DENDAM SEMBILAN IBLIS TUA JILID 09

 




   "Bukan itu, Liong-li." Tentu saja Liong-li tahu, akan tetapi entah mengapa, sekali ini ia sendiri menjadi tidak wajar, mempunyai rasa malu. Rahasia yang terpendam amat dalam di hatinya, tadi terungkap dan ia merasa malu kalau-kalau rahasia itu akan diketahui Pek-liong.

   "Apa maksudmu...?" Ia tergagap.

   "Engkau tadi... menangis. Itu bukan engkau, Liong-li. Liong-li tidak pernah seperti itu, menangis seperti anak kecil, seperti seorang wanita lemah. Mengapa, Liong-li?"

   "Dan engkau katakan bahwa mungkin dunia kiamat!" Liong-li mencoba untuk memecahkan ketegangan di antara mereka dengan kelakar. Akan tetapi Pek-liong menggeleng kepala perlahan, tetap memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hati rekannya.

   "Selama kita berkenalan, belum pernah aku melihat engkau menangis seperti itu, Liong-li, maka tanpa kusengaja aku mengatakan bahwa tentu dunia sudah kiamat kalau Liong-li menangis seperti itu. Sebenarnya, mengapa engkau menangis seperti itu, Liong-li? Kita bukan penakut, kita tidak takut menghadapi kematian, bahkan engkau lebih berani dari pada aku menghadapi maut. Akan tetapi tadi, kenapa engkau menangis seperti orang ketakutan?" Mereka kembali saling pandang dan Pek-liong melihat betapa bibir rekannya itu gemetar! Suatu tanda kelemahan perasaan yang belum pernah dia lihat sebelumnya! Kemudian terdengar jawaban Liong-li, dan suaranya mengandung getaran yang belum pernah didengar Pek-liong sebelumnya.

   "Aku melihat dan menyangka engkau sudah menjadi mayat. Melihat engkau tewas, aku kehilangan akal, dunia seperti kiamat rasanya..." Pek-liong merasa jantungnya berdebar. Sudah sering kali timbul debaran jantung aneh seperti ini setiap kali dia teringat kepada Liong-li, namun selalu dia berhasil menekan debaran aneh ini dengan meyakinkan hatinya bahwa dia dan Liong-li adalah rekan seperjuangan yang paling setia. Itu saja. Kini, debaran jantungnya lebih kuat dari pada biasanya, sukar untuk diredakan karena Liong-li berada di depannya dan pandang mata Liong-li demikian aneh! Maka, diapun cepat mengalihkan perhatian untuk memecahkan suasana yang mencekam hatinya itu.

   "Liong-li, sembilan orang itu masih berada dalam cengkeraman ke tiga Iblis tua! Kita harus cepat menolong mereka!" Liong-li seperti dihentakkan dengan tiba-tiba, seperti diseret turun dari, dunia lamunan yang amat indah, dan iapun terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kini berubah seperti biasanya, mengandung kecerdikan dan kewaspadaan.

   "Benar sekali! Bagaimana kita dapat melupakan hal itu? Cepat, mari kita mencari jalan turun. Terpaksa kita harus mengitari bukit ini tiba di seberang sana, mendaki dari bagian yang berlawanan. Engkau sudah kuat berjalan cepat, Pek-liong?"

   "Kurasa tenagaku sudah pulih kembali dan... eh, lihat itu!" teriaknya gembira bukan main. Liong-li menengok dan iapun melihat kilauan sinar pedang yang menancap di atas tanah. Pedang Pek-liong-kiam! Agaknya, ketika roboh pingsan oleh serangan jarum dan pukulan tangan Ang I Sian-li, Pek-liong masih tetap memegang erat pedangnya, dan ketika Liong-li memondongnya dan membawanya lari sampai terjerumus ke dalam tebing jurang, pedang itu terlepas dari pegangannya dan meluncur jatuh lebih cepat dari pada badannya.

   "Pek-liong-kiam!" seru Liong-li dan iapun ikut bergembira.

   Pek-liong segera mengambil pedangnya dan memeriksanya. Tentu saja dia merasa girang sekali mendapatkan kembali pedangnya dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Dengan pedang di tangan, semangat bertambah besar. Mereka segera mencari jalan turun ke kaki bukit, untuk kemudian mengitari bukit itu dan mendaki lagi menuju ke sarang gerombolan yang di pimpin tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Dan di sepanjang perjalanan ini, Pek-liong yang sudah mengalami perkelahian melawan tiga orang Iblis Tua membicarakannya dengan Liong-li, mencatat kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka agar kalau mereka berdua harus berhadapan lagi dengan tiga orang Iblis Tua itu, mereka dapat lebih mempersiapkan diri.

   "Kita harus waspada terhadap kipas lebar di tangan kiri Kim Pit Siu-cai," kata Pek-liong mengingat-ingat.

   "Sepasang mouw-pit (pena bulu) darinya memang berbahaya, akan tetapi pedangku dapat menandinginya dan mengatasinya. Akan tetapi kalau dia mencabut kipasnya dengan tangan kiri, kita harus berhati-hati. Kipas itu dapat melepas jarum halus secara curang dan tidak terduga sama sekali."

   "Kalau begitu, kita harus mendahuluinya, sebelum sempat mempergunakan senjata rahasianya, kita harus merusak kipas itu dengan pedang. Kurasa jurus ke lima dari Sin-liong Kiam-sut kita akan mampu melakukan itu," kata Liong-li dan rekannya mengangguk.

   "Ang I Sian-li merupakan lawan paling lemah di antara mereka bertiga, akan tetapi kita harus berhati-hati terhadap tangan merahnya. Pukulan beracun itu dapat membahayakan kita kalau kita tidak berhati-hati."

   "Ang-tok-ciang (Tangan Beracun Merah) dari Iblis betina itu tentulah dilatih dengan menghisap darah bayi seperti yang pernah kita dengar dilakukan iblis betina itu. Ingin aku membuntungi kedua tangan merahnya!" kata pula Liong-li gemas, mengingat betapa tangan merah itu hampir menewaskan Pek-liong.

   "Tentang Pek-bwe Coa-ong, dia memang lihai dengan tongkat ularnya. Akan tetapi dia kurang percaya kepada diri sendiri, lebih sering mengandalkan ular-ularnya. Kalau kita sudah dapat membasmi ular-ularnya, diapun menjadi gentar dan mudah dihadapi," kata pula Pek-liong.

   "Empat orang Thai-san Ngo-kwi juga selain golok mereka mengandalkan pukulan tangan merah yang panas, akan tetapi kiraku tidaklah seganas tangan merah Ang I Sian-li. Mungkin mereka itu menguasai Ang-hwe-ciang (Tangan Api Merah) akan tetapi bukan golok dan pukulan tangan merah itu yang membuat mereka kuat melainkan to-tin (baris an golok) mereka berempat. Kalau mereka maju berempat maka mereka dapat membentuk barisan dan bersatu dengan amat kuatnya, kiraku tidak kalah kuat dibandingkan seorang di antara Tiga Iblis Tua itu." Pek-liong mengangguk-angguk.

   "Sekali ini, kita menghadapi lawan yang berat dan berbahaya, apa lagi ditambah banyak anak buah mereka. Kita harus berhati-hati, akan tetapi kitapun tidak mungkin membiarkan sembilan orang itu menjadi tawanan mereka."

   "Engkau benar, Pek-liong. Tidak boleh sembilan orang itu mati karena kita. Kita harus dapat menyelundup ke sana secepatnya dan menolong mereka." Kini Pek-liong dan Liong-li sudah pulih kembali dari keadaan tidak wajar ketika perasaan mereka dicengkeram suatu getaran aneh yang membuat mereka hampir menjadi lemah.

   Kini mereka kembali menjadi sepasang manusia yang seolah tidak lagi mempunyai perasaan, penuh kewaspadaan dan penuh semangat untuk mengalahkan musuh-musuh mereka! Dan kalau mereka sudah seperti itu, sungguh tidak ada bahaya lebih besar dari pada menentang sepasang naga ini! Kita tinggalkan dulu sepasang naga yang sedang mencari jalan menuruni bukit untuk kemudian mendaki lagi dari lain bagian ke sarang gerombolan dan kita tengok keadaan Cian Ciang-kun (Panglima Cian) atau Cian Hui yang karena kecerdikannya berhasil lolos dari perangkap yang dipasang tiga Iblis Tua sehingga dia dan isterinya tidak sampai menjadi tawanan mereka seperti halnya suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing berikut putera mereka, Song Cu.

   Juga tidak seperti kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li. Ketika Pek-liong menemuinya dan mendengarkan semua pengalamannya, kemudian Pek-liong meninggalkan rumahnya dan pendekar itu menolak ketika dia hendak membantu dengan pasukan, Cian Hui merasa tidak enak hati. Tidak mungkin dia membiarkan saja para sahabatnya yang amat dikasihinya itu menghadapi bahaya besar. Dia tahu bahwa sekali ini sisa Kiu Lo-mo pasti telah mempersiapkan diri. Kalau mereka itu menghimpun banyak anak buah, bagaimana mungkin Pek-liong dan Liong-li berdua saja menghadapi dan melawan mereka? Pula, para datuk sesat itu selain lihai juga curang dan tidak segan mempergunakan kelicikan, maka tentu saja dia amat mengkhawatirkan keselamatan kedua orang sahabatnya itu.

   Setelah Pek-liong pergi, Cian Hui mengambil keputusan, bersama Cu Sui In isterinya, mengajak belasan orang jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, pergi berangkat mencari sarang gerombolan di bukit Hek-san lembah Huang-ho. Juga dia mengerahkan pasukan sebanyak tigaratus orang, pasukan pilihan, untuk berangkat ke sana karena dia menduga bahwa sekali ini, para musuh Pek-liong dan Liong-li tentu telah mempersiapkan anak buah yang cukup banyak maka mereka berani menantang kedua orang pendekar itu secara terang-terangan. Karena membawa pasukan, tentu saja Cian Hui dan isterinya tidak dapat secepat Pek-liong tiba di tempat itu. Dia lalu mengatur pasukannya, disebarnya penyelidik dan setelah menemukan sarang gerombolan, dia lalu mengepung tempat itu dengan pasukannya. Dia sendiri bersama isterinya dan belasan orang jagoan kota raja mendaki ke sarang gerombolan dengan hati-hati.

   Seregu pasukan ahli penyelidik alat-alat rahasia jebakan, telah lebih dahulu bergerak membersihkan dan membasmi jebakan-jebakan yang ada. Semak-semak belukar yang mencurigakan dibabat habis dan dibakar, dan dibuat jalan setapak yang aman ke arah sarang untuk Cian Hui dan isterinya, sedangkan tigaratus orang pasukan itu mendaki dengan posisi mengepung. Pagi hari itu, para anak buah gerombolan sibuk mempersiapkan sembahyangan di tepi tebing. Panggung itu mereka selesaikan kemarin, dan segala persiapan untuk sembahyangan besar telah dibuat. Semua anak buah gerombolan masih dalam suasana berpesta gembira untuk merayakan kemenangan mereka atas musuh besar mereka, yaitu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang telah terjatuh ke dalam tebing jurang yang amat curam itu.

   Sembilan orang tawanan dalam keadaan terbelenggu telah dikeluarkan dari dalam kamar tahanan dan diikat di batang pohon dekat panggung. Song Tek Hin dan Su Hong Ing tidak takut menghadapi kematian, tidak gentar terhadap keselamatan diri sendiri, akan tetapi mereka gelisah sekali melihat Song Cu, anak mereka yang menangis karena anak itupun diikat kaki tangannya dan digeletakkan di dekat mereka. Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Su Hong Ing melihat keadaan puteranya, akan tetapi karena ia sendiri terikat kaki tangannya, ia tidak mampu berbuat apapun. Suaminya, Song Tek Hin, mengepal tinju dengan marah sekali, akan tetapi juga tidak berdaya. Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li diikat pada batang pohon lain, demikian pula dua orang gadis pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong.

   Delapan orang itu adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Mereka tidak gentar menghadapi kematian dan yang membuat mereka gelisah hanyalah Song Cu anak berusia tiga tahun yang ikut menjadi tawanan, juga mereka gelisah memikirkan keadaan Pek-liong dan Liong-li. Semalam muncul Kim Pit Siu-cai dan tempat tahanan dan laki-laki berusia enam puluh tahun yang masih tampan dan sikapnya halus namun kejam sekali ini berusaha membujuk Su Hong Ing dengan kata-kata yang kotor, tanpa memperdulikan tawanan lain yang ikut pula mendengarkan. Kepada ibu muda itu, Kim Pit Siu-cai menghampiri dan tersenyum-senyum. Bagi Kim Pit Siu-cai, Su Hong Ing merupakan wanita tercantik dan paling menggairahkan di antara empat orang wanita tawanan.

   "Hemn, engkau cantik jelita, sungguh sayang kalau lehermu yang putih mulus itu dipenggal besok pagi," katanya. Su Hong Ing memandang tajam.

   "Aku tidak takut mati. Penggallah, siksalah, aku tidak takut. Hanya kuminta, demi prikemanusiaan, kalau kalian masih merasa menjadi manusia, bebaskan anakku! Dia tidak tahu apa-apa, dia baru berusia tiga tahun, bebaskan dia!" Dan betapapun gagahnya, ibu muda ini tidak dapat menahan kegelisahannya dan iapun menangis! Song Tek Hin yang ikut mendengarkan dan melihat, tidak menyalahkan isterinya yang menangis. Dia sendiri ingin menangis kalau melihat bahaya maut mengancam puteranya yang masih kecil.

   "Heh-heh-heh, nyonya manis. Mudah saja kalau engkau hendak menyelamatkan puteramu. Bersikaplah manis kepadaku, layani aku malam ini dan aku akan usahakan agar puteramu..."

   "Jahanam busuk! Aku tidak sudi!" bentak Su Hong Ing dengan muka kemerahan dan mata melotot.

   "Ha-ha-ha, engkau suka atau tidak, apa sukarnya bagiku untuk memondongmu ke kamarku, manis? Akan tetapi aku akan lebih suka kalau engkau melayaniku dengan suka rela..."

   "Tidak!" Keparat jahanam, iblis busuk! Kalau engkau jamah saja diriku, aku akan bunuh diri dan kalau engkau membunuh anakku, arwahku akan selalu mengejarmu dan mengganggumu!" Mendengar ancaman ini, mau tidak mau Kim Pit Siu-cai bergidik juga. Dia memandang kepada Kam Cian Li, juga kepada dua orang pembantu Liong-li. Mereka bertiga ini juga cantik menarik, akan tetapi pandang mata mereka kepadanya tidak ada bedanya dengan pandang mata ibu muda itu,

   Tidak ada rasa takut atau menyerah sedikitpun dan dari pandang mata mereka saja tahulah dia bahwa kalau dia ingin menguasai mereka, dia harus menggunakan paksaan, harus memperkosa, dan kalau dia melakukan ini, mereka tentu akan membunuh diri. Bagi orang-orang yang ahli silat seperti mereka, tidak sukar membunuh diri walau dalam keadaan terbelenggu sekalipun. Dengan menggigit putus lidah sendiri, atau dengan menahan dan menelan napas. Dan dia sendiri adalah seorang laki-laki yang angkuh, yakin akan ketampanan dan kepandaiannya merayu wanita. Kalau sampai ada wanita menolaknya dan dia harus memperkosanya, hal itu akan merupakan pukulan bagi harga dirinya! Sikap empat orang wanita itu sudah membuyarkan gairahnya dan malam itu lewat tanpa gangguan terhadap empat orang wanita itu. Setelah Kim Pit Siu-cai pergi, Kam Cian Li berkata,

   "Akupun akan membunuh diri kalau dia berani menjamahku." Dua orang pembantu Liong-li juga menyetujui sikap itu. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik, sembilan orang tawanan itu sudah diikat di batang pohon dekat panggung tempat sembahyang. Tiga orang Iblis Tua datang dan mereka menghampiri para tawanan. Kim Pit Siu-cai memandang empat orang wanita yang semalam menolaknya dan dia pun tertawa.

   "Ha-ha-ha, akan kulihat apakah kalian tidak meratap minta ampun kalau seorang demi seorang kami siksa dan kami bunuh untuk korban sembahyangan terhadap arwah para rekan kami."

   "Hi-hik, biarpun anak itu bukan bayi lagi, darahnya masih cukup bersih. Berikan kepadaku, biar kuhisap darahnya sampai habis!" kata Ang I Sian-li dan Song Tek Hin bersama isterinya, meronta-ronta dalam ikatan mereka, namun sia-sia belaka. Ikatan itu terlampau kuat.

   "Ang I Sian-li, dengarlah sumpah kami berdua, ayah ibu anak itu. Kalau engkau melakukan apa yang kaukatakan itu, kami bersumpah, setelah kami mati, arwah kami akan bersatu dan mengganggu siang malam, sampai engkau menjadi gila, menjadi tersiksa sedikit demi sedikit, sampai akhirnya engkau mampus dan arwah kami tetap akan mengejar arwahmu!" Suara Song Tek Hin ini terdengar penuh perasaan dan amat menyeramkan bagi Ang I Sian-li sehingga wajah iblis betina ini menjadi agak pucat juga. Pada jaman itu, orang-orang masih amat tahyul dan percaya benar bahwa apa yang disumpahkan itu tentu akan menjadi kenyataan. Tentu saja hal ini membuat Ang I Sian-li merasa ngeri juga. Pek-bwe Coa-ong kini berkata kepada para tahanan.

   "Sebetulnya, secara pribadi kami tidak bermusuhan dengan kalian semua. Akan tetapi, kalian adalah sahabat-sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kami tidak mendapatkan kenikmatan menyaksikan penderitaan mereka ketika tewas terjungkal ke dalam jurang. Maka, sebagai gantinya, kami ingin melihat kalian menderita dalam siksaan ketika kami bunuh, dan kami yakin bahwa arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga akan melihat kalian tersiksa dan menderita karena kalian mati karena mereka!" Pada saat itu , seolah-olah menjawab ucapan Pek-bwe Coa-ong, terdengar teriak-teriakan dan robohnya banyak anak buah gerombolan, disusul sorak sorai yang riuh rendah. Tiga Iblis Tua itu menjadi terkejut, dan empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang lebih dahulu melihat datangnya penyerbuan itu, berteriak.

   "Pasukan pemerintah...! Mereka mengepung kita...!!" Gegerlah seketika keadaan di sarang gerombolan itu. Anak buah gerombolan menjadi panik karena dari semua jurusan datang pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Pek-bwe Coa-ong terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Bagaimanapun juga, kalau hanya menghadapi pasukan pemerintah, dia tidak gentar.

   "Semua tenang, lawan dan bunuh mereka semua! Kita tidak akan kalah!"

   Dia sendiri bersama dua orang rekannya, juga empat orang Thai-san Ngo-kwi, mengamuk dan begitu mereka bergerak, mereka merobohkan perajurit-perajurit yang menyerbu dengan mudah. Hal ini membangkitkan semangat anak buah mereka. Akan tetapi, kini muncul Cian Hui, Cu Sui In, dan belasan orang jagoan istana yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, sehingga tiga orang Iblis Tua itu dan empat orang murid keponakan mereka terkepung. Sementara itu, pasukan sudah bertempur melawan anak buah gerombolan dan ternyata jumlah pasukan pemerintah hampir tiga kali lebih besar sehingga anak buah gerombolan segera terdesak hebat. Mereka tidak dapat lari, karena tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah. Melihat keadaan ini, Tiga Iblis Tua menjadi panik juga. Kim Pit Siu-cai yang cerdik segera berkata,

   "Kita pergunakan tawanan menjadi sandera! Cepat!" Mereka bertiga lalu memutar senjata sehingga para pengeroyok terpaksa mundur dan mereka segera berloncatan ke arah di mana tadi sembilan orang tawanan itu mereka ikat. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka memandang dengan mata terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat!

   Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu telah berdiri di situ, semua tawanan telah terlepas dari ikatan, bahkan kini delapan orang tawanan dewasa telah memegang sebatang pedang dan anak kecil itu telah berada dalam gendongan ibunya dengan aman! Dan di sekitar tempat itu. belasan penjaga telah roboh dan tewas! Memang ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di tempat itu, setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka mendengar suara ribut-ribut orang bertempur. Cepat mereka lari naik dan dengan girang mereka melihat bahwa Cian Hui telah menyerbu sarang gerombolan itu dengan banyak sekali pasukan pemerintah. Tentu saja mereka lebih mementingkan menolong para tawanan lebih dahulu. Mereka melihat para tawanan itu diikat di batang pohon dekat tebing jurang di mana telah dibangun sebuah panggung tempat upacara sembahyang. Belasan orang anak buah gerombolan menjaga tempat itu.

   Dengan mudah mereka merobohkan belasan orang itu dengan pedang mereka, membebaskan para tawanan, mengambil pedang dari anak buah gerombolan yang roboh dan kini mereka semua telah memegang senjata, siap untuk membasmi gerombolan! Liong-li tersenyum manis ketika melihat Tiga Iblis Tua itu. Juga Pek-liong tersenyum. Di lain pihak, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat. Mereka seperti bertemu setan di tengah hari. Dua orang musuh besar yang tadinya mereka yakin tentu mati terbanting remuk di dasar jurang, tiba-tiba kini muncul, membebaskan semua tawanan dan berdiri menghadapi mereka dengan pedang pusaka masing-masing di tangan! Pada saat itu, terdengar suara Cian Ciang-kun membentak dengan lantang sekali, terdengar oleh semua orang yang sedang bertempur.

   "Kami telah mengepung tempat ini dengan ratusan orang perajurit! Yang melawan akan ditumpas dan dibunuh habis! Menyerahlah, dan kami tidak akan membunuh kalian, hanya menangkap dan menghadapkan kalian ke pengadilan!"

   Teriakan ini amat berpengaruh. Para anak buah gerombolan memang sudah panik karena mereka melihat betapa pasukan itu berjumlah besar sekali sehingga tiap orang anak buah gerombolan dikeroyok tiga-empat orang perajurit. Kalau mereka melawan terus, jelas mereka semua akan mati konyol. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut, menakluk! Empat orang Thai-san Ngo-kwi membentak-bentak memberi aba-aba kepada anak buah mereka untuk melanjutkan perlawanan, namun perintah mereka tidak dihiraukan lagi karena para anak buah gerombolan itu tidak ingin mati konyol. Mereka yang menakluk segera dilucuti senjatanya dan diborgol, dan kepungan para perajurit di tempat itu menjadi semakin ketat.

   "Cian Ciang-kun, terima kasih, engkau telah menyelamatkan para tawanan!" kata Liong-li girang sekali. Cian Hui hanya mengangguk, lalu sekali lagi membentak, ditujukan kepada Tiga Iblis Tua dan empat Thai-san Ngo-kwi.

   "Sekali lagi, menyerahlah kalian semua sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!" Tiba-tiba Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kiranya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li hanyalah dua orang pengecut yang mempergunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk mengepung dan mengeroyok kami!"

   "Liong-li, kalau memang engkau benar pendekar wanita yang memiliki keberanian, mari kita bertanding satu lawan satu, tidak menggunakan keroyokan!" kata pula Pek-bwe Coa-ong. Liong-li tertawa.

   "Hemm, Pek-bwe Coa-ong! Sekarang, dalam keadaan terdesak dan tersudut, engkau mengeluarkan kata-kata besar! Lupa bahwa kalian bertiga telah mempergunakan kecurangan dan kelicikan tanpa mengenal malu, menangkapi para sahabat kami yang tidak berdosa hanya untuk memancing kami datang! Kemudian, setelah kami berdua datang, kalian menggunakan pengeroyokan dan jebakan! Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang curang macam kalian. Kami menerima tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu dan aku akan melawanmu, Coa-ong!"

   "Aku akan menandingi Kim Pit Siu-cai!" kata Pek-liong sambil maju pula dengan sikapnya yang tenang dan gagah.

   "Hi-hik, dan siapa berani melawan aku?" kata Ang I Sian-li dengan sikap sombong karena ia merasa yakin bahwa selain Pek-liong dan Hek-liong-li, tidak akan ada yang mampu menandinginya.

   "Biar aku yang mengatur!" Liong-li berseru dan ia memandang kepada Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In. Ia maklum bahwa Cian Hui memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh, dan isterinya, murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Ia sudah mengukur bahwa kalau suami isteri itu maju bersama, pasti Ang I Sian-li tidak akan mampu menang.

   "Cian Ciang-kun, dan engkau enci Cu Sui In, maukah kalian berdua mewakili kami melawan Ang I Sian-li?" Suami isteri ini selain lihai juga cukup cerdik. Mereka maklum sepenuhnya bahwa Liong-li tidak akan mencelakakan mereka. Kalau Liong-li minta mereka berdua menghadapi iblis betina itu, tentu Liong-li sudah mempunyai ukuran bahwa mereka akan menang, maka mereka segera menyanggupi. Cian Hui sudah memegang suling baja di tangan kanan, sedangkan isterinya, Cu Sui In sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang).

   "Hi-hik, sepasang suami isteri yang tampan dan cantik. Sayang hari ini akan tewas di ujung pedangku," kata Ang I Sian-li.

   "Selain kami bertiga, masih ada empat orang pembantu kami, yaitu Thai-san Ngo-kwi. Siapa yang akan menandingi mereka, Liong-li? Suruh mereka maju sekarang karena Thai-san Ngo-kwi yang akan maju lebih dahulu!" Iblis betina ini memang cerdik. Ia sengaja menantang dan menyuruh empat orang murid keponakan itu maju lebih dahulu untuk memastikan bahwa mereka berempat tidak seperti anak buah lainnya, menakluk kepada musuh! Empat orang itu adalah, Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Mereka maklum bahwa menakluk pun bagi mereka pasti tidak ada pengampunan, maka lebih baik melawan mati-matian.

   "Kami tidak akan mengikut-sertakan pasukan pemerintah," kata Pek-liong dengan suaranya yang tenang.

   "Di sini kami juga mempunyai teman-teman yang setia, maka biarlah teman-teman kami yang tadinya menjadi tawanan menghadapi mareka." Pek-liong memaksudkan dua orang pembantunya, dua orang pembantu Liong-li, kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, dan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing. Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. Dia maklum akan kelihaian empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Biarpun delapan orang pengeroyok yang menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li itu juga lihai, terutama empat orang pembantu mereka, namun dia khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka, maka dia cepat berkata.

   "Isteri saudara Song Tek Hin menggendong puteranya, tidak baik kalau ia disuruh bertanding. Di antara para temanku ini ada yang bukan anggauta pasukan pemerintah, maka biarlah dia yang menggantikan nyonya muda itu! Liok-toako, harap kau suka membantu kami menghadapi empat orang kepala perampok dari Thai-san itu!" Seorang di antara jagoan istana yang bernama Liok San adalah seorang ahli silat yang tangguh, bahkan tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki Cian Hui. Inilah sebabnya mengapa Cian Hui memilih dia untuk mewakill Su Hong Ing yang menggendong puteranya. Dengan majunya Liok San ini, otomatis keadaan mereka yang akan melawan ke empat Thai-san Ngo-kwi senjadi jauh lebih kuat lagi! Pek-liong juga maklum akan kecerdikan Cian Hui, maka diapun mengangguk.

   "Nah, siapa yang akan bertanding lebih dulu, Kim Pit Siu-cai?" tantang Pek-liong. Seperti juga Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai tidak menghendaki empat orang murid keponakan yang menjadi pembantu utama itu menakluk kepada pihak musuh, maka diapun berkata,

   "Biarlah ke empat Thai-san Ngo-kwi yang maju lebih dulu!" Empat orang itu maklum bahwa tidak ada jalan keluar, maka merekapun cepat melangkah maju dan membentuk barisan golok dengan sikap mereka yang galak. Liok San maklum bahwa kalau sahabatnya, Cian Hui menyuruh dia membantu melawan empat orang tokoh sesat ini, tentu para pembantu dan sahabat Pek-liong dan Liong-li tidak memiliki ilmu setinggi dua orang pendekar itu. Maka, dia yang bukan hanya memiliki ilmu silat, akan tetapi sebagai seorang jagoan istana dan panglima, dia memiliki pula ilmu perang dan membentuk barisan, dia segera mengambil komando atas tujuh orang rekannya yang hendak maju mengeroyok empat orang penjahat itu.

   "Kita serang mereka dengan berputar melingkari mereka! Menyerang sambil membantu teman yang berada di kanan. Ingat, yang kiri membantu yang kanan!" Setelah berteriak demikian, Liok San mulai menyerang sedangkan tujuh orang lainnya, yaitu kakak beradik Kam, dua orang pembantu Pek-liong, dua orang pembantu Liong-li dan Song Tek Hin sudah cepat mengurung dan mengelilingi empat orang itu dan menyerang dengan senjata masing-masing.

   Mereka semua maklum bahwa jagoan istana yang usianya sudah lima puluhan tahun dan bertubuh tinggi kurus, bersenjatakan pedang itu tentulah seorang yang lihai dan ahli mengatur barisan, maka merekapun mentaati petunjuknya. Mereka menyerang sambil siap membantu dan melindungi teman yang berada di sebelah kanan. Empat orang Thai-san Ngo-kwi itu mengamuk dengan golok mereka, akan tetapi menghadapi barisan yang mengelilingi mereka dan saling bantu itu, mereka tidak sempat mengatur barisan golok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru, akan tetapi, biarpun empat orang Thai-san Ngo-kwi hendak memaksakan dan mendesak seorang lawan, tetap saja usaha ini gagal karena lawan lain akan membantu dan lawan itu akan terus berputar menyerang musuh yang berada di sebelah kanan.

   Dengan demikian, delapan orang itu berputar terus dan membuat empat orang tokoh sesat itu merasa seperti dikeroyok masing-masing oleh delapan orang! Karena bingung, mereka melawan dengan membuta mengandalkan gerakan golok mereka yang cukup lihai. Akan tetapi karena siasat Liok San membuat delapan orang itu dapat saling bantu dan saling melindungi, maka semua serangan golok empat orang penjahat itu selalu dapat ditangkis, dan sebaliknya, mereka dihujani serangan yang bertubi-tubi datangnya. Tiga orang Iblis Tua melihat pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Akan tetapi mereka tidak dapat membantu, juga tidak mungkin melarikan diri dari tempat yang terkepung ratusan orang perajurit itu. Mereka hanya dapat mengambil keputusan untuk melawan mati-matian.

   "Hek-liong-li, tunggu apa lagi! Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita sekarang juga!" Pek-bwe Coa-ong membentak dengan marah dan nekat. Dia sudah melintangkan tongkat ularnya di depan dada, menantang Liong-li. Tempat itu memang cukup luas untuk bertanding, maka Liong-li sambil tersenyum menghampiri dengan Pedang Naga Hitam di tangan.

   "Engkau tergesa-gesa ingin cepat menyusul saudara-saudaramu yang telah mati lebih dulu? Baik, mari kuantar engkau dengan pedangku!" kata Liong-li sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Pek-bwe Coa-ong merasa tidak akan ada gunanya menggunakan ilmunya memanggil ular-ular di daerah itu. Tempat itu terkepung ratusan orang perajurit. Ular-ular itu pasti tidak akan berani datang, dan kalaupun ada yang berani, tentu akan diinjak-injak lumat oleh para perajurit.

   "Haiiiiittt...!!" Pek-bwe Coa-ong Gan Ki menyerang dengan tongkatnya, gerakannya hebat bukan main, mendatangkan angin keras dan tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Liong-li. Namun, pendekar wanita ini dapat mengelak dengan mudah dan pedangnya yang diputar menjadi gulungan sinar hitam itu mencuat dengan tusukan balasan ke arah dada.

   "Trakkk...!" Tongkat ular kering yang keras itu menangkis dan keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian.

   "Pek-liong-eng, sambutlah senjataku!" Kim Pit Siu-cai juga berteriak dan begitu Pek-liong melintangkan pedangnya, dia sudah menyerang. Pek-liong menggerakkan pedangnya dan kedua orang yang lihai inipun sudah saling serang dengan sengitnya. Keduanya menggunakan kecepatan sehingga tidak nampak lagi, yang nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar putih dari pedang Naga Putih dan gulungan sinar kuning dari sepasang mouw-pit. Melihat betapa kedua orang rekannya sudah turun tangan menyerang lawan masing-masing, timbul perasaan ngeri di hati Ang I Sian-li, takut kalau ia nanti tertinggal seorang diri. Maka iapun menghampiri Cian Hui dan Cu Sui In, sambil tersenyum manis berkata,

   "Apakah kalian suami isteri yang tampan dan cantik sudah siap untuk mati?" Cian Hui menoleh kepada para jagoan istana yang masih berdiri menjadi penonton.

   "Kalian jangan mencampuri, akan tetapi kalau mereka curang dan banyak tingkah, kerahkan pasukan dan hancurkan mereka!" Dalam pesan ini tersembunyi isyarat bahwa kalau pihak Liong-li dan Pek-liong bersama kawan-kawannya terancam bahaya, mereka diminta turun tangan membantu dengan pengerahan pasukan! Cu Sui In yang telah melintangkan sepasang pedangnya di depan dada, berkata sambil tersenyum mengejek.

   "Ang I Sian-li, seharusnya engkau berganti pakaian dulu, pakaianmu yang merah itu diganti warna putih karena engkau akan mati dan engkau sendiri yang akan herkabung atas kematianmu. Orang-orang lain akan menyambut kematian seorang iblis betina jahat kejam sepertimu dengan sorak sorai karena gembira." Nyonya Cian Hui ini memang pandai bicara. Ang I Sian-li memandang dengan alis berkerut. Ia sendiri biasanya pandai bicara dan mengejek, akan tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk dapat bersikap seperti itu.

   "Lihat pedangku!" bentaknya dan iapun sudah menggerakkan sepasang pedangnya menyerang. Serangannya ditujukan kepada Cu Sui In karena diam-diam ia marah dan membenci wanita cantik itu yang telah mengejeknya.

   "Trang-tranggg...!!" Pedang kirinya ditangkis Cu Sui In, dan pedang kanannya ditangkis suling baja di tangan Can Hui yang melindungi isterinya. Mereka berdua membalas dengan serangan kilat sehingga Ang I Sian-li harus bergerak cepat untuk melindungi dirinya. Perkelahian antara iblis betina ini melawan suami isteri itu pun terjadi dengan sengit dan serunya, membuat kagum dan tegang hati mereka yang menjadi penonton. Yang paling terdesak adalah empat orang Thai-san Ngo-kwi. Delapan orang pengeroyok mereka terus mendesak, terutama sekali dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Mereka berempat ini agaknya mendendam karena kematian rekan-rekan mereka dan kini dendam itu mereka salurkan dan timpakan kepada empat orang dari Thai-san Ngo-kwi sehingga mereka menyerang mati-matian dengan sengit sekali.

   Thai-san Ngo-kwi, Lima Setan Thai-san yang kini tinggal empat orang itu, dengan nekat berusaha untuk melindungi diri dan memutar golok mereka diseling pukulan tangan kiri yang telah berubah merah. Akan tetapi, semua pertahanan mereka bobol karena datangnya serangan bertubi dan sambung-menyambung dari delapan orang lawan mereka. Akhirnya, pedang di tangan Liok San yang tangkas itu berhasil melukai lutut kiri Thai-kwi. Orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi ini terpelanting dan segera para pengeroyoknya menghujankan senjata mereka sehingga dia tidak dapat bangun kembali, tewas dengan tubuh penuh luka! Melihat ini, tiga orang adiknya menjadi panik, juga marah dan nekat. Namun, tentu saja mereka menjadi semakin lemah dengan robohnya orang pertama dari mereka.

   Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang pembantu Liong-li, yang paling ganas di antara para pengeroyok itu karena merasa sakit hati melihat rekan-rekannya tewas dalam keadaan menyedihkan, segera berhasil merobohkan dua orang lagi, yaitu Su-kwi dan Ngo-kwi yang begitu roboh juga menjadi makanan banyak senjata sehingga merekapun tewas seketika. Tinggal Ji-kwi dan tentu saja dia tidak mampu bertahan dan diapun roboh dan tewas dengan tubuh rusak. Tewasnya empat orang dari Thai-san Ngo-kwi ini disambut sorak sorai para perajurit, dan tentu saja tiga orang Iblis Tua menjadi semakin gentar dan panik. Pek-bwe Coa-ong yang melawan Hek-liong-li merasa gentar bukan main. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmunya, namun gulungan sinar hitam dari pedang Hek-liong-li hebat bukan main. Ilmu yang dia andalkan, yaitu memanggil barisan ular untuk membantunya, saat itu tidak dapat dia pergunakan.

   Kedua ujung tongkatnya yang terbuat dari ular berekor putih yang sudah mengering dan keras, juga beracun, sudah retak-retak beradu dengan pedang Hek-liong-kiam dan napasnya mulai terengah. (Lanjut ke Jilid 09 - Tamat)
Dendam Sembilan Iblis Tua (Seri ke 03 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09 (Tamat)
Biarpun tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat kepandaian Liong-li, namun usianya yang sudah cukup tua itu membuat dia kalah dalam daya tahan dan sudah mulai loyo dan terengah. Tiba-tiba, teringat akan senjata terakhir andalannya, tangan kirinya merogo ke dalam baju, kemudian begitu tangan itu bergerak, nampak sinar putih berdesis menyambar ke arah leher Liong-li. Wanita perkasa ini terkejut karena benda itu menyambar dari jarak dekat ke arah lehernya. Ia mencium bau yang amis sekali dan saat itu, tongkat lawan menusuk ke arah lambungnya. Cepat ia miringkan tubuhnya dan pedangnya menyabet ke arah benda putih yang menyambar ke arah lehernya itu.

   "Crakk!" Darah menetes dan benda itu putus menjadi dua potong. Benda itu ternyata seekor ular sebesar jari kelingking. Potongan bagian ekor jatuh ke bawah, akan tetapi bagian kepala terlempar ke samping dan meluncur ka arah Cian Hui yang sedang mengeroyok Ang I Sian-li. Cian Hui dan isterinya belum berhasil mendesak Ang I Sian-li yang amat lihai.

   Suami isteri ini terutama sekali harus berhati-hati terhadap tangan kiri iblis betina itu yang tamparannya lebih berbahaya dari pada sambaran pedangnya. Kadang-kadang, iblis betina itu menyatukan kedua pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menampar-nampar, mengeluarkan hawa yang berbau busuk seperti bangkai dan tangan itu berubah merah sekali. Karena maklum bahwa tangan kiri itu mengandung racun berbahaya, maka Cian Hui dan Cu Sui In berhati-hati sekali. Pada saat mereka berdua masih saling serang dengan Ang I Sian-li, tiba-tiba ada benda putih menyambar ke arah Cian Hui. Perwira itu terkejut, cepat menggerakkan suling baja di tangannya menangkis atau memukul ke arah benda itu, memukul agar benda yang tidak diketahuinya apa itu membelok ke arah lawannya.

   "Plakk!" Tangkisannya berhasil dan benda itu dengan kecepatan kilat kini menyambar ke arah Ang I Sian-li.

   Wanita ini tidak tahu benda apa itu, maka ia yang sedang menggunakan tangan kiri untuk menyerang kedua orang pengeroyoknya cepat menangkap benda putih itu dengan tangan kirinya yang ampuh. Tiba-tiba Ang I Sian-li menjerit dan roboh terjengkang! Kiranya benda putih itu adalah potongan ular bagian kepala dan setengah badannya, ketika ditangkapnya, ular yang bagian bawah dan ekornya sudah buntung itu langsung menggigit tangan yang menangkapnya. Begitu tergigit, hawa panas yang tak tertahankan lagi menyusup ke dalam tubuh Ang I Sian-li dan iapun roboh, menjerit-jerit dan berkelonjotan! Cian Hui dan isterinya saling berpegang tangan dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak ngeri, namun siap dengan senjata mereka menghadapi segala kemungkinan.

   Akan tetapi, Ang I Sian-li tidak mungkin dapat menyerang mereka lagi. Wanita itu berkelonjotan sambil terus menjerit-jerit seperti orang gila, dan yang mengerikan sekali, tangan yang tergigit tadi, yang tadinya berwarna merah sekali, kini berubah putih! Warna putih menjalar naik dan akhirnya Ang I Sian-li tewas dengan tubuh berubah putih seperti kapur! Melihat betapa iblis betina itu tewas, tentu saja Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong menjadi semakin panik dan gentar. Terutama sekali Pek-bwe Coa-ong yang sudah kehilangan ular putih yang ampuh tadi. Ular putih yang dijadikan senjata rahasia itu, tidak dapat membunuh Liong-li, bahkan telah membunuh rekannya sendiri, Ang I Sian-li. Matinya Ang I Sian-li merupakan peristiwa kebetulan, dan agaknya memang sudah tiba saatnya ia menerima hukuman atas semua kejahatannya yang amat keji dan kejam.

   Mungkin saja ular putih itu penjelmaan seorang di antara bayi-bayi yang dihisap darahnya sampai habis olehnya. Mungkin karena ngeri melihat kematian Ang I Sian-li, tiba-tiba Kim Pit Siu-cai mengeluarkan kipasnya yang lebar. Justeru saat inilah yang dinanti-nanti dengan penuh kewaspadaan oleh Pek-liong. Begitu lawan mencabut kipas, sebelum kipas dikembangkan, terutama sebelum kipas dapat. mengeluarkan jarum-jarum beracunnya yang pernah melukai punggungnya, pedang Pek-liong-kiam berkelebat dan menyambar dengan sangat cepat dan dahsyat! Kim Pit Siu-cai menjadi terkejut dan karena pedang yang menjadi sinar putih menyambar dari sebelah kiri, otomatis diapun mengangkat kipas untuk menangkis.

   "Crakkkk!" Kipas itu patah-patah menjadi beberapa potong! Kim Pit Siu-cai terkejut dan cepat tangan kanannya bergerak. Sebatang di antara kedua mouw-pit di tangan kanan itu meluncur ke arah dada Pek-liong. Namun pendekar ini dapat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kim Pit Siu-cai untuk melompat pula ke atas panggung yang didirikan anak buahnya dan yang sedianya akan dipergunakan untuk melakukan sembahyangan besar dengan korban sembilan orang tawanan itu. Pada saat yang bersamaan, Pek-bwe Coa-ong yang sudah jerih itupun melompat ke atas panggung mengikuti perbuatan rekannya. Kini keduanya telah melompat ke atas panggung itu.

   "Jahanam tua, kalian tak dapat lolos dari tangan kami!" bentak Liong-li dan Pek-liong yang mengejar ke panggung.

   "Ha-ha-ha, siapa bilang kami tidak dapat lolos? Mari, Coa-ong!" kata Kim Pit Siu-cai dan kedua orang Iblis Tua itu berpegang tangan lalu keduanya meloncat ke bawah tebing jurang di mana kemarin Liong-li dan Pek-liong terjerumus!

   "Ah, celaka, mereka dapat meloloskan diri!" kata Cian Hui sambil menjenguk ke bawah. Akan tetapi Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan tersenyum,

   "Mereka tidak akan lolos, Ciang-kun. Sekarang juga mereka telah tewas dengan tubuh remuk. Tebing jurang ini teramat dalam dan kami berdua kemarin juga terjatuh ke situ, hanya Tuhan belum menghendaki kami tewas, maka kebetulan saja kami dapat lolos dari maut." Akan tetapi Cian Hui masih belum yakin, maka atas petunjuk Pek-liong dan Liong-li, dia menyuruh seregu pasukan untuk memeriksa di bawah sana, melalui jalan mengitari bukit. Keadaan menjadi sunyi setelah pertempuran berakhir. Cian Hui mengatur pasukan. Setelah menyingkirkan mayat-mayat, lalu menggiring puluhan orang anak buah gerombolan sebagai tawanan, kembali ke kota raja. Ketika Cian Hui mengajak sepasang pendekar itu untuk ikut berkunjung ke kota raja, mereka menolak dengan halus.

   "Harap Ciang-kun pergi dulu, lain hari pasti kami berdua akan berkunjung." Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing, dengan berbahagia mengajak puteranya, Song Cu, pulang dan keluarga ini tentu saja merasa berbahagia bukan main setelah terbebas dari ancaman maut, terutama atas diri putera mereka. Mereka berpamit dari Pek-liong dan Liong-li, dan meninggalkan tempat itu, bergabung dengan pasukan agar lebih aman di dalam perjalanan. Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Dengan berat hati mereka meninggalkan tempat itu setelah Pek-liong dan Liong-li mengajak kakak beradik itu bicara berempat saja, dan sepasang pendekar ini menasihatkan kepada kakak beradik itu untuk membentuk rumah tangga dan mencari pasangan masing-masing.

   "Harap kalian lenyapkan mimpi tentang diri kami berdua," demikian kata Pek-liong.

   "Dalam ke hidupan ini kami berdua tidak dapat berjodoh dengan kalian berdua, mudah-mudahan saja dalam kehidupan yang lain kita akan dapat saling berjodoh."

   Terpaksa kakak beradik itupun pergi dan Kam Cian Li pergi dengan kedua mata basah air mata. Namun kini mereka yakin bahwa sepasang pendekar itu bukan jodoh mereka dan mereka tidak perlu mengharapkan. Merekapun mengambil keputusan untuk memilih jodoh mereka, karena sesungguhnya, banyak sudah pemuda yang meminang Cian Li, dan banyak pula gadis-gadis yang menaksir Sun Ting yang masih muda, gagah, tampan dan kaya raya itu. Kini hanya tinggal Pek-hwa dan Ang-hwa, juga kedua orang pembantu Pek-liong, yang masih berada di tepi tebing itu. Mereka memandang kepada sepasang pendekar itu penuh pertanyaan dan menanti perintah. Pek-liong kembali saling pandang dengan Liong-li. Pek-liong berkata kepada kedua orang pembantunya, suaranya mengandung keharuan karena kini hanya tinggal dua orang itulah pembantunya.

   "Kalian turunlah dulu, tinggalkan aku di sini." Liong-li juga berkata cepat kepada kedua orang pembantunya.

   "Pek-hwa dan Ang-hwa, kalian pulanglah dulu, tinggalkan kami berdua di sini sejenak."

   Empat orang itu agaknya memaklumi bahwa sepasang pendekar itu ingin bercakap-cakap tanpa gangguan siapapun, maka merekapun mengangguk dan segera mereka berempat menuruni tempat itu. Matahari telah lewat tengah hari, mulai condong ke barat. Suasana hening sekali setelah tadi tempat itu menjadi medan laga. Pek-liong dan Liong-li masih berdiri memandang sampai keempat orang pembantu mereka tak nampak lagi bayangannya. Kemudian mereka saling pandang. Dua pasang sinar mata itu saling pandang, seperti baru pertama kali mereka saling pandang, pandang mata itu bertaut dan sungguh aneh, mereka merasa betapa jantung mereka berdebar keras. Mereka seolah-olah menemukan sesuatu dalam wajah mereka masing-masing, sesuatu yang tak pernah mereka lihat atau rasakan.

   "Liong-li..."

   "Pek-liong..." Keduanya berdiam diri lagi. Kemudian Pek-liong menghela napas panjang, lalu berkata lembut.

   "Liong-li, mari kita duduk. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu." Mereka duduk di atas batu, berhadapan, kembali saling tatap. Liong-li mengangguk karena ia dapat merasakan apa yang dirasakan Pek-liong.

   "Akupun ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Pek-liong."

   "Liong-li, ada sesuatu yang terjadi dalam hati kita berdua. Benarkah itu?" Liong-li hanya memandang dan mengangguk. Ah betapa mereka sudah dapat membaca isi hati masing-masing! Sesungguhnya, tanpa bicarapun mereka dapat merasakan apa yang dirasakan pihak lain!

   "Sejak di dasar jurang itu?" Pek-liong ingin yakin. Liong-li mengangguk.

   "Engkau menangisi aku, Liong-li?" Liong-li mengangguk.

   "Melihat engkau mati, dunia seperti kiamat bagiku, Pek-liong, dan aku menyadari bahwa tanpa engkau, aku tidak mungkin dapat bertahan hidup. Perasaanku hancur lebur melihat engkau yang kusangka mati." Pek-liong mengangguk.

   "Dan ketika itu aku bermimpi, kita berdua mendayung perahu, mengarungi samudera luas, hanya kita berdua... dan ketika aku sadar dan melihatmu, ahhh, aku mengerti, Liong-li. Aku... pada saat itu... sampai sekarang aku... timbul cintaku melihatmu!"

   "Aku mengerti, Pek-liong. Selama ini kita saling merindukan, akan tetapi kita mencoba untuk melepas kerinduan itu melalui orang lain. Betapa bodohnya kita ini, kita saling merasa malu untuk mengakui kenyataan itu. Atau kita terlalu sombong?" Ia tersenyum dan Pek-liong juga tersenyum.

   "Kini terasa sekali olehku. Kita saling mencinta, Liong-li. Bukan, bukan cinta yang kita paksakan seperti sebelum ini, kita memaksa diri bahwa kita mencinta hanya sebagai sahabat setia, sehidup semati, saling bantu dan saling melindungi. Tidak, kita saling mencinta, lebih dari itu. Kita saling bersatu! Bukan begitu? Seharusnya kita sejak dahulu bersatu..."

   "Engkau benar, Pek-liong. Baru sekarang kusadari, atau pada saat engkau kusangka mati kemarin. Seharusnya sejak dahulu kita berani mengakui itu, saling mencinta sebagai seorang pria dan seorang wanita. Andaikata dahulu demikian, kiranya kita tidak menjadi petualang seperti sekarang, menanam banyak bibit permusuhan, bahkan menyeret orang lain."

   "Sudahlah, yang sudah biarkan lalu. Belum terlambat, bukan? Nah, Hek-liong-li Lie Kim Cu, sebagai seorang yang sejak dahulu jatuh cinta padamu, sekarang aku meminangmu. Maukah engkau menjadi isteriku?" Mereka saling pandang, akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah. Dalam pandang mata itu, selain saling pengertian, terdapat kemesraan yang sedalam samudera dan kedua mata Liong-li perlahan-lahan menjadi basah! Air mata berlinang di matanya. Linangan air mata seorang wanita yang mendambakan pria yang dicintanya. Ia menggangguk.

   "Dengan bahagia aku mau menjadi isterimu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay!" Dan keduanya merasa geli, merasa lucu, lalu entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya sudah saling rangkul dan bertemu dan bersatunya kedua hati itu diwakili bibir mereka dalam ciuman yang mesra.

   Betapa anehnya! Sepasang pendekar yang amat lihai, yang amat cerdik, sebelum ini demikian bodohnya sehingga mereka tidak pernah mau mengakui kenyataan bahwa mereka saling mencinta, saling mendambakan, saling merindukan! Baru sekarang mereka tahu bahwa masing-masing tidak pernah dapat mencinta pria atau wanita lain, walaupun mereka coba untuk mencari penggantinya. Menjelang senja, sambil bergandeng tangan, Pek-liong dan Liong-li menuruni lembah Bukit Hek-san itu. Ketika mereka melihat empat orang itu menghadang dengan sikap hormat, mereka tidak merasa heran, juga tidak saling melepaskan gandengan tangan mereka. Mereka memandang, dan ternyata dua orang pembantu Pek-liong dan dua orang pembantu Liong-li kini telah menjadi dua pasang!

   "Eh, kalian belum pulang, Ang-hwa dan Pek-hwa ?" tanya Liong-li.

   "Harap Lihiap memaafkan kami. Kami telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke rumah Lihiap. Maafkan kami berdua..." kata Ang-hwa, mewakili Pek-hwa yang hanya menunduk saja.

   "Hemmm...?" Liong-li tidak marah, melainkan memandang kepada Pek-liong dan keduanya seperti dapat memaklumi.

   "Taihiap, kami berdua juga mengambil keputusan untuk pulang ke dusun kami masing-masing, tidak pulang ke rumah Taihiap. Maafkan kami," kata seorang di antara dua orang pembantu Pek-liong.

   "Kalian akan... menikah?" Pek-liong dan Liong-li bertanya, hampir berbareng. Dua pasang orang muda itu mengangguk dan menunduk, muka mereka berubah merah sekali. Pek-liong dan Liong-li tertawa bergelak, masih saling berpegang tangan, tertawa geli dan juga bahagia.

   "Kiong-hi (selamat)!" kata Pek-liong kepada dua orang pembantunya,

   "Aku girang sekali mendengar berita ini dan tentu saja aku setuju sepenuhnya."

   "Akan tetapi, kalian tidak boleh mendahului kami, Ang-hwa dan Pek-hwa. Aku ingin kalian menjadi pengapitku kalau aku melangsungkan pernikahanku!" kata Liong-li. Ang-hwa dan Pek-hwa terkejut dan cepat mengangkat muka, memandang wajah nona mereka dengan mata terbelalak. Pek-liong tersenyum dan berkata kepada dua orang pembantunya.

   "Kalian berdua juga harus bersabar dan sebelum menikah, harus lebih dulu menjadi pengapitku. Setuju?"

   Kini mereka berempat mengerti. Ang-hwa dan Pek-hwa lupa bahwa mereka adalah bekas pembantu dan pelayan Liong-li. Keduanya menubruk dan merangkul nona mereka, menciumi dengan air mata bercucuran akan tetapi sambil tertawa-tawa! Juga kedua orang pembantu Pek-liong segera memberi selamat kepada bekas majikan mereka. Akhirnya, mereka saling berpisah. Seperti telah mereka sepakati bersama, Pek-liong akan pulang ke rumahnya sendiri bersama dua orang pembantunya, juga Liong-li akan pulang ke rumahnya sendiri bersama Ang-hwa dan Pek-hwa. Akan tetapi Pek-liong akan singgah di rumah Cian Ciang-kun karena hanya perwira sahabat baik mereka itulah yang dapat mereka mintai tolong untuk menjadi wali dan perantara, juga yang mengatur semua keperluan pesta pernikahan antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!

   Demikianlah, selesai sudah kisah petualangan Pendekar Naga Putih dan Nona Naga Hitam itu. Mereka menjual rumah masing-masing, setelah menjadi suami isteri mereka pindah tinggal di lereng sebuah bukit yang indah dan sunyi, dekat Telaga Barat, hidup dalam keadaan tenteram dan penuh damai karena mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka seolah hendak menebus semua kehilangan masa lalu dan tenggelam dengan kebahagiaan mereka berdua.

   Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua dan sampai jumpa di lain kisah.

   
TAMAT 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis