Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 02

 



   Setelah ibu mertuanya sadar, barulah Cin Hay disuruh menceritakan apa yang telah terjadi. Cin Hay bercerita bahwa ketika dia dan isterinya sedang berpesiar di telaga, tiba-tiba saja mereka diserang oleh bajak telaga itu. Dia melakukan perlawanan dan dipukul sampai terjatuh ke air dan dia terbawa hanyut dalam keadaan pingsan.

   "Untung saya dapat diselamatkan oleh seorang tua yang sakti, akan tetapi Ci Sian......"dia menarik napas panjang.

   "Isteri saya terkasih itu tewas karena perahu terbalik. Karena kami berpisah, dan jenazah isteri saya ditemukan oleh para nelayan, maka mereka lalu mengubur jenazah isteri saya di sebuah bukit dekat telaga. Baru pada keesokan paginya saya mendapat keterangan tentang ini dan saya telah bersembahyang di kuburan Ci Sian......"

   Hujan tangis terjadi di rumah keluarga lurah dusun itu.

   "Siapakah bajak-bajak itu? Kita harus bertindak! Akan kukerahkan semua penjaga dan pemuda dusun ini!"

   Cin Hay sudah menduga bahwa ayah mertuanya yang menjadi kepala dusun tentu marah dan hendak menuntut balas. Dia tahu bahwa para penjaga keamanan dusun dan para pemuda bukanlah lawan orang-orang yang berilmu tinggi seperti See-ouw Sam-houw, apa lagi kemungkinan besar Koan Wan-gwe masih mempunyai lebih banyak lagi kaki tangan yang pandai. Kalau mertuanya melakukan hal itu, tentu akan jatuh lebih banyak korban di pihak keluarga mertuanya. Pula, kedudukan ayah mertuanya pun dapat terancam kalau bermusuhan deagan seorang hartawan berpengaruh seperti Koan Wan-gwe. Maka, dia memang sudah siap untuk berbohong demi keselamatan mertuanya.

   "Saya tidak mengenal mereka, dan begitu mereka membalikkan perahu kami, mereka lalu pergi dengan perahu-perahu mereka."

   Cin Hay lalu mendapat tugas untuk mengantar ayah dan ibu mertuanya mengunjungi kuburan isterinya, di mana kedua orang tua itu menangisi kematian puteri mereka. Kemudian, setelah mereka kembali ke dusun, Cin Hay berpamit kepada ayah dan ibu mertuanya untuk memperdalam ilmu silatnya.

   "Saya harus belajar sampai pandai agar kelak saya dapat membasmi atau menantang penjahat-penjahat seperti mereka yang telah menyebabkan kematian isteri saya."

   Ayah dan ibu mertuanya tentu saja tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujui dan memberi ijin. Maka pergilah Cin Hay ke rumahnya sendiri di dusun lain, berpamit kepada ibunya, kemudian diapun membawa pakaian pergi ke bukit Bambu Sisik Naga untuk mulai berguru kepada Pek I Lojin.

   Kita tinggalkan dulu Cin Hay yang mulai berlatih silat dengan penuh semangat, untuk mengikuti peristiwa lain yang melibatkan diri seorang gadis yang kelak akan menjadi tokoh utama pula dalam kisah ini.

   Waktu itu yang menjadi kaisar adalah Tang Kao Cung (650-683) dari Dinasti Tang (618-"907). Kota Lok-yang merupakan kota besar kedua setelah Tiang-an yang menjadi ibu kota atau kota rajanya. Akan tetapi karena kota Lok-yang merupakan kota besar kedua, di sini tinggal pula banyak bangsawan, pangeran dan keluarga mereka, juga bangsawan tinggi yang menjadi pejabat-pejabat penting.

   Lie Kim Cu adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis. Dalam usia enambelas tahun, ia bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak mengharum. Nampaknya ia lemah lembut, dengan wajah cantik manis dan tubuh lemah gemulai, namun sesungguhnya, sejak kecil ia suka akan ilmu silat. Ketika masih kecil, diam-diam ia memaksa kepala pengawal ayahnya untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya.

   Ketika ayahnya mengetahui, melihat bakat puterinya, ayah ini lalu mengundang seorang ahli silat wanita untuk memberi pelajaran kepada Lie Kim Cu. Maka, setelah berusia enambelas tahun, gadis yang nampak cantik jelita dan lemah lembut, pandai membuat sajak dan membuat lukisan atau tulisan halus, pandai bermain yang-kim dan meniup suling, pandai menyulam, sebetulnya juga memiliki kepandaian silat yang lumayan. Dua orang laki-laki biasa saja jangan harap akan mampu menangkapnya, dan seorang laki-laki bertubuh kuat yang memiliki ilmu silat pasaran saja akan mudah dapat ia robohkan!

   Ayah Lie Kim Cu seorang pejabat menengah. Sebagai seorang pejabat menengah di dalam jaman yang penuh dengan pejabat korup itu, keadaan keluarga Lie-taijin cukup kaya raya. Penghasilan sampingan karena kekuasaannya jauh berlipat kali lebih besar dari pada gajinya. Dan Lie-taijin seorang pejabat yang cakap sehingga menyenangkan hati Pangeran Coan Siu Ong, yaitu bangsawan tinggi yang menjadi atasannya.

   Lie-taijin hanya mempunyai seorang anak, yaitu Lie Kim Cu. Dari beberapa orang selirnyapun dia tidak memperoleh keturunan sehingga tidaklah mengherankan bila Kim Cu disayang oleh seluruh keluarga sebagai anak tunggal, biarpun wanita. Karena dimanja, maka sampai usia enambelas tahun, ia belum juga bertunangan walaupun pinangan sudah datang amat banyaknya, karena gadis itu selalu menolak dan orang tuanya tidak mau memaksanya.

   Kecantikan Kim Cu terkenal di Lok-yang dan banyak sekali pemuda tergila-gila padanya walaupun banyak di antara mereka belum sempat melihat sendiri gadis itu, hanya mendengar kecantikannya dipuji-puji setinggi langit oleh mereka yang pernah melihat Kim Cu.

   Akan tetapi, keadaan hidup manusia tidaklah abadi, ada pasang surutnya seperti air lautan, ada terang gelapnya seperti cuaca. Demikian pula dengan keadaan keluarga Lie-taijin. Semenjak setahun yang lalu, pejabat yang cakap ini terjerat kesenangan yang amat berbahaya dan merusak, yaitu berjudi!

   Judi adalah satu di antara kemaksiatan yang paling berbahaya di antara segala kemaksiatan yang lain. Di dalam perjudian, banyak sifat buruk bermunculan dan bermaharajajela. Kemurkaan, keinginan memperoleh uang sebanyaknya dengan cara yang paling mudah meracuni hati, membuat orang mencandu dan lupa diri, sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya telah dicengkeram iblis yang amat jahat, bahkan sampai habis-habisan pun belum sadar. Kesadaran datang setelah terlambat, dan biasanya, kalau keadaan sudah mending, kesenangan itu akan menggerogoti hatinya lagi dan menyeretnya kepada kebiasaan perjudian lagi.

   Dalam perjudian hati kita dipermainkan oleh harapan-harapan yang amat merangsang, digoda oleh kemenangan-kemenangan sementara yang amat memuaskan hati. Kalau kita kalah, timbul harapan besar untuk meraih kembali uang kita yang hilang akibat kekalahan kita. Kalau kita menang, timbul harapan besar untuk meraih kemenangan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, kalah menang sama saja akibatnya, menyeret kita lebih dalam lagi terperosok ke dalam lumpur perjudian.

   Dalam perjudian kitapun menjadi sadis dan kejam sekali. Dengan hati enak dan senang kita mentertawakan seorang kawan yang ludes dan kalah! Kalau kita kalah, kita terhibur oleh kekalahan seorang sahabat yang lebih banyak lagi. Kalau kita menang, kita merasa iri karena kemenangan teman lebih besar dari pada kemenangan kita. Iri, dengki, tamak, kejam, semua ini bermunculan di dalam perjudian.

   Lebih jahat lagi, perjudian membuat pikiran menjadi gelap, lupa segala, dan siap mengorbankan segala yang kita sayangi demi berlangsungnya kesenangan yang disebut perjudian itu. Tercatat di dalam sejarah ataupun dongeng, betapa sejak jaman dahulu sekali manusia telah dipermainkan kesenangan judi ini. Ada raja kehilangan mahkotanya karena dipertaruhkan dalam perjudian. Suami kehilangan isterinya atau bapak kehilangan puterinya yang dipertaruhkan dalam perjudian!

   Apa lagi perjudian tingkat tinggi seperti yang dimasuki Lie-taijin. Karena yang berjudi adalah para bangsawan dan hartawan, maka tempatnyapun mewah, serba menyenangkan, dengan hidangan yang lezat, arak yang harum, musik dan nyanyi oleh gadis-gadis cantik, dan dilayani oleh gadis-gadis panggilan kelas tinggi. Suasananya serba mewah, nikmat, dan menyenangkan!

   Lie-taijin yang belum berpengalaman itu menjadi korban ular-ular perjudian yang bermain curang. Dia habis-habisan dan karena haus akan uang untuk modal judi, mulailah dia memakai uang pemerintah, mencuri, melakukan kecurangan dan korupsi! Perhiasan para isterinya satu demi satu dimintanya, bahkan perhiasan yang menempel di tubuh Kim Cu juga dikorbankan dalam perjudian. Ini semua masih belum memuaskan iblis perjudian yang melahap kesemuanya tanpa mengenal cukup.

   Lie-taijin masih terlibat hutang ke sana-sini. Aneh memang, dalam perjudian, orang mudah sekali mendapatkan hutang, seolah-olah semua teman seperjudian siap untuk memberi pinjaman. Sebaliknya, untuk modal bekerja, jauh lebih sulit untuk memperoleh hutang!

   Seperti telah kita ketahui, Kim Cu adalah seorang gadis yang mulai dewasa dengan kecantikan yang mengguncangkan banyak hati pria di kota Lok-yang. Hal inipun akhirnya terdengar oleh Pangeran Coan Siu Ong, atasan Lie-taijin. Pangeran Coan Siu Ong yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam itu sudah berusia limapuluh tahun, akan tetapi dia terkenal sebagai seorang laki-laki bangsawan yang gila perempuan.

   Dengan kekayaannya, juga dengan kebangsawanannya dan kedudukannya, banyak sudah wanita cantik terjatuh ke dalam pelukannya, dengan suka rela maupun dengan paksa. Ketika mendengar akan kecantikan Kim Cu, pangeran ini mencari jalan untuk membuktikannya dengan mata sendiri. Sebagai atasan Lie-taijin, tentu saja mudah baginya untuk dapat melihat Kim Cu dan sekali melihat gadis itu, diapun menahan air liurnya dan tergila-gila! Akan tetapi, tentu saja dia tidak dapat berbuat sembarangan saja terhadap puteri bawahannya ini. Dia hanya menahan rindu di dalam hatinya dan beberapa malam sekali tentu bermimpi tentang gadis jelita itu yang berhasil didekapnya.

   Kemudian, para penyelidiknya menyampaikan tentang keadaan Lie-taijin kepada Pangeran Coan Siu Ong. Betapa Lie-taijin kini menjadi seorang penjudi kelas berat, betapa pejabat itu habis-habisan, berkorupsi dan mempunyai banyak sekali hutang!

   Mendengar ini, Pangeran Coan Siu Ong hampir saja menari kegirangan? Terbukalah jalan yang amat lebar baginya untuk mendapatkan bunga yang sudah lama dirindukannya itu. Dia lalu mengutus kaki tangannya untuk menghubungi para ular judi dan dengan imbalan yang cukup, Pangeran Coan Sin Ong memerintahkan mereka untuk memeras habis-habisan Lie-taijin sehingga semakin dalam pejabat itu akan terperosok ke dalam lumpur!

   Pada suatu hari, Pangeran Coan Siu Ong pergi mengunjungi Lie-taijin yang menyambutnya dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan rasa gelisah. Sudah terlalu banyak dia menggunakan uang negara, dan terlalu banyak hutangnya di luar. Dia takut kalau-kalau atasannya ini mengetahuinya atau mengadakan pemeriksaan. Namun, hatinya menjadi lega ketika Pangeran Coan Siu Ong yang berpura-pura tidak tahu akan keadaannya, bahkan menitipkan sekantung uang emas kepadanya.

   "Emas seratus tail ini milikku pribadi untuk keperluanku pribadi. Karena aku hendak pergi ke kota raja selama beberapa hari, maka kutitipkan kepadamu. Sepulangku dari kota raja, akan kuambil kembali." Demikian kata Pangeran Coan Siu Ong dan penitipan uang emas seratus tail itu disaksikan oleh dua orang pengawal pangeran itu, dan oleh seorang pembantu Lie-taijin. Lie-taijin menerima kantung itu, menghitung isinya dan berjanji akan menyimpannya dengan hati-hati.

   Setelah Pangeran Coan Siu Ong pergi, maka para ular judi lalu berdatangan membujuk Lie-taijin untuk berjudi. Mula-mula, Lie-taijin tidak berani mengusik emas titipan itu, akan tetapi setan judi yang sudah menghuni kepalanya tiada hentinya berbisik-bisik dan akhirnya karena oleh setan judi itu digambarkan kemenangan besar.

   Lie-taijin tidak dapat menahan keinginan hatinya. Karena sudah kehabisan modal, dia lalu mengambil beberapa tail emas untuk modal berjudi. Tentu saja dia kalah. Karena khawatir akan hilangnya beberapa tail yang ludes di meja judi, Lie-taijin ingin menarik kembali kekalahannya dengan melanjutkan perjudian, dengan modal baru yang diambilnya dari kantung terisi emas itu. Kalah lagi dan demikian selanjutnya sehingga seminggu kemudian, kantung itu telah kosong!

   Dan tepat setelah kantung kosong, muncullah Pangeran Coan Siu Ong yang tentu saja sudah tahu belaka akan semua yang terjadi menimpa diri Lie-taijin!

   Lie-taijin menyambut kedatangan Pangeran Coan Siu Ong dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Ketika pangeran itu mengatakan bahwa kedatangannya untuk mengambil emas yang dititipkannya, Lie-taijin segera menjatuhkan berlutut dengan tubuh gemetar. Dia mengaku terus terang bahwa emas titipan itu telah habis dan dikalahkan di medan perjudian, dan dia berjanji dengan sumpah akan mengembalikan uang emas itu.

   Pangeran Coan Siu Ong bangkit dari tempat duduknya dan menggebrak meja.

   "Ah, jadi yang selama ini kudengar sebagai desas desus ternyata benar? Bahwa engkau telah menjadi seorang penjudi sehingga hartamu ludes, bahkan engkau korupsi, menggunakan uang pemerintah dan berhutang di sana-sini? Sungguh celaka! Aku harus mengadakan pemeriksaan sekarang juga di kantormu!"

   Dengan muka semakin pucat, terpaksa Lie-taijin mengantar atasannya dan beberapa orang pejabat pemeriksa pembukuan dan keuangan untuk mengadakan perhitungan dan pemeriksaan di kantornya. Tidak sukar bagi para pemeriksa itu untuk menemukan bahwa Lie-taijin memang benar telah korupsi, menggunakan uang negara dalam jumlah yang banyak sekali! Dan Pangeran Coan Siu Ong dengan marah lalu memerintahkan petugas untuk menangkap Lie-taijin dan memasukkan ke dalam tahanan!

   Tentu saja keluarga Lie-taijin menjadi geger. Para isterinya menangis. Lie Kim Cu membanting-banting kakinya.

   "Sungguh celaka, mengapa ayah menjadi terperosok sedalam ini?" kata Lie Kim Cu sambil memukul-mukulkan tangan kanan terkepal ke atas telapak tangan kirinya sendiri dan beberapa kali membanting kaki kanan saking jengkelnya.

   "Sudah berkali-kali kuperingatkan ayah, akan tetapi dia malah marah-marah. Sungguh heran sekali, mengapa watak ayah menjadi berubah seperti itu setelah dia gemar berjudi?"

   Mereka tak dapat berbuat sesuatu kecuali menangis dan mengeluh. Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong lalu menyuruh seorang kepercayaannya untuk mengunjungi Lie-taijin di dalam kamar tahanannya. Utusan ini adalah seorang laki-laki yang biasa menjadi comblang (perantara perjodohan) dan pandai sekali berbicara dan membujuk.

   Setelah mengeluarkan basa-basi seperti merasa iba, ikut prihatin dan sebagainya, comblang itu lalu berkata dengan lirih.

   "Lie-taijin, keadaan ini sukar untuk dapat ditolong lagi. Taijin akan dijatuhi hukuman berat, semua rumah dan isinya akan disita untuk mengembalikan uang negara dan membayar hutang. Keluarga Taijin akan terpaksa keluar dan tidak membawa barang apapun, dan akan terlantar......"

   "Ahhh......!" Lie-taijin menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari sela-sela jari tangannya menitik air matanya.

   "Semua karena perbuatanku, semua karena kesalahanku......"

   "Lie-taijin, penyesalan saja saya kira tidak ada gunanya. Yang penting haruslah mencari jalan bagaimana baiknya agar keluarga Taijin jangan sampai terlantar, dan kalau mungkin, agar nama baik Taijin pulih kembali dan Taijin dapat menduduki jabatan lama......"

   LIE-TAIJIN menurunkan kedua tangannya dan sepasang matanya yang merah memandang wajah comblang itu dengan terbelalak tak percaya.

   "Bagaimana...... bagaimana mungkin......?"

   Comblang itu tersenyum tenang.

   "Taijin, saya kira, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keluarga dan nama baik Taijin adalah kalau Taijin dapat menjadi keluarga Pangeran Coan Siu Ong!"

   Sepasang mata merah itu makin terbelalak.

   "Apa maksudmu?"

   "Apakah Taijin lupa bahwa Taijin memiliki seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal sebagai kembangnya kota Lok-yang?" Comblang itu memainkan matanya yang sipit.

   "Bukan rahasia lagi bahwa setiap orang pria, tanpa kecuali, ingin memetik kembang yang tumbuh subur di dalam taman keluarga Taijin itu."

   "Hemm, itukah maksudmu? Berbesan dengan Pangeran Coan? Akan tetapi...... aku tidak melihat adanya seorang putera Pangeran Coan yang sudah dewasa untuk dapat berjodoh dengan puteriku."

   "Aih, Taijin salah sangka. Bukan berjodoh dengan putera beliau......"

   "Habis dengan siapa?"

   "Dengan Pangeran Coan Siu Ong......"

   Melihat Lie-taijin membuat gerakan memprotes, comblang itu cepat mengangkat tangannya ke atas dan berkata.

   "Sabarlah. Sesungguhnya, Pangeran Coan juga termasuk seorang di antara para pria yang tergila-gila kepada puteri Taijin. Bahkan, beliau sendiri yang mengutus saya untuk menyampaikan pinangannya kepada Taijin, untuk minta persetujuan Taijin agar puteri Taijin itu menjadi...... seorang isterinya."

   "Selirnya, maksudmu?" kata Lie-taijin dengan suara mengandung kemarahan.

   "Selirnya atau isterinya sama saja, Taijin. Harap Taijin ingat baik-baik dan dapat membuat perbandingan. Menjadi selir Pangeran Coan merupakan suatu penghormatan besar dan bahkan akan mengangkat derajat Taijin! Kalau puteri Taijin menjadi isteri Pangeran Coan, tentu Taijin akan tertolong, tidak jadi dituntut, bahkan tidak kehilangan kedudukan dan nama baik, dan soal keuangan, tentu Pangeran Coan akan membereskan karena beliau tentu akan merasa malu kalau ayah mertuanya terlibat hutang! Bandingkan keadaan itu dengan keadaan kalau Taijin menolak! Taijin akan dituntut, menjadi orang hukuman, semua harta disita dan keluarga Taijin akan terlantar dan terhina!"

   Lie-taijin tak dapat berkata-kata lagi. Alangkah mudahnya membuat perbandingan seperti itu! Agaknya memang tidak ada jalan lain! Bagaimana kalau Kim Cu tidak mau? Gadisnya itu pasti menolak untuk dijadikan selir Pangeran Coan, sedangkan pinangan-pinangan para muda yang tampan dan bangsawan saja ditolaknya mentah-mentah. Akan tetapi ia harus mau kali ini! Demi seluruh keluarga!

   Melihat betapa Lie-taijin termenung, comblang yang cerdik itu berkata.

   "Lie-taijin, untuk membuktikan iktikad baik dari Pangeran Coan Siu Ong, sekarang juga Taijin dapat keluar dari dalam tahanan ini. Saya sudah membawa surat perintah pembebasan Taijin untuk diberikan kepada para penjaga tempat tahanan ini." Dia mengeluarkan surat perintah itu.

   "Dan kereta sudah saya persiapkan di luar. Taijin dapat segera pulang untuk membicarakan pinangan itu dengan keluarga Taijin. Besok pagi-pagi saya datang berkunjung ke rumah Taijin untuk minta keputusan."

   Kini Lie-taijin benar-benar mati kutu dan tidak dapat mengeluarkan sepatahpun kata. Dia menurut saja dan pulang dengan kereta yang sudah disediakan di luar tempat tahanan. Tentu saja pulangnya disambut gembira oleh para isterinya dan juga Kim Cu. Juga para pelayan menyambut dengan gembira.

   Lie-taijin lalu mengumpulkan isteri-isterinya dan juga Kim Cu ke dalam kamarnya. Semua pelayan dilarang untuk berada di dekat kamar itu. Setelah mereka semua berkumpul, Lie-taijin lalu berkata, suaranya berat dan terpaksa sekali.

   "Yang dapat menolong kita hanyalah Pangeran Coan Siu Ong seorang. Dia yang membebaskan aku, bahkan mengembalikan kedudukanku dan akan melunasi semua hutangku, dan hal ini dia lakukan kalau pinangannya diterima."

   "Pinangan.......?" Serentak beberapa suara bertanya, di antaranya suara Kim Cu.

   Lie-taijin menghela napas panjang. Tak perlu berpanjang kata, pikirnya, dan dia mengangguk.

   "Pinangan atas diri Kim Cu untuk menjadi...... seorang isterinya."

   "Selirnya? Tidak! Aku tidak sudi......!!"

   Kim Cu berteriak marah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal.

   Lie-taijin menundukkan mukanya, sedih sekali rasa hatinya.

   "Terserah kepadamu, Kim Cu. Kalau engkau menolak, ayahmu ini akan dihukum, mungkin dibuang selamanya, seluruh harta milik kita disita dan kalian semua akan diharuskan pergi dari sini tanpa membawa apapun. Ibu-ibumu dan engkau akan terlantar. Kim Cu, keselamatan seluruh keluarga berada di tanganmu, akan tetapi...... aku takkan memaksa, tergantung kepadamu seorang, anakku."

   Mendengar ini, ibu kandung Kim Cu menangis tersedu-sedu sambil merangkul anaknya, dan para selir menjatuhkan diri berlutut di depan kursi yang diduduki Kim Cu. Bagaikan burung-burung berkicau mereka itu menangis dan memohon belas kasihan Kim Cu agar suka menerima pinangan itu demi menyelamatkan semua anggauta keluarga dari malapetaka yang amat mengerikan itu.

   Kim Cu merasa terpukul batinnya dan iapun terhenyak duduk seperti patung. Tentu saja ia kurang memperdulikan ratap tangis para ibu tirinya dan melihat ibunya sendiri masih merangkulnya sambil menangis tersedu-sedu, ia lalu balas merangkul dan bertanya.

   "Ibu, bagaimana pendapatmu, ibu? Haruskah anakmu ini menyerahkan diri kepada pangeran tua itu untuk menjadi selir yang entah ke berapa belas kalinya? Hanya engkau yang boleh menentukan nasibku, ibu, dan aku akan menurut apa yang ibu putuskan."

   Ibu kandungnya menangis sesenggukan dan sampai lama tidak dapat menjawab. Tangisnya berbaur dengan ratap tangis para madunya yang semua tentu saja mengharapkan Kim Cu menerima pinangan itu.

   Akhirnya, setelah dapat meredakan tangisnya, ibu kandung Kim Cu berkata.

   "Anakku, ibu mana yang senang hatinya melihat anak perempuannya menjadi selir? Akan tetapi, anakku, adakah pilihan lain? Seperti juga kata ayahmu tadi, kami tidak dapat memaksamu, akan tetapi engkau tentu dapat melihat, bahwa apabila engkau menolak, ayahmu dihukum selama hidup, dan kita akan terlantar! Apabila engkau menerima, berarti engkau berkorban, engkau mengorbankan dirimu, akan tetapi belum tentu kalau engkau akan sengsara, anakku. Menjadi selir seorang pangeran yang tinggi kedudukannya seperti Pangeran Coan, akan membuat engkau hidup mulia, kecukupan dan terhormat."

   "Kalau begitu, ibu menganjurkan aku untuk menerima pinangan itu?"

   "Sudah kukatakan tadi, ibu tidak memaksamu, anakku. Akan tetapi, demi nama baik ayahmu dan seluruh keluarga, demi keselamatan ayahmu dan keselamatan kita semua, kurasa tidak ada lain jalan yang dapat kauambil kecuali menerima pinangan itu. Engkau berkorban, akan tetapi engkau menjadi anak berbakti, engkau penyelamat seluruh keluarga kita, anakku, dan aku...... aku bangga dengan itu......"

   Semua ibu tirinya kini berkali-kali memberi hormat sambil berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Kim Cu dan ibunya. Kim Cu mengerutkan alisnya. Ia tidak menangis akan tetapi sepasang matanya basah ketika ia berkata kepada ayahnya.

   "Baik, ayah. Aku menerima pinangan itu!"

   "Anakku......!" Dan Lie-taijin jatuh pingsan di atas kursinya.

   Ketegangan dan kegelisahan yang melanda hatinya, kini secara tiba-tiba dibebaskan oleh jawaban Kim Cu dan diapun tidak kuat menahan guncangan ini sehingga pingsan. Kini semua isterinya sibuk menolongnya, memijat-mijat, menggosok-gosok, memanggil-manggil, sedangkan Kim Cu duduk saja bengong seperti patung di atas kursinya!

   Dengan pakaian pengantin, Lie Kim Cu diboyong ke istana Pangeran Coan Siu Ong. Berita tentang dipersuntingnya Lie Kim Cu, kembang kota Lok-yang oleh Pangeran Coan Siu Ong, menggemparkan kota itu dan membuat hati banyak pemuda menjadi patah!

   Akhirnya, kembang yang membuat banyak pemuda tergila-gila itu hanya menjadi selir seorang pangeran tua! Tentu saja banyak pemuda merasa kecewa sekali, akan tetapi siapakah yang telah demikian gila untuk berani memperlihatkan kekecewaan ini, siapa yang berani mencela dan menentang Pangeran Coan Siu Ong, seorang di antara mereka yang memiliki kekuasaan besar sebagai keluarga kaisar dan juga sebagai pejabat-pejabat tinggi?

   Kim Cu tidak menangis ketika diboyong ke istana itu, dinaikkan sebuah kereta yang indah dan mewah, ditarik oleh empat ekor kuda besar. Akan tetapi wajahnya pucat dan sepasang matanya sayu. Tak pernah ia menjawab pertanyaan atau kata-kata hiburan wanita yang diutus menjemputnya, seorang wanita setengah tua yang pandai bicara dan yang di sepanjang perjalanan memuji-muji kebaikan hati dan kekayaan Pangeran Coan, juga menceritakan tentang keadaan keluarga pangeran itu agar Kim Cu mengenal lingkungan.

   Ketika tiba saat yang dinanti-nanti dengan penuh ketegangan hati Kim Cu, setelah tadi ia meninggalkan orang tuanya yang menangisinya tanpa ditanggapinya, gadis itu mengangkat pandang matanya dan sekilas pandang ia melihat pangeran yang menyambutnya dengan tersenyum simpul. Begitu melihat pangeran ini, seketika timbul kebencian di dalam lubuk hatinya. Seorang laki-laki yang usianya limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sehingga muka itu nampak kasar dan kotor walaupun tubuhnya mengenakan pakaian serba indah dari sutera-sutera halus.

   Bagaikan boneka hidup, Kim Cu meniru saja apa yang dicontohkan wanita penjemputnya itu, ia menurut saja ketika disuruh berlutut memberi hormat kepada Pangeran Coan Siu Ong yang akan menjadi suaminya, juga memberi hormat kepada isteri dan para selir yang lebih tua. Kemudian, sambil tersenyum gembira di bawah godaan para selirnya, Pangeran Coan Siu Ong menggandeng tangan Kim Cu dan diajaknya memasuki sebuah kamar yang sudah dihias indah dan berbau harum, kamar pengantin!

   Jantung Kim Cu berdebar penuh ketegangan, kemarahan yang ditahan-tahan dan juga kedukaan. Ketika pangeran itu mengunci daun pintu dari dalam, kemudian dengan tenang menanggalkan pakaian luarnya sambil tersenyum memandang kepada Kim Cu. Gadis ini merasa tubuhnya panas dingin. Ia berdiri dan mundur ke sudut, memandang dengan mata terbelalak, ngeri dan jijik melihat betapa baju pria itu terbuka, nampak dadanya yang lebar, hitam dan ada sedikit rambut di tengah-tengah dada.

   Melihat gadis itu berdiri di sudut, pangeran itu tertawa, lalu menghampiri meja di mana telah tersedia arak dan hidangan yang masih mengepul hangat, lalu dia minum secawan arak merah dan menggapai ke arah Kim Cu.

   "Heh-heh, manisku, sayangku, mari ke sinilah, jangan malu-malu. Mari kita makan minum dulu agar engkau tidak malu-malu lagi. Mulai saat ini, aku adalah suamimu dan kewajibanmu melayani aku dan menyenangkan hatiku. Aih, betapa cantik jelita engkau, Lie Kim Cu. Sudah lama aku tergila-gila kepadamu, kesinilah, sayang......"

   Sama sekali Kim Cu tidak merasa takut kepada pria itu, hanya ia merasa ngeri dan jijik, membayangkan apa yang akan dialaminya di dalam kamar itu. Karena ia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri demi keselamatan orang tua dan keluarganya, maka iapun menekan perasaannya dan melangkah maju, lalu duduk di atas kursi di seberang meja, tidak mau duduk di kursi yang berdampingan dengan pangeran itu. Melihat ini, Pangeran Coan Siu Ong tersenyum saja, menganggap bahwa pengantinnya yang masih amat muda itu tentu masih malu-malu dan hal ini akan lebih menyenangkan dan memuaskan hatinya kalau nanti akhirnya pengantinnya itu menyerahkan diri kepadanya.

   Ia menuangkan arak secawan dan menyuguhkannya kepada Kim Cu. Gadis ini bukan seorang peminum apalagi pemabok, namun ia bukan asing dengan minuman arak, maka sambil membisikkan terima kasih, ia menerima cawan itu dan minum araknya sedikit demi sedikit. Ketika sang pangeran menawarkan makan, ia menggeleng kepala, mengatakan bahwa ia tidak lapar. Pangeran itu masih tetap tersenyum dan melahap daging dan sayur yang tersedia di situ.

   Setelah selesai, dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita dari pintu samping yang tertutup tirai sutera biru. Dua orang wanita itu tersenyum-senyum akan tetapi tanpa banyak cakap segera membersihkan meja dan menyingkirkan semua sisa makanan, hanya meninggalkan guci arak dan dua cawan di atas meja yang kini sudah bersih. Tak lama kemudian.

   "sepasang mempelai" itu ditinggal berdua saja lagi.

   "Nah, sekarang kita bersenang-senang!" kata sang pangeran sambil bangkit berdiri dan menghampiri Kim Cu.

   "Mari kubantu engkau membuka pakaianmu, manisku." Tangannya sudah menjangkau, akan tetapi tiba-tiba Kim Cu meloncat ke belakang dan menggeleng kepala keras-keras! Ia tidak dapat menahan rasa jijiknya.

   Pangeran itu tertawa dan menghampiri sambil mengembangkan kedua lengannya.

   "Manis, tidak perlu malu-malu lagi. Di sini tidak ada orang lain kecuali kita berdua. Nah, mari berilah aku beberapa ciuman yang manis dan hangat." Dia melangkah maju dan merangkul hendak mencium, akan tetapi Kim Cu mengelak dengan cepat sehingga pangeran itu hanya merangkul angin saja.

   "Ehh! Engkau mau main-main dulu, ha-ha-ha! Baiklah, aku menjadi kucingnya dan engkau tikusnya, tikus kecil putih yang manja dan nakal!"

   Kini sambil tertawa-tawa pangeran itu mengejar dan mencoba untuk menangkap dan merangkul, dengan perkiraan bahwa akhirnya pengantin itu akan menyerah dan pengelakan ini hanya main-main atau malu-malu saja. Akan tetapi, Kim Cu selalu mengelak dengan cepat dan kemahirannya dalam ilmu silat memudahkannya untuk mengelak dan meloncat ke sana-sini. Akhirnya, pangeran itu mulai berkeringat dan alisnya mulai berkerut.

   "Cukuplah main-main ini! Mari, mari sini, biarkan aku memelukmu, menciummu dan memondongmu ke pembaringan, sayang!" Dia mengembangkan kedua lengannya dan menggapai. Akan tetapi Kim Cu yang sudah berdiri di sudut lagi, juga mengerutkan alisnya. Ia mulai marah melihat betapa pangeran itu hendak memaksanya, dan ia kini menggeleng kepala dengan keras.

   "Hmm, jangan membuat aku kehabisan kesabaran, sayang. Mari, kesinilah!"

   Ketika Kim Cu tetap menggeleng kepala, pangeran itu lalu berlari ke depan dan menubruk, bukan main-main lagi melainkan bersungguh-sungguh, mengembangkan kedua lengan yang panjang dan besar itu dari kanan kiri merangkul seperti seekor biruang menubruk mangsanya! Karena ia berada di sudut kamar, dan di sebelah kirinya terdapat pembaringan, sedangkan sebelah kanan sudah dihadang oleh lengan kiri pangeran itu, Kim Cu lalu menerobos di bawah lengan sambil menggunakan tumit kakinya menendang ke arah lutut kaki Pangeran Coan Siu Ong.

   "Aduhh......!" Ditendang lututnya, kaki itu kehilangan tenaga dan pangeran itu jatuh berlutut, dahinya terbentur dinding karena tubrukannya luput. Dia marah sekali, bangkit berdiri sambil mengerutkan alis, dan kini memandang kepada Kim Cu dengan marah.

   "Gila! Berani engkau menendangku? Hayo, ke sinilah, atau aku harus mempergunakan kekerasan?"

   Kim Cu kini juga sudah marah sekali. Ia sudah lupa akan keputusan hatinya untuk mengorbankan diri demi keselamatan orang tua dan keluarganya.

   "Tidak, aku tidak sudi!" katanya, dan ia menentang pandang mata pangeran itu dengan berani.

   Hampir saja pangeran itu tidak percaya apa yang didengarnya.

   "Lie Kim Cu, engkau sudah diserahkan kepadaku, sudah menjadi isteriku. Mengapa sikapmu seperti ini? Ke sinilah, sekali lagi, kalau tidak, terpaksa akan kupergunakan kekerasan!"

   Pangeran itu dengan langkah lebar menghampiri, dan kini dengan kasar tangannya menjangkau untuk menangkap dan mencengkeram. Kim Cu juga sudah marah. Ia memang memiliki keberanian dan kekerasan hati, dan sekarang, lupa akan segala, ia sudah memutuskan untuk melawan mati-matian dan tidak akan menyerahkan diri begitu saja kepada laki-laki yang dibencinya ini.

   Entah mengapa, melihat wajah Pangeran Coan Siu Ong yang walaupun berkulit hitam termasuk pria berwajah tampan dan gagah, ia merasa benci sekali. Ketika Kim Cu melihat tangan yang besar hitam itu mencengkeram, iapun mengangkat tangan kiri menangkis, kembali kakinya bergerak menendang dan tubuh tinggi besar itupun kini terpelanting!

   Pangeran Coan Siu Ong berteriak-teriak memanggil pengawal pribadinya.

   Dari pintu samping yang tersembunyi itu, muncullah dua orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya ringkas. Mereka berloncatan ke dalam dan terheran-heran melihat betapa majikan mereka sedang merangkak bangun dan dahinya benjol, dan pengantin wanita berdiri dengan muka merah dan pandang mata marah.

   Pangeran Coan Siu Ong bangkit berdiri, menuding ke arah Kim Cu dan memerintah kepada dua orang pengawalnya.

   "Tangkap perempuan binal ini! Tangkap dan belenggu kaki tangannya!"

   Dua orang pengawal pribadi itu sejenak merasa heran dan terkejut, akan tetapi sebagai dua orang yang banyak pengalamannya, mereka segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya pengantin wanita ini tidak mau menyerah bahkan melawan dan kalau sang pangeran yang tinggi besar dan bertenaga kuat itu sampai minta bantuan mereka dan tadi bahkan nampaknya dihajar jatuh, berarti bahwa pengantin wanita ini bukan orang sembarangan!

   Mereka berdua mengangguk, lalu menghampiri Kim Cu dari kanan kiri. Gadis ini sudah siap siaga dan melihat mereka datang dengan wajah mengancam, iapun sudah memasang kuda-kuda, siap untuk melakukan perlawanan mati-matian!

   "Nona, menyerahlah, tidak ada gunanya melawan perintah Sang Pangeran!" kata seorang di antara dua pengawal itu yang bertubuh pendek gendut. Akan tetapi, orang kedua yang tinggi kurus sudah bergerak ke depan, tangan kanannya menyambar untuk menangkap pundak Kim Cu.

   Kim Cu menangkis dengan memutar lengan kirinya ke atas, kakinya menyambar dengan tendangan yang cepat ke arah perut lawan yang hendak menangkap pundaknya itu. Akan tetapi, orang itu dapat menangkis tendangan dan pada saat itu, si pendek gendut sudah menerjang maju untuk menangkap lengan Kim Cu. Gadis ini menarik lengannya dan iapun nekat melakukan perlawanan, memukul dan menendang dengan sengitnya.

   Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kalau saja dua orang lawannya itu hanya laki-laki biasa, atau yang memiliki ilmu silat pasaran saja, tentu tidak akan mampu mengatasinya. Akan tetapi, dua orang itu adalah pengawal pribadi seorang pangeran yang tinggi kedudukannya. Tentu saja mereka berdua adalah jagoan-jagoan pilihan yang memiliki kepandaian tinggi dan juga gaji yang banyak. Tingkat ilmu silat mereka jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kim Cu, maka selama belasan jurus saja, mereka telah berhasil menotok roboh gadis itu sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

   "Bagus, ikat ia di pembaringan!"

   Kemudian terjadilah malapetaka itu! Setelah dua orang pengawal pribadinya disuruh pergi, pangeran itu melampiaskan semua kemarahan dan kedongkolan hatinya kepada Kim Cu. Dengan buasnya dia mencabik-cabik pakaian Kim Cu, kemudian dia memperkosa gadis itu dengan kasar, berulang kali sampai Kim Cu tidak merasakan apa-apa lagi karena jatuh pingsan!

   Nafsu apa saja, kalau sudah menguasai batin manusia, membuat manusia itu menjadi seperti gila, menjadi buas melebihi binatang yang paling buas dan menjadi kejam, jahat dan kehilangan prikemanusiaan. Gairah berahi merupakan satu di antara nafsu yang ada pada kita sejak kita lahir, dan merupakan suatu kebutuhan yang amat mutlak dan penting. Nafsu berahi yang mendorong manusia untuk dapat berkembang biak, dan berahi merupakan kembangnya cinta kasih antara pria dan wanita.

   Pernyataan kasih sayang, permainan cinta antara pria dan wanita, hubungan kelamin, merupakan sesuatu yang indah dan suci, kalau dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, dengan penuh kepasrahan, kerelaan dan sukacita. Akan tetapi, kalau dilakukan dengan kekerasan, dengan paksaan dan perkosaan, maka menjadilah suatu perbuatan yang terkutuk, keji dan kotor! Kita harus menjadi tuan dari nafsu-nafsu kita, bukan menjadi budak! Kita harus menguasai nafsu, bukan dikuasai.

   Nafsu ibarat kuda penarik kereta. Tanpa kuda, kereta tidak akan bergerak maju. Akan tetapi, membiarkan kuda menguasai keadaan, amatlah berbahaya mungkin sekali kereta akan dibawa terjun ke dalam jurang dan hancurlah semuanya! Kuda penarik kereta haruslah ditundukkan sehingga dapat menarik kereta ke arah yang benar, karena itu haruslah selalu dikendalikan. Dan kendalinya adalah kewaspadaan dan kesadaran. Mawas diri agar tidak menjadi lengah.

   Ketika siuman kembali, Kim Cu merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Panas, pedih dan lelah, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya seperti remuk rasanya. Ia merintih lirih dan membuka mata, dan teringatlah semuanya itu!

   Ia masih terlentang di atas pembaringan, kaki tangannya masih terikat, kuat sekali. Mendengar suara dengkur di sebelahnya, ia melirik dan melihat kepala Pangeran Coan Siu Ong di dekatnya. Pangeran itu tidur mendengkur, kelelahan. Ingin Kim Cu menjerit, menangis, namun ditahannya. Dikeraskan hatinya.

   Pikirannya bekerja, ia tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia telah diperkosa oleh pria di sebelahnya ini. Terkutuk! Dan ia tahu bahwa kalau ia tetap berkeras, ia akan terus diperlakukan seperti ini. Diperkosa, dihina, diperlakukan seperti binatang! Ia mengatur pernapasannya, seperti yang pernah dipelajarinya dari mereka yang melatihnya ilmu silat. Pernapasan yang panjang dapat menenangkan batinnya yang porak poranda. Ia menjadi tenang, ia menjadi diam, penuh perhitungan, mengatur akal untuk membalas!

   Ia harus menanti sampai tengah malam, barulah pangeran itu terbangun. Begitu terbangun, pangeran itu batuk-batuk, lalu bangkit duduk, memandang kepada Kim Cu yang nampak tidur memejamkan mata, terkekeh puas, lalu meraih cawan arak, diminumnya arak yang masih setengah lebih. Lalu ia duduk, memandangi Kim Cu, dari atas ke bawah dan agaknya nafsunya bangkit kembali.

   "Heh-heh, apakah engkau masih hendak melawan, manis? Engkau sungguh manis dan cantik, sayang sekali engkau liar dan binal. Hemm, mulutmu begini manis, bibirmu begini merah dan hangat lembut, hemmm......" Pangeran itu menundukkan mukanya dan menciumi mulut Kim Cu. Dia terkejut sekali ketika merasa betapa mulut itu terbuka hangat dan membalas ciumannya dengan penuh kemesraan!

   Pangeran Coan Siu Ong mengangkat mukanya memandang dan melihat betapa Kim Cu sudah membuka matanya yang jeli, dan mulut yang manis itu tersenyum kepadanya! Tentu saja sang pangeran girang bukan main.

   "Aih, sayang, engkau...... engkau tidak melawan lagi sekarang?"

   Dengan sikap malu-malu dan kerling tajam disertai senyum simpul manis, Kim Cu berkata lirih manja.

   "Setelah kini menjadi isterimu, perlu apa aku melawan lagi? Tadi sih aku takut, malu......"

   "Ah, manisku! Sayangku! Aku cinta padamu......!" Pangeran itu lalu memeluk menciumi muka Kim Cu yang mandah saja.

   "Akan tetapi, kaki dan tanganku rasanya seperti akan patah tulangnya, seluruh tubuhku sakit-sakit. Bagaimana aku dapat enak melayanimu kalau diikat seperti ini, Ong-ya?"

   Pangeran Coan Siu Ong tersenyum.

   "Kasihan engkau! Salahmu sendiri, tadi engkau begitu buas. Kalau seperti sekarang, ahhh...... tentu lebih menyenangkan. Akupun tidak ingin menggunakan kekerasan, aku sayang padamu, Kim Cu......" Dan pangeran itu lalu mengambil sebatang pedang kecil, lalu memotong tali-tali pengikat pada kaki tangan gadis itu.

   Kim Cu menahan rasa nyeri ketika darahnya jalan kembali. Bekas ikatan pada pergelangan kaki dan tangan itu terasa nyeri dan berdenyut-denyut. Ia menggosok-gosok keempat pergelangan kaki tangannya, dan sang pangeran ikut pula menggosok-gosok dengan minyak panas, menciumi seluruh tubuh yang mulus itu. Kim Cu mandah saja, bahkan sekali-sekali balas mencium dan merangkul, membuat sang pangeran semakin bergairah.

   Akan tetapi, ketika pangeran itu hendak merangkulnya dan merebahkannya, tiba-tiba tangan Kim Cu menampar.

   "Plakkk!" Muka pangeran itu kena ditampar, demikian kerasnya sehingga tubuh yang tinggi besar berkulit hitam itu terpelanting ke bawah pembaringan!

   Saking kagetnya, pangeran itu sampai tak sempat berteriak, hanya terbelalak memandang kepada Kim Cu, seluruh gairahnya lenyap terganti rasa kaget dan takut melihat betapa wanita cantik jelita bertubuh mulus itu kini meloncat turun, tubuh yang telanjang bulat namun yang kini amat menakutkan.

   "Desss......!" Sebuah tendangan kilat menyambar dan mengenai ulu hati Pangeran Coan. Biarpun tendangan itu dilakukan dengan kaki telanjang, namun datangnya cukup keras, membuat tubuh pangeran itu terjengkang dan kepalanya membentur lantai.

   "Uakkk......!" Pangeran itu muntahkan darah segar dan kepalanya terasa pening ketika terbanting keras membentur lantai.

   "Jahanam busuk! Akan kubunuh kau......, akan kucincang tubuhmu......!" Kim Cu berseru dan kembali kakinya menendang, sekali ini mengarah selangkang pangeran itu. Pangeran itu mencoba untuk menarik tubuhnya, akan tetapi tendangan itu masih menyerempet anggauta badan yang paling berbahaya di selangkangnya.

   "Aduuuhhh...... tolongggg...... toloooooggg......!" Pangeran itu menggunakan kedua tangannya mendekap bagian yang tertendang, dan melolong-lolong ketakutan, apa lagi melihat Kim Cu menyambar pedang pendek di atas meja, pedang yang tadi dipergunakan Pangeran Coan Siu Ong untuk memotong putus tali-tali pengikat kaki tangannya. Dengan muka beringas Kim Cu memegang pedang itu, berniat untuk mencincang tubuh orang yang amat dbencinya seperti ancamannya tadi.

   Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal pribadi yang berjaga di luar pintu samping, mendengar suara gaduh disusul teriakan majikan mereka, sudah berloncatan ke dalam kamar. Melihat majikan mereka bergulingan di atas lantai sambil mengaduh-aduh, mulutnya berdarah, kepalanya benjol-benjol, kedua tangan mendekap selangkangan, sedangkan gadis yang tadi diikat di atas pembaringan itu, dengan telanjang bulat kini berdiri memegang pedang dan agaknya hendak menyerang majikan mereka, cepat mereka lalu berloncatan menghadang sambil mencabut golok mereka!

   Melihat munculnya dua orang pengawal pribadi ini, Kim Cu menjadi semakin marah. Ia tidak takut, bahkan memaki.

   "Kalian anjing-anjing penjilat juga harus mampus!"

   Dan iapun menyerang dengan pedang pendeknya, menusuk dan membacok kalang kabut. Dua orang pengawal itu menggerakkan golok mereka untuk menangkis dan melindungi diri mereka. Mereka tidak berani menyerang dengan golok mereka untuk melukai apa lagi membunuh Kim Cu tanpa perintah pangeran, maka karena ilmu silat mereka jauh lebih tinggi, dengan mudah akhirnya si tinggi kurus menendang pergelangan tangan Kim Cu sehingga pedang yang dipegangnya terlepas dan terlempar.

   Dengan mudah dua orang pengawal itupun lalu merobohkan Kim Cu dan setelah seorang di antara mereka membungkus tubuh telanjang bulat itu dengan selimut. Orang kedua segera mengikat kaki tangannya sehingga gadis itu tidak mampu bergerak lagi.

   Mereka berdua lalu menolong Pangeran Coan Siu Ong yang masih mengaduh-aduh, menyumpah-nyumpah dan mendekap selangkangannya. Dadanya juga terasa sakit sekali, juga dua buah giginya rontok akibat tamparan tadi. Dia lalu diangkat ke atas pembaringan dan direbahkan. Pangeran itu mengerang kesakitan, akan tetapi dia masih mampu memperlihatkan kemarahannya kepada Kim Cu.

   "Perempuan itu jahat sekali! Ia pura-pura menyerah dan setelah kubebaskan tiba-tiba menyerangku, bahkan nyaris membunuhku! Bawa ia sekarang juga, jual murah saja kepada rumah bordil yang terbesar dan yang mempunyai tukang pukul yang pandai dan kuat. Cepat, bawa ia pergi! Jual ke rumah bordir, tempat paling hina dan kotor bagi seorang perempuan! Itulah hukumannya! Kalau dibunuh begitu saja, terlalu enak baginya!"

   Dua orang pengawal itu tidak berani membantah dan malam itu juga, mereka mengangkat Kim Cu yang masih terbelenggu, membawanya dengan kereta menuju ke rumah bordil Bibi Ciok di sudut kota.

   Tentu saja Bibi Ciok girang bukan main mendapatkan kembang baru ini, dengan harga murah lagi. Apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dijual kepadanya dengan murah itu bukan lain adalah Lie Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang siang tadi diambil selir oleh Pangeran Coan Siu Ong! Wah, tentu ia akan kebanjiran uang!

   Tentang peringatan dua pengawal pribadi pangeran itu bahwa Kim Cu pandai silat dan lihai, Bibi Ciok tidak khawatir. Ia mempunyai banyak tukang pukul, ada duabelas orang, yang kesemuanya pandai silat dan tentu dapat membuat gadis itu tidak berdaya.

   Kemarahan Pangeran Coan Siu Ong tidak dapat dipadamkan hanya dengan menjual Kim Cu ke rumah pelacuran. Dia merasa ditipu, merasa dirugikan dan malam itu juga dia memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap kembali Lie-taijin dan melempar orang ini ke dalam kamar tahanan!

   Dan pada keesokan harinya, pengadilan menjatuhkan hukuman buang selama hidup kepada Lie-taijin karena korupsi, menggunakan uang negara, dan karena hutang-hutangnya yang banyak, juga karena dia telah menggelapkan uang emas milik Pangeran Coan Siu Ong yang dititipkan kepadanya! Rumah dan semua isinya disita dan semua isterinya diusir keluar dari rumah itu tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka! Tidak ada yang boleh membawa keluar sebuahpun perhiasan berharga!

   Tentu saja hal ini merupakan pukulan batin yang hebat bagi keluarga Lie, apa lagi ketika Nyonya Lie mendengar bahwa suaminya dihukum buang selama hidup dan puterinya kini dijual ke rumah pelacuran. Ia tidak kuat menahan derita batin ini. Ia jatuh sakit sampai meninggal dunia, diurus secara sederhana sekali oleh para madunya yang kemudian pulang ke tempat asal masing-masing. Hancurlah keluarga Lie, hancur hanya karena akibat perjudian!

   Lie-taijin sendiri merasa berduka bukan main. Dia tahu akan nasib yang menimpa keluarganya, bahkan sebelum dia berangkat ke tempat pembuangan, dia mendengar pula akan nasib puterinya yang dijual ke rumah pelacuran. Hal ini membuatnya menjadi nekad dan ketika dia melakukan perjalanan tiba di tepi sebuah jurang yang curam, tiba-tiba saja dia meloncat ke dalam jurang itu dan tentu saja tubuhnya remuk dan diapun tewas seketika!

   Yang sudah mati memang sudah tamat riwayatnya dan sudah berakhir pula penderitaannya di dunia. Akan tetapi Kim Cu masih hidup! Gadis yang bernyali besar ini masih harus mengalami penderitaan yang bertubi-tubi dan amat hebatnya ketika ia terjatuh ke tangan rumah pelacuran yang dipimpin Bibi Ciok. Terlepas dari tangan Pangeran Coan Siu Ong terjatuh ke tangan pelacuran, berarti terlepas dari mulut seekor harimau lalu terjatuh ke dalam kepungan segerombolan srigala buas!

   Mula-mula ia diperlakukan dengan baik, dimandikan, diberi pakaian yang indah, dirias dan diminyaki rambutnya, kemudian dibujuk untuk menjadi kembang rumah pelesiran itu, untuk dengan suka rela menerima tamu-tamu yang akan membayar mahal untuk dirinya, agar ia suka melayani para tamu dengan ramah tamah dan baik. Akan tetapi, Kim Cu marah-marah ketika mendapat kenyataan bahwa ia berada dirumah pelacuran dan bahwa ia dibujuk untuk menjadi seorang pelacur yang baik! Ia memaki-maki dan mengamuk, memukuli para wanita yang merawat dan membujuknya.

   Para tukang pukul datang dan iapun dikeroyok, dirobohkan dan kembali ia mengalami siksaan. Ia diancam bahwa ia akan disuguhkan kepada para pria yang berani membayarnya dalam keadaan terikat, agar ia diperkosa oleh mereka secara bergantian sampai ia mati!

   "Anak manis, ingatlah baik-baik!" demikian antara lain Bibi Ciok sendiri datang membujuk ke jendela sel di mana Kim Cu menggeletak kelaparan setelah tiga hari tidak diberi makan atau minum.

   "Tidak perlu lagi engkau berlagak dan menjual mahal. Ingat, engkau bukan lagi puteri Lie-taijin, juga engkau bukan lagi selir Pangeran Coan Siu Ong! Engkau seorang budak belian, sudah dijual kepadaku! Aku telah mengeluarkan uang untuk membeli tubuhmu, maka engkaupun harus menjual diri untuk membalas budiku. Engkau seorang pelacur! Kalau engkau berkeras tidak mau tunduk, baik, betapapun aku harus mendapatkan kembali uangku darimu. Engkau akan kujual begitu saja, dalam keadaan telanjang dan dibelenggu kaki tanganmu, kepada siapa yang suka membayar dan memperkosamu sepuas hatinya. Biar dengan harga murah engkau kuserahkan kepada mereka yang akan bergantian memperkosamu sampai engkau mati! Atau, kalau engkau pintar, engkau dapat menurut keinginanku, engkau layani laki-laki terhormat dan kaya raya, dengan suka rela engkau menyenangkan hati mereka. Engkau mendapat perlayanan manis, pakaian indah, bahkan engkau akan memperoleh kesenangan dari para pria yang mengagumimu, dan memperoleh bayaran tinggi! Nah, pilih mana? Mati terhina atau menjadi wanita yang dicinta oleh ribuan pria yang memujamu?"

   Kim Cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia maklum bahwa ia terjatuh ke dalam tangan orang yang amat kejam, yang bukan hanya mengancam atau menggertak, melainkan akan membuktikan ancamannya itu. Ngeri juga hatinya membayangkan betapa ia akan diperkosa bergantian, terbayang akan pengalamannya ketika ia diperkosa oleh Pangeran Coan Siu Ong! Ia tentu akan mati, dan kalau ia mati, semua manusia jahat itu tidak akan ada yang menghukumnya.

   Tidak, ia tidak boleh mati. Ia harus tetap hidup untuk kelak dapat membalas semua kejahatan itu. Ia harus hidup walaupun ia harus melakukan apa saja. Ia berani berkorban apa saja sekarang, setelah apa yang ia alami di dalam kamar Pangeran Coan Siu Ong! Kalau ia masih hidup, tentu akan terbuka jalan baginya untuk membebaskan dirinya!

   "Baiklah, aku menyerah. Aku..... aku tidak ingin diperkosa lagi...... aku ingin hidup....."

   Bibi Ciok tersenyum lega.

   "Dan engkau akan mau bersolek, melayani para tamu terhormat itu dengan suka rela, dengan senyum dan ramah?"

   Kim Cu yang sudah lemah itu mengangguk.

   "Aku...... akan kulakukan semua itu...... asal aku jangan diperkosa...... jangan diperkosa dan dibiarkan hidup......"

   Bibi Ciok tersenyum cerdik.

   "Lie Kim Cu, jangan dikira bahwa aku bodoh, ya? Kalau kau pura-pura menyerah kemudian memberontak, ada banyak tukang pukulku yang akan merobohkanmu lagi. Dan sekali kau memberontak, engkau takkan kuberi kesempatan lagi, langsung kujual obral biar diperkosa oleh puluhan orang yang suka membelimu dengan murah, sampai kau mampus!"

   Kim Cu lalu diberi makan minum, dikeluarkan dari sel, dan tubuhnya yang mulai kurus karena dicambuki, dibuat kelaparan, kini mulai menjadi montok lagi setelah lewat beberapa hari. Setengah bulan kemudian, ia sudah nampak cantik jelita lagi, dengan pakaian indah dan senyum manis selalu menghias wajahnya yang cantik jelita.

   Sementara itu, sebelum mengeluarkan "simpanannya", yaitu kembang baru yang namanya sudah membuat banyak orang laki-laki tergila-gila, Bibi Ciok tentu saja sudah membuat propaganda. Dan memang benar, puluhan orang pria, tua dan muda, membanjiri rumah pelacuran itu. Mereka berebutan mendaftarkan diri sebagai tamu untuk dilayani Kim Cu. Bahkan tarip yang amat mahal yang dipasang oleh Bibi Ciok, mereka berani membayar, bayar di muka lagi!

   Hal ini membuat Bibi Ciok kewalahan dan segera tarip dinaikkan, sampai empat kali lipat, namun tetap saja kaum pria itu berebutan!

   Akhirnya, Kim Cu harus menerima tamu pertama, yaitu seorang pemuda bangsawan yang merupakan pembayar paling tinggi dan pendaftaran pertama! Biarpun hatinya merasa tersiksa bahwa ia barus melayani seorang pria yang tidak dicintanya dengan penyerahan dirinya, walaupun
(Lanjut ke Jilid 03)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 03
pria itu muda dan tampan, namun Kim Cu yang sudah bertekad untuk mencari kebebasan itu melayaninya dengan senyum manis, dengan sikap yang ramah. Bahkan ia berusaha memikat hati pria itu sehingga pria itu tidak meninggalkannya sampai semalam suntuk!

   Inilah akal Kim Cu agar ia tidak usah melayani lebih dari seorang pria setiap malam! Setiap kali menerima tamu, Kim Cu berhasil menempel tamu itu sehingga tamu itu tidak mau meninggalkannya sebelum keesokan harinya.

   Demikianlah, sampai hampir satu bulan Kim Cu menjadi pelacur. Setiap malam harus melayani sedikitnya seorang tamu dan memang jarang ada tamu yang tidak mau memenuhi permintaannya untuk tinggal di kamarnya semalam penuh. Ia merasa muak, jijik dan benci sekali. Akan tetapi semua itu ditelannya dengan senyum, dan Kim Cu sekarang jauh berbeda dengan Kim Cu sebulan yang lalu.

   Kini ia telah menjadi seorang wanita yang matang segala-galanya, penuh perhitungan, dan amat cerdik. Sama sekali tidak dipengaruhi oleh perasaan dan kuat sekali menahan derita, diam bukan karena kalah, melainkan mengalah karena dia menyusun perhitungan masak untuk menyerang kembali, bagaikan seekor ular yang melingkar dan diam, nampaknya tak berdaya namun amat berbahaya karena memperhitungkan segalanya dan mengatur tipu muslihat dan merencanakan siasat.

   Karena sikapnya yang amat baik sehingga semua tamu memujinya dan para tamu langganannya tidak sayang menghamburkan uang banyak sehingga amat menguntungkan Bibi Ciok, maka Kim Cu kini menjadi kesayangan Bibi Ciok pula. Dipercaya penuh. Mengapa tidak? Kasih sayang orang seperti Bibi Ciok ini selalu berdasarkan untung rugi. Siapa mendatangkan untung baginya, apalagi keuntungan besar seperti yang didatangkan Kim Cu, akan disayangnya, di sanjung dan dipujinya.

   Uang yang ia keluarkan untuk membeli Kim Cu dari tangan Pangeran Coan Siu Ong tidak berapa banyak, dan kini, dalam waktu hampir satu bulan saja ia sudah menerima pengembalian yang lebih dari seratus kali banyaknya! Dan ia membayangkan bahwa sumber uang ini masih akan mengalirkan uang selama bertahun-tahun karena, bukankah Kim Cu cantik jelita dan muda belia, juga pandai menjaga diri, semalam hanya melayani seorang tamu, tidak menghamburkan tenaga sehingga tidak akan menjadi cepat tua?

   Malam itu Kim Cu menerima tamu yang sudah menjadi langganannya. Putera mantu seorang jaksa tinggi di Lok-yang! Tentu saja putera mantu ini dihormati semua orang. Bayangkan saja Putera mantu jaksa tinggi! Siapa berani menentangnya? Baru nama "jaksa tinggi" itu saja sudah membuat semua orang bergidik dan merasa dirinya kecil. Sekali tuding dengan telunjuknya, dia akan mampu membuat seseorang ditangkap dan dijatuhi hukuman buang atau mati, bersalah atau tidak!

   Putera mantu jaksa tinggi ini berusia empatpuluh tahun, sikapnya halus dan sopan seperti biasanya orang terpelajar tinggi dan bangsawan. Dia bukan seorang yang suka melacur, hanya ketika mendengar betapa Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang terkenal itu kini menjadi pelacur, dia iseng-iseng mengunjunginya. Dan dialah yang dipilih oleh Kim Cu seperti yang disiasatkannya semenjak ia menyerah kepada Bibi Ciok di dalam sel ketika ia hampir kelaparan itu!

   Sudah empat kali Bhok Hin, mantu jaksa itu, datang berkunjung dan setiap kali dilayani Kim Cu, dia semakin terpikat dan semakin jatuh cinta. Hampir seminggu sekali dia datang berkunjung dan setiap kali berkunjung, tentu dia tidak akan meninggalkan Kim Cu dan pembaringannya selama semalam suntuk, bahkan kadang-kadang sampai besok sore baru dia pergi!

   Bagaikan seekor laba-laba menjerat mangsanya, Kim Cu mempergunakan segala keahliannya yang diperolehnya selama hampir satu bulan itu, mengeluarkan semua kemanjaan dan kemesraan yang hangat, untuk memikat hati Bhok Hin yang menjadi semakin tergila-gila. Bahkan Bhok Hin membujuk Kim Cu untuk mau menjadi selirnya dan dia bersedia untuk menebusnya dari Bibi Ciok.

   Akan tetapi, dengan cerdik Kim Cu masih mengulur waktu, mengatakan bahwa hutangnya kepada Bibi Ciok terlalu besar, bukan hanya hutang uang, melainkan hutang budi sehingga ia belum tega untuk meninggalkannya. Ia minta waktu sebulan lagi dan tentu saja Bhok Hin yang sedang tergila-gila itu berbaik hati untuk menanti dengan sabar.

   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis