DENDAM SEMBILAN IBLIS TUA JILID 07
"Tiga orang datuk itu, sisa dari Sembilan Iblis, agaknya menyusun kekuatan dan bertekad untuk membalas dendam dan membunuh aku dan Pek-liong. Melihat betapa dua orang rekan kalian telah tewas, dan mengingat akan besarnya bahaya, sekali lagi aku peringatkan kepada kalian. Aku tidak ingin melihat jatuhnya lebih banyak korban lagi di antara kita, maka kalian boleh meninggalkan aku. Aku akan berjuang sendiri menentang mereka, bersama Pek-liong." Ang-hwa (Bunga Merah) segera mendahului teman-temannya menjawab.
"Lihiap, kenapa lagi-lagi Lihiap berkata demikian? Lihiap, sudah bertahun-tahun Lihiap membimbing kami, mengajarkan kami bagaimana sikap seorang gagah sehingga kami merasa menjadi manusia yang berarti. Dalam suatu pertentangan, di mana kita berdiri sebagai penentang perbuatan jahat, tentu saja terjadi korban. Dua orang rekan kami tewas, namun mereka tewas sebagai naga, sebagai harimau, dan di pihak musuh juga banyak yang tewas, lebih banyak dari pada kerugian yang kita derita.
"Lihiap, kalau kami tewas, seperti Bunga Hijau dan Bunga Biru, kami akan merasa bangga. Bukan karena kami tewas membantu Lihiap, melainkan tewas karena menentang kejahatan. Bukankah Lihiap selalu mengatakan lebih baik mati sebagai harimau melawan musuh yang jahat, dari pada mati sebagai babi disembelih atau lari seperti anjing yang ketakutan? Saya sendiri, saya akan tetap bersama Lihiap menghadapi tiga orang datuk dari Kiu Lo-mo itu?" Enam orang temannya serentak menyatakan setuju dan tak seorangpun yang mau meninggalkan Liong-li. Liong-li merasa terharu.
"Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan usaha kita membasmi mereka, bersama Pek-liong. Akan tetapi karena pihak lawan sudah mengetahui keadaan kita, maka kita akan menanti dulu sampai ada berita dari Pek-liong sehingga kita dapat bekerja sama dengan dia. Pihak musuh terlalu tangguh untuk kita hadapi sendiri."
Dugaan Liong-l.i memang benar. Yang melakukan pembakaran-pembakaran di sarang gerombolan pada malam hari itu adalah Pek-liong-eng dan enam orang pembantunya. Setelah Pek-liong menemukan surat yang ditinggalkan Liong-li untuknya dan dia mengadakan pembicaraan dengan Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In, dia lalu pergi ke lembah Sungai Kuning dan di suatu tempat yang memang telah dia janjikan kepada enam orang pembantunya, dia mengadakan pertemuan dengan mereka. Tempat pertemuan itu di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang letaknya di lereng bukit kecil di pantai Sungai Kuning. Dalam petualangannya dahulu, Pek-liong pernah mempergunakan kuil tua ini sebagai tempat bersembunyi, maka kini diapun hendak memanfaatkan tempat itu untuk menjadi tempat pertemuannya dengan enam orang pelayan atau pembantunya.
Bukit itu tak pernah dikunjungi orang, dan kuil itu terlalu tua untuk dijadikan kuil baru, dan terlalu seram untuk dijadikan tempat tinggal, tempatnya sunyi dan jauh tetangga. Setelah enam orang pembantunya lengkap berada di situ, Pek-liong menyuruh seorang pembantu berjaga di luar dan seorang lagi di belakang kuil, kemudian dia mengajak empat pembantu lain untuk bicara di dalam. Dia mendengar laporan hasil penyelidikan mereka bahwa di lembah Sungai Kuning terdapat sebuah tempat yang agaknya dijadikan sarang penjahat. Mereka berenam belum melihat adanya tiga datuk besar sisa Kiu Lo-mo, akan tetapi mereka melihat adanya Thai-san Ngo-kwi dan ratusan orang anak buahnya, yaitu orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan sesat. Juga bahwa tempat itu amat berbahaya, agaknya dipasangi banyak perangkap dan dijaga ketat.
"Apakah kalian sudah melihat tanda-tanda hadirnya Hek-liong-li di sana? Atau para pembantunya?" tanya Pek-liong.
"Kami hanya beberapa kali melihat sosok bayangan hitam-hitam berkelebat dan menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, akan tetapi kami belum jelas apakah mereka itu Liong-lihiap dengan para pembantunya. Seperti pesan Taihiap, kami tidak mengadakan kontak dengan siapapun, hanya melakukan penyelidikan di sekitar Hek-san (Bukit Hitam) di lembah Huang-ho (Sungai Kuning)." Pek-liong mengangguk-angguk.
"Baiklah, mulai sekarang, untuk sementara kita jadikan kuil ini sebagai markas. Bukit Hitam berada di depan, tak jauh dari sini dan malam ini kita melakukan penyelidikan ke bukit itu, menyelidiki sarang gerombolan yang kalian temukan. Persiapkan segalanya, juga minyak bakar, siapa tahu kita dapat mempergunakannya, setidaknya untuk menggunakan siasat membakar semak memaksa ular keluar dari sarangnya. Aku ingin memperoleh kepastian apakah gerombolan yang kalian temukan itu benar merupakan anak buah tiga orang datuk Kiu Lo-mo ataukah bukan."
Demikianlah, setelah hari mulai gelap, Pek-liong dan enam orang pembantunya mendaki bukit Hitam, melakukan penyelidikan. Mereka berpencar, bergerak naik walaupun mereka menjaga jarak agar dapat saling berhubungan melalui isyarat yang biasa mereka lakukan dalam gelap, yaitu suara burung malam. Untuk keperluan penyelidikan kali ini, Pek-liong mempergunakan jubah luar yang berwarna biru yang panjang dan lebar menutupi pakaiannya yang serba putih.
Ketika dia menggunakan ilmunya bergerak ringan dan cepat menyusup di antara semak dan pohon itulah Pek-liong melihat adanya dua buah mayat wanita yang digantung di pohon besar, di luar perkampungan gerombolan. Dia terkejut juga melihat betapa dua orang wanita yang telah tewas itu mengenakan pakaian hitam-hitam seperti pakaian Liong-li, juga gagang pedang yang menancap di bawah perut mereka adalah gagang pedang mirip Hek-liong-kiam. Dan diam-diam dia mengeluarkan makian marah melihat keadaan dua buah mayat yang tersiksa secara mengerikan itu. Tak syak lagi, inilah bekas tangan keji seorang datuk! Hanya manusia yang berhati kejam seperti iblis sajalah yang mampu melakukan perbuatan keji terhadap manusia lain seperti itu.
Kemudian pandang matanya yang tajam melihat pergerakan di balik semak dan dia melihat sesosok bayangan yang mendekati pohon di mana dua mayat itu tergantung. Jantungnya berdebar. Dia yakin bahwa sosok itu adalah Liong-li. Memang wajahnya tidak nampak jelas dan demikian pula bentuk tubuhnya karena dia berpakaian serba hitam. Akan tetapi gerakan tubuh itu ketika melangkah, menyelinap dan memegang tongkat panjangnya. Itulah Liong-li, tak salah lagi! Dia memberi isyarat kepada enam orang pembantunya dengan suara burung malam yang memanjang satu kali. Panjang satu kali berarti agar mereka berhenti di tempat dan waspada, menanti perintah berikutnya! Pek-liong melihat betapa Liong-li membabat putus tali gantungan kedua mayat itu dan pada saat itu, datanglah serangan anak panah dari barisan pendam pihak musuh.
Pek-liong tersenyum ketika melihat Liong-li beraksi menyebar jarum dan diikuti anak-anak panah kecil dari para pembantu pendekar wanita itu. Akan tetapi, walaupun pertempuran itu tidak membutuhkan bantuannya karena Liong-li tidak akan kalah, namun ketika para gerombolan datang semakin banyak, Pek-liong cepat memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengikutinya merayap naik ke bukit Hitam. Dan selanjutnya, dari luar perkampungan itu, mereka menyerang perkampungan dengan anak panah yang membawa kain yang dicelup minyak dan dibakar sehingga perkampungan gerombolan itu dihujani api dari atas dan terjadilah kebakaran-kebakaran yang membuat para gerombolan panik dan membuat empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi terpaksa menarik mundur anak buahnya yang sedang mengeroyok Liong-li dan lima orang pembantunya.
Setelah berhasil mengacaukan perkampungan itu dan melihat betapa Liong-li dan para pembantunya dapat melarikan diri terlepas dari kepungan banyak lawan, Pek-liong dan kawan-kawannya juga turun dari Hek-san dan menuju ke kuil tempat persembunyian mereka. Pada keesokan harinya, Pek-liong dan enam orang pembantunya keluar dari kuil untuk melakukan penyelidikan lagi karena dia belum merasa yakin apakah benar gerombolan di Hek-san itu dipimpin oleh tiga datuk dan di situ pula ditahannya Song Tek Hin dan Su Hong Ing, dan kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li. Mereka bertujuh kini menyamar dan karena Pek-liong memang ahli dalam ilmu penyamaran,
Enam orang pembantunya juga menyamar dengan baik sekali sehingga sukar dikenali keadaan aselinya. Pek-liong sendiri menyamar sebagai seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, rambutnya sudah putih semua dan demikian pula kumis dan jenggotnya, putih tidak teratur seperti seorang petani tua yang punggungnya agak bongkok dan berjalan memegang sebatang tongkat bambu butut. Tak seorangpun tahu bahwa di dalam bambu itu tersembunyi Pek-liong-kiam! Dia memesan kepada enam orang pembantunya agar berhati-hati menyelidiki sekitar perkampungan gerombolan di bukit Hitam, sedangkan dia sendiri ingin mencari di mana Liong-li dan para pembantunya berada. Dari puncak bukit dimana kuil tua itu berdiri, Pek-liong lebih dahulu meneliti keadaan. Nampak bukit Hitam menjulang di depan, penuh dengan hutan lebat.
Bukit itu berada di pantai sungai Kuning, yang airnya tenang dan keruh. Liong-li selalu berhati-hati, pikirnya. Tentu ia tidak mau tinggal terlalu dekat di kaki Hek-san, akan tetapi juga tidak terlalu jauh sehingga dapat selalu mengawasi sarang gerombolan itu. Dan semalam, mereka berhasil mengambil dua jenazah yang digantung di pohon, ini berarti bahwa mereka dapat dengan leluasa mendaki Hek-san. Tentu mereka tidak jauh dari Bukit Hitam itu, pikirnya. Akan tetapi di mana? Kalau di seberang sana, tentu terlalu jauh. Tiba-tiba pandang matanya bersinar gembira Ah, tentu saja! Perahu-perahu itu! Banyak perahu nelayan di sana, dan perahu para pedagang yang lalu lalang. Kalau Liong-li tinggal di dalam perahu, tentu tidak akan dicurigai siapapun dan ia dapat selalu dekat dengan pantai di mana Hek-san berdiri, dapat selalu mengamati bukit itu.
Tak lama kemudian, kakek yang agak bungkuk itu berhasil menyewa sebuah perahu kecil yang di dayungnya sendiri. Perahu kecil itu didayungnya mendekati perahu-perahu lain sampai akhirnya dia melihat sebuah perahu kecil yang didayung dua orang gadis yang segera dikenalnya sebagai dua di antara para pembantu Liong-li. Di perahu itu nampak pula panci-panci yang agaknya penuh masakan. Tentu kedua orang wanita itu baru saja pulang membeli makanan ke pedusunan di tepi sungai, pikir Pek-liong dan tanpa menimbulkan kecurigaan, diapun mendayung perahu mengikuti perahu kecil itu. Hek-liong-li sungguh berhati-hati sekali, pikir Pek-liong. Untuk membeli makanan saja, yang disuruhnya adalah Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang yang paling lihai dan paling dipercaya di antara semua pembantunya.
Ini tentu untuk menjamin agar tidak terjadi sesuatu ketika mereka mencari makanan. Perahu kecil yang didayung Ang-hwa dan Pek-hwa itu mendekati sebuah perahu besar cat hitam. Ang-hwa melemparkan tali yang ujungnya ada kaitannya dan kaitan itu membuat perahu kecil terikat dengan perahu besar. Seorang wanita pembantu Liong-li lainnya menurunkan sebuah tangga kayu dan kedua orang wanita itu lalu naik ke perahu besar melalui tangga kayu, membawa panci-panci yang kelihatannya terisi makanan yang masih panas. Tentu saja kedua orang wanita itu tidak mau melompat begitu saja ke perahu besar karena hal itu tentu akan menarik perhatian orang-orang, yang berada di perahu-perahu lain. Ang-hwa dan Pek-hwa disambut para pelayan lain dengan gembira.
"Wah, sungguh beruntung sekali kita hari ini dapat makan masak daging sapi dan ayam panggang. Juga ada anggur merah yang sedap," kata Ang-hwa. Tentu saja rekan-rekannya merasa heran dan bertanya dari mana Ang-hwa dan Pek-hwa bisa mendapatkan masakan-masakan mewah itu.
"Enci Ang-hwa, apakah ada restoran besar di tepi sungai?" tanya seorang pembantu. Ang-hwa tertawa.
"Ihh, mana ada restoran besar di tepi pantai yang hanya ada dusun? Restoran besar hanya terdapat di kota besar. Kami berdua memang sedang mujur. Ketika kami bertanya-tanya kepada penghuni dusun itu, kebetulan sekali yang kami tanyai adalah sepasang suami isteri tua, yang dahulu di waktu mudanya pernah bekerja sebagai juru masak di rumah makan besar di kota.
"Nah, mereka suka sekali menolong dan kami memberi bahan dan bumbu, membeli daging sapi dan menyembelih ayam dan merekapun memasakkan untuk kami dengan sedikit imbalan. Dan setelah kami mencicipi sedikit, ternyata masakan mereka memang lezat bukan main."
"Wah, kalau begitu kalian telah mendahului makan?" para pelayan itu menggoda.
"Hussh, mana kami berani?" kata Pek-hwa.
"Sebelum Lihiap makan, kami tidak berani mendahuluinya. Kami hanya mencicipi sedikit ketika mereka masak di dapur, lalu kami menunggu di ruangan depan rumah mereka." Tiba-tiba muncul Liong-li dari dalam bilik perahu besar itu. Alisnya berkerut ketika ia memandang kepada dua orang pembantunya itu dan menegur mereka,
"Ang-hwa, Pek-hwa, kalian terlalu senang sehingga menjadi lengah." Dua orang pembantu itu saling pandang, lalu memandang kepada Liong-li. Ang-hwa bertanya,
"Lihiap, apa yang Lihiap maksudkan dengan kelengahan kami?"
"Dari atas perahu, aku melihat bahwa kalian berdua dibayangi orang, dan kalian tetap tidak tahu. Bukankah itu lengah namanya?"
"Ehh...!!" Mereka berdua segera menengok dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak melihat hal yang mencurigakan. Perahu-perahu nelayan tetap seperti tadi, juga perahu-perahu para pedagang yang hilir mudik. Seorang kakek dengan caping lebar sedang duduk di perahu kecilnya, tak jauh dari situ, dan dia mengail ikan.
"Maaf, Lihiap. Kami tidak melihat hal-hal yang mencurigakan."
"Lihat baik-baik pengail tua itu. Di bagian air di mana dia mengail, arusnya begitu kuat, bagaimana mungkin mendapatkan ikan mengail di air yang deras itu? Itu menunjukkan bahwa dia bukan pengail atau memang sedang memancing perhatian kita," kata Liong-li.
"Ah, Lihiap benar!" seru Pek-hwa.
"Maafkan kelengahan kami, Lihiap. Mungkin dia mata-mata musuh, maka biarlah saya membocorkan perahunya dengan anak panah," kata Ang-hwa, marah kepada kakek pengail itu. Liong-li hanya tersenyum dan mengangguk, matanya bersinar-sinar.
Dari balik bangunan bilik perahu, agar tidak kelihatan orang lain, Ang-hwa memasang dua batang anak panah kecil yang busurnya dan sekali jepret, dua batang anak panah itu meluncur ke arah perahu kecil, mengarah badan perahu bagian bawah karena Ang-hwa ingin kedua batang anak panahnya menembus bagian itu sehingga perahu itu akan menjadi bocor. Akan tetapi, semua orang di atas perahu besar itu melihat betapa pengail tua itu menggerakkan batang kailnya dan tali kail itu menyambar ke arah anak-anak panah sehingga kedua batang anak panah itu tertangkap di ujung tali kail. Dia mengangkat kailnya dan memandang dua batang anak panah yang terkait atau terlibat itu, tertawa dan berkata dengan suara lirih, namun karena digerakkan dengan khi-kang maka terdengar jelas oleh mereka yang berada di perahu besar.
"Ha-ha-ha, di perahu besar diadakan pesta makan enak, di perahu kecil aku hanya mendapatkan dua batang anak panah. Mengail ikan mendapatkan anak panah, sungguh sungai yang aneh!" Mendengar ejekan ini, tujuh orang pembantu Liong-li memandang marah, akan tetapi Liong-li tersenyum.
"Ang-hwa dan Pek-hwa, aku memaafkan kelengahan kalian berdua. Tentu saja kalian tidak tahu kalau Pek-liong yang membayangi kalian!"
"Dia... dia... Pek-liong-eng...?" Para pembantu itu berseru lirih. Liong-li berdiri di tepi perahu dan menjenguk ke bawah, lalu berkata sambil tersenyum.
"Pengail tua, kami mengundangmu untuk ikut makan enak, naiklah ke sini!" Pengail tua yang bukan lain adalah Pek-li-ong itu, menoleh, tersenyum dan berkata,
"Terima kasih!" Dia mendayung perahunya mendekat, tangga diturunkan dan diapun naik ke atas perahu besar, disambut oleh Liong-li dengan senyum gembira dan mereka segera memasuki bilik perahu. Setelah duduk berhadapan dan Pek-liong menanggalkan capingnya, mereka saling pandang sampai beberapa menit lamanya, tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi dua pasang mata itu saling tatap dan dari sinar mata mereka seolah mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing.
"Liong-li, aku merasa ikut prihatin melihat engkau kehilangan dua orang pembantumu." Pek-liong akhirnya berkata dengan suara serius. Liong-li menghela napas panjang.
"Sekali ini, kita tidak menghadapi ancaman yang main-main dan boleh dipandang ringan. Agaknya Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong. bekerja sama dan mati-matian mereka menyusun kekuatan untuk menghancurkan kita." Mereka lalu saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka diganggu anak buah musuh di rumah masing-masing sampai mereka menerima surat dari sahabat-sahabat mereka yang telah ditawan oleh pihak musuh. Liong-li menceritakan pula tentang tewasnya Bunga Biru dan Bunga Hijau dan tentang tekad sisa pembantunya yang masih tujuh orang itu untuk membantunya menghadapi gerombolan musuh dengan taruhan nyawa. Ketika tiba giliran Pek-liong menceritakan pengalamannya, pendekar ini menceritakan pula tentang Cian Hui dan Cu Sui In.
"Mereka, gerombolan musuh itu, telah mencoba pula untuk menawan Cian Ciang-kun dan isterinya. Bahkan Pek-bwe Coa-ong sendiri yang turun tangan memimpin anak buahnya untuk menculik Cian Hui dan Cu Sui In, akan tetapi untung sekali bahwa Cian Ciang-kun amat cerdik dan telah mencurigai pihak musuh. Dia telah mempersiapkan pasukan sehingga ketika dia dan isterinya akan diculik, pasukannya menerjang dan gerombolan itupun melarikan diri." Liong-li merasa kagum.
"Cian Ciang-kun memang seorang yang cerdik sekali."
"Ya, dan diapun menawarkan diri untuk membantu kita menghadapi gerombolan dengan mengerahkan pasukan. Akan tetapi tawaran itu kutolak. Aku tidak ingin melihat dia terlibat, apa lagi sampai terancam bahaya kalau dia membantu kita. Tiga orang datuk sisa Kiu Lo-mo itu mempunyai dendam dan perhitungan dengan kita berdua, maka tidak pantaslah kalau kita sampai melibatkan Cian Ciang-kun dan membuat dia dan isterinya terancam bahaya. Liong-li menjulurkan tangannya ke seberang meja dan menangkap tangan kanan pendekar itu. Liong-li memandang kagum. Rekannya ini selalu memikirkan kepentingan orang lain! Betapa bijaksananya. Pek-liong dapat merasakan isi hati Liong-li dan diapun membalas dengan memegang tangan pendekar itu.
"Liong-li, sekali ini kita harus berhati-hati. Pihak musuh amat lihai, juga amat cerdik di samping mereka mempunyai banyak anak buah. Kita harus mencari akal untuk lebih dahulu membebaskan kakak beradik Kam dan Song Tek Hin bersama isterinya."
"Engkau benar, Pek-liong. Mereka ditawan karena kita, maka kita harus dapat menolong mereka sebelum kita hadapi tiga orang datuk itu untuk membuat perhitungan sampai tuntas." Pada saat itu terdengar ketukan perlahan di pintu ruangan. Mereka menoleh dan melihat Ang-hwa berdiri di ambang pintu.
"Maafkan saya, Lihiap, Taihiap, kalau saya mengganggu. Akan tetapi masakan itu akan menjadi dingin kalau tidak segera dihidangkan." Pek-liong dan Liong-li saling pandang lalu tertawa.
"Baik, bawa masuk hidangan itu dan karena sekarang kita semua sedang berjuang, maka untuk sementara ini kalian adalah kawan-kawan seperjuangan. Kalian semua boleh menemani kami berdua makan minum," kata Liong-li dan ajakan itu disambut dengan gembira oleh tujuh orang pembantunya. Mereka adalah pembantu-pembantu dan pelayan yang setia, akan tetapi juga amat mengagumi, menghormati dan menyayang Liong-li, maka diajak makan semeja ini merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagi mereka. Apa lagi di situ terdapat pula Pek-liong-eng yang mereka kagumi. Sayang enam orang pembantu Pek-liong tidak ikut makan minum pula, pikir mereka. Kalau ada enam orang pembantu Pek-liong, lengkaplah sudah pasukan mereka! Sehabis makan, Pek-liong dan Liong-li melanjutkan perundingan mereka untuk mengatur siasat.
"Keadaan sarang mereka kuat sekali, akan sukar ditembus kalau kita menggunakan kekerasan saja, Pek-liong," kata Liong-li.
"Engkau benar, akupun sudah melakukan penyelidikan. Selain mereka melakukan penjagaan kuat, agaknya empat orang sahabat kita itupun dikeram dalam rumah tahanan dan tentu dijaga kuat. Berusaha menyusup ke sana sama saja dengan membiarkan diri terperosok ke dalam jebakan."
"Pek-liong, bagaimanapun juga, kita harus membebaskan mereka. Mari kita mencari siasat yang paling baik. Bagaimana menurut pendapatmu? Akal apa yang harus kita pergunakan?"
"Liong-li, biasanya engkau yang mendapatkan akal, bukan aku. Karena itu, pertanyaanmu itu ku kembalikan kepadamu dan aku siap mendengar pendapatmu." Mereka saling pandang, penuh pengertian dan keduanya tertawa. Mereka berdua itu sudah sehati dan sejalan saling pandang saja cukup untuk membuat mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing. Mereka saling menghargai, saling mengagumi dan saling menyayang, maka selalu saling merendahkan diri untuk membiarkan yang lain menonjol.
"Kita tuliskan saja akal kita masing-masing lalu kita membuat perbandingan. Dengan demikian, tidak ada yang menjadi orang pertama dan orang kedua. Bagaimana?"
"Setuju, akan kutuliskan akal dan pendapatku itu di atas meja ini," kata Pek-liong yang segera membuat guratan dengan kuku jari telunjuk kanannya ke atas meja sambil menutupinya dengan tangan kiri. Liong-li yang tersenyum juga melakukan hal yang sama. Mereka selesai dalam saat yang bersamaan pula dan sambil saling pandang, keduanya membuka tangan kiri yang menutupi guratan pada papan meja di depan masing-masing. Keduanya memandang tulisan itu dan keduanya tertawa gembira. Dalam keadaan seperti itu, lupalah mereka akan ancaman mereka. Ternyata guratan di depan masing-masing itu hanya sebuah huruf yang sama, yaitu huruf
"API." Betapa sama jalan pikiran mereka. Dalam saat yang genting dan gawat itupun mereka mempunyai akal yang sama.
"Tepat sekali, Liong-li. Hanya ini satu-satunya jalan bagi kita untuk dapat menyelundup masuk dan berusaha membebaskan empat orang sahabat kita itu," kata Pek-liong sambil menekan dengan jarinya menghapus guratan di depannya. Hal yang sama dilakukan oleh Liong-li.
"Begitu melihat caramu menolong kami dari kepungan musuh semalam, akupun tahu bahwa api merupakan satu-satunya cara untuk menyerang musuh yang sarangnya demikian kuat, Pek-liong. Akan tetapi, itu hanya kita lakukan untuk mengacaukan mereka. Mungkin dalam kekacauan itu kita dapat menyelundup masuk, akan tetapi mengajak empat orang sahabat kita lolos dari sana, itu merupakan hal lain yang jauh lebih sukar."
"Liong-li, tentu engkau pernah melakukan penelitian terhadap sarang itu dari puncak bukit, bukan? Dan engkau tentu melihat bahwa ada sebuah anak sungai mengalir melalui sebelah dalam perkampungan gerombolan itu!" Liong-li mengerutkan alisnya, menunduk dan menggosok-gosok hidungnya dengan jari tangan, tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya. Kemudian ia mengangkat muka memandang kepada Pek-liong dengan wajah berseri.
"Anak Sungai...? Anak sungai, air dan... ada kakak beradik Kam di sana! Ah, aku mengerti, Pek-liong, dan memang tepat sekali!" Pek-liong mengangguk dan tersenyum kagum.
"Ada air, ada kakak beradik Kam, dan pelarian mereka berempat itu akan dapat dilakukan dengan mudah tanpa terlalu membahayakan mereka." Mereka lalu mengatur siasat. Dua buah otak yang amat cerdas itu dikerjakan dengan cermat sehingga mereka dapat menyusun rencana siasat yang akan mereka laksanakan malam nanti. Mereka lalu bercakap-cakap melepas rindu dan pertemuan antara mereka sekali ini terasa lain dari pada pertemuan yang sudah-sudah. Sekali ini mereka sama-sama menyadari bahwa keadaan mereka yang saling berpisah dan berjauhan itu membuat mereka tidak lengkap, mudah diserang musuh dan hidup terasa timpang.
(Lanjut ke Jilid 07)
Dendam Sembilan Iblis Tua (Seri ke 03 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
"Pek-liong, lama-lama aku menjadi bosan juga. Rasanya semenjak aku menguasai ilmu silat, tiada hentinya aku terlibat permusuhan dengan orang-orang kang-ouw dan terutama dengan golongan sesat. Hemm, entah kapan hidup ini dapat kunikmati dengan tenteram dan penuh damai. Mendengar ucapan itu dan melihat betapa wanita yang cantik jelita itu duduk termenung dengan pandang mata yang biasanya mencorong itu kini agak sayu, mulut yang biasanya penuh senyum cerah itu agak cemberut, tangan kiri bertopang dagu. Pek-liong tersenyum lebar dan hatinya merasa geli, walaupun ucapan itu membuat dia terkejut karena akhir-akhir ini dia juga mempunyai perasaan yang serupa!
"Liong-li, kiranya tidak perlu kita mengeluh. Pada saat kita mempelajari ilmu silat, kita sudah terlibat dan tergelincir masuk ke dalam dunia kekerasan. Masih untung bagi kita bahwa kita berdiri di pihak yang membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang sehingga tidak percuma kita mempelajari ilmu silat, dapat dipergunakan untuk hidup yang benar sebagai seorang ahli silat."
"Akan tetapi, Pek-liong, apakah kalau tidak pandai ilmu silat lalu tidak ada persoalan? Aih, sebelum pandai silat dahulu, aku malah menderita hebat sebagai korban kejahatan. Di mana-mana terdapat orang jahat, di mana-mana terdapat kesengsaraan, di samping kebaikan yang hanya sedikit, di dunia.ini agaknya kejahatan yang memegang peran penting dalam segala lapangan. Di antara sepuluh orang, mungkin hanya dua yang baik dan delapan yang jahat, hanya dua yang kaya dan delapan yang miskin, dua yang pandai dan delapan yang bodoh."
"Itu sudah merupakan keadaan kehidupan manusia di dunia, Liong-li. Kenapa mesti dipersoalkan? Baik dan buruk sudah menjadi pasangannya, seperti ada siang tentu ada malam, ada atas ada bawah, ada kanan ada kiri. Kalau tidak ada susah di dunia ini, mana mungkin kita mengenal senang? Kalau tidak ada yang dinamakan jahat di dunia ini, mana mungkin kita tahu apa itu yang dinamakan baik?
"Sebaiknya kita tidak membiarkan diri terseret ke dalam pergolakan antara baik dan buruk ini, Liong-li, karena sekali terseret, kita akan menjadi mangsanya. Kalau kita tetap sadar dan tidak terseret, akan nampaklah bahwa memang demikian keadaan hidup di dunia. Hidup berarti perjuangan, Liong-li, perjuangan menghadapi segala macam tantangan yang kita namakan persoalan. Seni kehidupan ini justeru menghadapi dan menanggulangi semua tantangan itu! Barulah hidup itu berarti."
"Hemm, apakah kita tidak boleh mengharapkan untuk dapat hidup tenang?" Pek-liong tertawa.
"Tentu saja boleh, siapa yang dapat melarang seseorang untuk mengharapkan sesuatu yang baik? Akan tetapi harus menyadari bahwa justeru menginginkan sesuatu itulah pangkal tolak terjadinya hal yang bertentangan dengan yang diinginkan. Kalau kita menginginkan senang, sudah pasti kita bertemu pula dengan susah, kalau kita menginginkan ketenangan, sudah pasti kita bertemu dengan ketidak-tenangan. Keduanya itu tak terpisahkan. Keinginan adalah nafsu, dan nafsu pula penggerak semua hal yang saling bertentangan itu."
"Aihh, kalau sudah bicara tentang kehidupan aku merasa seperti seorang anak kecil mendengarmu, Pek-liong. Aku mengaku bodoh dalam hal ini. Sukar bagiku untuk mengerti, kenapa di dunia ini demikian banyaknya orang jahat. Pada hal, mereka yang jahat itu bukanlah orang bodoh, melainkan orang yang pintar dan mengerti. Kenapa mereka melakukan kejahatan?
"Sepatutnya, mereka yang pintar itu tahu bahwa kelakuan mereka itu tidak benar, mengakibatkan malapetaka bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Akan tetapi kenapa mereka melakukannya juga? Kalau mereka bodoh dan tidak mengerti, hal itu mudah dimaklumi. Akan tetapi mereka itu orang-orang yang pandai dan pintar..."
"Liong-li, kenyataan itu tidak mengherankan. Manusia adalah mahluk yang amat ringkih dan lemah karena kuatnya nafsu yang menguasai diri. Nafsu daya rendah sudah mencengkeram kita, membonceng pada kita, pada setiap anggauta tubuh, bahkan menyusup ke dalam akal pikiran kita sehingga apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita ucapkan dan lakukan, semua itu dikendalikan oleh nafsu yang sifatnya hanya mengejar kesenangan bagi diri sendiri, diri yang sudah menjadi satu dengan nafsu.
"Kepintaran yang berada dalam otak tidak berdaya melawan nafsu. Tidak ada pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu tidak baik, tidak ada perampok yang tidak tahu bahwa merampok itu jahat.
"Setiap orang manusia tahu dan mengerti belaka melalui akal pikiran mereka bahwa melakukan segala macam bentuk kejahatan itu tidaklah baik. Namun, pengertian ini tidak dapat menghentikan nafsu yang mendorong kita melakukan kejahatan. Akal pikiran dapat menimbulkan penyesalan setelah kita melakukan perbuatan jahat, akan tetapi di lain saat, dorongan nafsu menang lagi dan kita didorong untuk mengulang kejahatan yang tadi disesalkan akal pikiran.
"Demikian seterusnya, maka tidak aneh kalau engkau melihat seorang yang pintar dan pandai melakukan kejahatan. Dia menyadari perbuatan itu tidak baik, namun tidak kuasa menolak dorongan nafsu, bahkan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela perbuatan jahat itu dengan bermacam dalih dan alasan untuk membenarkan atau setidaknya mengurangi keburukannya."
Dalam hal ilmu silat dan kecerdikan akal, Liong-li memang termasuk seorang wanita yang jarang ditemui keduanya. Namun, begitu Pek-liong bicara tentang kehidupan, ia merasa bingung dan menyadari kekurangannya. Pek-liong-eng Tan Cin Hay memang sudah memiliki kesadaran akan kenyataan hidup seperti yang diterangkannya kepada Liong-li. Namun, dia sendiri belum tahu bagaimana agar dia dapat terbebas dari cengkeraman nafsu-nafsunya sendiri. Seperti telah dikatakannya, pikiran dan semua ilmu pengetahuan dan kepintarannya, tidak dapat mencegah manusia dari perbuatan jahat dan sesat, karena akal pikiran tidak kuasa melawan pengaruh nafsu. Contohnya yang paling sederhana, semua orang yang kecanduan arak tahu belaka bahwa minum arak merupakan perbuatan yang amat tidak baik,
Merugikan diri sendiri, merusak badan merusak batin, dapat mengakibatkan orang menjadi mabok dan melakukan hal-hal yang jahat. Semua peminum arak tahu dan mengerti akan hal ini. Akan tetapi apa daya! Pengertian itu tidak dapat menundukkan keinginan untuk minum arak, yaitu dorongan nafsu yang mendatangkan kesenangan! Kalaupun ada usaha akal pikiran yang sadar untuk menentang keinginan minum arak, maka pikiran itu sendiri yang dicengkeram nafsu menjadi pembela dengan bisikan bahwa minum sedikit tidak mengapa, bahwa minun arak adalah untuk keakraban pergaulan, bahkan minum arak amat baik untuk kesehatan dan sebagainya lagi! Demikian selanjutnya, kalau dibesarkan seorang koruptor bukan tidak tahu bahwa korupsi itu tidak baik,
Namun tidak kuasa menolak dorongan nafsu yang ingin mencari kesenangan melalui tindak korupsi. Akal pikirannya akan membela perbuatan itu dengan bisikan bahwa dia bukan sendirian, semua orang juga melakukan bahkan lebih besar lagi, atau bisikan bahwa dia membutuhkan uang untuk keluarga, bahwa dia terpaksa melakukannya, bahwa dia berhak melakukannya untuk imbalan jasanya, dan sebagainya lagi. Bahkan seorang pembunuh akan dibela oleh pikirannya bahwa dia membunuh karena terpaksa, karena dia tidak bersalah dan seribu satu macam alasan lagi untuk menghapus dosa atau setidaknya menguranginya. Jelas bahwa nafsu menyeret kita ke dalam dosa. Maka, mungkin jutaan orang yang setelah melihat kenyataan ini lalu berusaha untuk mengalahkan nafsu, untuk mengendalikan nafsu dengan bermacam cara.
Dengan samadhi, dengan bertapa, dengan penyiksaan diri, mengurangi makan tidur, memaksa diri tidak melakukan segala macam keinginan, bahkan tidak memenuhi kebutuhan badan, dan segala macam cara lagi hanya dengan maksud agar dapat menguasai, mengalahkan dan mengendalikan nafsu, bahkan ada yang berniat untuk mematikan nafsu. Betapa kenyataan menunjukkan kegagalan semua usaha ini! Nafsu yang dikekang dengan paksa, seperti api yang ditutup sekam, nampaknya saja padam akan tetapi sebetulnya membara di sebelah dalam dan kalau mendapat kesempatan, tertiup sedikit saja lalu berkobar! Semua usaha itu hanya merupakan keinginan untuk mencapai sesuatu, dan keinginan ini justeru hasil kerja dari nafsu! Nafsu melihat betapa menuruti nafsu mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan,
Maka nafsu lalu mendorong timbulnya keinginan untuk mengekang nafsu! Tentu agar tidak lagi dilanda akibat yang tidak menyenangkan tadi. Karena itu gagal. Mana mungkin nafsu mengekang nafsu, api memadamkan api? Nafsu merupakan anugerah bagi kita. Nafsu merupakan bahan bakar yang menggerakkan kendaraan tubuh jasmani ini. Tanpa nafsu, pergerakan ini akan macet dan mati. Segala macam kenikmatan dalam hidup ini adalah berkat adanya nafsu. Yang kita kenal sebagai yang enak, yang merdu, yang indah, yang nyaman dan segala macam keadaan yang menyenangkan, adalah berkat adanya nafsu. Nafsu mutlak penting untuk hidup. Tuhan Maha Bijaksana. Menyertakan nafsu kepada kita pasti ada hikmahnya, ada manfaatnya, bukan untuk dijadikan penggoda.
Akan tetapi, nafsu dapat pula menjadi pembujuk yang menyeret kita ke dalam lumpur dosa. Bukan salah nafsu, melainkan salah kita sendiri. Nafsu ibarat api, tergantung kita yang mengaturnya, sesuai dengan kebutuhan hidup. Kalau dibiarkan merajalela, api akan membakar segalanya, seperti nafsu akan melahap segalanya. Lalu bagaimana? Dibiarkan berkuasa, kita dijerumuskan dalam jurang kesengsaraan. Dimatikan, tidak mungkin, dikendalikan juga amatlah sukarnya. Lalu bagaimana? Demikianlah pertanyaan abadi yang dicari jawabannya oleh semua manusia di dunia. Kalau akal pikiran sudah tidak mampu bekerja lagi untuk menemukan jawabannya, maka seyogianya kita kembali kepada sumber, kepada asal. Nafsu diikutsertakan kepada kita oleh Kekuasaan Tuhan Maha Pencipta! Karena itu, untuk menghadapinya, kita kembalikan kepada Kekuasaan Tuhan.
Kita menyerahkan kepada Tuhan karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menjinakkan nafsu yang meliar. Menyerah, pasrah dengan sabar, dengan ikhlas, dengan tawakal kepada Tuhan! Ini merupakan suatu kewaspadaan yang pasip, kewaspadaan tanpa pamrih, dilandasi penyerahan. Tanpa adanya keinginan, tanpa adanya pamrih, berarti tidak memberi umpan kepada api nafsu. Segala macam keinginan, bahkan keinginan untuk menghentikan atau mengendalikan nafsu, justeru menjadi umpan atau bahan bakar bagi api nafsu, mempertahankan kelangsungan hidupnya. Malam itu hawanya dingin menyusup tulang. Langit cerah oleh cahaya bulan dan awan berkumpul jauh di barat, membuat cahaya bulan dengan bebasnya memandikan permukaan bukit Hitam. Suasana mencekam.
Kalau Pek-liong dan Liong-li, siang tadi mengatur siasat mereka, pihak lawan merekapun tidak tingggal diam. Penyerbuan yang dilakukan Liong-li dan para pembantunya cukup menggegerkan, apa lagi setelah timbul kekacauan karena penyerangan anak panah berapi yang mengakibatkan kebakaran. Biarpun mereka berhasil membunuh dua orang anak buah Liong-li, namun merekapun kehilangan banyak anak buah. Dan bukan para pembantu Liong-li dan Pek-liong yang mereka kehendaki, melainkan sepasang naga itu sendiri. Mereka kini dapat menduga siapa yang menghujankan anak panah berapi, karena di antara para penjaga ada yang sempat melihat berkelebatnya bayangan pria dari arah datangnya anak panah berapi, Siapa lagi kalau bukan Pek-liong-eng, pikir tiga orang datuk itu.
"Pek-liong-eng sudah datang, kini lengkaplah sudah. Hek-liong-li dan Pek-liong-eng sudah datang dan agaknya mereka membawa para pembantu mereka," kata Ang I Sian-li. Suaranya membayangkan ketegangan karena selain gembira akan dapat melaksanakan dendamnya, juga diam-diam ia merasa gentar juga menghadapi Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
"Liong-li telah kehilangan dua orang pembantunya. Tinggal tujuh orang lagi pembantunya, dan Pek-liong mempunyai enam orang pembantu. Kita harus mengadakan persiapan. Mereka pasti akan berusaha untuk membebaskan tawanan kita," kata Pek- bwe Coa-ong yang memimpin gerombolan pendendam itu.
"Mereka itu membikin repot saja. Setelah Pek-liong dan Liong-li datang, apakah tidak lebih baik kalau kita bunuh saja empat orang tawanan itu?' Kim Pit Siu-cai mengajukan usul.
"Ah, engkau keliru sekali, Siu-cai!" cela Pek-bwe Coa-ong.
"Apa gunanya membunuh mereka? Malah.merugikan sekali, merusak rencana siasat kita. Mereka adalah umpan untuk memancing datangnya Pek-liong dan Liong-li. Kalau umpannya kita hilangkan, tentu ikannya tidak akan tertarik lagi dan tidak dapat kita pancing. Justeru Pek-liong dan Liong-li bernapsu untuk datang adalah karena adanya empat orang tawanan itu. Kalau mereka dibunuh, tentu Pek-liong dan Liong-li tidak begitu bodoh untuk membahayakan diri memasuki tempat ini. Kita bahkan harus menambah daya tarik umpan kita. Lepaskan mereka dari belenggu dan biarkan mereka berada di luar karena malam ini mereka pasti akan muncul di sini!"
Tiga orang datuk itu mengatur siasat untuk menjaga segala kemungkinan. Yang menjadi sasaran utama adalah hadirnya Pek-liong dan Liong-li di dalam sarang mereka. Kalau dua orang musuh besar itu sudah berhadapan dengan mereka, maka mereka yakin akan mampu mengalahkan sepasang musuh besar itu. Anak buah mereka hanya akan menghadapi para pembantu Pek-liong dan Liong-li. Pek-bwe Coa-ong dan dua orang rekannya juga memperhitungkan kemungkinan berulangnya serangan anak panah berapi. Akan tetapi mereka tidak khawatir.
Andaikata sarang mereka terbakar seluruhnya, bangunan itu hanya bangunan darurat. Mereka rela kehilangan semua bangunan itu asalkan mereka dapat menangkap atau membunuh Liong-li dan Pek-Iiong. Penjagaan diatur dan diam-diam Pek-bwe Coa-ong sudah memasang barisan pendam di luar sarang, untuk menyerang anak buah Pek-liong dan Liong-li kalau mereka menyerang dengan anak panah berapi atau kalau muncul di sekitar sarang itu. Ini juga merupakan pancingan seolah-olah anak buah mereka meninggalkan sarang sehingga mendorong dua orang musuh itu untuk berani memasuki sarang, apa lagi kalau empat orang tawanan itu mereka biarkan berada di luar kamar tahanan. Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing merasa lega ketika mereka dibebaskan dari ikatan kaki tangan mereka dan digiring oleh belasan orang pengawal keluar dari kamar tahanan.
Semalam suami isteri ini mendengar keributan yang timbul karena kebakaran di sana sini. Mereka mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan hati mereka merasa gembira bercampur tegang dan cemas. Gembira karena mereka dapat menduga bahwa tentu Pek-liong dan Liong-li sudah datang untuk menolong mereka, akan tetapi juga tegang dan cemas karena mereka khawatir sekali sepasang pendekar yang mereka hormati dan sayangi itu akan terperangkap oleh pihak musuh yang licik, cerdik dan lihai. Ketika suami isteri ini tiba di luar, di bawah sinar lampu gantung yang mendatangkan cahaya remang-remang, mereka melihat betapa kakak beradik Kam juga sudah berada di luar. Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li, tidak lagi dibelenggu dan mereka berdua duduk di atas bangku di ruangan depan bangunan yang tadinya menjadi tempat tahanan,
Nampak jelas dari luar karena di ruangan itu dipasangi lampu-lampu gantung yang terang. Di tempat itu nampak pula banyak penjaga yang mengepung. Ketika suami isteri itu disuruh duduk pula di ruangan itu, merekapun duduk dan hanya saling pandang dengan kakak beradik itu. Agaknya mereka berempat memang sengaja dikumpulkan di situ dan mereka dapat menduga bahwa hal ini dilakukan oleh para pemimpin gerombolan agar mereka dapat menarik perhatian Pek-liong dan Liong-li untuk masuk ke tempat itu dan berusaha menolong mereka. Diam-diam mereka merasa tidak enak dan menyesal, merasa seperti menjadi umpan yang akan mencelakakan dua orang pendekar yang mereka sayang dan hormati.
"Kita dijadikan umpan di tempat terbuka ini," bisik Song Tek Hin kepada isterinya dan kakak beradik Kam ketika mereka duduk di atas bangku mengelilingi sebuah meja. Tidak ada penjaga yang mendekati mereka. Para penjaga itu mengepung rumah tahanan dengan ketat.
"Song-toako, aku merasa tidak enak sekali kalau sampai Pek-liong-eng dan Hek-liong-li terjebak dan celaka karena hendak menolong kita," kata Kam Sun Ting yang telah akrab dengan suami isteri itu selama mereka berempat menjadi tawanan di situ.
"Bagaimana kalau kita melarikan diri saja sebelum mereka berdua terjebak di sini?" kata Kam Cian Li.
"Bagaimana caranya?" Su Hong Ing, isteri Song Tek Hin, bertanya, memandang ke sekeliling di mana terdapat sedikitnya tiga puluh orang yang nampak melakukan pengepungan.
"Tempat ini terkepung rapat!"
"Tidak perduli, kita terjang saja keluar dan melawan mati-matian" kata Kam Cian Li dengan nekat.
"Apa lagi enci Hong Ing dan Song-toako memiliki ilmu silat yang tangguh. Takut apa?" Song Tek Hin tersenyum.
"Kita tentu saja tidak takut. Akan tetapi, berusaha melarikan diri seperti itu hanya membuang tenaga sia-sia belaka. Selain kita dikepung oleh puluhan orang anak buah gerombolan, juga kalau seorang saja di antara tiga datuk itu keluar, kita tidak akan mampu berkutik. Mereka itu bukan lawan kita."
"Aku tidak perduli," kata Kam Cian Li nekat.
"Lebih baik aku mati dikeroyok dari pada harus melihat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li terjebak dan celaka karena hendak menolongku di sini!"
"Li-moi, tidak bijaksana kalau kita mati konyol begitu saja. Kalau kita melakukan kenekatan berarti kita membunuh diri. Dan kalau sampai terjadi kita mati konyol begitu, bukankah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li akan merasa kecewa dan menyesal sekali? Mereka bersusah-payah berusaha menolong kita, bahkan kemarin telah ada dua orang pembantu Hek-liong-li yang tewas dalam usaha mereka menolong kita, dan kita malah membunuh diri!" kata Kam Sun Ting menegur adiknya yang kini tak dapat menahan mengalirnya air mata dari kedua matanya.
"Akan tetapi, koko! Bagaimana mungkin aku berdiam saja di sini melihat mereka berdua terjebak dan mendapat bencana karena aku?" adiknya membantah.
"Tentu saja kita harus berusaha, akan tetapi usaha itu bukan bunuh diri. Kita harus berusaha melarikan diri, akan tetapi menggunakan cara yang tepat dan menanti kesempatan yang baik, bukan asal nekat saja. Aku yakin bahwa saat ini Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga sedang menanti kesempatan untuk menyerbu ke sini. Nah, kalau terjadi keributan, kalau mereka menyerbu ke sini kita harus menggunakan kesempatan itu untuk lari ke arah sungai yang mengalir di bagian barat sarang gerombolan ini."
"Ke arah sungai? Kenapa ke sungai dan bukan berusaha keluar dari kepungan dan dari sarang gerombolan ini?" tanya Song Tek Hin heran.
"Kalau kita berempat mengamuk, sedangkan tiga orang datuk sibuk menyambut Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kiraku kita berempat akan mampu membobolkan pengepungan mereka. Tentu saja diharapkan keempat orang Thai-san Ngo-kwi juga tidak menghalangi kita."
"Begini, Song-toako," kata Kam Sun Ting.
"Kurasa, akan percuma saja kalau kita nekat melawan mereka. Engkau dan isterimu saja yang memiliki ilmu silat tinggi masih tidak mampu menandingi mereka, apa lagi kami berdua yang hanya mengerti sedikit ilmu silat. Andaikata kita bisa lolos dari sarang mereka ini, mereka akan melakukan pengejaran dan kita yang belum mengenal daerah bukit ini tentu akan tersesat dan tentu akan tertawan kembali. Karena itu, aku mengajurkan agar kita lari ke sungai saja."
"Akan tetapi mau apa kita ke sungai? Apakah kita dapat lolos dari pengejaran mereka kalau kita lari ke sungai?" tanya Su Hong Ing penasaran.
"Begini, enci Hong Ing, setelah koko menyatakan pendapatnya, baru aku tahu bahwa memang sungai itulah satu-satunya jalan bagi kita untuk menyelamatkan diri dan tidak menyeret Pek-liong-eng dan Hek-liong-li ke dalam bahaya."
"Sebetulnya, apa yang kalian maksudkan?" tanya Su Hong Ing.
"Apakah kalian sudah menyediakan perahu di sungai itu untuk kita pakai melarikan diri?" tanya pula suaminya. Kam Sun Ting menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain kecuali mereka berempat yang dapat mendengarkan percakapan mereka yang dilakukan dengan suara lirih, diapun memberi penjelasan.
"Melarikan diri dengan perahu akan percuma. Akan tetapi kami berdua memiliki keahlian di dalam air. Kami dahulu bekerja sebagai penyelam-penyelam dan begitu kami berdua dapat terjun ke dalam sungai, mereka pasti tidak akan menemukan kami lagi. Dengan cara menyelam kami dapat melarikan diri. Karena itu, kalau keadaan di sini kacau seperti kemarin malam misalnya, dan semua orang sibuk dan panik menghadapi serbuan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kita berempat dapat melarikan diri ke sungai dan selanjutnya kita terjun ke air dan menghilang."
"Akan tetapi aku tidak dapat renang!" kata Cu Hong Ing.
"Dan akupun hanya dapat berenang biasa saja!" sambung suaminya.
"Kami dapat membantu, enci Hong Ing," kata Kam Cian Li.
"kalau aku menggunakan tali ikat pinggang dan engkau memegangi tali itu, lalu menahan napas, maka aku akan menarikmu dan membantumu melarikan diri sambil menyelam. Dan koko akan membantu Song-toako." Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk-angguk. Agaknya memang jalan itu yang terbaik. Kalau hanya bertahan napas, mereka tentu kuat karena mereka sudah mempelajari banyak latihan pernapasan untuk memperkuat diri. Melihat empat orang tawanan itu bicara berbisik-bisik, Ngo-kwi, orang ke lima dari Thai- san Ngo-kwi, berjalan santai menghampiri mereka dan berjalan-jalan dekat mereka.
Matanya yang galak itu mengerling secara kurang ajar kepada Su Hong Ing dan Kam Cian Li, mulutnya tersenyum mengejek. Dua orang wanita itu membuang muka, tidak mau memandang. Mereka maklum bahwa kalau saja mereka tidak diperlukan oleh ketiga datuk sebagai umpan memancing munculnya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, maka tidak ada harapan mereka akan selamat di tangan seorang tokoh sesat seperti Thai-san Ngo-kwi. Pandang mata Ngo-kwi itu saja sudah jelas menunjukkan wataknya yang mesum. Melihat empat orang tawanan itu kini menghentikan percakapan mereka, Ngo-kwi pergi menjauh lagi karena dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Malam semakin larut. Bulan naik semakin tinggi, akan tetapi langit tidak sebersih tadi. Awan berarak datang dari barat menghampiri bulan.
Walaupun hanya awan tipis dan putih, namun cukup mengganggu kecerahan sinar bulan. Udara semakin dingin dan kerik jengkerik dan belalang semakin nyaring, namun tidak mengganggu keheningan malam itu. Semua suara itu bahkan menjadi bagian dari keheningan. Wajar. Wajar itu hening. Empat orang tawanan itu tidak bercakap-cakap lagi. Mereka duduk di bangku dengan punggung tegak lurus dan santai, bernapas dalam-dalam menghimpun tenaga. Sikap ini mengendurkan ketegangan yang menghamburkan tenaga karena mereka menanti datangnya detik-detik yang mereka harapkan. Sesuai dengan rencana mereka, Pek-liong dan Liong-li mempergunakan kepandaian mereka untuk menyusup mendekati sarang gerombolan. Mereka berpencar, mengambil jalan masing-masing dari arah kanan dan kiri.
Semua anak buah mereka sudah memasang posisi dengan perlengkapan anak panah, kain dan minyak. Mereka hanya menanti tanda dari kedua orang pendekar itu. Pek-liong merangkak di balik semak belukar, terus menghampiri sarang. Akan tetapi, terpaksa dia berhenti ketika melihat bahwa di luar sarang terdapat banyak anak buah gerombolan yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Barisan pendam ini memang sudah dia perhitungkan dengan Liong-li, maka dia lalu meloncat dengan hati-hati ke atas pohon. Dia maklum bahwa Liong-li tentu melakukan hal yang sama. Dari atas pohon yang tinggi, terlindung daun-daun yang lebat, Pek-liong mengintai ke balik pagar tinggi. Dia tidak melihat banyak penjaga di dalam sarang itu, hanya beberapa orang saja yang nampak berlalu-lalang di antara bangunan-bangunan.
Kemudian, dia melihat empat orang tawanan itu duduk mengelilingi meja. Mereka duduk dengan tubuh tegak dan punggung lurus, nampak santai dan diam-diam dia merasa girang. Mereka itu telah bersiap-siaga, pikirnya. Agaknya mereka sudah menduga bahwa dia dan Liong-li pasti akan turun tangan malam ini! Pek-liong tersenyum. Muncul kenangan-kenangan manis ketika dia memandang ke arah empat orang itu. Sahabat-sahabatnya yang baik! Dan sekarang mereka menderita karena dia dan Liong-li. Kalau mereka bukan sahabatnya, tidak mungkin tiga orang datuk mengganggu mereka. Akan tetapi Pek-liong mengerutkan alisnya. Mereka itu dibiarkan berada di luar, nampak tak terjaga. Jelas ini merupakan umpan! Nampaknya saja sarang itu kosong dan lemah penjagaannya, akan tetapi di luar sarang terdapat banyak sekali anak buah gerombolan yang memasang barisan pendam.
Agaknya pihak lawan menggunakan siasat mengosongkan sarang dan bersembunyi di luar, memancing harimau memasuki sarang! Kalau dia dan Liong-li sudah masuk ke sarang itu, puluhan bahkan mungkin ratusan orang anak buah gerombolan itu agaknya tentu akan mengepung tempat itu dan tidak ada jalan keluar lagi! Pek-liong tersenyum dan dia tahu bahwa saat itu Liong-li tentu juga tersenyum mentertawakan siasat pihak lawan. Kalau hanya dikepung anak buah gerombolan, apa sukarnya bagi mereka untuk lolos? Apa lagi di sana ada sungai, dan ada kakak beradik Kam! Dia dan Liong-li akan mengelabui mereka. Pek-liong sudah mengambil busur yang tergantung di punggungnya. Pada saat itu nampak sinar meluncur dari arah kirinya, menuju ke dalam sarang gerombolan.
Pek-liong tahu bahwa itu adalah isyarat yang diberikan Liong-li kepada para pembantunya. Benar saja, luncuran anak panah berapi itu segera disusul oleh banyak sekali anak panah berapi yang beterbangan menuju ke sarang gerombolan. Pek-liong cepat meluncurkan isyaratnya dan kini dari arah kanan, beterbangan sinar-sinar dari anak panah berapi menyerang sarang itu. Melihat ini, empat orang tawanan itu menjadi tegang. Mereka mengharapkan para anggauta gerombolan menjadi panik dan beramai-ramai sibuk memadamkan ke bakaran seperti yang pernah terjadi. Akan tetapi mereka menjadi heran dan bingung karena gerombolan itu kelihatan santai saja. Bahkan tidak nampak Thai-san Ngo-kwi memimpin anak buah mereka untuk memadamkan api yang sudah mulai membakar di sana sini.
"Ini sebuah perangkap, kita jangan ceroboh dan tergesa-gesa," kata Song Tek Hin yang menjadi curiga.
Sementara itu, para anak buah gerombolan yang memasang baris pendam di luar sarang, sesuai dengan rencana tiga orang datuk, begitu melihat hujan anak panah berapi, segera keluar dari tempat persembunyian mereka dan menyerang ka arah dari mana datangnya anak-anak panah itu. Pek-liong dan Liong-li dapat memasuki sarang itu dengan mudah. Mereka berdua merobohkan beberapa orang yang bertemu dengan mereka, dan keduanya kini bergabung, terus maju menghampiri empat orang tawanan yang tadi mereka lihat dari atas pohon. Song Tek Hin, Su Hong Ing, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li menjadi girang bukan main melihat munculnya Pek-liong dan Liong-li, akan tetapi mereka juga khawatir karena pada saat itu, belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi di sekitar rumah itu, serentak datang mengepung mereka.
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Serbu!" Song Tek Hin memberi aba-aba kepada yang lain dan empat orang itupun mengangkat bangku masing-masing dan menerjang ke arah anggauta gerombolan yang mengepung dan agaknya menjaga mereka agar jangan melarikan diri. Para penjaga itu menggerakkan senjata untuk melawan, akan tetapi sebentar saja, empat orang tawanan berhasil merobohkan empat orang anak buah gerombolan dan merampas empat batang pedang. Dengan senjata rampasan ini di tangan, mereka siap untuk mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menyeramkan dan empat orang tawanan itu terkejut bukan main karena suara itu mengandung getaran yang membuat mereka menggigil! Bahkan para, anak buah gerombolan juga menggigil dan untuk sementara pengeroyokan itu dihentikan.
"Ha-ha-ha, si keparat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!" kata Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih) Gan Ki yang tertawa tadi.
"Akhirnya kami dapat berhadapan dengan kalian berdua. Bersiaplah untuk menghadap para rekan kami yang kalian bunuh untuk membayar hutang kalian di akhirat!" Melihat betapa tiga orang datuk besar musuh mereka itu telah berdiri di situ, Liong-li bertolak pinggang dan berkata dengan suara mengejek.
"Hemm, sejak orang pertama sampai yang terakhir, Kiu Lo-mo terkenal sebagai datuk sesat yang tak tahu malu, suka menggunakan kecurangan dan bersikap pengecut. Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li! Kalau memang kalian bertiga ingin mampus di tangan kami berdua, kenapa tidak langsung saja datang dan menantang sehingga kita dapat bertanding sebagai orang gagah? Kalian menculik para sahabat kami untuk memancing kami, apakah itu perbuatan orang gagah?" Terdengar suara tawa terkekeh genit.
"Hi-hi-hik, bicaramu besar sekali, menunjukkan kesombonganmu, Hek-liong-li. Sekarang kami berhadapan dengan kalian, boleh kita bertanding dan kalian akan mati di tangan kami. Adapun empat orang ini, karena mereka adalah sahabat-sahabatmu, mereka akan mampus pula, hik-hik!" Pek-bwe Coa-ong memberi isyarat kepada anak buahnya yang kini sudah berkumpul di situ, sebanyak dua puluh orang lebih.
"Tangkap mereka berempat!"
Dan dia sendiri bersama dua orang rekannya sudah mengepung Pek-liong dan Liong-li. Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas) sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kipas lebar dan sebatang pena bergagang emas. Senjata inilah yang memberinya nama besar di dunia persilatan. Ang I Sian-li juga mencabut sepasang pedangnya. Tanpa siang-kiam (pedang pasangan) itupun iblis betina ini sudah lihai sekali dan tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat kedua orang rekannya. Di samping ilmu silatnya tinggi dan tenaga sin-kangnya kuat, wanita ini juga mempelajari ilmu-ilmu sesat, ilmu hitam yang diperkuat oleh hasil kekejiannya yang mengerikan, yaitu suka menghisap habis darah bayi.
Komentar
Posting Komentar