggalkan bekas kalau nafsu itu sendiri sudah melemah. Dalam usia yang semakin tua, tentu saja nafsu tidak lagi memegang peran besar dan kalau cinta yang ada antara suami isteri hanya cinta nafsu, maka cinta itu akan hambar dan bahkan lenyap kalau mereka sudah menjadi tua.

   Betapa banyak dapat dilihat keadaan hubungan suami isteri seperti ini. Kehilangan kemesraan, kalaupun ada kemesraan itu dibuat-buat, bukan timbul dari hati yang mencinta dan menyayang. Bahkan tidak jarang timbul pertikaian, kejemuan yang membuat kedua suami isteri seringkali bertengkar dan saling merasa betapa kehadiran kawan hidup hanya merupakan gangguan yang menjengkelkan!

   Ini adalah karena ketidakadanya kasih sayang yang mendalam. Kalau ada kasih sayang antara manusia, cahaya cinta kasih dalam dada, maka tentu perasaan kasih sayang itu pertama-pertama terasa kepada orang lain yang paling dekat dengan dirinya, suami atau isteri, anak-anak dan keluarga. Dan mengapakah tidak ada kasih sayang ini? Mengapa tidak ada cinta kasih di dalam hati?

   Cinta kasih bukanlah perasaan dari seseorang kepada orang lain tertentu! Itu adalah cinta nafsu, tertarik oleh sesuatu yang dianggap indah dan menyenangkan! Cinta kasih tidak mengenal subyek, cinta kasih adalah sinar Tuhan yang menerangi batin. Cinta kasih ini tidak nampak selama diri dikuasai oleh si-aku! Begitu si-aku ini merajalela dalam batin, maka kasih sayang pun, cinta kasih yang murni itupun tidak ada, yang ada hanyalah cinta nafsu karena cinta nafsu ini menyenangkan diri pribadi.

   Mari kita periksa diri sendiri, menjenguk isi hati dan pikiran, dan kita akan melihat kenyataan itu. Tidak ada gunanya mencari cinta kasih yang tidak nampak di dalam batin. Cinta kasih tidak pernah lenyap, selalu ada. Yang penting melihat ke akuan diri yang demikian besar dan berkuasa. Begitu si aku berhenti berkuasa, maka cinta kasih akan nampak bersinar terang!

   Tuhan tidak pernah pergi meninggalkan kita. Sesungguhnya kitalah yang pergi menjauhkan diri dan meninggalkannya! Pementingan diri karena si aku yang merajalela dalam batin, membuat mata batin kita buta dan tidak melihat Tuhan. Lenyapnya si-aku akan membuka mata kita dan menyadarkan bahwa Tuhan selalu ada pada diri kita, sedetikpun tak pernah meninggalkan kita!

   Ketika Hek-sim Lo-mo dan Tok-gan-liong Yauw Ban tiba di depan pondok sederhana tempat tinggal Thio Wi Han, mereka melihat bahwa di pekarangan itu terdapat tigabelas orang yang melihat pakaian, keadaan diri dan sikap mereka, sudah diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang kasar dan biasa mempergunakan kekerasan. Sambil berbisik Tok-gan-liong Yauw Ban memberitahu kepada Hek-sim Lo-mo yang tidak mengenal mereka, bahwa tigabelas orang itu adalah Wei-ho Cap-sha-kwi (Tigabelas Setan dari Sungai Wei) yang berkedudukan di sekitar kota Sian di Propinsi Shensi.

   Sungai Wei adalah sebatang sungai yang menjadi anak sungai dari Sungai Kuning, dan nama Tigabelas Setan ini terkenal sekali di seluruh wilayah itu, bahkan di seluruh Propinsi Shensi. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang mengepalai seluruh kaum bajak sungai dan perampok. Dan mereka belum menyatakan takluk kepada kekuasaan Hek-sim Lo-mo, maka kini datuk ini bersama pembantu utamanya memandang ke arah mereka dengan alis berkerut.

   Tigabelas orang itu ditemui oleh tuan rumah di pekarangan depan karena ruangan tamunya tidak cukup lebar untuk menerima tigabelas orang tamu itu, atau setidaknya, Thio Wi Han merasa enggan menerima tigabelas orang yang kasar itu di dalam ruangan itu.

   Kakek Thio Wi Han itu nampak tenang sekali menghadapi mereka. Seorang kakek berusia tujuhpuluh tahun, rambutnya sudah putih semua, akan tetapi mukanya bersih tidak memelihara kumis atau jenggot. Sinar matanya lembut namun kadang mencorong penuh wibawa dan mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran ketika dia berhadapan dengan tigabelas orang jagoan itu.

   "Sudah kukatakan, aku hanya mau membuatkan pedang dengan dua syarat utama, yaitu pertama pemesan harus membawa bahan yang pilihan, dan kedua pemesan harus dapat membuktikan bahwa dia pantas memiliki senjata yang baik buatanku. Kalian hanya datang membawa bahan yang baik untuk sebuah golok saja, dan tidak mungkin aku membuatkan tigabelas batang golok dari bahan yang hanya untuk sebatang saja itu. Bahan yang lain ini tidak baik dan aku tidak mau membuat golok dari bahan ini. Nah, kalian tinggal pilih. Kubuatkan sebatang golok setelah pemesannya memperlihatkan ilmu goloknya, atau kalian boleh bawa pergi lagi saja dan menyuruh orang lain membuatkannya."

   Kata-kata itu teratur dan halus, namun juga mengandung ketegasan dan wibawa yang tidak dapat dibengkokkan lagi. Tigabelas orang itu rata-rata bertubuh besar dan kuat, sikap mereka kasar dan pakaian mereka dari kain yang tebal dan kuat, nampak kotor karena agaknya mereka jarang bertukar pakaian. Namun ini bukan berarti bahwa mereka miskin. Sebaliknya, Wei-ho Cap-sha-kwi adalah sekumpulan tokoh sesat yang sudah berhasil mengepalai semua bajak dan perampok yang selalu memberi "bagian hasil" kepada mereka.

   Kalau mereka kini berpakaian kotor adalah karena mereka sedang melakukan perjalanan jauh dan tidak membawa ganti pakaian. Mereka terkenal sekali dengan Cap-sha Kwi-tin (Barisan Tigabelas Setan) dan dengan golok di tangan, mereka merupakan lawan ampuh walaupun kalau maju seorang demi seorang, mereka tidaklah sehebat kalau membentuk Cap-sha Kwi-tin.

   Seorang di antara tigabelas jagoan itu, yang menjadi pemimpin mereka bernama Kwa Ti, tubuhnya juga tinggi besar, dengan perut gendut sekali, mukanya bopeng dan hitam. Mendengar ucapan tuan rumah, dia melangkah maju, lalu menghardik.

   "Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau siapa yang kauhadapi ini? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi, dan kami tidak biasa dibantah orang! Kami datang dengan baik, memesan tigabelas batang golok dan kami juga tidak minta gratis, melainkan mau membayar berapa saja biaya pembuatan tigabelas batang golok itu! Jangan engkau menolak, karena penolakanmu sama dengan penghinaan dan siapa berani menghina Wei-ho Cap-sha-kwi, akan mampus dengan tubuh hancur lebur dicacah golok kami!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis