DENDAM SEMBILAN IBLIS TUA JILID 05

 



   Akan tetapi karena sepasang pendekar itu tidak mau terlibat dalam pernikahan, hubungan cinta itu gagal, dan kalau tadinya mereka saling menghibur, akhirnya Cian Hui dan Cu Sui In saling tertarik dan menikah. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan seorang anak perempuan. Suami isteri jagoan ini tinggal di sebuah gedung yang mungil di kota raja. Biarpun dia seorang panglima, namun Cian Ciang-kun tidak suka hidup gemerlapan dengan kemewahan. Rumahnya tidak terlalu besar seperti rumah para panglima lainnya, namun karena dia menyadari bahwa dia dimusuhi banyak penjahat dan tokoh sesat yang pernah diberantasnya, maka siang malam selalu ada saja pasukan khusus yang melakukan penjagaan di sekitar rumah Cian Ciang-kun untuk menjaga keselamatan, untuk mencegah agar tidak ada tokoh sesat yang datang membalas dendam kepada keluarga itu.

   Sebetulnya, penjagaan ini dilakukan oleh Cian Hui semenjak isterinya melahirkan seorang anak. Sebelum itu, dia tidak pernah menyuruh anak buahnya melakukan penjagaan, karena dia merasa bahwa dia sendiri bersama isterinya cukup tangguh untuk membela diri kalau terjadi penyerangan. Akan tetapi setelah puterinya lahir, dia melakukan penjagaan itu demi keselamatan puterinya. Itulah sebabnya mengapa Pek-bwe Coa-ong mengalami kesulitan untuk dapat menculik Cian Hui dan isterinya seperti yang telah direncanakannya bersama dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li dalam usaha mereka membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Telah sepekan dia berada di kota raja, setiap hari melakukan pengintaian namun tak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan usahanya itu.

   Dia tidak berani melakukan kekerasan terhadap Cian Hui dan isterinya di kota raja karena dimaklum betapa besar bahayanya kalau sampai para jagoan istana dan pasukan keamanan mengepung dan mengeroyoknya. Kalau dia hendak membunuh panglima itu dan isterinya, hal itu agaknya akan dapat dia lakukan lebih mudah, apalagi dia memang sengaja membawa Thai-san Ngo-kwi untuk membantunya. Akan tetapi justeru kesukarannya terletak pada tidak harus melakukan pembunuhan. Kalau panglima dan isterinya itu dibunuh, hal itu sama sekali tidak ada gunanya lagi. Mereka harus dapat ditangkap hidup-hidup, dijadikan tawanan sebagai umpan agar Liong-li dan Pek-liong berdatangan,untuk menyelamatkan sahabat baik itu.

   Pada suatu sore, Pek-bwe Coa-ong yang selalu melakukan pengintaian itu melihat Cian Hui dan isterinya keluar dari rumah mereka. Suami isteri itu agaknya hendak berjalan-jalan mencari hawa sejuk karena udara sore hari itu agak panas dan mereka tidak membawa pengawal. Diam-diam Pek-bwe Coa-ong membayangi mereka dan melakukan persiapan karena dianggapnya bahwa hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali. Atas isyaratnya Thai-kwi dan Ji-kwi ikut pula melakukan pengintaian dan kini dua orang di antara Thai-san Ngo-kwi itu ikut pula membayangi suami isteri yang sama sekali tidak mengira bahwa dalam suasana yang aman dan nyaman itu, mereka terancam bahaya.

   Cian Hui dan Sui In memasuki sebuah taman di kota raja. Taman umum itu indah terpelihara baik-baik dan luas, terdapat banyak pohon dan rumpun bunga-bunga beraneka warna. Sore itu, banyak juga orang berjalan-jalan di taman umum itu karena hawa udara di situ lebih sejuk. Akan tetapi, karena taman itu luas, maka banyak bagian yang nampak sepi. Ketika Cian Hui dan Sui In sedang berjalan perlahan-lahan di bagian yang sunyi dekat sebuah kolam ikan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang berjalan dari depan. Tanpa curiga Cian Hui dan isterinya memandang kepada mereka. Seorang tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi pendek gendut, usia mereka empat puluh tahun lebih.

   Ketika dua orang itu telah datang dekat, tiba-tiba saja mereka menyerang suami isteri itu dengan pukulan yang dahsyat, tanpa memberitahu lebih dahulu. Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Namun, mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu, maka cepat mereka dapat meloncat ke samping mengelak. Si tinggi besar terus menyerang Cu Sui In, sedangkan yang pendek gendut menyerang Cian Hui. Tentu saja kedua orang itu adalah Thai-kwi dan Ji-kwi yang telah mendapat perintah dari Pek-bwe Coa-ong untuk melakukan penyerangan kepada suami isteri yang sejak tadi mereka bayangi. Karena mereka sebelumnya sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa Sui In lebih lihai dari Cian Hui, maka Thai-kwi menyerang Sui In dan Ji-kwi yang menyerang Cian Hui.

   "Heii, gilakah kalian tanpa sebab menyerang kami?" Cian Hui membentak dan kembali dia mengelak dari serangan si pendek gendut yang amat lihai itu.

   "Cian Hui, engkau dan isterimu harus mati untuk menebus dosamu terhadap banyak saudara kami yang kautawan dan kau bunuh!" teriak Thai-kwi yang juga mendesak Sui In. Mengertilah Cian hui bahwa dia berhadapan dengan golongan sesat yang memusuhinya untuk membalaskan para penjahat yang pernah ditangkapnya atau dibasminya, maka tanpa banyak cakap lagi diapun membalas serangan si pendek gendut. Akan tetapi, sekali ini dia terkejut karena si gendut ini benar-benar amat lihai. Ketika si gendut itu menangkis pukulannya, dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan terasa nyeri. Ia menunjukkan bahwa si gendut ini memiliki tenaga yang amat kuat. Juga ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya terdesak oleh si tinggi besar.

   "Singg...!" Cian Hui mencabut pedangnya, akan tetapi pada saat itu, lawannya juga mengeluarkan sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Mereka kembali saling serang dan ternyata ilmu golok lawannya itupun hebat sehingga sebentar saja gulungan sinar pedangnya terhimpit. Tentu saja Cian Hui merasa khawatir sekali, terutama terhadap keselamatan isterinya. Cu Sui In adalah murid Kun-lun-pai yang tangguh, bahkan tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan suaminya.

   Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang amat kuat. Apalagi ketika lawannya menggerak-gerakkan kedua lengan secara aneh dan nampak kedua lengan itu kemerah-merahan, tahulah Sui In bahwa lawannya memiliki ilmu yang aneh dan tangannya mengandung hawa panas seperti api. Tidak seperti suaminya yang tak pernah ketinggalan membawa pedang, nyonya muda ini tidak membekal senjata, karena niatnya meninggalkan rumah hanya untuk jalan-jalan mencari hawa sejuk. Akan tetapi agaknya lawannya seorang yang tinggi hati karena melihat ia tidak bersenjata, lawannya juga tidak mencabut golok yang tergantung di punggungnya. Biarpun demikian, tetap saja dia mulai terdesak. Tiba-tiba, di antara beberapa orang yang mulai tertarik dan nonton perkelahian itu, muncul seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua.

   "Siapa berani mengganggu Cian Ciang-kun?" bentaknya halus dan diapun melompat ke dalam kalangan perkelahian, tangannya yang hampir tak nampak tertutup lengan baju yang lebar dan panjang itu digerakkan dua kali ke arah Thai-kwi dan Ji-kwi. Angin yang kuat sekali menyambar dari lengan baju itu dan kedua orang yang menyerang suami isteri itu terdorong dan terhuyung ke belakang!

   Mereka berdua maklum bahwa kakek yang membela suami isteri itu memiliki kesaktian, maka tanpa banyak sikap lagi keduanya lalu berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali. Tentu saja Cian Hui dan isterinya merasa lega dan berterima kasih sekali kepada kakek yang amat lihai itu. Mereka memandang dengan penuh perhatian dan merasa kagum. Kakek itu usianya sekitar enam puluh lima tahun, rambutnya sudah putih semua dan wajahnya nampak tua sedangkan tubuhnya kecil kurus dan kelihatan ringkih. Siapa tahu, dia memiliki sin-kang sedemikian hebatnya sehingga sekali menggerakkan tangan, hawa pukulannya membuat penjahat yang tangguh tadi terdorong dan terhuyung! Cian Hui dan isterinya cepat memberi hormat kepadanya dan Cian Hui berkata dengan suara yang mengandung rasa kagum dan hormat.

   "Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menolong kami. Agaknya lo-cianpwe sudah mengetahui bahwa saya bernama Cian Hui dan ini isteri saya, Cu Sui In. Bolehkah kami mengenal nama besar locianpwe yang mulia?" Kakek itu tersenyum dan mengeluarkan suara tawa aneh dan lirih.

   "Heh-heh, namaku tidak ada artinya bagi Ciang-kun, yang lebih penting Ciang-kun ketahui bahwa saya memang mencari Ciang-kun berdua isteri karena saya membawa pesan dari sahabat baik saya Pek-liong-eng..." Mendengar ini, Cian Hui dan isterinya terkejut akan tetapi juga girang. Kiranya kakek lihai ini adalah sahabat Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Pantas demikian lihainya! Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang yang berkumpul karena merasa tertarik oleh perkelahian tadi, Cian Hui berkata,

   "Locianpwe, tidak leluasa untuk bicara di sini. Mari, kami persilakan locianpwe berkunjung ke rumah kami di mana kita dapat bicara dengan leluasa."

   "Heh-heh, begitupun lebih baik..." kakek itu mengangguk-angguk lalu mereka bertiga meninggalkan taman dan pergi ke rumah panglima itu. Setelah mereka duduk di dalam ruangan tamu, Cian Hui dan isterinya yang duduk berhadapan dengan kakek itu segera bertanya apakah pesan yang dibawa oleh kakek itu dari Pek-liong, dan siapa pula nama kakek yang lihai itu.

   "Heh-heh, sudah saya katakan bahwa nama saya tidak ada artinya bagi ji-wi (kalian berdua). Nama saya Gan Ki dan saya adalah seorang sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Pek-liong-eng yang mengutus saya mencari Ciang-kun dan nyonya.

   "Apakah pesan itu, Gan-locianpwe?" tanya Cian Hui.

   "Dia berpesan agar sekarang juga ji-wi datang kepadanya. Dia berada dalam bahaya maut dan hanya ji-wi yang akan dapat menyelamatkannya. Saya diutus menjemput ji-wi dan sudah disediakan kereta untuk ji-wi di luar pintu gerbang selatan kota raja. Karena tidak ingin menarik perhatian orang, sengaja kereta itu saya tinggalkan di sana, siap untuk mengantar ji-wi ke tempat Pek-liong-eng berada." Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main mendengar bahwa Pek-liong berada dalam bahaya maut!

   "Di mana dia sekarang?" Sui In tak dapat menahan kecemasan hatinya dan bertanya. Bagaimanapun juga, Pek-liong merupakan orang yang pernah menjadi kekasihnya dan ia tidak pernah dapat melupakan pendekar itu.

   "Di suatu tempat di lembah Huang-ho. Marilah kita segera berangkat, saya khawatir kita akan terlambat," kakek itu mendesak. Cian Hui teringat akan sesuatu.

   "Locianpwe, kalau Pek-liong berada dalam bahaya maut, kenapa lo-cianpwe mencari kami, bukan mencari Liong-li?"

   "Liong-li? Ah, kau maksudkan Hek-liong-li Ciang-kun? Ia tidak berada di tempat tinggalnya dan menurut Pek-liong-eng, Hek-liong-li juga terancam maut. Karena itu, marilah cepat-cepat kita pergi agar jangan terlambat, Ciang-kun. Sebaiknya Ciang-kun pergi berdua seperti pesan Pek-liong-eng, jangan bawa pasukan pengawal karena hal ini tentu akan diketahui oleh pihak musuh dan celakalah Pek-liong-eng!" Suami isteri itu saling pandang, wajah Sui In membayangkan kecemasan.

   "Mari kita cepat pergi dan menolongnya!" kata nyonya muda itu.

   "Mari, kita berkemas dulu. Harap locianpwe menunggu sebentar di sini, kami hendak membuat persiapan dan berkemas," kata Cian Hui. Kakek itu mengangguk sambil tersenyum dan suami isteri itu masuk ke dalam. Setelah tiba di dalam, Cian Hui menarik tangan isterinya diajak ke belakang.

   "Aku curiga kepadanya, kita harus membuat persiapan," bisiknya dan diapun menulis surat dengan cepat, memanggil kepala penjaga lalu menyerahkan surat itu dengan pesan agar cepat-cepat surat itu diserahkan kepada Teng Gun atau Teng Ciang-kun. Setelah kepala penjaga itu pergi dengan cepat, dia dan isterinya lalu membawa bekal dan tidak lupa mereka mempersiapkan pedang dan senjata rahasia, juga obat-obatan. Sui In memesan kepada pelayan agar menjaga Cian Hong baik-baik dan agar para pengawal menjaga keselamatan anak itu, barulah mereka pergi ke ruangan tamu kembali dan disambut dengan senyum gembira oleh kakek rambut putih itu.

   "Bagus, ji-wi tidak membuang-buang waktu. Mari kita cepat berangkat!" katanya dan suaranya terdengar gembira.

   "Akan tetapi agar tidak menarik perhatian, kita jangan terlalu cepat berjalan selama berada dalam kota," kata Cian Hui.

   "Ketahuilah, locianpwe, saya mempunyai tugas pekerjaan, akan tetapi terpaksa saya tinggalkan demi menolong Pek-liong-eng, sahabat baik kami." Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Saya tahu, kalau bukan sahabat baik, tentu Pek-liong-eng tidak menyuruh saya mencari ji-wi." Mereka bertiga lalu keluar dari rumah Cian Hui dan berjalan dengan santai menuju ke selatan, ke arah pintu gerbang selatan. Tidak nampak ketegangan di wajah Cian Hui, apa lagi ketika dia melihat beberapa orang dalam penyamaran mengamati mereka, yaitu para jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabatnya. Kiranya Teng Ciang-kun, pembantunya yang setia, dapat bekerja dengan cepat sekali sesuai dengan isi suratnya yang dikirimkannya tadi. Tidak terjadi sesuatu selama mereka melakukan perjalanan santai menuju ke pintu gerbang selatan. Setelah keluar dari pintu gerbang, kakek itu berkata,

   "Kami telah mempersiapkan sebuah kereta untuk melanjutkan perjalanan. Di sana keretanya, Ciang-kun," dia menunjuk ke kiri, ke lorong yang menyimpang dari jalan raya. Cian Hui dan Sui In mengikutinya memasuki lorong yang sepi itu, dan dari jauh nampak sebuah kereta sudah menanti. Tempat itu memang sepi, apa lagi cuaca mulai gelap remang-remang. Ketika sudah tiba di dekat kereta, suami isteri itu melihat dua orang berada di atas kereta, di bangku kusir dan mereka terkejut bukan main mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah si tinggi besar muka hitam dan si gendut yang tadi menyerang mereka di dalam taman!
(Lanjut ke Jilid 05)

   Dendam Sembilan Iblis Tua (Seri ke 03 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
"Heil! Apa artinya ini?" seru Cian Hui dan bersama isterinya diapun memutar tubuh untuk menghadapi kakek yang mengaku bernama Gan Ki. Kakek itu berdiri menyeringai dan kini wajahnya yang nampak tua dan ringkih itu kelihatan licik dan kejam.

   "Artinya, kalian berdua menjadi tawanan kami."

   "Siapakah engkau sebenarnya dan mengapa pula hendak menawan kami?" Cian Hui bertanya dengan suara lantang karena marah. Kini kakek yang sudah merasa yakin akan keberhasilannya, tertawa mengejek.

   "Ha-ha-ha, namaku memang Gan Ki walaupun tak pernah aku mempergunakan nama kecil itu. Dunia kang-ouw mengenalku sebagai Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular ekor Putih)." Cian Hui terkejut.

   "Seorang di antara Kiu Lo-mo?"

   "Heh-heh, engkau memang cerdik, Cian Ciang-kun. Memang benar sekali dugaanmu itu."

   "Lalu mengapa engkau menawan kami?"

   "Agar Pek-liong-eng dan Hek-liong-li datang untuk menolong kalian. Bukankah kalian sahabat sahabat baik mereka? Kalian kami tawan untuk menjadi umpan. Setelah dapat ikannya, kalian akan kami bebaskan."

   "Tidak sudi kami dijadikan umpan!" bentak Cu Sui In marah dan ia sudah mencabut pedangnya, diikuti suaminya yang juga mencabut pedang.

   "Kalian hendak melawan? Ha-ha, menghadapi Thai-kwi dan Ji-kwi saja kalian tidak mampu menang, dan kalian hendak melawan aku?" Cian Hui dan Cu Sui In yang sudah marah sekali tidak perduli dan menerjang kakek itu dengan pedang mereka. Pek-bwe Coa-ong tersenyum dan tubuhnya membuat gerakan seperti ular, lalu kedua lengannya didorongkan ke depan menyambut serangan itu.

   "Wuuuuuttt...!" Angin dahsyat menyambut suami isteri itu dan betapapun mereka sudah mengerahkan sin-kang mempertahankan diri, tetap saja Cian Hui terjengkang dan Cu Sui In yang lebih tangguh, terdorong ke belakang dan terhuyung! Cian Hui cepat mengeluarkan peluit kecil dan meniupnya. Terdengar suara nyaring dan belasan bayangan berkelebat. Mereka adalah jagoan-jagoan istana yang sudah berloncatan keluar dengan senjata di tangan dan di belakang mereka masih nampak puluhan orang perajurit. Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong terkejut, dan dua orang dari Thai-san Ngo-kwi juga terbelalak.

   Sama sekali tidak mereka sangka bahwa suami isteri yang sudah mereka jebak itu berbalik memasang perangkap bagi mereka! Melihat bahwa keadaannya menjadi berbahaya karena diapun maklum bahwa jagoan-jagoan dari kota raja amat lihai dan jumlah mereka amat banyak, kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring memberi isyarat kepada dua orang pembantunya dan merekapun berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali, meninggalkan kereta dan kuda mereka. Mereka hanya bermaksud menawan suami isteri itu untuk dijadikan umpan. Usaha mereka telah gagal maka mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian dan permusuhan melawan pasukan keamanan pemerintah. Cian Hui dan isterinya segera pulang dengan hati lega, akan tetapi setelah tiba di rumah, Sui In bertanya,

   "Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia berniat jahat dan telah mengerahkan bala bantuan?" Cian Hui menghela napas.

   "Berkat pengalamanku selama bertahun-tahun, aku selalu waspada dan teliti. Ada banyak hal yang ganjil ketika kakek itu bercerita tentang Pek-liong-eng. Pertama kalau dia memang mencariku, bagaimana kita dapat bertemu dengan dia di taman, tepat pada saat kita diserang kedua orang itu? Kebetulan yang agaknya disengaja atau diatur. Kalau benar dia mencariku untuk menyampaikan pesan dari Pek-liong-eng tentu dia akan langsung saja datang ke rumah, bukan berkeliaran di taman.

   "Kedua, kalau benar Pek-liong-eng membutuhkan bantuan kita, tentu dia akan mengirim surat, bukan secara lisan. Ketiga, kakek itu memiliki kepandaian tinggi, kalau dia benar sahabat baik dari Pek-liong-eng, mengapa dia jauh-jauh mencari kita dan bukan dia sendiri saja yang menolong Pek-liong? Kepandaiannya jauh di atas kita, lalu mencari kita apa gunanya? Keempat, dia bilang menyiapkan kereta untuk kita, dan tidak ingin menarik perhatian maka keretanya ditinggalkan di luar pintu gerbang. Hal ini tidak masuk diakal. Kalau kedatangannya bermaksud baik, kenapa dia menjauhkan perhatian orang? Pendeknya, banyak sekali pada dirinya yang menimbulkan kecurigaan, maka ketika kita masuk untuk berkemas, aku mengirim surat kepada Teng Ciang-kun agar dia mengirim bala bantuan yang kuat dan memasang barisan pendam di luar pintu gerbang, melihat perkembangan." Isterinya mengangguk-angguk dan memandang kagum kepada suaminya,

   "Engkau memang cerdik sekali. Kalau begitu, jelas bahwa Pek-liong dan Liong-li sebenarnya tidak berada dalam ancaman bahaya maut."

   "Engkau keliru. Kakek itu adalan Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Sembilan Iblis Tua. Setahuku, Pek-liong dan Liong-li telah membunuh empat orang di antara mereka, dan dua orang lagi, yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah lebih dahulu tewas. Jadi sisanya tinggal tiga orang lagi, yaitu Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li.

   "Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Siapa tahu mereka bertiga itu kini bersatu untuk membalas dendam atas kematian rekan-rekan mereka. Kalau mereka gagal menawan kita untuk dijadikan umpan, tentu mereka akan mempergunakan cara lain untuk membalas dendam kepada Pek-liong dan Liong-li. Dan aku harus cepat memberi kabar untuk memperingatkan mereka akan ancaman ini."

   "Engkau hendak pergi berkunjung kepada Pek-liong dan Liong-li? Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali karena Pek-bwe Coa-ong dan kawan-kawannya tentu akan berusaha menangkapmu." Cian Hui menggeleng kepala.

   "Aku sudah mereka kenal, aku akan menyuruh seorang pembantu yang cerdik untuk membawa suratku kepada Pek-liong, dan seorang pembantu lagi kusuruh mengantar surat kepada Liong-li." Demikianlah, malam hari itu juga Cian Hui membuat dua buah surat dan menyuruh anak buah yang pandai,

   Seorang pergi ke dusun Pat-kwa-bun mencari Pek-liong-eng, dan seorang lagi pergi ke kota Lok-yang mencari Hek-liong-li. Hek-liong-li Lie Kim Cu duduk seorang diri di ruangan dalam rumahnya. Ia duduk seenaknya, mengangkat kedua kaki yang ditekuk lututnya ke atas kursi, nongkrong seorang diri di pagi hari itu. Rambutnya masih kusut, pakaiannya juga kacau dan tidak rapi karena ia baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi dan bertukar pakaian karena pagi-pagi sudah disibukkan dengan termenung seorang diri. Kadang-kadang ia menggosok-gosok hidungnya yang tidak gatal dan kesibukan menggosok hidung ini bagi yang sudah mengenalnya menjadi tanda bahwa wanita cantik jelita yang gagah perkasa ini sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri,

   Sedang mengerjakan kecerdasan otaknya untuk memecahkan persoalan yang rumit. Dan memang Liong-li sedang termenung memikirkan semua peristiwa yang menimpa dirinya. Ia sudah mengerahkan semua pembantunya, beberapa hari yang lalu ia membawa sembilan orang pembantunya, semua bersenjata lengkap, mendaki puncak Thai-san hendak menyerbu sarang Thai-san Ngo-kwi. Akan tetapi, ternyata yang disergapnya hanyalah sarang yang kosong belaka. Semua burung sudah meninggalkan sarang, atau lebih tepat lagi, semua srigala telah meninggalkan sarang mereka. Tak seorangpun dari Thai-san Ngo-kwi maupun anak buah mereka dapat ia temukan. Saking kecewa dan marahnya, Liong-li dan anak buahnya membakar sarang itu sampai habis rata dengan tanah. Akan tetapi perbuatan itu masih belum menenangkan hatinya.

   Jelas bahwa Thai-san Ngo-kwi memusuhinya karena hendak membalas dendam kematian guru mereka, yaitu Siauw-bin Ciu-kwi. Akan tetapi, agaknya mereka tidak berdiri sendiri. Nenek pesolek yang lihai itu tentu yang menjadi dalangnya dan ia tidak.mengenal nenek itu. Tidak tahu pula di mana sekarang mereka berada. Dan selama ia belum dapat membasmi mereka, tentu ia akan selalu terancam. Sekarangpun ia melarang anak buahnya keluar seorang diri. Tidak aman bagi mereka. Diancam musuh yang bergerak secara bersembunyi sungguh tidak mengenakkan hati, selalu tegang dan harus waspada setiap saat. Ia harus dapat menghancurkan mereka. Akan tetapi di mana mereka? Ia teringat kepada Pek-liong. Kenapa belum juga ada balasan dari Pek-liong? Tiba-tiba daun pintu ruangan itu diketuk seorang pembantunya. Ang-hwa yang berpakaian serba merah itu muncul.

   "Lihiap ada seorang tamu hendak bertemu dengan Lihiap, katanya dia membawa surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting." Liong-li mengerutkan alisnya. Terlalu banyak nama yang dikenalnya, maka untuk mengingat dua nama itu ia harus menggali ingatannya. Kemudian ia teringat. Song Tek Hin adalah pemuda tegap tampan yang dikenalnya lima tahun yang lalu, dan Kam Sun Ting adalah seorang pemuda ramping tegap kokoh kuat, perenang dan penyelam tangguh di Telaga Po-yang itu yang dikenalnya tiga tahun yang lalu. Kedua pemuda itu adalah sahabat-sahabat baiknya, bukan sekadar sahabat malah, mereka pernah menjadi kekasihnya dan teringat kepada mereka mendatangkan kehangatan di hatinya.

   "Suruh dia menunggu di ruangan tamu dan ingat, jaga dia baik-baik, awasi gerak-geriknya dan cegah sesuatu terjadi kepadanya. Aku mau mandi sebentar." Ang-hwa mengangguk dan pergi. Liong-li cepat mandi air dingin dan tak lama kemudian ia telah memasuki ruangan tamu dengan wajah segar dan pakaian yang rapi, pakaian serba hitam yang selalu menutupi tubuhnya. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang desa, bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Liong-li dengan kagum. Biarpun ia berhadapan dengan seorang dusun yang sederhana, namun karena orang itu menjadi tamunya, Liong-li cepat mengangkat kedua tangan, depan dada, lalu berkata,

   "Apakah paman hendak bertemu dengan saya?" Pria itu nampak bingung.

   "Saya ingin berjumpa dengan... yang namanya Hek-liong-li..." Liong-li tersenyum. Jelas bahwa orang ini belum pernah melihatnya, juga agaknya tidak tahu bahwa Hek-liong-li adalah sebuah julukan. Orang ini jelas seorang petani sederhana biasa, sehingga semakin menarik mengapa orang seperti ini hendak bertemu dengannya.

   "Akulah Hek-liong-li, paman. Ada keperluan apakah paman hendak bertemu dengan aku?" Dengan gugup orang itu mengeluarkan dua sampul surat dari dalam saku bajunya,

   "Aku hendak menyampaikan surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting." Demikian cepat dia mengucapkan dua nama itu seolah-olah dua nama itu telah dihafalkan berulang kali. Dia menyerahkan dua sampul surat itu kepada Liong-li yang menerimanya. Dua macam tulisan tangan di luar sampul yang menyebutkan namanya dengan jelas, nama berikut julukannya, yaitu Hek-liong-li Lie Kim Cu. Tentu saja ia tidak mengenal bagaimana bentuk tulisan dua orang pria itu, dan tidak tahu apakah dua sampul surat ini benar dari mereka ataukah hanya tulisan palsu. Ia mengangkat mengamati wajah yang sederhana itu.

   "Siapakah namamu, paman?"

   "Namaku? Namaku Theng Kiu, nona."

   "Tempat tinggal paman?"

   "Di luar kota ini, sebelah barat, dekat sungai. Aku seorang petani, juga nelayan..."

   "Paman mengenal Song Tek Hin dan Kam Sun Ting?" Petani itu menggeleng kepala.

   "Sama sekali tidak mengenal mereka, melihatpun belum."

   "Lalu bagaimana surat-surat ini...?"

   "Aku menerimanya dari seorang laki-laki. Malam tadi ketika aku sedang menjala ikan di pantai sungai, muncul seorang laki-laki dan dia menyerahkan dua buah surat ini kepadaku dengan pesan agar aku menyampaikannya kepada Hek-liong-li yang tinggal di rumah ini."

   "Paman begitu taat kepadanya. Siapakah dia yang menyerahkan surat itu?"

   "Aku tidak tahu, nona. Dia menyerahkan dua buah surat ini dan aku diberi upah sepotong perak, dengan pesan agar aku menyampaikan surat-surat ini dan jangan melupakan nama-nama pengirimnya. Karena hari telah malam, maka aku menunda sampai pagi ini." Liong-li mengangguk-angguk, memuji kecerdikan si pengirim surat.

   "Apakah paman dapat menceritakan bagaimana rupanya orang itu?"

   "Malam itu gelap sekali di tepi sungai, nona. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, hanya dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar. Itu saja yang kuketahui." Kembali Liong-li mengangguk-angguk karena ia sudah menduga demikian. Kiranya tidak ada yang dapat ia harapkan memperoleh keterangan dari orang ini, maka iapun mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkan kepadanya.

   "Ini hadiah untukmu, paman. Kalau orang itu muncul lagi dan paman mengenalnya, harap paman suka cepat memberitahu kepadaku, dan aku akan memberi hadiah yang lebih banyak." Wajah itu berseri dan tangan itu gemetar ketika menerima sepotong perak itu. Selama hidupnya, baru dua kali ini dia melihat sepotong perak yang amat berharga, yaitu malam tadi dan pagi ini. Dia mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih dan berjanji akan memenuhi permintaan Liong-li. Kemudian dia pamit dan meninggalkan runah itu dengan hati yang gembira bukan main. Dalam waktu singkat dia telah memperoleh hasil melebihi hasil dia bekerja selama dua bulan! Dengan tenang Liong-li membuka sampul surat dan membacanya sambil tetap duduk di ruangan tamu itu, tenggelam ke dalam sebuah kursi yang besar.

   Alisnya berkerut ketika membaca dua buah surat itu. Tulisan tangannya berbeda, akan tetapi isinya senada, yaitu keduanya mengatakan bahwa mereka telah menjadi tawanan musuh di lembah Huang-ho dan kalau ia tidak segera datang menolong mereka, tentu mereka akan dibunuh! Liong-li menggosok-gosok hidungnya, kedua matanya terpejam. Ia membayangkan dua orang pemuda itu, terutama watak mereka. Song Tek Hin adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang cukup lihai, berjiwa pendekar. Sama sekali bukan seorang yang berwatak pengecut dan takut mati. Apa lagi Kam Sun Ting. Penyelam yang gagah ini seorang yang jantan, biarpun ilmu silatnya tidak"lah sehebat ilmunya menyelam, namun dia berhati baja dan pemberani.

   Juga sama sekali bukan seorang pengecut. Kesimpulannya adalah bahwa ada dua kemungkinan. Surat ini bukan tulisan mereka, atau kalau benar tulisan mereka, tentu ada sesuatu yang memaksa mereka menulis surat seperti ini. Dan jelas ini merupakah suatu jebakan baginya. Tentu pihak penulis surat palsu, atau pihak penawan kedua orang pemuda itu sengaja memancingnya datang ke lembah Huang-ho dan sudah bersiap-siap untuk mencelakakannya. Ada dua hal yang mempertebal dugaannya bahwa ini bukan surat palsu. Pertama, siapakah orangnya yang tahu bahwa kedua orang pemuda ini merupakan orang-orang yang dekat dengan hatinya sehingga kalau mereka ditawan, tentu ia akan mencoba untuk menolong mereka? Kedua, mengapa kedua orang pemuda ini yang dipilih untuk dijadikan umpan baginya?

   Jelas, ada musuh-musuhnya yang menggunakan siasat ini untuk memancingnya masuk ke dalam perangkap. Ini tentu ada hubungannya dengan gangguan yang dilakukan orang kepadanya beberapa hari yang lalu. Thai-san Ngo-kwi? Dan nenek itu? Liong-li menggosok-gosok hidungnya lagi. Ia mengingat kembali peristiwa apa yang mempertemukan ia dengan kedua orang pemuda itu. Ia bertemu dengan Song Tek Hin ketika ia bersama Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Ib1is Tua). Dan ia bertemu dengan Kam Sun Ting ketika ia bersama Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin oleh Siauw-bin Ciu-kwi, juga seorang di antara Kiu Lo-mo dalam peristiwa perebutan Patung Emas! Ah, dua peristiwa yang didalangi oleh tokoh-tokoh Kiu Lo-mo! Berarti Kiu Lo-mo berdiri di belakang ini.

   Apa lagi Thai-san Ngo-kwi yang mencoba untuk mengganggu rumahnya juga merupakan murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi! Liong-li menggosok-gosok hidungnya yang kecil mancung sampai menjadi kemerahan. Kini seluruh perhatian dan ingatannya ia kerahkan untuk mengingat tentang keadaan Kiu Lo-mo. Ia pernah bersama Pek-liong melakukan penyelidikan, mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Kiu Lo-mo. Mereka itu terdiri dari sembilan orang tokoh sesat yang amat terkenal, lihai dan jahat sekali. Dan biarpun mereka berdiri sendiri-sendiri, namun ada semacam ikatan di antara mereka, semacam setia kawan yang membuat mereka dijuluki Sembilan Iblis Tua. Dua orang di antara mereka yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah tewas ketika bentrok dengan pasukan yang dipimpin para jagoan istana, belasan tahun yang lalu.

   Kemudian ia bersama Pek-liong telah menewaskan empat orang di antara mereka, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam), Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Lautan Selatan) dan Tiat-thouw Kui-bo (Siang Iblis Kepala Besi). Jadi sekarang, yang masih hidup tinggal tiga orang lagi di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas), Ang I Sian-li (Dewi Pakaian Merah), dan Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih). Ang I Sian-li! Ah, kenapa ia begitu bodoh? Liong-li menepuk kepalanya sendiri. Tentu saja! Nenek berpakaian merah yang pesolek itu, siapa lagi kalau bukan Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo? Pantas begitu kuat! Jelaslah sekarang, tentu sisa dari Kiu Lo-mo yang berada di balik semua peristiwa ini. Kalau ketiga iblis tua itu masih hidup dan kini berusaha membalas dendam atas kematian empat orang iblis tua,

   Tidak mengherankan kalau mereka itu menawan Song Tek Hin dan Kam Sun Ting! Agaknya mereka telah mengetahui akan semua peristiwa kematian saudara-saudara atau rekan-rekan mereka, melakukan penyelidikan dan tahu bahwa kedua pemuda itu terlibat dalam urusan pembasmian tokoh-tokoh Kiu Lo-mo itu. Liong-li kembali mengingat-ingat. Belum lama ini, ketika ia dan Pek-liong membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, ada pula seorang pria yang terlibat, yaitu Cian Hui atau Cian Ciang-kun, panglima muda di kota raja. Apakah dia juga menjadi sasaran tiga orang dari Kiu Lo-mo? Liong-li mengepal tinju. Bagaimanapun juga, merupakan jebakan atau tantangan, betapapun besar bahaya yang ia hadapi, ia harus menolong dua orang pemuda itu! Tidak mungkin ia membiarkan mereka berkorban karena perbuatan ia dan Pek-liong.

   Ah, Pek-liong tentu akan melakukan hal yang sama. Ia mengenal benar isi hati Pek-liong. Tiba-tiba ia teringat kembali. Kalau ia mengalami serangan, dan kini menerima surat-surat yang agaknya merupakan umpan perangkap baginya, tentu Pek-liong juga tidak akan dilupakan oleh sisa Kiu Lo-mo! Apakah Pek-liong juga mengalami serangan seperti yang ia alami? Dan menerima surat-surat seperti ini? Tidak, ia tidak akan menanti surat balasan dari Pek-liong. Akan terlalu lama dan ia khawatir terlambat. Ia harus segera pergi menolong dua orang pemuda itu, dan sembilan anak buahnya sudah lebih dari cukup untuk membantunya. Liong-li lalu memanggil sembilan orang pembantunya. Dengan cepat mereka berdatangan dan sepuluh orang gadis-gadis cantik itu mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia di rumah besar itu.

   Liong-li mengatur rencana siasatnya untuk melakukan penyelidikan di lembah Huang-ho dan membagi-bagi tugas. Sembilan orang anak buahnya memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tugas yang diserahkan kepada mereka. Kemudian mereka membuat persiapan dan berkemas. Liong-li sendiri membuat sehelai surat untuk Pek-liong dan ia meletakkan surat itu di tempat rahasia depan rumahnya, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ia dan Pek-liong berdua. Lalu sehelai surat lagi ia buat untuk Cian Hui dan surat ini ia titipkan kepada seorang anak tetangga yang biasa ia suruh-suruh, seorang anak yang cerdik dengan pesan kalau ada seseorang yang gambarannya seperti Cian Hui, agar surat itu diserahkan setelah orang itu mengaku siapa namanya.

   Pada hari itu juga, berangkatlah Liong-li dan sembilan orang pembantunya. Akan tetapi, kalau ada orang mengintai di sekitar tempat itu, tidak nampak sepuluh orang wanita yang pergi bersama, karena masing-masing mengambil jalan sendiri melalui pintu-pintu dan lorong-lorong rahasia. Hanya nampak Liong-li seorang yang meninggalkan pekarangan rumahnya dengan langkah santai. Tepat seperti dugaan Liong-li, Pek-liong juga menerima surat yang senada. Hanya saja, pendekar ini menerima jauh lebih lama dari pada Liong-li menerimanya karena tempat tinggal Pek-liong jauh di selatan. Ketika Pek-liong menyuruh pembantunya menyelidiki daerah Sungai Yang-ce di mana mendiang Thian-te Siang-houw merajalela, dia tidak mendapatkan keterangan yang meyakinkan.

   Dia tetap tidak percaya kalau Thian-te Siang-houw memusuhinya tanpa ada yang mendalangi mereka, karena dua orang sesat setingkat mereka itu tidak, mungkin akan berani mengusiknya tanpa ada pendorong yang lebih kuat. Akan tetapi mereka telah tewas dan pembantunya tidak berhasil mendapat keterangan siapa kiranya yang merupakan pendukung mereka. Kemudian datanglah surat dari Liong-li. Ketika dibacanya surat itu yang menceritakan tentang peristiwa yang dialami orang yang paling dipuja, paling dicinta, paling dihormati dan dihargainya di seluruh dunia itu, Pek-liong tersenyum. Tak salah dugaannya. Serangan dan gangguan itu bukan hanya menimpa dirinya sendiri. Bahkan Liong-li tertimpa lebih hebat lagi. Diapun mengangguk-angguk ketika membaca bahwa yang mengganggu Liong-li adalah Thai-san Ngo-kwi, murid-murid dari mendiang Siauw-bin Ciu-kwi.

   Pek-liong meraba-raba dagunya sambil melamun. Inilah ciri khasnya kalau dia sedang menggunakan daya pikirannya untuk memecahkan sesuatu. Murid-murid Siauw-bin Ciu-kwi, berarti ada hubungannya dengan Kiu Lo-mo. Sudah tiga kali dia dan Liong-li bentrok dengan Kiu Lo-mo. Bentrokan pertama membuat mereka berhasil menewaskan Hek-sim Lo-mo, bentrokan kedua mereka menewaskan Siauw-bin Ciu-kwi, dan dalam bentrokan terakhir, yang ketiga kalinya mereka menewaskan Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo. Dia lalu berpikir apakah Thian-te Siang-houw juga mempunyai hubungan dengan Kiu Lo-mo? Jelas bahwa bukan Liong-li saja yang diincar musuh. Dia sendiripun menjadi sasaran musuh, yang belum diketahuinya siapa penggerak dari Siang-houw itulah.

   Entah siapa Pouw Bouw Ki, kakak dari nona Pouw Bouw Tan, dibunuh orang karena bentuk tubuh dan wajahnya mirip dia. Mungkin pembunuhnya adalah Thian-te Siang-houw. Dan dia sendiri didatangi orang yang tewas dalam rumahnya, terjebak alat rahasia sehingga terjepit kepalanya dan hancur wajahnya sehingga tidak dapat dikenali siapa. Jelas bahwa Liong-li dan dia sedang diincar oleh orang-orang yang menghendaki kematian mereka. Akan tetapi siapa? Beberapa hari kemudian, seorang kanak-kanak berusia sepuluh tahun datang mengantar dua buah surat kepadanya. Anak itu menceritakan pengalamannya. Dia putera seorang nelayan di tepi Telaga Barat (See Ouw). Pagi tadi, seorang laki-laki setengah tua yang mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar menghampirinya ketika dia sedang mengail ikan di tepi telaga.

   "Hei, anak baik, apakah engkau tahu di mana rumahnya Pek-liong-eng?" Anak yang disebut A-sam itu tentu saja tahu. Nama besar Pek-liong-eng dikenal oleh seluruh orang di sekitar telaga itu, dari kanak-kanak sampai orang tua. Siapa tidak mengenal pendekar yang dermawan itu?

   "Saya tahu, rumahnya di dusun Pat-kwa-bun!" kata anak itu dengan suara bangga.

   "Bagus! Anak baik, maukah engkau mendapatkan upah sebanyak ini?" Orang itu mengeluarkan uang tembaga yang cukup banyak, bahkan terlalu banyak bagi A-sam yang anak keluarga nelayan miskin.

   "Tentu saja saya mau!" kata anak itu, heran dan tidak percaya bahwa orang itu akan memberi uang sedemikian banyaknya.

   "Bagus, kalau begitu, berikan surat-surat ini kepada Pek-liong-eng, dan semua uang ini menjadi milikmu. Maukah engkau?"

   "Mau, tentu saja saya mau!" kata anak itu, melepaskan pancingnya saking girang hatinya.

   "Nah, simpanlah surat ini baik-baik dan terimalah uang ini. Akan tetapi hati-hati kau, kalau engkau berbohong dan tidak menyampaikan surat ini kepada Pek-liong-eng, aku akan datang lagi dan akan kuhancurkan kepalamu seperti ini!" Orang itu meninju sebongkah batu sebesar kepala anak itu dan batu itupun hancur! Tentu saja A-sam menjadi pucat dan dengan suara gemetar dia berkata.

   "Akan saya sampaikan, saya tidak berani berbohong." Demikianlah keterangan A-sam ketika dia menyerahkan surat kepada Pek-liong dan menjawab pertanyaan pendekar itu. Ketika ditanya tentang gambaran orang itu, A-sam hanya ingat bahwa orang itu tinggi besar bermuka hitam. Itu saja.

   Pek-liong memberi upah, menyuruh A-sam pergi dan dia lalu membaca dua buah surat itu. Tulisannya berbeda, namun nadanya sama. Sebuah surat ditulis oleh Su Hong Ing, dan yang kedua oleh Kam Cian Li, dan keduanya memberitahukan bahwa mereka ditawan musuh di lembah Huang-ho dan mereka mengharapkan pertolongan Pek-liong. Hanya itu saja. Seperti yang dilakukan Liong-li, Pek-liong tenggelam dalam lamunan ketika membaca kedua buah surat itu. Dua orang gadis yang pernah menjadi kekasihnya, yang mencintanya. Dia mendengar bahwa Su Hong Ing telah menjadi isteri Song Tek Hin, dan Su Hong Ing adalah murid Bu-tong-pai yang pandai dan lihai. Juga Kam Cian Li telah menjadi gadis hartawan di samping kakaknya, Kam Sun Ting. Bagaimana kedua orang wanita itu kini menjadi tawanan musuh? Siapakah musuh itu? Tidak mereka sebutkan dalam surat.

   Dan dia tahu benar bahwa dua orang wanita itu amat mengagumi dan mencintanya, sehingga tidak mungkin mereka mau mencelakakan dia. Akan tetapi kenapa mereka membuat surat seperti itu? Pada hal, jelas surat itu merupakan pancingan agar dia datang menolong mereka dan musuh itu tentu akan menyambutnya dengan perangkap. Pek-liong masih terbenam dalam lamunan setelah menerima surat itu dan kembali dia meraba-raba dagunya. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Merupakan hal yang amat mencurigakan betapa dua orang wanita itu, Su Hong Ing dan Kam Cian Li dapat menjadi tawanan dalam waktu yang bersamaan, dan keduanya juga bersama-sama menyurati dia. Yang seorang tinggal di dekat kota Cin-an, yang kedua tinggal di Nan-cang dekat telaga Po-yang, terpisah jauh.

   Bagaimana kini mereka dapat berkumpul sebagai tawanan? Apa yang membuat musuh-musuh itu menawan kedua orang wanita ini? Jelas, surat itu untuk memancingnya agar dia mau datang ke lembah Huang-ho untuk menolong mereka. Akan tetapi mengapa kedua orang itu? Pada hal, teman-temannya banyak. Mengapa justeru mereka? Dia mengingat kembali pertemuannya dengan mereka. Su Hong Ing dijumpainya ketika dia bersama Liong-li membasmi Hek-sim Lo-mo, dan Kam Cian Li dijumpainya ketika dia bersama Liong-li membasmi Siauw-bin Ciu-kwi! Dan Liong-li diserang oleh Thai-san Ngo-kwi, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi. Dalam suratnya, secara singkat Liong-li juga menyebut adanya nenek berpakaian merah yang amat lihai, yang membantu Thai-san Ngo-kwi.

   "Ah, tidak salah lagi. Tentu mereka yang mendalangi semua ini. Sisa Kiu Lo-mo tinggal tiga, Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai, dan Pek-bwe Coa-ong! Siapa lagi kalau bukan mereka yang hendak membalas dendam atas kematian empat orang rekan mereka yang kubasmi bersama Liong-li? Ini berbahaya, mereka adalah orang-orang lihai yang amat jahat!" Tiba-tiba dia teringat. Ketika dia bersama Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, juga ada dua orang yang terlibat, yaitu Cian Hui dan Cu Sui In. Kalau memang sisa Kui Lo-mo hendak menangkap orang-orang yang terlibat tentu Cian Hui dan Sui In yang menjadi isterinya itu akan terancam pula.

   Akan tetapi dia teringat betapa cerdiknya Cian Hui dan sebagai seorang panglima muda yang berkedudukan di kota raja, kedudukannya kuat karena dia memiliki pasukan. Selain itu, Cian Hui jauh lebih lihai dibandingkan dua orang wanita yang ditawan musuh, bahkan isterinya, Cu Sui In yang murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Agaknya kawanan penjahat tidak dapat menawan Cian Hui dan isterinya, maka tidak ada surat dari mereka kepadanya! Pek-liong berpendapat bahwa bukan hanya dua orang wanita itu saja yang terancam bahaya seperti tertulis dalam surat mereka, walaupun dia belum yakin apakah surat-surat itu tidak palsu, melainkan juga Liong-li terancam bahaya. Dia harus bertindak, dan karena sekali ini, kalau perhitungannya tepat, dia akan berhadapan dengan sisa Kiu Lo-mo, yaitu tiga orang datuk sesat yang lihai,

   Dia membutuhkan bantuan enam orang pelayan yang juga menjadi pembantunya, juga boleh dibilang murid-muridnya karena dia telah menggembleng mereka menjadi pembantu-pembantu yang dapat diandalkan dan pandai ilmu silat, juga cerdik dan setia. Cepat dia mengumpulkan enam orang pembantunya dan menceritakan kepada mereka semua yang terjadi, lalu mengatur siasat dan membagi tugas. Enam orang pembantunya itu secara berpencar dia beri tugas untuk melakukan penyelidikan ke lembah Huang-ho yang patut dicurigai menjadi sarang musuh-musuh itu, kemudian menanti dia di sana, siap untuk membantunya. Dia sendiri akan lebih dahulu singgah ke Lok-yang di selatan Sungai Kuning (Huang-ho) untuk mencari Liong-li sebelum berangkat pula ke lembah Huang-ho. Di dalam surat kedua orang wanita itu, hanya minta agar dia datang menolong mereka yang ditawan di lembah Huang-ho di perbukitan Hek-san (Bukit Hitam).

   Pada hal perbukitan itu panjang dan luas, maka harus diselidiki di mana kiranya sarang mereka yang menawan dua orang wanita itu. Bagaimana dua pasang suami isteri dan kakak beradik yang ditawan itu sampai mau mengirim surat kepada Liong-li dan Pek-liong? Pada hal, mereka berempat adalah orang-orang gagah yang tidak akan sudi membantu penjahat untuk menjadi umpan dan memancing datangnya dua orang yang mereka sayangi dan hormati itu masuk dalam perangkap penjahat. Perkembangan yang tidak menguntungkan mereka telah terjadi di tempat tawanan itu. Baru sehari setelah menjadi tawanan di situ, Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang mendapat kebebasan walaupun selalu diawasi, tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk meloloskan diri atau memberontak kalau perlu.

   Mereka melihat ketika kakak beradik Kam datang sebagai tawanan pula dan ditempatkan di kamar nomor dua, tak jauh dari kamar mereka. Mereka memang tidak saling mengenal, akan tetapi dari sikap masing-masing, mereka dapat saling menduga bahwa mereka berempat mempunyai nasib yang sama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Su Hong Ing yang melakukan pendekatan kepada Kam Cian Li. Para penjaga tidak melarang ketika dua orang wanita ini bercakap-cakap dan dalam percakapan itu, dengan hati-hati mereka saling bertanya dan betapa kaget hati mereka bahwa mereka benar-benar mengalami nasib yang sama. Keduanya ditangkap untuk dijadikan umpan bagi Pek-liong dan Liong-li!

   "Kita harus menggunakan kesempatan ini untuk meloloskan diri! Kita tidak boleh menjadi umpan untuk mencelakai Pek-liong dan Liong-li," bisik Su Hong Ing.

   "Engkau benar, enci. Akan tetapi bagaimana caranya? Mereka amat lihai, kita tidak mungkin dapat menang, tidak mungkin dapat lolos dari tempat ini," jawab Kam Cian Li sambil berbisik pula.

   "Kita harus berani mencoba. Memang kami berdua juga tertawan karena kalah oleh iblis betina itu, dan tentu kakek yang menawan kalian itu lihai pula karena mereka adalah para tokoh Kiu Lo-mo. Akan tetapi kalau kita berempat bersatu, tentu kita akan menjadi lebih kuat. Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan kita dijadikan umpan yang akan mencelakakan dua orang yang kita sayang dan hormati, lebih dari pada lain orang?" Cian Li mengangguk-angguk, bangkit semangatnya. Tentu saja gadis yang masih selalu terkenang dengan penuh kerinduan kepada Pek-liong, kekasih pertamanya itu, tidak rela melihat Pek-liong celaka.

   "Aku siap, enci, dan akan kuberitahu kakakku. Tapi kapan dan bagaimana?"

   "Malam nanti. Yang bertugas adalah penjaga-penjaga biasa. Kita menyelinap keluar dan kita bunuh kalau ada penjaga yang mencoba menghalangi. Memang berbahaya. Akan tetapi siapa berani menjamin bahwa kita akan dibebaskan kalau Pek-liong dan Liong-li sudah terpancing ke sini, kemudian kedua orang pendekar itu dapat mereka tangkap? Mungkin kita semua juga akan dibunuh. Dari pada dibunuh seperti babi, bukankah lebih baik mati seperti harimau yang melawan dengan gagah?"

   Ucapan Su Hong Ing yang membakar semangat itu membuat Kam Cian Li berkobar dan gadis ini lalu membisikkan rencana untuk kabur itu kepada kakaknya, dan Hong Ing juga membujuk suaminya. Dua orang pria itupun akhirnya setuju karena mereka yakin apakah kalau Pek-liong dan Liong-li dapat tertawan atau terbunuh oleh para penjahat, mereka akan dibiarkan pergi. Demikianlah, malam itu kebetulan gelap gulita Dua pasang pria wanita itu saling memberi isyarat, lalu bersama-sama menyelinap keluar dari kamar mereka. Yang bertugas jaga di dekat kamar mereka masing-masing hanya dua orang. Dengan sigap dan tidak banyak kesukaran, dua pasang tawanan itu dapat merobohkan empat orang penjaga itu dan merampas pedang mereka. Kemudian mereka menyusup-nyusup mencari jalan keluar melalui tempat-tempat yang gelap dalam kompleks bangunan itu.

   Keadaan nampak sunyi sehingga melegakan hati empat orang buronan itu. Mereka menyelinap dengan hati-hati dan akhirnya dapat tiba di dekat pintu gerbang di depan. Hanya dari pintu itulah mereka dapat melarikan diri karena pagar tembok yang mengitari perumahan itu amat tinggi dan di atas pagar tembok itu dipasangi besi-besi runcing. Tak mungkin melompati pagar tembok itu. Juga tidak ada tali yang panjang untuk memanjat. Satu-satunya jalan hanyalah menyerbu keluar melalui pintu gerbang. Song Tek Hin dan Su Hong Ing mengintai dari sebelah kiri pintu gerbang, sedangkan kakak beradik Kam mengintai dari sebelah kanan. Jantung mereka berdebar tegang. Hanya ada dua kemungkinan: Sekarang berhasil atau selamanya gagal. Hidup atau mati. Mereka sudah nekat. Di pintu gerbang itu terdapat selosin orang penjaga.

   Kalau kepandaian mereka hanya biasa saja, tentu mereka berempat akan mampu mengalahkan selosin orang itu dan ini berarti lolos! Song Tek Hin yang kini menjadi pimpinan, memberi isyarat, lalu bersama isterinya dia melompat keluar, menyerbu ke arah para penjaga yang sedang mengobrol. Kakak beradik Kam juga berloncatan keluar dan menyerbu. Tentu saja para penjaga menjadi kaget dan kacau balau. Namun seorang di antara mereka meniup peluit berkali-kali sedangkan teman-temannya melakukan perlawanan dengan golok mereka. Empat orang buronan itu mengamuk, akan tetapi diam-diam mereka mengeluh karena ternyata selosin orang itu bukan lawan yang lunak dan dapat mereka robohkan dalam waktu singkat. Setelah bertempur beberapa lamanya, mereka baru berhasil merobohkan empat orang. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

   "Mundur kalian semua!" Para penjaga mundur dan cepat mereka menyalakan lebih banyak obor untuk menerangi tempat itu. Ketika empat orang buronan itu mengangkat muka memandang, mereka melihat lima orang yang bersikap bengis berdiri menghadang di depan mereka. Empat orang buronan itu merasa lega karena tidak nampak si nenek pakaian merah dan kakek sastrawan pakaian putih yang amat lihai itu. Tidak ada dua orang dari Kiu Lo-mo. Maka, dengan nekat dan semangat berkobar empat orang buronan itu menggerakkan pedang rampasan dan menyerang ke arah lima orang yang berdiri menghadang itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka berhadapan dengan Thai-san Ngo-kwi yang lihai bukan main.

   Biarpun tingkat kepandaian Thai-san Ngo-kwi belum setinggi tingkat Kiu Lo-mo, akan tetapi jelas mereka ini jauh lebih kuat dari pada empat orang buronan itu. Thai-san Ngo-kwi tertawa mengejek, mereka sudah mencabut golok dan menyambut serangan dua pasang tawanan itu. Dalam waktu belasan jurus saja, empat batang pedang rampasan itu patah-patah dan dua pasang tawanan itupun roboh dan diringkus kembali. Dalam keadaan terbelenggu mereka digiring kembali ke dalam kamar mereka, didorong masuk ke dalam kamar dalam keadaan terbelenggu dan kamar mereka dikunci dari luar! Gagallah usaha pelarian itu dan pada keesokan harinya, mereka berempat di seret satu demi satu dihadapkan kepada Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li, dan Pek-bwe Coa-ong, sedangkan Thai-san Ngo-kwi juga hadir di ruangan itu.

   Biarpun dihadapkan seorang diri saja di depan pimpinan gerombolan penjahat itu, empat orang gagah ini tidak bersikap takut. Dengan gagah mereka itu memiliki sikap yang sama, yaitu menentang dan tidak sudi dijadikan umpan untuk memancing datangnya Pek-liong dan Liong-li! Ang I Sian-li tidak menjadi marah-marah seperti dua orang rekannya menghadapi kekerasan kepala empat orang itu. Ia memerintahkan kepada Thai-san Ngo-kwi untuk menghadapkan para tawanan itu sepasang, pertama dimulai dengan pasangan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing. Setelah dua orang yang terbelenggu ini dihadapkan mereka, suami isteri itu berdiri tegak dan memandang dengan mata penuh kemarahan dan kebencian, sedikitpun tidak mau tunduk. Ang I Sian-li lalu berkata kepada mereka.

   "Kalian berdua suami isteri memang mengagumkan sekali dan pantaslah menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi, sikap kalian ini hanya merugikan kalian sendiri. Kami hanya menghendaki agar kalian menulis surat dan minta pertolongan kepada Pek-liong dan Liong-li. Itu saja. Kenapa kalian berkeras kepala menolak? Apakah kalian lebih suka mati dari pada menuruti permintaan kami dan mendapat kebebasan setelah itu?"

   "Kami tidak takut mati!" bentak Su Hong Ing

   "Lebih baik kami mati dari pada harus mengkhianati Pek-liong dan Liong-li!" kata pula Song Tek Hin dengan sikap gagah. Ang I Sian-li terkekeh genit.

   "Bagus, bagus, kalian memang gagah perkasa. Akan tetapi dengarlah baik-baik, buka telinga dan perhatikan kata-kataku. Kalau kalian mau menulis surat yang kami butuhkan itu, setelah Pek-liong dan Liong-li dapat kami bunuh, kalian akan kami bebaskan, dan ini janji seorang datuk persilatan yang tidak akan kami langgar! Akan tetapi, sebaliknya kalau kalian berkeras tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami akan melakukan hukuman yang akan membuat kalian menyesal telah dilahirkan di dunia ini."

   "Kami tidak takut!" seru suami isteri itu hampir berbareng.

   "Benarkah? Dengar, pertama aku akan menyiksa si suami di depan si isteri, dengan membuntungi seluruh jari tangan dan kakinya satu demi satu! Kami akan menyiksanya akan tetapi membiarkan dia hidup agar dia dapat menyaksikan ketika kami menyuruh anak buah kami memperkosa si isteri di depan si suami sampai si isteri mati." Song Tek Hin dan Su Hong Ing menjadi pucat mendengar ini, akan tetapi mereka masih berusaha mengeraskan hati.

   "Gertak kosong!" teriak mereka. Ang I Sian-li dengan cerdiknya menggiring suami isteri itu ke tepi jurang kengerian dengan ancaman-ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut, sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menyerah dan membuatkan surat itu. Song Tek Hin menulis surat kepada Hek-liong-li dan Su Hong Ing menulis surat kepada Pek-liong-eng, isinya minta bantuan mereka karena suami isteri itu ditawan musuh di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.

   Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Mereka kalah jauh dalam hal siasat oleh Kiu Lo-mo, dan akhirnya semangat merekapun dapat dipatahkan dan untuk saling menjaga, kakak beradik ini terpaksa membuat pula surat seperti yang telah dilakukan suami isteri itu. Empat orang ini tidak dapat terlalu disalahkan. Mereka bukan orang-orang yang suka berkhianat demi keuntungan sendiri. Akan tetapi di bawah ancaman mengerikan itu, tentu saja mereka tidak berdaya. Apa lagi mereka berpikir bahwa orang-orang sakti seperti Pek-liong dan Liong-li tidak mungkin dapat dijebak begitu saja. Bahkan diam-diam mereka mengharapkan agar sepasang pendekar sakti itu benar-benar akan dapat menolong dan membebaskan mereka.

   Bagaimanapun juga, Ang I Sian-li memegang janji. Setelah dua pasang tawanan itu menulis surat, merekapun dibebaskan berkeliaran di perumahan yang terkurung tembok tinggi dan terjaga kuat itu, tidak lagi dibelenggu. Memang, bagi tiga orang tokoh Kiu Lo-mo, empat orang ini tidak ada artinya. Yang penting bagi mereka adalah Pek-liong dan Liong-li. Dua pasang tawanan itu hanya umpan, dan kalau sudah tidak dibutuhkan lagi, di lepas juga tidak mengapa bagi mereka. Walaupun kini mereka bebas dalam perumahan itu, tetap saja dua pasang tawanan itu selalu merasa gelisah dan tidak berani lagi mencoba untuk melarikan diri. Mereka gelisah dan perasaan hati mereka tegang menanti munculnya Pek-liong dan Liong-li, gelisah membayangkan betapa kedua orang yang mereka sayang itu akan tertangkap pula dan disiksa dibunuh di depan mata mereka!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Naga Penakluk Iblis